31 December 2013

Taman Orang Jatuh Cinta


“Belum dapat dikatakan sebagai orang yang berakal, apabila ia hanya dapat membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi orang yang benar-benar berakal adalah yang dapat membedakan yang lebih baik dari dua keburukan.” 
~Ùmar bin Khattab~ 

Ada dua alasan kenapa saya membeli buku ini dua tahun lalu di Grahamedia. Pertama, stok yang tersisa tinggal satu. Sepertinya ada hubungan yang terbalik antara stok buku dengan keinginan membeli. Semakin sedikit stok buku apalagi tersisa satu, semakin kuat pula keinginan untuk membeli. Semacam pemaksaan yang dilakukan secara halus. Kedua, buku ini ditulis oleh ulama besar Ibnu Qayyim al-Jauziyah, satu dari segelintir buku-buku yang dijual, yang membahas masalah cinta dari sudut pandang agama.

Tetapi, buku ini dikhatamkan nanti setelah setahun lebih mendekam dalam lemari. Dengan ketebalan 464 halaman, buku ini agak sulit dibawa ke mana-mana. Jadi sebaiknya memang dibaca di rumah saja. Selain itu belum ada faktor yang mendorong saya untuk benar-benar serius membacanya. Hingga suatu ketika, ada yang bertanya mengenai masalah ini. Dan saya diliputi kebingungan menjawabnya. Terlebih dengan tema yang seperti itu. Bila temanya menyangkut aqidah, fiqh, atau hal-hal yang bersiat teknis, jawaban bisa ditunda sampai mendapat penjelasan yang rinci dari ustadz atau orang yang lebih paham. Karena harus ada landasan kuat agar tidak terjadi kekeliruan dalam menyampaikan suatu ilmu.

Tetapi berbeda kondisinya bila masalah itu berkaitan dengan hati atau perasaan. Terlebih bila orang tersebut sudah menangis di depanmu. Paling tidak kau bisa memberi sedikit nasihat yang berguna untuk menenangkannya. Dalam kondisi kebingungan, saya hanya teringat nasihat sederhana seorang murabbiyah yang sangat berkesan buat saya. Yaitu, apabila engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Hanya sedikit yang saya sampaikan, selebihnya saya membantu dengan menawarkan buku. Dia termasuk orang yang suka membaca, jadi kusodorkan buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan karya Salim A. Fillah dan Taman Orang Jatuh Cinta-nya Ibnul Qayyim. Dia memilih yang pertama. Beberapa hari kemudian buku itu dikembalikan. Wajahnya tampak lebih ceria dibanding terakhir kali bertemu. Sepulangnya, tak sengaja saya membolak-balik buku itu dan tersenyum menemukan lipatan penanda di hal.59. 

Selama ini saya memang lebih tertarik pada hal-hal yang bertema pemikiran (Ghazwul fikr). Tapi setelah kejadian tersebut, saya jadi tergerak membaca buku Ibnu Qayyim yang sudah sekian lama mendekam dalam lemari. Penasaran juga kenapa ada yang bisa sakit, menderita bahkan sampai gila gara-gara lima huruf itu. Awanya kupikir hanya dilebih-lebihkan. Ternyata memang ada dijelaskan dalam buku termasuk faktor penyebabnya. 

Raudhatul Muhibbin wan Nuzhatul Musytaqin adalah judul asli buku karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Sebelum memasuki materi, terlebih dahulu penulis membahas pentingnya akal bagi manusia. Dikisahkan ketika Allah menurunkan nabi Adam ke muka bumi, Jibril datang membawa tiga hal : agama, budi pekerti dan akal. Nabi Adam diperintahkan memilih salah satu di antara ketiganya. Beliau lalu mengulurkan tangannya dan memilih akal serta meminta dua hal yang tidak dipilihnya untuk naik ke langit. Kedua hal tersebut kemudian berkata bahwa mereka diperintahkan untuk menyertai akal di manapun berada. Maka, tiga hal itu pun menjadi milik nabi Adam.

Ketiga hal ini : agama, budi pekerti dan akal merupakan anugerah teragung yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dan Allah juga menjadikan tiga lawan sebagai musuhnya yaitu hawa nafsu, setan dan nafsu amarah. Apabila kekuasaan ada di tangan akal, maka hawa nafsu akan tunduk dan mengikutinya. Sebaliknya, bila kekuasaan berada di tangan nafsu, akal akan menjadi tawanan dan mengikutinya. Manusia tidak akan pernah luput dari hawa nafsu, karena nafsu adalah bagian integral dari dirinya. Ibnu Qayyim menyusun buku ini dengan mempertimbangkan keseimbangan antara nafsu dan akal tadi. Ada 29 bab yang keseluruhannya membahas mengenai cinta mulai dari istilah-istilah cinta dan maknanya, benih-benih lahirnya cinta, cinta buta, kadar cinta, kelompok pemuja dan pencerca cinta, tanda-tanda cinta, cemburu, tentang pandangan mata, dialog antara mata dan hati, tentang mabuk asmara, tentang pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan serta pembahasan apakah cinta itu takdir atau pilihan. Cinta yang dibahas dalam buku ini bukan hanya antar manusia, tetapi juga cinta kepada Allah. Bab-bab terakhir membahas tentang pengganti yang lebih baik bagi orang-orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah. Disertakan pula kisah orang-orang yang lebih memilih siksa dunia daripada melakukan hal-hal yang diharamkan. Pembahasan ditutup dengan kiat-kiat bagaimana mengendalikan hawa nafsu. 

Membaca buku ini menyadarkan saya kalau masalah cinta memang berat. Betapa orang yang sudah berlabel ahli ibadah pun bisa terjerumus karenanya. Sisi menarik buku ini adalah penulis banyak mencantumkan kutipan syair-syair. Juga mengkritisi pendapat-pendapat filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Selain itu saya suka metode yang dipakai bila membahas dua atau lebih kelompok yang bertentangan satu sama lain. Setiap kelompok atau pendapat dibahas satu per satu beserta dalil yang digunakan. Setelah itu penulis menarik kesimpulan dari keduanya. Terakhir, mohon maaf tidak bisa berpanjang lebar menguraikan isi buku. Cakupan materinya luas jadi lebih baik bila dibaca secara keseluruhan.
24 December 2013

Kyai Kocak vs Liberal


“Karena pemikiran mereka lucu, lawan aja pake humor. Nggak usah pake dalil. Mereka nggak percaya sama dalil. Buang-buang energi…” 
~Kyai Adung~ 

Sejak kapan orang islam berani ngomong bahwa Al Qur’an bukan lagi kitab suci ?

Sejak kapan seorang profesor islam ngomong homoseks itu sehat dan halal ?

Sejak kapan keharaman menikah dengan nonmuslim dianggap sudah usang ?

Sejak kapan wanita bisa jadi khatib dan imam Jumat ?

Sejak kapan pula orang islam bisa seenaknya ngomong ada ‘Area Bebas Tuhan’ ?

Beragam wacana pemikiran tersebut membuat kyai Adung, tokoh utama dalam buku ini, galau stadium empat. Bagaimana tidak, pemikiran-pemikiran itu justru datang dari kaum terpelajar, doktor, profesor, cendekiawan, dosen universitas islam, bahkan dari seorang kyai. Sebagai orang kampung yang ingin mengambil peran dalam melawan pemikiran konyol tersebut, kyai Adung pun mencari jalur lain, yaitu dengan bercanda.

Buku terbitan Salsabila, Pustaka AlKautsar ini ditulis oleh Abdul Mutaqim, seorang alumni fakultas tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibeli beberapa bulan lalu secara tak sengaja di Gramedia. Belakangan ini, buku yang sangat ingin saya miliki terbitan Pustaka Alkautsar adalah Kisah Para Nabi-nya Ibnu Katsir. Tapi bila melihat daftar tugas, jadi agak pesimis apa bisa membaca buku setebal itu dalam waktu dekat. Oh ya, bedakan antara penerbit Pustaka Alkautsar dan penerbit Alkautsar. Cari tahu sendiri di mana bedanya. Oke, lanjut. 

Buku-buku ilmiah yang membahas kekeliruan paham liberal sudah banyak diterbitkan, tetapi penyajian logika melawan logika yang dibalut humor masih terbilang langka. Buku ini salah satunya. Berbagai wacana kontemporer terkait pemikiran liberal disajikan dalam dialog ringan antara kyai Adung dengan berbagai tokoh fiksi yang namanya aneh-aneh seperti Smeleketeh, Mesrowo bin Mesriwi atau Nonong Dorong Jamidong. Masalah gender, Irsyad Manji, Lady Gaga, jilbab, adzan, teori Darwin, Nietszche, sampai perkawinan sejenis diangkat dalam buku ini. Jawaban-jawabannya masuk akal. Tetapi karena mengusung tema yang serius, porsi lucunya tidak bisa disamakan dengan buku gokil lain semisal Jakarta Under Kompor. Humornya bisa membuat senyum tapi tidak sampai guling-guling. Ya, karena buku ini memang ditujuan untuk mengajak berlogika walaupun dengan unsur candaan.

Misalnya tentang Nietszche, seorang filsuf yang dikagumi banyak orang. Nietszche adalah seorang ateis yang pernah berkata bahwa Tuhan telah mati. Tapi jadinya malah aneh. Ya, kalau orang tidak percaya tuhan itu ada, lantas tuhan mana yang dia maksud sudah mati ? Contoh lain, seorang pluralis yang mengatakan semua agama sama benarnya. Hanya beda penyebutan nama Tuhan saja. Islam menyebut Allah, Yahudi menyebut Yahweh. Tapi pluralis ini tidak konsisten dengan pemikirannya bahwa Tuhan tidak masalah disebut dengan nama apapun. Bisa dilihat dari cara shalatnya. Kalau konsisten, maka ketika shalat, dia harusnya bertakbir dengan ‘Yahwe Hu Akbar’, bukan Allahu Akbar. Tapi toh, shalatnya juga tetap sama dengan yang lain. Artinya, dia tidak konsisten sebagai seorang pluralis. Kira-kira seperti itulah cara berdiskusi Kyai Adung dengan orang-orang liberal. Buku ini tebalnya hanya 184 halaman, jadi bisa dikhatamkan sekali duduk.

Mengenai penamaan islam liberal, ustadz Adian Husaini dalam novelnya, Kemi, menjelaskan bahwa islam dan liberal adalah dua kata yang berlawanan. Islam bermakna tunduk dan patuh sementara liberal berarti bebas. Jadi, bila kedua kata ini disandingkan maka akan terjadi kontradiksi. Karena itu bila ada yang tetap ngotot dengan pemahaman liberalnya, disarankan sebaiknya buat saja paham baru di luar islam. Sebab islam itu sudah murni, sudah jelas diterangkan dalam Al Qur’an dan as sunnah.

 ***

Sebenarnya buku Kyai Kocak vs Liberal ini tak sengaja saya temukan di antara deretan buku humor di Gramedia. Niat awal memang hanya ingin mencari buku-buku lucu. Di sana tersedia ratusan buku semacam itu, mulai dari cerita konyol seorang dokter co-ass, cerita konyol anak kos-kosan, cerita konyol mahasiswa baru, cerita konyol saat menyusun skripsi, cerita konyol para hantu, dan sejenisnya. Tapi, penulis gokil yang benar-benar bisa membuat saya tertawa sampai sakit perut mungkin hanya si penulis Jakarta Under Kompor dan Dumba-Dumba Gleter, om Arham Kendari. Humornya kreatif, karikaturnya keren, sering menyentil isu-isu yang hangat dibicarakan. Pertama kali baca bukunya yang berjudul Jakarta Under Kompor itu sekitar tahun 2008, hasil pinjam dari sepupu.

Selama perjalanan pulang dari rumah sepupu, saya ketawa-ketiwi sambil menutup mulut demi meredam suara. Penumpang angkot lain bergantian melirik saya di sudut belakang. Tapi saya tidak peduli. Kalau sudah terlanjur ketawa, sulit normal kembali. Penulis yang satu ini beda dengan penulis gokil lain. Tema humornya luas mulai dari politik,selebritis,kenangan masa kecil, masalah kondom, syiah, sampai kehidupan sehari-hari. Tak melulu berputar di kehidupan jomblo seperti yang selalu dijadikan tema untuk membuat lelucon. Si penulis juga jago membuat kartun dan mengedit foto. Kalau tidak salah, salah satu foto editannya dijadikan sampul buku Boim Lebom. Tapi sayang, sampai tulisan ini diturunkan, si penulis baru menerbitkan dua buku. Buku ketiga masih dalam proses katanya. Okelah, ditunggu.
20 December 2013

Meraut Usia

Waktu sedang meraut usia, menabur remah-remahnya dalam sekat lembaran kitab. Seorang bijak pernah bernasihat, manusia ibarat kumpulan hari. Tatkala hilang satu hari, hilang pula sebagian diri. Layaknya dedaunan tercerabut satu demi satu. Layaknya air menguap tetes demi tetes. Entah berapa lagi yang kini tersisa. Rahasia itu hanya milik Sang Pencipta.

Waktu kerap melenakan. Satu di antara dua nikmat yang sering luput dari perhatian. Lalu pada titik tertentu tak sadar lisan pun berucap, betapa cepat waktu berlalu. Mungkin ia lupa, waktu adalah makhluk yang tak pernah menunggu.

Waktu sedang meraut usia. Segala niat, kata dan tindak tak ada yang luput. Yang terbersit akan tercatat. Yang terucap akan tercatat. Begitu pun setiap amalan. Tak peduli baik atau buruk. Hingga suatu ketika, ia tiba pada satu lembar terakhir. Halaman penutup bernama maut. Lalu ke mana kesudahan kala itu ? Di pintu manakah ia akan mengetuk ?
15 December 2013

Katanya...


"Don't depend too much on anyone in this world because even your own shadow leaves you when you are in darkness"
~Ibn Taymiyyah~

Dalam kotak, 5:07 pm
Kangen tempat ini >_< 

Bungkus Buku

Saya bukan tipe manusia yang bisa mengerjakan sesuatu dengan rapi. Bila menggambar garis, selalu bengkok. Bila mengetik, selalu ada kata kekurangan huruf. Bila menulis, tulisan miring kiri kanan. Bila menyeduh teh, airnya tercecer kemana-mana. Bila minum, belepotan. Bila menginput data, ada kotak yang terlewat. Bila menghapus file, ada file lain yang ikut terhapus (ini ceroboh namanya). Satu-satunya pekerjaan yang bisa dengan rapi saya kerjakan, seingat saya, adalah membungkus buku.

Katanya, sesuatu yang dibiasakan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Dulu saya paling tidak suka membungkus buku. Ribet dan memakan banyak waktu. Bila guru memerintahkan agar catatan dibungkus rapi dengan kertas kopi, saya yang paling akhir mengerjakan. Itu pun karena sudah bosan ditegur. Saya tidak suka kertas kopi, buku catatan jadi terlihat membosankan dengan warna yang monoton.

Saya lupa kapan mulai rajin membungkus buku. Kebiasaan ini muncul setelah sadar buku pun harus dirawat dengan baik. Karena keseringan membungkus buku, lama kelamaan gerak tubuh saya seperti sudah disetting sedemikian rupa hingga setiap ada buku baru, saya tidak akan melakukan pekerjaan lain sebelum membungkusnya. Bahkan saya berikrar tidak akan membaca apalagi meminjamkannya bila si buku belum dibalut plastik bening. Si buku akan lebih aman dengan adanya pelindung.

Kebiasaan ini berimbas bukan hanya pada buku saya. Tapi juga pada buku orang lain yang saya pinjam. Saya sering gemas bila meminjam buku teman yang ternyata belum -atau memang tidak akan- dibungkus. Gemas itu campuran dari keinginan untuk segera membacanya dengan perasaan tidak tega karena belum dibungkus. Akhirnya, sebelum membaca, saya putuskan membungkusnya terlebih dahulu. Teman yang tahu kebiasaan ini malah dengan sengaja meminjamkan buku yang baru dibelinya dengan harapan bila kembali nanti, buku itu sudah dibungkus. Sungguh terlalu dia.

 

Sebelum plastik gulung kecil beredar di toko alat tulis, saya masih memakai plastik yang dijual per meter. Plastik ini biasanya digunakan sebagai lapisan atas meja makan. Membungkus satu buku memakai plastik meteran bisa memakan waktu lama. Plastik yang kusut karena dilipat harus dirapikan dulu dengan setrika. Suhu setrika harus pas. Menyetrikanya pun harus dilapisi dengan kain tipis agar plastik tidak terbakar. Setelah plastik rapi, barulah proses membungkus dimulai. Itu pun memerlukan kesabaran ekstra karena plastik yang panas lebih sulit diatur. Kini, dengan adanya plastik gulung berukuran kecil yang sudah disesuaikan dengan panjang buku, pekerjaan membungkus menjadi lebih praaktis. Terima kasih kepada pabrik plastik atas inovasinya.

Demonstrasi, Solusi Atau Polusi ?


 Kalau BBM naik, demonstrasi…

Ada tokoh kalah dalam pemilihan, demonstrasi…

Gaji tak kunjung naik, demonstrasi…

Keputusan pemerintah dianggap kurang tepat, demonstrasi…

Indonesia mulai akrab dengan aksi demonstrasi menjelang detik-detik lengsernya presiden RI ke-2 tahun 1998. Dimotori para politikus, mahasiswa, karyawan sampai rakyat biasa, aksi demo marak digelar di berbagai tempat khususnya di gedung pemerintahan. Bukan hanya mahasiswa saja, tetapi gerakan-gerakan islam juga ikut andil dalam aksi ini. Sehingga banyak kalangan menyimpulkan bahwa demonstrasi boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi, apa benar demonstrasi adalah solusi permasalahan di suatu negeri ? Atau tidakkah ia menjadi polusi yang justru membawa pada kerusakan ?

Buku kecil terbitan Darul Ilmi ini ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi. Dengan ketebalan yang imut 175 halaman, penulis mengulas secara ringkas bagaimana kedudukan demonstrasi dalam tinjauan islam. Sebelum memasuki isi materi, terlebih dahulu dijelaskan tiga masalah penting terkait pembahasan yaitu pentingnya keamanan negara, pentingnya taat kepada pemimpin dan perbedaan demokrasi dengan islam. Materi inti dibuka dengan memaparkan secara singkat sejarah demontrasi. Setelah itu masuk pada hukum demonstrasi beserta argumentasinya, fatwa ulama terkait demonstrasi serta jawaban dari beberapa syubhat terkait demonstrasi. Di penghujung buku dilengkapi solusi terbaik menghadapi fitnah.

Ada tiga masalah penting sebelum memasuki pembahasan mengenai demonstrasi. Pertama, urgensi keamanan negara. Keamanan merupakan kebutuhan primer suatu bangsa. Nabi Ibrahim sendiri lebih mendahulukan keamanan dibanding pangan dalam doanya (Q.S Al Baqarah : 126). Sebab, tak mungkin seseorang dapat menikmati kelezatan makanan bila diselimuti kecemasan dan ketakutan. Pada bagian ini penulis juga memaparkan beberapa kiat dalam meraih keamanan. 

Kedua, urgensi taat kepada pemimpin negara. Ada tiga perkara penting yang wajib dipikul seorang pemimpin Negara, yaitu menegakkan agama, melawan serangan musuh dari luar yang ingin menjajah dan mewujudkan kemanan dalam negeri. Syariat islam menekankan pentingnya taat kepada pemimpin dalam hal yang tidak bertentangan dengan agama. Ketidaktaatan kepada pemimpin menjadikan segala urusan berantakan. Nabi pernah bersabda : “Aku wasiatkan kalian dengan taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat pada pemimpin sekalipun dia adalah budak”

Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari sikap Imam Ahmad bin Hambal tatkala sebagian kalangan berkumpul di Baghdad mengeluhkan pemerintahan Al-Watsiq yang menyebarkan paham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan beterus terang bahwa mereka tidak setuju dengan kepemimpinan tersebut. Imam Ahmad yang berdialog dengan mereka berkata, “Ingkarilah dalam hati kalian, janganlah kalian memberontak, janganlah kalian menumpahkan darah kaum muslimin, pikirkanlah akibat perbuatan kalian dan bersabarlah sehingga Allah memberikan jalan keluar”. 

Ketiga, perbedaan demokrasi dan hukum islam. Demonstrasi adalah salah satu anak yang lahir dari rahim sistem demokrasi. Menurut pencetusnya, demokrasi adalah kekuasaan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan jelas penulis menjawab bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan hukum islam ditinjau dari beberapa segi seperti hukum dan undang-undang buatan manusia, partai dan perpecahan, kebebasan yang melampaui batas, suara mayoritas adalah standar dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Terkait poin suara mayoritas adalah standar, saya teringat kata-kata Prie GS dalam novel Ipung. Beliau berkata, demokrasi memang berarti kedaulatan di tangan orang banyak. Tapi kalau orang banyak itu edan semua, apa masih perlu demokrasi ?

Selanjutnya materi inti diantar dengan mengulas definisi dan sejarah demonstrasi. Menurut Kamus Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik persetujuan atau ketidaksetujuan akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster dan lain sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut. Demonstrasi tidak sama dengan idzharul quwwah (unjuk kekuatan) sebagaimana kata para ulama bahwa ukuran sesuatu itu adalah hakikatnya bukan sekadar nama belaka. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali pernah ditanya tentang pengaburan makna tersebut. Beliau menjawab dengan sebuah ungkapan : “Sa’ad mengembala unta dengan berselimut. Wahai Sa’ad, bukan seperti itu cara mengembala unta”. Demikian pula dikatakan kepada orang-orang yang unjuk kekuatan bahwa “Wahai saudaraku, engkau ingin unjuk kekuatan tapi dengan cara demonstrasi. Bukan seperti itu caranya unjuk kekuatan”

Demokrasi bermula dari pergolakan revolusi Perancis dengan slogan populernya, kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Perancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam UU berlabel Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Pasal 3 UU tersebut berbunyi : “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka”. Ketika Perancis menjajah dunia termasuk Negara-negara Arab sepert Mesir, Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, masuk jugalah sistem demokrasi ke negeri jajahan tersebut.

Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal di zaman Nabi tetapi bukan berarti tidak memiliki hukum dalam kacamata syariat. Seperti ucapan Imam Asy-Syafi’I bahwa tidak ada suatu masalah baru apapun yang menimpa seorang yang berilmu agama, kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya. Ada lima argumen yang dikemukakan penulis terkait tidak bolehnya demonstrasi. 

Pertama, demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama. Demonstrasi sering dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dalam ajaran islam padahal tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi. Meskipun faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada di zaman beliau seperti penyiksaaan, pembunuhan dan pemboikotan dari kaum Quraisy, tetapi Rasulullah beserta para sahabat tidak pernah berdemonstrasi ke rumah Abu Jahal dan orang musyrikin lainnya. Terkait hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan satu kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, yaitu “Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat” 

Kedua, demonstrasi termasuk tasyabbuh. Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafiq sejak dulu telah berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari Rasulullah, untuk membuat kekacauan pada masyarakat dengan mengatakan ‘Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang Muhajirin yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah) (Q.S Al-Munafiqun : 7)’” 

Ketiga, kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak. Ibnul Qayyim berkata, “Apabila seseorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah atau haram, maka hendaklah dia melihat mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Bila mengandung kerusakan yang lebih besar, sangatlah mustahil syariat islam memerintahkan atau membolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti…” 

Sebagian orang berkata, bukankah demonstrasi ada manfaat dan maslahatnya ? Adanya manfaat bukan berarti suatu perbuatan itu pasti benar. Tetapi lihat apakah hal itu diajarkan dalam agama atau tidak. Contohnya khamer dan judi. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah : Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Q.S. Al-Baqarah : 219). Dalam hal ini ada kaidah fiqih yang sangat terkenal yaitu “Membendung kerusakan itu lebih utama daripada mendapatkan kebaikan” 

Keempat, menyelisihi sunnah nabi dalam menasihati pemimpin. Pemimpin juga manusia biasa yang bisa salah. Kewajiban orang yang dipimpin adalah menasihati dan mengingatkannya. Tetapi cara menasihati pemimpin tidak sama dengan menasihati orang biasa. Islam punya rambu-rambu etika menasihati pemimpin agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya, kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah menunaikan kewajibannya” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, Hakim dishahihkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam riwayat Imam Bukhari-Muslim, Usamah bin Zaid pernah ditanya, “Tidakkah engkau menemui Utsman kemudian menasihatinya ?” Beliau menjawab, “Apakah kamu pikir saya menasihatinya harus memberitahumu ? Sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata, dan tak ingin membuka rahasia.” 

Kelima, jembatan menuju pemberontakan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membenci sesuatu pada pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia mati seperti matinya orang di masa jahiliyyah” (HR. Bukhari dan Muslim). Menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan senjata tetapi mencakup segala sarana yang menuju hal tersebut seperti mencela, menyebarkan kejelekan pemimpin, termasuk pula demosntrasi sebab manusia tidak akan memberontak pemimpin tanpa ada yang menyalakan api kebencian. 

Menurut Al-hafidz Ibnu Hajar, faktor utama terbunuhnya Utsman adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga sebagai yang mengangkat gubernur. Syaikh Shalih as-Sadlan pun berkata bahwa memberontak memang bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan kata-kata seperti tulisan di media, kaset ceramah, seminar yang isinya mengompori untuk memberontak.

Bagian tengah buku ini mengangkat fatwa-fatwa ulama tentang demonstrasi mulai dari fatwa Lajnah Da’imah Sudi Arabia, fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan murid-murid Syaikh Al-Albani. Inti dari fatwa-fatwa tersebut adalah tidak bolehnya melakukan demonstrasi karena bukan cara yang disyariatkan islam dan bukan pula solusi yang benar dalam memperbaiki dakwah. Selain itu ada beberapa syubhat yang dibahas seputar demonstrasi beserta jawaban syubat tersebut.   

Syubhat pertama : Demonstrasi merupakan jihad. Jawaban : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Al Qur’an dan sunnah penuh perintah jihad dan keutamaannya. Tetapi harus dibedakan antara jihad syar’i yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dengan jihad bid’ah. Tidak semua peperangan merupakan jihad syar’i seperti jawaban Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin Umar dan Imran bin Hushain ketika mereka ditanya mengapa tidak ikut perang (saat fitnah) ? Mereka menjawab, “Kami telah berperang sehingga tidak ada fitnah dan agama kecuali hanya bagi Allah, tetapi kalian menginginkan agar berperang sehingga muncul fitnah dan agama selain Allah”.

Hudzaifah pernah bertanya kepada Abu Musa, “Bagaimana menurutmu seorang yang keluar dengan pedangnya dengan mengharapkan wajah Allah, lalu dia berperang hingga mati, apakah dia masuk surga ?” Abu Musa menjawab, “Ya”. Hudzaifah mengatakan, “Tidak, namun apabila dia keluar dengan pedangnya mengharapkan wajah Allah kemudian sesuai dengan perintah Allah lalu terbunuh maka dia akan masuk surga”. Hasan al-Bashri pun pernah memperhatikan jihad suatu kaum lalu berkomentar, “Ternyata mereka menghasungkan pedang dalam kebid’ahan”.

Adapun hadits yang berbunyi bahwa jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang zhalim sama sekali tidak menguatkan aksi demonstrasi karena maksud hadits ini adalah seseorang yang berani menyampaikan kebenaran dengan berhadapan langsung dengan pemimpin tersebut, yang menujukkan bahwa dia berani menanggung risiko. Berbeda jauh dengan demonstrasi karena biasanya para demonstran penakut dan tidak berani berhadapan langsung dengan pemimpin. Hanya berteriak dan meraung dari jauh, mengumpulkan massa dalam jumlah banyak guna menjadi tameng bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sehingga risiko ditanggung bersama. 

Syubhat kedua, demonstrasi Umar dan Hamzah. Sebagian membolehkan aksi demo dengan dalil kisah Umar dan Hamzah yang keluar beramai-ramai mendatangi masjid. Namun, kisah yang terkenal ini tidak bisa dijadikan hujjah karena lemah sanad dan matan. Terdapat perawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya). Imam Bukhari berkata, “Para ulama meninggalkannya”. Imam Ahmad bahkan berkata, “Tidak halal meriwayatkan darinya”. 

Syubhat ketiga, Ibunda Aisyah juga demonstrasi. Sebagian pejuang demonstrasi berdalil dengan keluarnya Aisyah dalam perang jamal sebagai bolehnya wanita keluar dalam rangka menuntut kebenaran. Mungkin pejuang demonstrasi ini lupa akan firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu” (Q.S Al Ahzab : 33). Atau mungkin mereka tidak tahu bahwa keluarnya Aisyah tidak disetujui para sahabat lain. Ammar bin Yasir pernah berkata kepada Aisyah usai perang Jamal, “Alangkah jauhnya perjalanan ini dari kewajiban yang diwajibkan atas kalian!”  Kemudian Ammar mengutip firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (Q.S Al Ahzab : 33). 

Setelah itu, Aisyah menangis sejadi-jadinya atas keluarnya fitnah dan menyesali perbuatannya. Bahkan dengan penyesalan itu Aisyah enggan dikubur di rumahnya bersama Rasulullah karena telah melakukan dosa sepeninggal beliau.  Adz-Dzahabi berkomentar : “Maksud beliau dengan dosa adalah keluarnya dalam perang Jamal, sebab beliau sangat menyesal sekali dan bertaubat dari perbuatan tersebut, padahal beliau tidak melakukan hal itu kecuali niat kebaikan, sebagaimana ijtihad Thalhah bin Abdullah dan Zubair bin Awwam” 

Pada bagian akhir buku, penulis memaparkan kiat-kiat dalam menghadapi fitnah dengan cara bertaubat dan kembali kepada agama islam, taqwa, taat kepada pemimpin dan berpegang pada sunnah, berdoa, mengembalikan problematika kepada para ulama dan pemimpin, menjauhi fitnah dan tidak berkecimpung di dalamnya serta tidak tergesa-gesa dalam menghadapi suatu perkara.
14 December 2013

Melacak Kekafiran Berpikir


“Beraneka ragamnya jenis-jenis amal perbuatan, disebabkan oleh beraneka ragamnya pengaruh yang menggerakkan hati” 
~’Athailah as-Sukandari~ 

Setiap amalan dan perilaku manusia hakikatnya adalah cerminan isi hati dan kepalanya. Keyakinan dan pandangan hidup seseorang ditentukan oleh bagaimana ia menyerap dan menyaring ilmu serta pemahaman yang masuk. Input yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda. Pemahaman yang berbeda membentuk keyakinan yang berbeda pula. Keyakinan berbeda pada akhirnya melahirkan amalan yang juga berbeda. Orang yang meninggalkan shalat karena menganggap shalat tidak wajib berbeda dengan orang yang meninggalkan shalat karena keteteran atau terlambat bangun. Yang terlambat bangun punya rasa bersalah di hatinya, berbeda dengan yang menganggap tidak ada dosa meninggalkan shalat. Pun orang yang menghalalkan zina akan berbeda amalannya dengan orang yang meyakini keharaman zina. Pemahaman yang keliru ini semakin jelas mudharatnya bila dituangkan dalam bentuk kebijakan seperti pada Pekan Kondom Nasional beberapa waktu lalu.

Tema yang berat, pikir saya sewaktu mengikuti bedah buku ini di Baruga AP. Pettarani tahun 2008 lalu, masih setahun berlalu sejak pertama kali mengenyam bangku kuliah. Cetakan buku ini kala itu telah mencapai cetakan kesepuluh. Jadi memang terbilang sudah lama di dunia perbukuan. Tapi kesempatan menulis tentang buku ini baru sekarang bisa saya lakukan. Semula saya pikir buku ini hilang, ternyata hanya terselip di antara deretan buku lain.

Buku karya Drs. Muhammad Thalib ini cukup ringkas dengan tebal 172 halaman dan ukuran 12 x 20 cm. Materi-materi pokok di setiap bagian dipadatkan sehingga pembahasan menjadi kaya karena langsung menembak sasaran dengan contoh yang mudah dicerna. Sesuai dengan judulnya, buku ini ditujukan untuk melacak dan membongkar (kedengarannya seperti detektif, ya) kekafiran berpikir yang dilakukan kaum intelektual di kampus-kampus perguruan tinggi demi meluruskan aqidah dan membersihkan pemahaman tauhid generasi muda muslimin.

Sedikitnya ada sebelas kerangka berpikir yang dikritisi oleh penulis yaitu paham relativisme, paham zaman sebagai ukuran, manusia sebagai penguasa alam, sikap sains, asumsi sebagai aqidah, budaya kilowatt, personifikasi dalam sastra, positivisme, ideologi emansipasi, prinsip pragmatisme dan terakhir, paham plurlisme agama.

Relativisme sebagai paham kenisbian. Teori Einstein terkait alam semesta yang berprinsip bahwa gerak, ruang dan waktu adalah relatif. Lawannya adalah kemutlakan. Mengapa ada orang yang teguh berpendapat bahwa kebenaran yang ditemukan manusia bersifat relatif sehingga hakikatnya secara objektif tidak ada ? Ada tiga hal yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan ini. Pertama, apakah objek permasalahan itu bersifat mutlak atau relatif ? Kedua, permasalahan tersebut harus dipandang dari sudut yang sama dan dengan cara yang sama. Jika berbeda, maka tidak dapat dikatakan permasalahannya relatif. Ketiga, dalam setiap permasalahan harus dapat dibedakan apa yang disebut berlawanan, berlainan dan berbeda.

Berlawanan seperti hidup dan mati, seseorang hanya bisa berada pada satu sifat saja, hidup atau mati. Berlainan seperti kulit putih dan kulit hitam. Mustahil ada dua wana kulit melekat pada satu orang. Berbeda seperti guru dan murid. Keduanya bisa disandang oleh seseorang pada saat yang bersamaan. Dengan menganalisa hubungan suatu masalah dengan masalah lain berdasarkan kaidah ini (berlawanan, berlainan atau berbeda) akan diperoleh hasil “mutlak” dan “relatif”. Walaupun pada dasarnya, setiap masalah punya nilai mutlak, selama ditetapkan dari sudut pandang yang sama. Contoh sederhana, seseorang tdak mungkin dikatakan laki-laki dan perempuan pada saat yang sama, atau muda dan tua pada saat yang sama. Contoh lain, tindak pencurian. Selama dilihat dari segi larangan hukum, pencuri mutak salah. Bila ada yang berpendapat pencuri tidak bersalah, berarti pendapatnya mutlak salah, selama didasarkan pada larangan hukum. Pengecualian bagi pencuri hati (hohoho #intermezzo).

Zaman sebagai ukuran kebenaran. Atas dasar apa manusia menjadikan zaman sebagai ukuran sesuatu itu benar atau salah ? Zaman sendiri bersifat netral-nilai, tidak punya kekuatan membentuk dirinya sendiri karena itu tidak dapat dijadikan barometer dalam menetapkan salah atau benarnya suatu tindakan. Sifat zaman yang netral membuatnya baik manakala manusia melakukan kebaikan dan buruk bila manusia mengisinya dengan keburukan. Menjadikan zaman sebagai ukuran secara sadar atau pun tidak telah menempatkan Allah sebagai Tuhan tanpa kekuasaan apapun terhadap manusia dan alam semesta, seperti yang diucapkan filsuf Yunani, Aristoteles bahwa “Tuhan telah menciptakan alam semesta ini kemudian berhenti dan membiarkan alam ini berjalan menurut kehendaknya sendiri”. Padahal Allah tidak hanya menciptakan tetapi juga memelihara ciptaan-Nya. Allah adalah pemegang otoritas tertinggi terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, apapun yang dikerjakan manusia harus bersumber pada nilai bukan pada perubahan zaman yang hakikatnya cerminan perilaku manusia itu sendiri.

Contoh, korupsi, suap dan sejenisnya yang telah menjadi budaya di zaman ini tidaklah mengubah status tindakan tersebut dari salah menjadi benar meski banyak yang melakukannya. Contoh lain mengenai pembagian hukum waris laki-laki dan perempuan 2 : 1 memang telah diatur dalam Al Qur’an dan sampai kapan pun tidak akan berubah. Hukum tersebut dibuat bukan karena wanita zaman dulu tidak mengambil peran ekonomi aktif sehingga saat ini bisa diubah seenaknya dengan alasan kehendak zaman. Begitu pula aturan pakaian wanita, pergaulan pria dan wanita, transaksi hutang piutang dan berbagai aturan lainnya. Adapun masalah kemajuan teknologi yang merupakan tingkat berpikir manusia dalam mengolah alam, maka islam tidak pernah membatasi apalagi melarangnya. Yang menjadi masalah adalah kemampuan manusia dalam teknologi tidak boleh mengubah harkat dan esensi manusia dari fitrahnya dengan mengabaikan ajaran Allah.

Kerangka berpikir manusia sebagai penguasa alam juga berangsur-angsur akan menggeser konsep ketuhanan. Kemampuan manusia dalam sains dan teknologi menempatkan mereka sebagai sosok superioritas terhadap alam dan lingkungan. Padahal hakikatnya mereka hanya sampai pada taraf mengelola alam, bukan penguasa atau penakluk. Sains telah menggantungkan sembuh tidaknya seorang pasien kepada alat medis, bukan pada kehendak Allah. Modernisasi sains inilah yang mendorong orang semacam Nietzsche memproklamirkan bahwa Tuhan telah mati yang juga merupakan bukti adanya kekafiran dalam pemikiran sains.

Demikianlah tiga contoh dari sebelas kerangka berpikir yang dikupas dalam buku ini. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, paling tidak memancing ketertarikan untuk membaca. Jangan alergi dengan sebaris judul yang terdengar berat, insya Allah bermanfaat. Selamat membaca.
08 December 2013

Random Kegembiraan

Kegembiraan adalah sesuatu yang bisa dengan mudah ditemukan. Salah satu ciri masyarakat kita adalah mereka selalu punya modal untuk bergembira dalam berbagai keadaan. Entah dalam kondisi kekurangan, berkecukupan atau berkelebihan. Anak-anak penjual koran di dekat lampu merah, misalnya. Dengan pekerjaan yang penuh risiko, pakaian pudar warna, kesehatan yang terancam oleh polusi udara dan bising kendaraan, serta pendapatan yang tak seberapa, tak menghalangi mereka untuk bergembira. Cukuplah bermodal seutas tali, kemudian bergantian melompatinya, mereka sudah bisa melebarkan senyum. Kondisi yang serba kekurangan tak membuat mereka kehilangan dunia kanak-kanak, dunia bermain.

Remaja sekolah atau mahasiswa lain lagi. Jalan-jalan, makan, nonton, belanja atau bernyanyi adalah sejumlah aktivitas yang biasa dilakukan untuk memancing kegembiraan. Karena itu, tempat semacam mal, bioskop, rumah makan dan rumah bernyanyi tak pernah sepi dari pengunjung. Sepekan penuh berkutat dengan kuliah dan laporan membuat mereka ingin beristirahat. Dan istirahat tidak harus dilakukan dengan tidur atau berdiam diri. Istirahat yang dimaksud boleh jadi istirahat dari memikirkan kuliah dengan mengalihkannya pada hal lain. Namun, fasiltas yang dibutuhkan untuk memenuhi hal tersebut biasanya sulit dijangkau. Para pebisnis yang melihat peluang ini kemudian membangun mal, bioskop, dan rumah bernyanyi di sekitar kampus dengan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa tinggal di area itu sehingga hiburan dapat dengan mudah diperoleh tanpa harus jauh-jauh datang ke pusat kota. Tak heran bila saat ini rumah bernyanyi bisa dijangkau hanya dengan menyeberang jalan dari kampus.

Makan juga mengandung unsur kegembiraan. Makanan adalah kebutuhan paling dasar bagi tubuh. Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan di titik terbawah adalah mereka yang selalu dilanda kelaparan. Pertikaian mudah tersulut ketika orang menjadi gampang marah. Dan orang menjadi gampang marah ketika sedang kelaparan. Karenanya ada yang mengatakan bahwa makan adalah salah satu sumber kebahagiaan. Saking pentingnya urusan makanan sampai-sampai hakim pun dilarang memutuskan perkara dalam keadaan lapar.

Kecenderungan manusia yang serba praktis membuat rumah makan menjadi tempat yang paling mudah ditemui dan paling sering dikunjungi selain SPBU dan mini market. Tak heran bila setiap kali ada ajakan dari teman kebanyakan adalah ajakan makan. Tak heran pula bila seseorang baru saja lulus, baru dapat gaji atau baru terima beasiswa maka permintaan paling umum dari orang-orang sekelilingnya adalah traktiran makan. Pada situasi yang berbeda, kegembiraan bisa berasal dari sisa makanan. Tengok saja kedai kampus. Di sana bisa dijumpai anak-anak peminta sumbangan yang begitu senang dapat jatah sisa makanan para pengunjung. Sisa-sisa itu dikumpulkan lalu dimakan bersama di bawah tangga. Status makanan tersebut bukan masalah bagi mereka, selama bisa dijadikan pengganjal perut-perut yang lapar. Dan bersyukurlah kita yang masih bisa makan dengan cara yang lebih layak.

Bermodal sekotak TV pun bisa ditemukan bermacam kegembiraan. Mulai dari iklan yang lucu, kreatif sampai yang garing, sinetron, FTV, film box office, acara memasak sampai acara jalan-jalan disajikan lengkap di setiap kanal sejak pagi hingga pagi kembali. Selain itu ada program lawak yang memang khusus dibuat untuk memancing tawa. Mulai dari seorang jomblo yang menceritakan malam minggunya, para wayang yang dipimpin seorang dalang sampai lelucon slapstik bedak tabur. Namun, seringnya lelucon slapstik ini mengabaikan adab-adab dengan menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan lawakan. Lelucon pun menjadi paradoks, lucu bagi penonton dan penderitaan bagi yang dijadikan lelucon. Sederhananya, bergembira di atas penderitaan orang lain. Lebih lugas dipaparkan oleh dosen saya bahwa tabiat manusia memang senang melihat orang lain menderita. Bila kau melihat temanmu jatuh dari atas becak, kata beliau, jujur saja kau pasti akan tertawa lebih dahulu sebelum menolongnya.

Aksi demonstran pun bisa menjadi sumber kegembiraan. Mahasiswa yang berhasil memblokir jalan mungkin gembira dengan aksi mereka tanpa peduli betapa banyak pengguna jalan menderita karenanya. Demikian pula tawuran antar fakultas yang membuat kampus diliburkan tiga hari. Mahasiswa yang terlibat tawuran terbaring penuh luka di rumah sakit, di sebuah ruang kerja, seorang dekan sedang memijat kening memikirkan jalan keluar, dan di tempat lain, mahasiswa bersorak diberi hadiah libur tiga hari. Satu kata libur sudah cukup untuk menarik kegembiraan. Apalagi tiga hari berturut-turut.

Bila sedang jalan dengan sepupu, saya pun tak lepas dari hal-hal semacam ini. Kami bisa menertawakan berbagai hal, iklan di pinggir jalan, model motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, model pakaian yang dipajang di etalase toko, kesalahan penulisan di spanduk sebuah salon atau warung makan, dan berbagai hal lain yag ditemui selama perjalanan. 

Pada situasi yang lain, kegembiraan bisa menjadi begitu sederhana. Cukup berkumpul dalam sebuah lingkaran kecil di akhir pekan, berbagi makanan yang dibawa dari rumah, saling cek hafalan lalu mendengarkan materi. Lebih sederhana lagi, kadang saya tidak perlu melakukan apapun selain mendengar. Suara ibu yang bertanya kabar lewat telepon, yang dilakukan hanya sekali atau dua kali dalam sebulan bisa meningkatkan interval kegembiraan saya beberapa persen.
23 November 2013

Satu Dekade

Suatu ketika kau menjelma embun
Bulir-bulir dingin yang mengalir di pangkal pagi

Suatu ketika kau menjelma hujan
Butiran-butiran kecil yang melukis warna pelangi

Kali lain kau menjelma malam
Pecahan gelap penuh rahasia
Temaram dan tak terbaca

Lain waktu kau menjelma angin
Berhembus di kaca jendela
Bersandar di kelopak mata

Lain waktu kau menjelma puisi
Terselip di laci meja
Bait-baitnya tak berima
Tutur katanya tak biasa

Kini, kau menjelma rindu
Pada separuh pagi yang teduh
Terapung di permukaan teh yang kuseduh
17 November 2013

Jaring-jaring Kekerabatan


Kamar, kampus dan rumah sakit. Belakangan, aktivitas saya berotasi di tiga tempat itu. Kakek sedang dirawat di rumah sakit. Dua hari sekali saya dan sepupu datang menjenguk beliau. Sebenarnya saya tidak begitu dekat dengan kakek yang merupakan kakak tertua nenek dari pihak ibu. Beliau sudah hidup puluhan tahun di kota lain, terpisah dari kota kami. Terakhir kali saya ke berkunjung ke rumahnya adalah ketika sedang PBL 1 tahun 2009.

Selama membesuk kakek, saya jadi tahu banyak tentang jaring-jaring kekerabatan yang menghubungkan satu dengan lainnya. Dan betapa rumitnya jaring-jaring itu. Saat ini saja, saya punya tante yang umurnya lebih muda lima tahun. Oleh para sepupu, ia kerap dipanggil tante kecil. Lucunya bila jaring itu diperluas, panggilannya dari “tante” bisa berubah jadi “nenek”, karena sepupu yang sudah menikah masing-masing juga sudah punya anak. Berarti hubungan antara anak-anak itu dan tante kecil melebar satu tingkat menjadi cucu dan nenek. Si “nenek” sendiri belum menikah, malah masih berstatus mahasiswa baru, tapi cucunya sudah ada sebelas. Ah, betapa…(-_-‘)

Sepulang menjenguk kakek, sepupu saya menyempatkan diri menginap di kos. Dia salah satu sepupu yang lumayan akrab dengan saya, walau kami punya penyakit kronis yang sama: penyendiri. Karenanya, ketika sedang bersama, ada banyak cerita yang bisa dipertukarkan. Ceritanya panjang lebar dan berpindah-pindah. Mulai dari silsilah keluarga, keseharian di rumah sampai urusan kuliah.

Dia bercerita tentang dua orang dosen yang mengajarinya selama dua tahun. Salah satu hal yang sering diceritakan para dosen kepada mahasiswa di sela-sela kuliah adalah pengalaman mereka selama belajar di luar negeri, atau kisah perjalanannya ke berbagai negara, atau sampai masuk ke tingkat rumah tangganya. Tapi tidak demikian halnya dengan dosen tersebut. Selama mengajar, beliau sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah menceritakan dirinya, dimana ia kuliah, di mana ia meraih deretan gelarnya. Tidak pernah. Sehingga para mahasiswa mengira dosen tersebut mungkin hanya lulusan biasa. Nanti di kemudian hari barulah mereka tahu dari cerita dosen lain bahwa dosen tersebut mengambil gelar master, doktor dan profesornya di Inggris serta pernah menjabat ketua ikatan blablabla. Dosen lain punya cerita yang berbeda pula. Pakaiannya biasa, kapasitas ponselnya hanya untuk komunikasi dan senter, laptopnya bukan merek dengan gambar buah yang habis digigit, ranselnya robek dan kemana-mana suka memakai topi butut. Tapi bila ditelusuri riwayat pendidikannya, beliau adalah ahli IT lulusan Jepang dan dapat penghargaan di sana. Namun demikian penampilannya bersahaja. Sementara itu ada juga sebagian dosen yang getol menceritakan riwayat pendidikannya, negara mana saja yang pernah ia kunjungi, perjalanan karirnya, ketua ini-itu, tapi metodenya mentransfer ilmu di kelas membosankan bukan main.

Ceritanya ditutup dengan kisah ketika dia menjalani ujian tesis. Sehari sebelumnya ada anak profesor yang juga ikut ujian. Namun tak satu pun pertanyaan penguji mampu dia jawab. Bila ditanya, ia malah melempar pandangan ke arah pembimbing satu, meminta bantuan. Jadi selama ujian berlangsung, si pembimbing satulah yang terus menerus menjawab pertanyaan. Lucunya, nilai akhir yang diberikan oleh para penguji adalah di atas 90. Kejadian ini membuat mahasiswa lain kecewa. Di hari berikutnya, ketika sepupu saya ujian, perdebatan sengit berlangsung antara dirinya dan penguji yang notabene ayah dari mahasiswa yang ujian sebelumnya. Penonton yang terdiri dari mahasiswa memenuhi ruang ujian. Selama ujian itu, ia mampu menjawab semua pertanyaan dengan dalil-dalil dari referensi yang ia baca. Namun ketika nilai akhir keluar, dia hanya pasrah dengan nilai 87. Omong kosong dengan nilai, kata sepupu saya. Selama kau anak dosen, terlebih bila orangtuamu guru besar yang dikenal, tak peduli bagaimana isi otakmu, nilaimu tetap bisa lebih dri 90. Itulah hebatnya adat-istiadat dalam urusan rekan sejawat. 

Kembali ke kakek, Selama menjenguk beliau, saya tersadar satu hal. Kakek salah satu orang beruntung yang menjalani masa tua. Maksudku, di masa ketidakmampuannya kini, ia beruntung dikelilingi anak-anak, menantu, keponakan dan para cucu yang siap membantunya. Mereka bergantian memapah kakek keluar masuk toilet untuk wudhu dan buang air. mereka bergantian menuntunnya shalat dan bergantian membantunya makan. Tiba-tiba saya bergidik membayangkan seorang penyendiri berada di posisi kakek. Si penyendiri itu tertatih berjalan ke toilet tanpa ada yang membantu. Susah payah menyuapkan sendok ke mulutnya sendiri. Berbaring menahan sakit tanpa ada yang menemani. Kamarnya sunyi tanpa satupun keluarga yang menjaga. Lambat laun kengerian itu berubah menjadi ketakutan. Ketakutan yang menuntun saya pada sebuah doa. “Ya Allah, jauhkanlah kami dari penderitaan masa tua”
21 October 2013

Menghambur

“Bila kau tak bisa mengekspresikan sesuatu, berarti sesuatu itu tak pernah ada” 

Sepekan terakhir ini saya menamatkan dua novel terjemahan yang ditulis tahun 1979. Setelahnya, selama beberapa hari, saya kembali seperti mengambang. Satu hal yang saya syukuri adalah bahwa saya baru membacanya sekarang, bukan tujuh atau delapan tahun lalu. Saat saya tak tahu apa-apa, tak punya apa-apa. Seperti melangkah menyusuri jalan lengang di malam hari dan di sekeliling dipenuhi rumah-rumah kosong dengan pintu tertutup rapat.

Novel itu bercerita mengenai masa muda yang penuh konflik dan tak punya bayangan tentang masa depan. Konflik yang berakar dari dalam diri manusia sendiri. Kekosongan yang bersumber dari kebingungan akan makna hidup. Walau latar budayanya jauh berbeda, tapi konflik dan kebingungan yang muncul dalam diri kurang lebih mirip.

Selama membaca penuturan penulis, beberapa kali saya harus mengambil jeda karena satu per satu kepingan ingatan bermunculan seperti slide presentasi di permukaan layar. Kadang, kalimat-kalimatnya membuat saya harus keluar mencuci muka karena mata mulai kabur oleh kabut. Sama seperti ketika membaca serial Pengantin Demos, cerita yang banyak memperlihatkan warna hati dan sisi gelap manusia. Sayangnya serial itu menggantung di jilid 17. Sudah lebih dari satu dekade namun si penulis belum juga menyelesaikan ceritanya.

Saya tidak tahu bagaimana mengekspresikannya dengan baik. Tapi seperti ada sesuatu yang ditarik dengan cara yang menyakitkan. Seperti ada yang baru saja menyibak ruang-ruang kosong yang saya sadari namun tak ingin diakui. Ruang kosong yang berusaha ditutupi dari dunia luar. Sunyi dan tak tersentuh. Dari ruang itu keluar bermacam-macam kesedihan, rasa sakit –dan kadang-kadang, rindu- akan sesuatu yang tak terdeteksi dari mana dan harus kemana. Kekosongan yang mengingatkan pada rawa-rawa gelap tempat Demos sering menyendiri. Kekosongan yang membuat saya mulai menjadikan langit sebagai pelarian. Bermonolog dalam hati di depan bulan. 

Ada fase dimana saya ingin pergi ke suatu tempat yang tak seorang pun saya kenal. Memulai segalanya dari awal. Inilah sedikit yang membuat saya cukup menikmati perjalanan enam hari. Setiap ada kesempatan, saya akan memisahkan diri dari rombongan. Berjalan sendiri dengan kamera di tangan. Bebas. Tak ada rasa canggung. Langkah kaki juga lebih ringan. Bebas di tengah keterasingan, kira-kira begitulah. Jika nanti bisa lagi bepergian jauh, saya akan melakukannya bertiga atau berempat saja. Tak perlu dalam rombongan berjumlah banyak.

Universitas dan jurusan yang saya pilih enam tahun lalu pun, selain karena minat, juga karena sedikit teman sekolah yang masuk jurusan itu. Memulai segalanya dari awal, adalah keputusan yang saya eksekusi jauh sebelum ujian nasional. Terdengar konyol. Tapi justru di tempat inilah saya menemukan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang memberi saya ketenangan sejati dalam lingkaran kecil. Bukan kesenangan semu seperti masa sebelumnya yang sepulang menghabiskan waktu di luar justru tak bisa memejamkan mata hingga fajar tiba. Mungkin nanti, saya akan pergi lagi ke suatu tempat yang asing dan memulai semuanya dari awal lagi. Entah akan berakhir di mana, tak ada yang tahu. Seorang teman pernah berkunjung ke kamar dan berkomentar bahwa kamar saya terlalu simple. Seakan-akan suatu hari kau bisa pulang sebentar, mengambil tas lalu pergi dan tak kembali lagi. Saya tersenyum dan membenarkan dalam hati. 

Saya tetaplah saya, yang punya mistar kecil untuk mengukur jarak. Dengan siapapun. Dalam hal apapun. Ada hal-hal yang mungkin tak bisa berubah. Terkadang saya menulis tentang masa ketika masih berusia belasan. Sekadar berkunjung dan menyapa diri sendiri di masa itu. Seperti menonton tingkah anak kecil yang sibuk dengan dunianya.

Terakhir, tulisan ini tidak punya fokus ke satu tema. Malah tampak menghambur ke mana-mana. Hanya berusaha mengekspresikan apa yang saya rasa. Di dalam sudah terlalu sesak. Sungguh. Dan sepertinya saya harus mengurangi kebiasaan menulis di malam hari. Malam seperti punya kekuatan menghasilkan kalimat-kalimat yang pekat dalam tulisan.
18 October 2013

Idul Adha 1434 H

Alhamdulillah, lagi-lagi lebaran idul adha tahun ini bisa saya rayakan bersama keluarga di kampung. Ada lima hari waktu libur yang diberikan tapi kalau dihitung bersih hanya tiga hari karena hari pertama dan terakhir sebagian besar habis diperjalanan. Belakangan ini saya sulit menulis. Tak tahu kenapa. Padahal di kepala sudah bertumpuk berbagai hal yang ingin saya tuliskan. Tapi begitu membuka laptop, tiba-tiba tumpukan itu hilang begitu saja. Seperti tulisan di atas pasir yang dihapus air laut. Jejak samar-samarnya memang masih ada, tapi itu tidak cukup untuk membuat saya lanjut menulis. Kalau sudah begitu saya memilih beralih membaca atau melakukan hal lain.

Lebaran Idul adha tidak begitu ramai seperti halnya idul fitri, karena beberapa orang tak punya waktu libur tambahan jadi tidak bisa kembali ke kampung halaman. Barisan jamaah laki-laki yang biasanya memenuhi setengah lapangan saat idul fitri kini berkurang beberapa shaf. Beberapa anggota sepupu juga tidak pulang sehingga silaturahim tidak seheboh biasanya. Untunglah ada para keponakan yang cerewet jadi suasana sepi tidak terlalu terasa.



Selepas shalat ied di lapangan, saya ikut orangtua ke rumah tante, tempat para hewan kurban menunggu giliran eksekusi. Setelahnya saya diserahi tugas berkeliling mengantar daging tersebut sesuai alamat rumah yang diberikan. Lewat tengah hari tugas saya sudah selesai. Siang hari cuaca di kampung panas. Duduk diam saja tanpa melakukan apa-apa keringat tetap bercucuran. Rasanya ingin nyemplung ke kolam berisi air dingin.

Menjelang maghrib sekitar pukul lima lewat saya pergi berburu matahari sore di pinggir pantai, karena keesokan harinya sudah harus kembali lagi ke Makassar. Pantai yang di hari-hari biasa ramai oleh penjual ikan mendadak sepi. Hanya dua tiga orang terlihat berjalan sambil memotret senja. Beberapa anak terlihat sibuk bermain perahu dan berenang di laut. Di pantai saya bertemu teman yang juga melakukan hal yang sama : berburu matahari sore karena besok pagi harus kembali lagi ke kota. Sunset di Selayar memang yang paling keren, kata teman saya. Tentu ada banyak tempat di dunia yang menjadi spot melihat matahari terbenam. Ada banyak tempat di dunia yang lebih bagus dibanding kampung saya. Tapi dibandingkan tempat-tempat yang sudah dikunjungi, saya setuju dengan pendapat teman saya. Saya belum mendapati tempat di mana matahari terbenam begitu indah selain di tempat itu. Yah, mungkin saya harus lebih sering bepergian mencarinya. Tapi untuk sementara, tempat itulah yang terbaik.



Ngomong-ngomong, tak tahu kenapa tapi sepertinya langit di kota saya terlihat lebih dekat dari bumi. Sudah lama saya perhatikan begitu. Seolah-olah bila naik ke atas pohon kelapa dan mengangkat tangan, kau sudah bisa menyentuh gumpalan awan. Sementara langit di kota daeng berwarna pucat kelabu dan terlihat sangat jauh. Mungkin karena kampung saya dikelilingi bukit sehingga bila matahari atau bulan muncul dari baliknya, langit jadi kelihatan lebih dekat. Sementara di kota ada banyak gedung tinggi, jadinya langit terlihat sangat jauh.

Sore ini saya sempat memotret langit di belakang rumah kos. Membara seperti api.

26 September 2013

Perjalanan Enam Hari

There is always first time for everything 

Kalimat tersebut melintas di kepala ketika memasuki badan pesawat. Seumur-umur saya belum pernah melakukan perjalanan lewat udara. Walaupun di kampung terdapat bandara, tapi bila pulang saya lebih memilih naik kapal laut. Perjalanan kali ini memang akan lebih jauh dari biasanya. Dan selama beberapa hari ke depan saya akan sering-sering bertemu dengan kalimat “Pertama kali”. Setelah menemukan kursi bernomor 25A, saya berusaha tenang sembari mengatur napas. Berbagai peristiwa naas yang menimpa pesawat mau tidak mau membuat saya khawatir juga. Beruntungnya, ada doa berkendaraan ketika safar dalam majalah Ar Risalah terbitan bulan lalu. 



Sekitar tiga jam berikutnya pesawat mendarat di bandara internasional Changi Singapura. Perjalanan dilanjutkan ke Merlion Park dan Bugis Junction. Kemudian berkeliling sebentar di Orchard Road. Yang patut diacungi jempol dari negara ini adalah tata kota, kebersihan dan ketertibannya. Tidak ada kemacetan. Semua berlangsung tertib. Dan dingin. Yah, jujur saja saya tidak begitu tenang berada di sana. Rasa-rasanya ingin cepat pergi. Seorang teman seperjalanan sempat berkomentar begini, “Di mana-mana feel-nya sama ya”. Begitulah.




Negara ini sejuk, selain karena pengaruh hujan, pohon-pohon juga tertata rapi di sepanjang jalan. Negara ini bersih, bahkan dalam kondisi hujan pun kaos kaki putih yang saya pakai bersih dari lumpur. Padahal di hari hujan saat jalan kaki ke kampus, baru sepuluh langkah berjalan, kaos kaki sudah tertutupi cipratan lumpur. Tata kotanya bagus, mereka memanfaatkan lahan sempit untuk membangun rumah susun puluhan tingkat. Sehingga dimana-mana yang nampak adalah bangunan tinggi. Tapi inilah yang membuat saya sesak. Ke mana pun mata memandang, yang terlihat hanyalah sentuhan teknologi. Tak ada bukit, tak ada pegunungan, tak ada hutan. Saya baru sedikit lega saat bus melewati perbatasan Singapura-Malaysia, ketika perkebunan kelapa sawit, hutan dan pegunungan mulai terlihat dari kejauhan. Setelah melewati bagian imigrasi, bus membawa kami singgah di Restaurant Lucky Garden untuk makan malam kemudian lanjut menuju Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur kami menginap di Hotel Putri Park.

Keesokan paginya kami mengunjungi Istana Negara. Istana ini dijaga oleh pengawal berkuda berseragam merah. Sikapnya kaku, pandangannya lurus ke depan, tak menghiraukan teman-teman saya yang sibuk mengambil gambar bersamanya. Namun, saya tak bisa menahan senyum saat menemukan dia sedikit gugup ketika salah seorang teman berpose di depannya menyerupai gaya model. Pengawal itu hanya melirik sebentar dan kembali ke sikapnya semula.



Satu jam berlalu. Perjalanan dilanjutkan menuju Butik Coklat. Berbagai varian coklat ada di sana mulai dari coklat rasa mangga, coklat rasa durian, coklat rasa mint, coklat rasa stroberi, coklat rasa kopi, coklat putih sampai coklat rasa pedas. Rasa ngiler datang menyerang begitu melihat coklat-coklat tersebut terpajang dalam lemari kaca. Akhirnya, saya keluar dari toko ini dengan beberapa kotak coklat untuk oleh-oleh keluarga di rumah.





Selanjutnya kami dibawa menuju Suria Shopping Complex. Di tempat ini pertama kalinya saya menyaksikan secara live apa yang disebut “Belanja Gila”. Bermula ketika sebagian teman mondar-mandir mencari letak toko dengan label brand yang katanya tidak ada di Makassar. Saya yang tidak paham fashion ngikut saja. Tiba-tiba salah seorang teman berteriak menunjuk satu toko yang pintunya masih tertutup. Kami mengikuti arah telunjuknya dan menemukan nama brand yang sudah dicari-cari sejak tadi. Tapi toko itu belum buka. Pegawainya pun terlihat baru bersiap-siap. Tapi demi melihat puluhan pembeli sudah mengepung toko tersebut, mereka pun buru-buru membuka pintu.

Pintu yang baru terbuka setengah, langsung diserbu oleh teman-teman saya. Mereka berdesak-desakan di pintu masuk dan mulai menjamah berbagai sepatu dan sandal. Salah satu dosen saya bahkan ikut dalam gerombolan itu demi oleh-oleh sepatu sang istri di rumah. Saya terbengong-bengong melihatnya. Tapi segera sadar situasi. Saya membuka daftar pesanan dalam note kecil yang selalu saya bawa. Ada satu barang yang jauh-jauh hari dipesan ibu. Tas. Ibu penyuka tas. Saya celingak-celinguk mencari toko tas. Dengan menyeret seorang teman yang paham fashion, kami keluar-masuk berbagai toko tas. Hingga akhirnya teman saya menunjuk ke rak paling atas, pada sebuah tas warna merah yang harganya membuat mata saya melotot. Walaupun rada-rada sakit hati dengan harganya tapi bila terbayang wajah senang ibu, itu tak ada artinya. Akhirnya melayanglah lembaran-lembaran ringgit dari dompet. Dan entah kenapa, saya merasa puas. Mungkin kepuasan semacam inilah yang terjadi pada orang-orang yang suka belanja.

Saat kembali ke toko sebelumnya, ternyata kesibukan di sana belum berkurang. Teman-teman saya masih sibuk memilih sepatu. Saya menunggu mereka selesai sambil mengutak-atik foto-foto di kamera. Satu jam kemudian mereka pun keluar dari toko dengan berkantong-kantong plastik di kedua tangan.

Bus kembali melaju menuju kawasan wisata Genting Highlands yang terletak cukup jauh dari Kuala Lumpur. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan untuk sampai ke sana. Di Genting Highlands, kami naik gondola menuju gedung tinggi yang terletak di puncak bukit. Di sana terdapat berbagai wahana bermain, toko pakaian dan toko souvenir.





Ngomong-ngomong, di sana saya bertemu Takeshi Kaneshiro…dalam bentuk gambar. Hehehe…


Sore harinya, setelah wisata di Genting Highlands berakhir, bus berangkat menuju bandara. Dua setengah jam berikutnya, kaki saya sudah menginjak kota Bangkok. Beberapa hari sebelum berangkat, teman dan sepupu sudah memberikan daftar pesanan selama saya berada di Thailand. Pesanan mereka mulai dari yang wajar-wajar seperti dompet, baju dan jam tangan, sampai pesanan yang aneh-aneh semisal minta dibawakan Ratchanok Inthanon, Rattapoom Tokongsub dan Mario Maurer. Silakan cari di Google tentang ketiga makhluk ini.

Selama dua hari di Bangkok, pagi-sore  kami mengikuti pelatihan kegawatdaruratan di Mahidol University. Lalu sore hari dipakai untuk jalan-jalan ke MBK. Di MBK terjadi peristiwa “Belanja Gila” tahap kedua. Saya pun kembali membuka daftar pesanan dari ayah, adik dan para tante. Perburuan dimulai lagi.

Malam berikutnya kami mampir ke Asiatique, tempat nongkrongnya anak muda. Di tempat ini banyak dijual souvenir dan barang-barang unik buatan tangan. Satu tas ransel handmade bisa mencapai 6000 baht. Selain itu, ada satu hiasan berbentuk bulan sabit yang membuat saya naksir. Sayangnya, harganya pun secantik barangnya.


Di Asiatique juga terdapat bianglala. Saya setengah berlari menuju wahana ini karena salah seorang teman mengatakan bahwa waktu yang tersisa dari jadwal tinggal 30 menit lagi. Harga tiket bianglala untuk orang dewasa 250 baht dan untuk anak-anak 150 baht.





Keesokan harinya kami mengunjungi Wat Arun. Kembali terjadi “Belanja Gila” tahap ketiga setelah si pemandu yang kami panggil Miss M mengaku bahwa baju murah sedunia ada di Wat Arun. Kali ini saya membuka daftar pesanan para sepupu dan keponakan. Menjelang sore kami berangkat menuju Pattaya. 



Bus tiba di Pattaya pukul setengah tujuh. Sebagian singgah jalan-jalan di pantai. Beberapa yang lain masuk ke salah satu toko berbelanja. Sisanya termasuk saya menunggu dalam bus. Saya tidak berani ikut ke pantai. Banyak “polusi” di sana. Pattaya merupakan kota yang mendapat perlakukan khusus dalam penerapan undang-undang di Thailand. Semakin larut malam, Pattaya terlihat semakin hidup. Kota ini identik dengan pesta dan hura-hura. Tak heran banyak turis mancanegara yang berkunjung ke sana. Ngomong-ngomong tentang turis, kebanyakan turis yang saya temui adalah orang Rusia.




Keesokan harinya kami mengunjungi Gems Gallery, toko perhiasan yang membuat mata saya bling-bling dengan berbagai jenis permatanya. Setelah itu kami mengunjungi peternakan lebah dan lanjut ke Nongnooch Village menonton tarian tradisional dan aksi kawanan gajah di Thai Cultural Show House. Dari Nongnooch kami mengunjungi Laser Buddha Mountain dan Silver Lake Grape Farm.















Menjelang maghrib kami kembali ke Bangkok dan menginap semalam di sana. Malam itu untuk pertama kalinya selama di Thailand saya mendengar suara adzan dari corong masjid. Sebelum tidur saya nitip dibelikan satu lembar Jersey pada teman yang akan pergi belanja, mengingat ada penggila Barcelona yang terparkir di Makassar. Esok paginya kami kembali ke Makassar setelah terlebih dahulu transit di bandara Kuala Lumpur.
 
;