27 June 2014

Ramadhan, Nasi Goreng dan Kepala Suku

Ingatan akan orang yang pernah membersamai kita seringkali tertelan oleh kesibukan sehari-hari. Ingatan itu baru muncul ketika ada momen yang memancingnya. Seperti hari ini. Saya baru tiba di kos. Baru mau masuk kamar ketika teman kos mencegat di depan pintu dan tanya dimana nantinya saya buka puasa pertama ? Dia mengajak penghuni yang tidak pulang kampung untuk  buka bersama di kos. Biar rame, katanya. Saya menggeleng tidak tahu. Memang belum ada rencana dimana akan buka puasa. Mungkin bareng sepupu, mungkin dengan teman kampus, mungkin dengan teman kos atau mungkin buka puasa sendiri di jalan. Tergantung situasi nanti. 

Ramadhan tinggal hitungan jam. Dan saya teringat lagi dengan para penghuni kos yang sebelumnya saya tinggali. Pondok Istiqomah namanya. Satu demi satu mereka menyebar ke berbagai daerah. Pondok itu menyimpan ingatan tersendiri di laci kepala saya. Yang paling teringat adalah Misi Penghematan Ekstrim yang dijalankan berdua oleh saya dan “kepala suku”. Saat itu masa-masa ‘paceklik’. Agar tetap survive sampai bulan berikutnya, nyaris dua minggu kami hanya makan nasi dan sambal botol. Kami patungan membeli sebotol bumbu nasi goreng untuk persediaan beberapa hari. Di rumah, nasi yang sudah matang kemudian diolah menjadi nasi goreng dengan bumbu botol tadi. Lalu dimakan tanpa lauk, hanya tambahan rasa pedas dari sambal botol. Selama berhari-hari, siang dan malam kami makan itu terus. Kadang malah sebungkus mie instan dimakan berdua. Hasilnya luar biasa, saya bisa menghemat sampai lima puluh persen. Tapi gara-gara itu juga, selama beberapa waktu saya tidak menyentuh nasi goreng. Eneg rasanya. Terharu juga kalau diingat lagi. Tapi disitulah momen yang kurasa paling berkesan. 

Walaupun terpisah, tapi pernah bertemu di aliran sungai yang sama. Bukankah itu sudah cukup ? Kata-kata yang diambil dari buku ini selalu menjadi penghibur bagi saya setiap kali ada yang pergi. Ketika kos semakin sepi karena hanya tersisa empat orang, dia selalu menjadi imam shalat. Karena itu dia dipanggil kepala suku. Kamarnya juga sering jadi tempat nongkrong, tempat sahur dan berbuka, dan tempat mengungsi jika pertengahan hari kamar saya berubah jadi oven dadakan karena terpanggang matahari. Terakhir saya dapat kabar kalau dia bekerja di Bogor, dekat kampus IPB. 

Dia berani keluar dari zona nyaman. Berjuang, jatuh, lalu berjuang lagi. Mendatangi tempat-tempat asing, bekerja keras, hidup sendirian, jauh dari kerabat dan orang-orang dekat. Saya tidak tahu apa bisa bertahan bila berada di posisinya. Ustadz Abu ‘Umar Basyir menulis dalam dalam bukunya, Sandiwara Langit, bahwa orang yang bekerja keras memang belum tentu mendapat rezeki berlimpah. Tapi Allah menyukai orang-orang yang bekerja dan berusaha lebih keras dibanding yang lain. 

Untuk kepala suku Istiqomers, berusahalah yang terbaik. Jangan lupa untuk sesekali memberi kabar dari sana. Semoga Allah selalu melindungi dan menguatkanmu di mana pun berada. Salam Ultraman :P
25 June 2014

Gara-gara Sinetron

Salah satu novel Asma Nadia diangkat ke layar kaca dan menjadi tontonan yang saat ini digemari banyak orang. Saya belum baca novelnya, juga tidak mengikuti serialnya. Tapi waktu nginap di rumah sepupu, saya ikut menemaninya nonton. Berhubung tidak paham jalan cerita dan berhubung sepupu sudah baca novelnya jauh sebelum difilmkan, maka dia pun menjadi narasumber. Dialog pemain di TV bersaing dengan tanya jawab antara saya dan sepupu. Mana pemeran utamanya ? Itu siapa ? Masalah keluarganya apa ? Kalau itu siapa ? Cerita di TV sejalan dengan novel tidak ? Akhirnya bagaimana ? Lama-lama sepupu terganggu juga dengan rentetan pertanyaan itu. Jadi saya tutup mulut dan ngikut saja cerita di TV. Ketika scene menampilkan si suami yang berusaha menutupi hubungannya dengan seorang bawahan di kantor dari istrinya, saya melirik sepupu. Menunggu komentar. Biasanya kalau melihat hal-hal semacam itu akan ada komentar sinis yang ikut. 

“Laki-laki memang tidak ada yang baik”

Tuh, kan. Apa saya bilang ? Dia selalu sinis kalau bicara tentang pernikahan dan problematikanya. Karena itu saya menjulukinya Ratu Sinis Pernikahan. Mungkin karena dia sering ketemu masalah serupa di dunia nyata. Mulai dari rekan-rekannya, sahabatnya sampai mutarabbinya. Kupikir, boleh jadi karena itu pula dia masih sendiri. Maksudku, menikah memang persoalan takdir. Tapi pemikirannya itu punya andil besar kenapa sampai sekarang dia betah seperti itu. 

“Bodoh sekali orang yang menikah dan mencari bahagianya saja”

“Orang menikah memang bukan cari sengsara, kak”, celutuk saya 

Ups,dia mendelik. Menatap saya seperti melihat seorang amatiran.

“Dengar nah, menikah itu tidak semata-mata blablabla. Menikah tanpa persiapan itu sama saja dengan blablablabla. Masalah akan bermunculan blablabla. Lalu blablabla…dan blablabla hingga blablabla dan akhirnya blablabla…” 

Alamak, saya cuma ngomong satu kalimat, dia balas satu paragraf.

“Kau belum lihat apa yang kulihat. Jadi tidak akan paham” 

Angkat tangan deh. Saya tidak mau bicara lebih jauh tentang hal yang tak pernah saya alami. Kita tidak akan memahami sesuatu hingga mengalaminya sendiri. Kurasa sepupuku pun sama saja. Melihat atau menyaksikan itu satu hal, mengalami sendiri adalah hal yang lain. Kita sering melihat kematian, tapi kita tak pernah tahu seperti apa rasanya sampai kematian itu datang. Yang kita alami hanyalah dekat dengan kematian entah karena sakit, kecelakaan, jatuh atau lainnya. Begitu pun pernikahan, kita hanya menyaksikan dari luar. Menjadi penonton atau pengamat dan belajar dari pengalaman orang lain. Tapi kita tidak akan paham hingga menjalaninya sendiri. Karenanya tak perlu menghabiskan waktu terus menerus membicarakan pernikahan, mengira-ngira kehidupan di dalamnya, lalu menulisnya berulang-ulang sementara kita sendiri belum mengalaminya.

Berdiskusi karena ingin belajar atau mencari solusi memang perlu, tapi yang banyak terjadi hanya pembicaraan tak terarah dan tak punya ujung pangkal. Kenapa ? Karena mereka belum punya pengalaman menjalani kehidupan semacam itu. Jadi yang muncul hanya dugaan. Kalau pun sudah menjalaninya lalu mengalami masalah, cara mencari solusi bukan dengan curhat panjang lebar di blog, update status di facebook atau berkicau di twitter. Tapi cari orang yang dipercaya bisa memberi solusi baik itu orangtua, murabbi, atau sahabat sendiri lalu diskusikan langsung dengannya. 

Murabbi saya sering menekankan hal ini pada kami. Masalah rumah tangga adalah masalah yang sangat pribadi. Membicarakannya harus hati-hati. Banyak hal yang tak seharusnya diketahui orang lain. Banyak hal yang tidak seharusnya keluar dari pintu rumah. Cukup orang dalam saja yang tahu dan selesaikan sendiri. Bukankan itu salah satu risiko pernikahan ? Menahan diri dari banyak hal demi menjaga kehormatan keluarga.

Sejak menikah, murabbi saya pantang meminta apapun dari orangtuanya. Bagaimana pun sulitnya keadaan, ia menutup rapat mulutnya dari mengeluh dan menahan tangannya dari meminta meski orangtuanya bisa dengan mudah memberi bantuan. Hal itu dilakukan demi menjaga harga diri suaminya. Berbusa-busa curhat di blog, facebook atau twitter dengan niat mencari solusi hanya akan menambah rumitnya masalah. Tujuan awalnya memang baik, tapi cara menyelesaikannya justru dengan menambah masalah baru. 

Seperti halnya sepupu, saya juga sering sinis memandang pernikahan karena yang lebih banyak muncul di kepala adalah seabrek masalahnya. Yang sering saya saksikan adalah orang-orang yang memilih berpisah. Yang sering saya lihat adalah mereka yang marah dan kecewa. Tapi itu bukan berarti bahwa semua laki-laki tidak ada yang baik. Maksudku, baik dan buruk. Hitam dan putih. Orang-orang hanya condong ke salah satunya. Tidak sepenuhnya di kiri atau di kanan. Bila menyangkut keikhlasan, dikatakan bahwa wanita itu lebih besar keikhlasannya dari kaum laki-laki. Di salah satu edisi majalah Qiblati, Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi berkata bahwa kita tidak pernah menemukan dalam hati wanita kecuali satu kamar yang hanya dimasuki satu orang laki-laki. Sementara hati laki-laki seperti hotel yang dipenuhi oleh berbagai kamar. Mungkin ini yang membuat sepupu berpendapat seperti tadi. Dan ini pula yang menjadi inti masalah sang istri dalam novel Asma Nadia. Juga alasan mengapa beberapa orang di sekitar saya memutuskan berpisah. 

Oke deh, tulisan ini sudah lebay stadium empat. Beginilah efek dari menonton sinetron. Akhirulkalam, mohon maaf bila ada kata yang tidak berkenan di hati.
 
;