20 December 2015

Menjadi Dewasa ?

Aku pikir, semakin tua akan mengubahku menjadi dewasa

Aku pikir, aku cukup mencari kerja dan menikah,
dan menjadi dewasa 

Tapi, tidak satu pun dari hal-hal itu terjadi 

Biar pun aku sudah tumbuh semakin dewasa, 

Aku merasa tidak ada yang berubah 

Aku masih tidak benar-benar merasakan, 

Bagaimana menjadi dewasa itu

(Kimi to Boku season 2 chapter 3)
14 December 2015

Epilog

Matanya pernah, menatap lama ke mataku, yang selalu menatap jauh ke luar jendela. Itu menyesakkan baginya. Dan menyakitkan bagiku.

Lalu suatu ketika, matanya beralih ke sesuatu yang lain. Sesuatu yang membalas tatapannya. Dan dia pun, tersenyum lepas.

Prolog

Ada beberapa hal yang ingin kukatakan. Tapi biar kuceritakan dulu sesuatu yang lain. Aku punya sepupu. Dan sepupuku ini sering mengistilahkan “tak tertolong” untuk hal-hal yang menurutnya tidak bisa atau sulit diperbaiki. Ponselnya pernah pecah berkeping-keping karena jatuh dari lantai tiga. Dia bilang, “Hpku sudah tak tertolong.” Adiknya pernah salah pakai shampoo yang membuat rambutnya kaku semua. Melihat itu ia tertawa, ”Wow, rambutmu benar-benar tak tertolong.” Begitu pun saat menonton berita konyol di TV, biasanya dia akan berkomentar, “Negeri ini tak tertolong.” 

Ketika bertemu, kami lebih sering bercanda, jarang membicarakan hal-hal serius. Kalaupun ada, ujung-ujungnya dibawa bercanda juga. Selera humornya cocok denganku. Saat libur semester aku menginap di rumahnya. Awalnya kami hanya membahas suasana kota tempatku bekerja. Lalu membahas tentang keluarga. Lalu ke novel. Lalu ke film. Lalu hal-hal lain yang tidak penting seperti betapa konyolnya Lee Kwang Soo dalam Running Man. Dan tiba-tiba tema berubah haluan ke…kau tahulah. Pandangan tentang masa depan. 

Saat tiba giliranku, kuceritakan momen ketika suatu hari aku mengantar ibu menjenguk temannya yang sakit. Teman ibu bercerita panjang lebar dan melompat-lompat tentang anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan baru-baru ini lahir cucunya yang kesekian. Di momen itu, tiba-tiba ibu menatapku agak lama. Lalu ia menoleh ke temannya dan menunjuk ke arahku sambil berkata, “Mungkin anakku ini akan selalu sendiri. Seperti mendiang neneknya”. Aku yang saat itu tengah mencicipi teh dan kue sajian tuan rumah nyaris tersedak mendengarnya. Saat kuceritakan, kedua sepupuku tertawa terbahak-bahak. 

“Sepertinya mulai sekarang aku harus ikut asuransi jaminan masa tua. Kalau-kalau itu terbukti benar”, kataku. Mereka tertawa lagi. 

Dalam hal ini kami sebenarnya sama saja. Hanya alasannya yang sedikit berbeda. Mereka siap, sementara aku tidak. 

“Aku masih nyaman seperti ini, kak”, kataku 

Sepupu menggeleng, “Itu yang bahaya,” 

“Kau benar-benar tak tertolong,” timpal sepupu yang lain 

Di waktu yang berbeda, tepatnya saat diskusi dengan rekan kerja di ruang rapat. Salah seorang di antara mereka adalah senior yang sudah lama berkerja di kampus ini. Dan juga senior semasa kuliah dulu. Pembahasan tidak jauh-jauh dari situ. Dia menanyakan pandanganku dan pendapatku masih sama seperti sebelumnya. Kukemukakan juga alasan lain yang selalu kupakai untuk mengakhiri diskusi semacam ini. Dia menggeleng mendengarnya. 

“Cara pandangmu perlu diperbaiki.” katanya, “Ada yang keliru di situ” 

Tak tertolong. Aku pun tidak begitu paham. Hanya saja sering kulihat keburukan dan kekecewaan sebelum cukup mampu memahaminya. Cenderung kulihat kehidupan dari sudut pandang yang gelap. Kadang kupikir, sepertinya ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba berhenti entah sejak kapan. Membuatku tak bisa bergerak, baik untuk maju ataupun mundur. Membuatku jadi sinis akan masa depan. Happy ending seperti menjadi dongeng yang hanya ada dalam cerita Walt Disney. Bukan dalam realita yang kita jalani. Seperti membuka pintu yang kau tidak tahu ada apa di baliknya. Jika bukan sesuatu yang menyenangkan, bagiku lebih baik tak perlu membukanya sama sekali. Kau lihat kan, betapa melelahkan menghadapi orang sepertiku. 

Tak banyak orang yang mau mendengarkan cerita orang lain. Karena masing-masing punya cerita yang ingin diperdengarkan. Kau adalah pendengar yang baik. Tak pernah kutemui ada yang mendengar ceritaku dari awal sampai akhir. Yang meluangkan waktu untuk membaca semua tulisan di sini. Sepertinya memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk datang sekelebat, mengajarkan sesuatu, lalu lenyap sama sekali. 

“Silence is the most powerful scream 

Aku membaca ceritamu. Semuanya. Dan aku memilih diam. Bukan karena tidak peduli. Atau mendiamkan pertanyaan. Tapi lebih karena kupikir itulah jawaban terbaik. Jawaban terbaik memang belum tentu jawaban sebenarnya. Dan jawaban sebenarnya mungkin bukan jawaban yang menyenangkan.  Jadi jangan membenciku. Sebab kuharap ada hikmah yang bisa diambil dari semua kerumitan ini.
09 December 2015

Under The Blue Moon


Kuharap aku tidak terlambat. Semoga aku bertemu Shadow. Semoga aku bertemu Poet juga, tapi terutama Shadow. Cowok yang melukis dalam kegelapan. Melukis burung-burung yang terperangkap di tembok bata dan orang-orang yang tersesat di hutan hantu. 
Malam ini aku harus bertemu dengannya. 
Apapun yang terjadi. 

Graffiti Moon adalah judul asli novel ini, yang entah kenapa dalam versi terjemahan diganti menjadi Under The Blue Moon. Padahal dilihat dari isinya, Graffiti Moon adalah judul yang benar-benar pas. Covernya juga keren binggo (lihat gambar di bawah). Sementara Blue Moon, setahu saya, adalah istilah untuk fenomena alam ketika purnama muncul dua kali dalam sebulan. Seingatku, di tahun ini pernah terjadi Blue Moon,  tapi lupa bulan berapa. 


“Kata Mom, ketika keinginan bertabrakan dengan pemenuhan, itulah momen kebenaran.(Lucy) 

Sebenarnya saya tidak tahu kenapa tiba-tiba beli novel ini. Tapi mungkin saja karena graffiti mengingatkan pada tembok di sepanjang jalan Pettarani di Makassar. Dulu lukisannya bagus-bagus, tapi kemudian dihapus dan diganti dengan lukisan baru yang lebih payah (sorry). 

“Itulah yang kusukai dari seni, yaitu apa yang kau lihat terkadang lebih menyangkut siapa dirimu daripada apa yang terpampang di tembok. Aku memandang lukisan ini dan memikirkan betapa semua orang menyimpan rahasia.” (Lucy) 

Edward Phil(omena) Skye dan Leopold Green bersahabat sejak kecil. Ed menyukai seni tapi memiliki masalah dalam baca-tulis. Sementar Leo suka puisi dan tulisan tangannya sangat bagus. Leo selalu membantu menuliskan tugas-tugas Ed. Mereka berdua menyamar menjadi Shadow dan Poet yang melukis dinding-dinding kota. Shadow yang melukis dan Poet membubuhkan kata-kata dalam lukisan itu. Saya suka bagian ini karena apa dilukis Shadow tidak harus sesuai dengan kata-kata Poet. Artinya lukisan dan kata-kata dalam adalah dua persepsi yang berbeda. Seperti ketika Shadow melukis seekor burung yang telentang menghadap langit, Poet membubuhkan kata Damai dalam lukisan itu. Tapi Shadow tak merasa demikian dalam lukisannya. 

Lucu rasanya, dua orang bisa menatap hal yang sama tapi melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku tidak menemukan kedamaian ketika melihat burung itu. Aku melihat masa depanku, dan kuharap masa depanku cuma sedang tidur.  (Ed/Shadow) 

Sementara Lucy yang menghabiskan waktunya di studio pengrajin kaca, terobsesi oleh sosok Shadow dan Poet. Terutama Shadow. Ia sangat ingin bertemu dengannya. Hingga suatu malam menjelang akhir kelas 12, Lucy mengajak dua sahabatnya, Jazz dan Daisy serta tiga lainnya yaitu Ed, Leo dan Dylan untuk mencari sosok Shadow. Di sini masalahnya, karena Ed dan Leo harus berpura-pura ikut mencari sosok misterius yang tak lain adalah diri mereka sendiri. Ed dan Lucy kenal satu sama lain, tapi ada pengalaman tak menyenangkan dua tahun sebelumnya yang membuat Lucy mematahkan hidung Ed.

“Namun, itu tidak kulakukan, karena definisi gila adalah melakukan sesuatu yang hampir sama dua kali dan mengharapkan akhir yang berbeda” (Ed/Shadow) 

Novel ini mengambil sudut pandang yang berganti-ganti antara Lucy Ed, dan kadang-kadang Leo. Tapi bagian Leo semuanya diisi oleh bait-bait puisi. Saya suka karakter tokoh-tokohnya. Tidak ada kesan karakter laki-laki ditulis oleh perempuan. Selain itu pemilihan kata-kata penulisnya keren. Untuk menggambarkan malam saja penulisnya membuat seolah-olah malam itu bola raksasa yang gelap. Sisanya, saya begong saja, karena bukan anak seni jadi banyak yang tidak saya pahami. Tentang proses pembuatan kaca, tentang pemilihan warna cat atau tokoh-tokoh seni yang tidak saya kenal. 

“Jika terlalu dingin, ia akan pecah. Terlalu panas, bentuknya akan berubah. Ketahuilah sifat-sifat kaca, dan kau bisa membentuknya menjadi apa pun yang kau inginkan.” (Al) 

Satu-satunya kekurangan (jika bisa disebut kekurangan), adalah tidak ada visualisasi yang mendukung. Saya penasaran seperti apa lukisan-lukisan Shadow yang dideskripsikan dalam novel. Atau seperti apa model huruf buatan Poet yang beri nama empty itu. Tidak adanya visualisasi membuat saya sulit konsentrasi. Sepertinya kata-kata yang saya baca berhamburan keluar sebelum sempat saya cerna. 

“Mimpi adalah satu-satunya cara pergi ke tempat mana pun.”  (Ed/Shadow) 

Terakhir, ada dua puisi Poet yang yang saya suka berjudul Mungkin  dan Detak di Dalam. Puisi Mungkin sebenarnya datar-datar saja, tapi entah kenapa seperti tidak asing kubaca.  

Mungkin 
Mungkin kau dan aku 
Mungkin kau dan aku 
Mungkin kau dan aku 
Tapi mungkin tidak 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Tapi mungkin tidak

Detak di Dalam 
Di dalam tubuhnya ada pagar kawat 
Dan di balik pagar kawat itu ada anjing 
Dan di balik anjing itu ada pencuri-pencuri 
Dan di balik pencuri-pencuri itu 
Ada segerombolan mimpi buruk 
Dan di balik mimpi-mimpi itu 
Jika kau bisa melewati mimpi-mmpi itu 
Ada hal-hal yang membuatnya berdetak
Tak, tak, tak
23 November 2015

Eleanor & Park


Eleanor itu gendut
Dirinya pun berpikir dia begitu...
Sebenarnya dia tidak segendut yang dipikirkannya
Pikirnya, aku pasti tidak semenjijikkan itu

Bono, vokali U2, bertemu istrinya di SMA, kata Park
Begitu pula Jerry Lee Lewis, jawab Eleanor
Aku tidak bercanda, Park meyakinkan
Tentu, Eleanor menambahkan, kita ini 16 tahun
Bagaimana dengan Romeo dan Juliet ?
Dangkal, bingung, lalu mati
Aku mencintaimu, Park meyakinkan
Karena itulah..., jawab Eleanor
Aku tidak bercanda, katanya
Kau memang tidak boleh bercanda

Skefo, gambar yang di atas itu bukan cover terbitan Phoenix. Karena yang itu sedikit aneh dan kurang nyaman dilihat (sorry). Ngomong-ngomong soal cover, terutama untuk novel, saya tidak begitu terkesan dengan desain yang bergambar manusia. Lebih suka kalau mengambil tema lain yang tetap menggambarkan isi. Daun-daun kering, pohon-pohon, jalan raya, sepeda, langit, pelangi, kereta, jam dinding dan benda-benda lainnya lebih menarik di mata ketimbang foto manusia. Eh tapi, seumur-umur saya belum pernah lihat cover novel bergambar tiang listrik dengan kabel-kabel melintang yang berlatar langit sore. Pasti keren kalau ada yang semacam itu. Oke, back to the topic!

Tertarik baca novel ini karena ada embel-embel "Buku Fiksi Terbaik Boston Globe Book Award 2013" serta rating bagus dari beberapa review yang saya baca. Selain novel ini, ada pula Fangirl, novel lain Rainbow Rowell yang juga banyak dibicarakan. Tapi ini novelnya yang pertama saya baca. Kalau suka, mungkin saya akan membaca novelnya yang lain.

Bermula dari bulan Agustus 1986. Eleanor, murid baru di sebuah sekolah menengah di Omaha, dan Park Sheridan, remaja blasteran Amerika-Korea, terpaksa duduk bersebelahan dalam bus sekolah setiap hari. Eleanor berasal dari keluarga yang kacau. Tinggal bersama ibu dan keempat adiknya serta ayah tiri yang pemabuk dan gemar melempar barang-barang ketika marah. Sementara Park dibesarkan dalam keluarga harmonis yang langka. Eleanor dengan gaya pakaian yang nyentrik dan Park yang tenang, disukai dan jago Taekwondo. Mereka saling mengacuhkan, tak pernah berbicara satu sama lain. Eleanor menyebut Park Anak Asia Bodoh, sementara Park menyebut Eleanor Gadis Aneh. Kekakuan di antara mereka perlahan luntur ketika Park yang doyan baca komik menyadari bahwa Eleanor juga ikut membaca komiknya selama perjalanan dalam bus. Dan cerita pun berlanjut. Silakan baca sendiri yah.

Bagi yang kangen era 90-an, novel ini menawarkan nuansa semacam itu. Kaset pita, telepon rumah, film Chocolate Factory, walkman, U2, piringan hitam. Jadi ingat masa ketika dering telepon rumah menjadi sesuatu yang mewah. Kau akan berebutan dengan adikmu demi menjadi yang pertama mengangkat telepon. Atau kau akan mengingatkan seisi rumah kalau kau sedang menunggu telepon penting dari seorang teman. Walkman, kaset pita dan sekotak baterai juga menjadi teman yang setia. Kau bisa belajar semalaman suntuk bersama mereka. Atau membaca setumpuk komik di sela-sela tugas sekolah. Saya menikmati bagian ini. Dan juga bagian awal-awal cerita yang temponya berubah-ubah. Membuatmu senyum-senyum sendiri dan ber-ciee selama membaca. Yang saya suka adalah kekakuan antara Eleanor dan Park yang cair dengan begitu natural. Bahkan nyaris tanpa kata-kata perkenalan atau semacamnya. Bagaimana bisa suasana akrab terjalin pada orang yang duduk berdampingan dan tak pernah berbicara satu sama lain ? Padahal sebelumnya mereka berusaha saling menyingkirkan dalam diam. Berterima kasihlah pada komik-komik itu.

Karakter Park tenang, tapi sikapnya kadang tak terduga. Itu yang membuatnya menyenangkan. Dia tidak sepopuler Ezra dalam The Beginning of Everything. Tapi cukup disukai orang-orang. Dan bagi orang yang berdarah campuran, Park merasa tidak punya tempat di antara kawan-kawannya. Orang-orang selalu menganggapnya sebagai orang Asia, tapi Park lahir dan besar di Amerika, tak pernah menginjak Korea dan bahkan jarang mendengar tentang Korea dari ibunya sendiri. Park tak pernah menanggap dirinya menarik karena standar menarik bagi Amerika bukan yang seperti dia. Teman-temannya menganggapnya feminin karena kulitnya yang dominan Asia.

Eleanor berambut merah keriting, bertubuh besar dan gaya pakaian yang aneh. Nyaris tak ada yang mau jadi temannya karena tampilan fisiknya. Dia menyadari kekurangannya tapi selalu menjadi dirinya sendiri. Walaupun dia gampang tersinggung ketika ada yang mengomentari kekurangan itu. Dia tidak berusaha mengubah dandanannya karena sudah nyaman seperti itu. Kuat dan cengeng di waktu yang bersamaan. Kuat karena bisa menahan ejekan dan kelakuan Tina and the gank. Kuat karena tak perlu menceritakan pada ibunya yang bisa membuatnya khawatir. Tapi moodnya berubah-ubah dan cepat tersinggung, terutama jika bersama Park. Menjengkelkan juga tokoh ini.

Sayangnya ciee-ciee yang sering dilontarkan di awal, hanya berhenti sampai di situ. Ketika dialog ambil bagian dan ketika hubungan semakin dekat, itu berubah menjadi berlebihan. Saya tidak suka kata-kata yang berlebihan. Mencintaimu selamanya. Milikmu selalu. Kau matahariku. Dan kata-kata semisal itu, cenderung emosional. Kau tahulah. Di satu sisi mungkin kau ingin memercayainya. Tapi kau juga tahu bahwa sebagian besarnya hanya omong kosong. Ketika berjanji, orang sering tidak menyadari apa yang mereka katakan. Maksudku bukan tentang Eleanor atau Park (saya menyukai kedua tokoh ini), tapi kalimat-kalimatnya secara umum. Tentu tidak semuanya seperti itu, sebagiannya lagi tetap realistis dan menyentuh. Tapi tetap saja yang tadi itu sedikit mengganggu. Saya suka kata-kata yang dingin, sedikit kejam tapi jujur dan tidak mengada-ada, dengan campuran antara pahit dan manis. Seperti cokelat mungkin. Saya tidak terkesan kalau ada banyak kalimat cinta. Menulis kata ini pun canggung rasanya. Karena sulit diukur dan terlalu rumit  menentukan kriteria objektifnya. Kenapa tidak disederhanakan saja menjadi suka atau kagum ? Ini lebih mudah menurutku. Tapi ya suka-suka penulisnya toh, mau menulis apa saja yang dia mau.

Akhir cerita boleh dibilang menggantung. Pembaca disuruh menebak-nebak isi pesan di baris terakhir. Tapi opsi mana saja tidak masalah. Saya sudah terhibur membaca novel ini di tengah kerjaan kampus.
05 November 2015

Arigatou

Entah kapan terakhir kali mendengar kata-kata Mr. Children ini. Karena suatu alasan tertentu, malam ini jadi teringat kembali. Akan tiba masa ketika kita harus menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Maka datang dan pergi adalah hal yang biasa. Jadi, terima kasih karena telah bersedia membaca coretan-coretanku. Terima kasih.

Sayonara ga mukae ni kuru koto
Even if we knew from the beginning

Saisho kara wakatte ita to shitatte
That we would eventually have to say goodbye

Mou ikkai, mou ikkai
Once more, once more

Mou ikkai, mou ikkai
Once more. once more

Kimi ni kokoro kara arigatou o iu yo
I want to say "thank you" to you from my heart

(Hanabi, Mr. Children)
30 October 2015

Tujuh Bulan

Lagi-lagi dibuat takjub dengan kecepatan waktu berlari. Ternyata sudah lebih setahun sejak wisuda 2014 lalu. Waktu itu belum terpikir bumi mana yang akan jadi persinggahan berikutnya. Yang terpikirkan adalah bahwa di manapun penempatannya mesti ada tempat pengajian di sana. Supaya ada yang senantiasa menasihati dan mengingatkan ketika lalai. Ibarat Hp yang baterainya rutin diisi supaya tidak mati, saya khawatir jadi 'eror' jika tidak ada wadah semacam itu.

Sementara itu Ibu punya kekhawatiran yang berbeda. Jarak. Ibu tidak mau anak perempuan satu-satunya ini (halah) jauh dari rumah. Beliau menyarankan urus penempatan di Makassar saja. Sepupu-sepupu juga bilang begitu. Tapi entah kenapa saya tidak begitu antusias dengan saran tadi. Tujuh tahun di Makassar sedikit banyak membuat saya jenuh. Saya bisa cepat bosan dengan sesuatu. Mirip waktu masih sekolah dulu, yang ingin cepat-cepat keluar dari kampung dan merantau ke Makassar. Tapi yang begini biasanya paradoks. Kau ingin secepatnya pergi dari situ, di saat yang sama kau ingin selamanya tinggal di situ. Pernah mengalami hal seperti ini ?

Kenapa harus cari tempat yang jauh, sementara segala sesuatu yang kau butuhkan ada di kota ini, kata sepupu saya. Benar. Tapi untuk sementara saya mau keluar dulu dari sini. Sepertinya saya butuh sesuatu yang lain. Ada sesuatu yang tidak bisa kau lakukan kecuali jika kau pergi ke sana, kata Murakami. Lagipula, di manapun penempatannya nanti, saya tidak akan selamanya tinggal di sana. Jadi kriterianya : ada tempat tarbiyah, ada kerabat dan tidak terlalu  jauh dari rumah. Jalan tengahnya muncul dalam bentuk telepon dari paman di Tenggara sana. Dan, di sinilah saya berada sekarang. 

Sudah tujuh bulan tinggal di sini. Sebenarnya dulu pernah ke sini dalam rangka liburan. Tapi sudah lama sekali, masih kelas dua SD.  Itu pun hanya beberapa hari. Jadi tak banyak yang bisa saya ingat kecuali beberapa lembar foto yang diambil di depan benteng keraton. Dulu bentuknya masih kabupaten. Kondisinya tidak jauh beda dengan Selayar. Setelah belasan tahun, kota ini berkembang pesat. Jauh lebih ramai dan padat dibanding ketika pertama kali datang.

Sekarang masih dalam proses beradaptasi. Mulai dari mengenal jalan, mengenal beberapa tempat penting, mengenal karakter orang-orangnya, adat istiadat dan membiasakan diri dengan logatnya. Untuk bahasa, saya belum tahu sedikit pun karena bahasa daerah di sini bermacam-macam. Meski satu daratan, bahasa daerahnya belum tentu sama. Tapi ada kesan khusus dengan logat dan pemilihan kata yang berbeda dengan kebiasaan di Makassar (orang sini menyebutnya Selatan).

Misalnya antara “kenapa” dan “bagaimana”. Sebelumnya, saya jarang menggunakan kata “bagaimana”. Terdengar asing malah. Jika ada yang menelpon, atau ada keperluan biasanya saya tanya “kenapa?”. Ada panggilan tak terjawab, saya sms begini, “Sorry tadi tidak kedengaran. Kenapa?” Ternyata di sini itu dianggap kurang sopan. Jadi saya pun ikut-ikutan memakai kata “Bagaimana”

Ada telepon, “Halo, iye kak. Saya di rumah. Bagaimana ?” 

Ada panggilan tak terjawab, saya sms begini, “Maaf telponnya tidak kedengaran tadi. Bagaimana bu?” 

Ada pembeli datang, “Bagaimana pak/bu?” 

Ada mahasiswa datang, “Oh Risna ya, bagaimana dek?” 

Begitu pun kata-kata lainnya. Dan intonasi suaranya. 

Kalau sebelumnya, saya cukup bilang, “Ndak tahu” atau “issengi”, sekarang berubah jadi, “saya kurang tahu”

Kalau terkejut atau heran, “Begitukah ?” dengan penekanan di kata “gitu” 

Kemudian menempatkan kata “Padahal” di akhir kalimat. Misal, “Oh belum diperiksa, padahal”

Menambahkan kata “dan” yang bermakna ajakan atau permintaan. Contohnya, “Tunggu dulu, dan” atau “Jalan-jalan ke sini, dan” 

Menambahkan seruan “ee” sepanjang dua harakat. Misalnya, “Kau tunggu di sini dulu ee, nanti ustadzah antar pulang” 

Kadang juga kata “Kamu” ditambahkan dengan “Orang”. Misalnya, “Kamu orang sudah makan?” 

Atau “Kamu orang jangan baku tengkar”

Seumur-umur, nanti di sini baru saya dengar kata “Kamu orang” dan “baku tengkar”. Biasanya paling begini “Wee, jangko bertengkar!” 

Kadang juga ditambahkan kata “Mereka” meski yang dimaksud hanya satu orang. Contoh:

“Siapa yang piket di TK hari ini?” 

“Itu, mereka Yati” 

Terus kalau perempuan kadang dipanggil dengan menambahkan “Wa” di depan namanya sementara laki-laki ditambahkan “La”. Ini kebiasaan dengar percakapan anak-anak SD di belakang rumah.

“Ustadzah, La Hanan panjat pagar di luar” 

Atau

“Ustadzah, jilbabnya Wa Ayi robek” 

Kemudian memanggil orang dengan menyertakan nama anaknya. Ini mirip dengan nama kuniyah seperti Abu Fikriyah atau Ummu Fikriyah yang menandakan bahwa orang itu ayah atau ibunya Fikriyah. Menurut pengamatan pribadi, mungkin lebih sopan dan akrab memanggil seperti itu dibanding menyebut “pak” atau “bu” saja.  Misal, “Mamanya Wulan, kita’ ada di rumah ?” atau “Bapaknya Rahmat, saya ada perlu sebentar.” 

Sebenarnya masih banyak lagi, tapi untuk sementara cukup sekian dulu. Yang nulis sudah ngantuk. Nanti kita sambung lagi ee…^^
18 October 2015

Anak Bungsu

“Tak perlu menjadi orang kaya untuk hidup manja, tetapi cukuplah menjadi anak bungsu”
~Prie GS~

Ada aksioma dalam masyarakat bahwa anak sulung katanya lebih mandiri, sementara anak bungsu biasanya lebih manja. Kemandirian idealnya berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman, tak peduli dia sulung atau bungsu. Sementara manja, bisa muncul sewaktu-waktu pada diri seseorang. Menurut pengamatan pribadi, anak sulung memang dituntut lebih keras dibanding yang lain. Sementara pada anak bungsu, sikap orangtua sudah lebih lunak.

Dua adik saya semuanya laki-laki. Dan saya bersyukur untuk ini. Punya adik laki-laki itu menyenangkan. Ada yang bisa antar jemput. Ada yang bisa disuruh-suruh. Dan ada yang bisa dimarah-marahi kalau lagi jengkel. Tapi karena mereka pula maka orangtua senang membelikan saya barang-barang yang bergaya khas laki-laki, supaya nantinya bisa diwariskan ke kedua bocah itu. Tak jarang keduanya protes karena selalu kebagian barang-barang bekas. Hahaha!

Baru-baru ini ketemu foto lama di laptop sepupu. Di foto itu adik saya yang bungsu masih kecil, kelas 2 SD kalau tidak salah. Si bungsu ini adalah setengah adik dan setengah anak bagi saya. Karena saya ikut mengurusnya waktu dia masih TK. Waktu itu Ibu masih tugas di luar kota dan tidak bisa bolak-balik membawanya naik motor. Jadi dia dititipkan sama nenek. Kami pun senasib, sama-sama anak titipan. 

Setiap pagi, saya bertugas memandikan bocah ini, sementara nenek menyiapkan sarapan dan bekal. Setelah itu saya mengantarnya ke sekolah karena SMA saya searah dengan sekolahnya. Adik saya sekolah di TK Bhayangkara yang di hari-hari tertentu memakai seragam layaknya polisi cilik. Karena tubuhnya kecil, baju yang ukuran S pun kedodoran di badannya. Topi polisi terlalu lebar di kepalanya hingga melorot sampai menutup mata. Belum lagi tas bekal yang dia bawa seperti memikul karung beras. Ditambah bedak yang didempul sekenanya ke seluruh wajah.

Setiap pagi kami berangkat sama-sama. Sekitar jam 11 atau 12 nenek akan datang menjemputnya di sekolah. Siangnya, dia dibebaskan bermain atau tidur. Biasanya kalau ada sisa uang jajan, kami akan membeli kupon berhadiah seharga 500 rupiah. Dia pernah beruntung beli kupon yang berhadiah satu box gelas Mama & Papa. Sorenya, kami duduk di depan TV nonton kartun Hunter X Hunter. Atau nongkrong di teras sambil makan Choki-choki. Dulu dia suka sekali nonton Dora The Explorer. Dan ikut menyanyi depan TV. Tapi kalau diungkit sekarang, bocah itu tidak mau mengaku. Hahaha. Di malam minggu, ayah akan datang menjemputnya dan dikembalikan lagi malam senin. Begitulah rutinitas harian kami.

Dia masih SD sewaktu saya masuk kuliah. Pulang kampung mungkin hanya dua atau tiga kali setahun. Perubahannya benar-benar terasa setiap kali pulang. Tinggi badannya dulu tidak sampai sepinggang, masih sering saya banting kiri-kanan. Tiba-tiba saja dia sudah menjulang melampaui tinggi saya. Hello, sejak kapan nih bocah jadi tinggi begini ? Suaranya yang cempreng kayak bebek sekarang sudah serak dan berat. Kulitnya tambah legam karena sering berenang di laut. Dulu saya sering mencandainya kalau dia itu dipungut di selokan depan rumah, makanya warna kulitnya lain dari yang lain. Candaan itu biasanya berhasil membuatnya dongkol. Sekarang dia berdalih kalau kulit yang keren itu yah macam warna kulitnya, eksotis katanya. Huekk…

Berbeda dengan adik pertama yang teman-temannya selalu nongkrong di rumah, si bungsu ini jarang dikunjungi teman. Kadang dia main ke temannya. Dan sekali main ke rumah teman,dia bisa lupa waktu, nanti pulang ketika jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah, jadi kami menjulukinya room boy. Saya sering menegurnya untuk sesekali keluar mengukur jalan. Tapi sepertinya kesenangannya memang ada di dalam rumah. 

Dia yang paling dekat dengan ibu dibanding yang lain. Tidak sungkan bersikap manja sama ibu. Juga tidak bisa lama-lama jauh dari ibu. Pernah di Makassar saya membawanya jalan-jalan ke kos di dalam kampus. Baru sehari dia sudah minta pulang, katanya kangen ibu. Padahal ibu ada di Minasaupa. Hadeh. Dan waktu berangkat haji baru-baru ini, tiap tiga hari sekali dia menelpon ke sana. Sementara ke saya dia selalu tanya kapan mereka pulang. Hadeh, orang baru lima hari pergi sudah ditanya kapan pulang.

Dia jago ngeles. Alasannya seringkali konyol dan tidak terpikirkan. Kalau diumpamakan, bocah ini seperti kucing. Tahu cara menikmati hidup dan menjalaninya dengan santai. Seperti tidak punya beban. Saya curiga, jangan-jangan golongan darahnya B. Sekarang dia sudah besar, sudah kelas dua SMA, tapi bagi saya dia masih seperti bocah TK dengan baju kedodoran dan bedak yang berdempul tidak rata. Ada ekspresinya yang tidak hilang sejak kanak-kanak.
02 September 2015

Trilogi Takhta

The False Prince
 

 Empat anak laki-laki diculik. Empat anak yang penampilannya sangat mirip. 
Sage, salah satu di antara mereka, membongkar fakta di balik penculikan itu –bahwa ada yang akan dipilih untuk berperan menjadi pangeran yang hilang –ia tahu bahaya sekarang menghadang. Sage sadar hanya ada satu cara supaya bisa bertahan dalam permainan penuh kebohongan dan kelicikan ini. Ia harus menjadi sang pangeran, atau ia akan dibunuh.

The Runaway King
 

Kerajaan yang nyaris hancur. Raja yang hilang. Siapa yang akan bertahan ?
Beberapa minggu setelah Jaron naik takhta, ada yang berusaha membunuhnya. Desas-desus bahwa sebentar lagi pecah perang pun merebak di balik dinding-dinding istana, dan Jaron merasa suasana di Carthya makin lama makin tegang. Dalam waktu singkat, ia sadar bahwa kepergiannya dari Carthya mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kerajaan itu. Namun, Jaron kemudian bertanya-tanya apakah tindakannya tidak terlalu jauh. akankah ia bisa pulang lagi ? Atau apakah ia harus mengorbankan nyawa demi menyelamatkan kerajaannya ? 

Berlatar negeri fiksi bernama Carthya, beredar desas-desus bahwa Raja Eckbert, Ratu Erin dan pewaris takhta satu-satunya –pangeran Darius telah meninggal akibat diracun. Takhta raja kosong. Para regen masih membicarakan siapa yang akan menduduki posisi itu. Pangeran Darius punya adik laki-laki bernama Jaron. Berbeda dengan kakaknya yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi penerus Raja Carthya, Jaron suka memberontak, tidak suka dikekang aturan istana, suka membuat masalah dan selalu menentang ayahnya. Ratu Erin dan Darius menyayangi Jaron, tapi Raja Eckbert yang malu dengan kelakuan putra bungsunya mengirim Jaron ke tempat yang jauh untuk belajar. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpangi Jaron diserang bajak laut. Jaron dikabarkan tewas bersama seluruh penumpang dalam serangan tersebut. 

“Ayahku berkata orang bisa berpendidikan dan tetap bodoh, dan orang bijak bisa tidak berpendidikan sama sekali.”

Latamer, Roden, Tobias dan Sage, empat remaja laki-laki yang tampilan fisiknya sangat mirip satu sama lain. Nasib mereka juga mirip, dibeli dari panti asuhan oleh seorang bangsawan bernama Bevin Conner kemudian dibawa paksa ke desa Farthenwood. Conner menyatakan tujuannya membawa keempat anak laki-laki itu. Mereka akan dilatih untuk berperan menjadi pangeran Jaron. Conner ditemani oleh dua bawahannya yaitu Cregan dan Mott. Mereka berdua yang akan melatih keempat anak itu. Hanya satu yang akan terpilih, sisanya kemungkinan besar akan dibunuh untuk menjaga rahasia. Conner membual bahwa semua itu dilakukan untuk menyelamatkan negeri Carthya. Kenyataannya, ia hanya ingin diangkat menjadi salah satu regen utama dalam pemerintahan dan mengendalikan raja di balik layar.

“Jika kau tidak bisa memberi siapa pun penderitaan, maka kau juga tidak akan bisa memberi mereka sukacita.”

Latamer dibunuh oleh Cregan di tengah perjalanan ketika menyatakan mundur dari permainan. Tersisa Tobias, Roden dan Sage yang harus bersaing menjadi pangeran atau berakhir seperti Latamer. Novel ini diceritakan dari sudut pandang Sage, yang sifatnya mirip sekali dengan Jaron yang tidak suka diperintah. Berkali-kali ia berusaha kabur tapi selalu tertangkap. Karena itu ia sering dihukum. Ada beberapa tokoh lain seperti Imogen dan putri Amarinda yang punya peran penting dalam cerita. Tidak banyak yang bisa saya tuliskan, nanti jadi spoiler. Tapi twist-nya benar-benar lihai. Saya sudah menebak-nebak dan tetap saja hasilnya di luar dugaan. 

“Kurasa kau pasti menyukai rasa sakit, karena kau terus-terusan membuat orang kesal sampai mereka menyakitimu.”

Setelah Jaron naik takhta, ada yang berusaha membunuhnya. Belakangan diketahui pelakunya adalah anggota bajak laut dari Avenia. Carthya berada di ambang peperangan. Letaknya yang berada di tengah-tengah daratan dan tak memiliki lautan menjadikan Carthya sasaran empuk negara tetangga. Ada Gelyn di utara dan barat, Mendenwal di timur dan Avenia di Selatan. Semuanya berusaha mengambil alih Carthya. Apalagi melihat fakta bahwa Raja Carthya masih sangat muda untuk memerintah kerajaan. Yang paling berpeluang menyerang Carthya adalah Avenia yang bersekutu dengan perompak. Jaron melihat bahwa satu-satunya cara menyelamatkan Carthya dari Avenia adalah dengan menaklukkan para perompak itu. Jika mereka tunduk, Avenia tidak akan berani menyerang Carthya. The Runaway King menceritakan petualangan Jaron menyusup ke markas bajak laut.

“Ketika kau ada dalam posisiku, kau menjadi sadar betapa sedikitnya orang yang bisa dipercaya.”

Ada tambahan tokoh baru dalam The Runaway King. Senangnya lagi, sekuel karya Jennifer A. Nielsen ini lebih baik dibanding buku pertama. Karakter Jaron berkembang pesat. Kagum dengan kemampuannya berdebat, pemilihan kata-katanya yang cerdas dan sifatnya yang keras kepala luar biasa. Ternyata si penulis menciptakan tokoh ini dengan meminjam sifat dua murid yang pernah diajarnya di kelas debat SMA. Jaron mungkin pemberontak, tapi dia tidak pernah lari, bahkan ketika situasi memungkinkan. Dia selalu menghadapi masalah secara langsung. Orang-orang mungkin menganggapnya ceroboh tapi dia selalu punya pemikiran sendiri. Dengan karakternya yang unik ini, Jaron sudah mampu memimpin Carthya.

“Akan selalu ada pergolakan. Hanya alasan dari pergolakan itu yang berubah.”

Karakter Imogen dan putri Amarinda juga diberi porsi lebih banyak dibanding buku pertama. Imogen adalah pelayan yang sebelumnya bekerja di rumah Conner. Sementara Amarinda adalah putri yang sejak kecil terikat perjanjian dengan Carthya bahwa ia akan menikah dengan siapa pun yang menjadi penerus takhta kerajaan. Kerajaan Amarinda adalah satu-satunya sekutu Carthya. Mulanya ia ditunangkan dengan Darius. Tapi setelah kematian Darius, adiknya, Jaron diangkat menjadi raja. Jaron mungkin lebih dulu bertemu dengan Imogen dibanding Amarinda. Dan Amarinda mungkin masih menyukai Darius. Biasanya saya tidak suka karakter putri dalam novel-novel. Tapi kali ini saya berharap Jaron akan didampingi Amarinda jika kelak memerintah Carthya. 

Terkhusus Jaron, kata-katanya membuat saya meleleh di lembar-lembar terakhir. Hahaha… Sebenarnya dialog antara Jaron dan Amarinda lebih tepat disebut perjanjian antara partner kerja dibanding antara calon raja dan ratu, tapi dengan cara tertentu dialog mereka berdua terasa sangat romantis. Porsi yang hanya disisakan di penghujung buku itu malah membuat saya berulang-ulang membacanya. Penulis sangat jeli menempatkannya di akhir. Bagaimana pun keras kepalanya Jaron, dia juga bisa bersikap manis. Kata-katanya sederhana tapi cerdik, khas pendebat. Saya yakin Amarinda kena panas dingin mendengarnya. Ngehehe…

“Apakah kau membenciku, karena aku bukan Imogen, karena kau harus menikahiku suatu hari ?” (Amarinda)

“Apakah kau membenciku ? Karena aku bukan Darius, dan karena kau harus menikah denganku suatu hari ?” (Jaron)

“Aku melepasnya. Dan aku memintamu untuk melepaskan kakakku juga.” (Jaron)

Carthya sudah di ambang peperangan. Gelyn dan Mendenwal mulai melancarkan serangan dari arah utara dan timur. Bersama orang-orang kepercayaannya, Jaron siap berperang.
Sayangnya, pembaca harus bersabar dulu sementara waktu karena seri terakhir belum diterbitkan.
28 August 2015

Kata Mark Twain

“Membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya.” 
~Mark Twain~

Penulis dan tulisannya, atau dalam hal ini, pencorat-coret dan coretannya. Suatu ketika kau menemukan buku yang menurutmu bagus. Melihat pengarangnya, kau pun mulai memburu buku-bukunya yang lain. Atau kau pernah, secara tak sengaja, menemukan coretan ngelantur di dunia maya. Ada sesuatu dalam tulisan itu yang membekas di hatimu. Kau pun mulai rutin membaca coretannya yang lain. Sepertinya kau punya pengalaman yang sama dengan penulis, dan dengan cara tertentu kau merasa bahwa si penulis memahami dirimu. Ketahuilah, orang bisa benar-benar berbeda dalam tulisan.

Dalam sesi wawancara dengan Jonas Jonasson, penulis asal Swedia itu ditanya apakah sehari-hari ia sama lucunya dengan novel karangannya. Jonas menjawab dengan mengutip kalimat Mark Twain di atas bahwa membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya. Memang benar tulisan adalah cerminan pikiran dan hati seseorang, tapi benar pula bahwa orang bisa sangat berbeda dalam tulisan. Bagaimana ya mengatakannya, ini sedikit rumit. Misalnya saja Raditya Dika, yang dikenal sebagai penulis novel komedi itu katanya sehari-hari adalah orang yang serius. Atau salah satu blogger yang dulunya favorit saya, yang muatan blognya berat, dark dan serius, katanya suka bercanda dan jarang bersikap serius di dunia nyata. Dulu saya suka tulisannya. Sampai membaca habis isi blognya, menyimpan semua tulisannya, melacak buku-buku karangannya dan menghabiskan waktu berjam-jam mencari tahu tentangnya. Tapi ibarat demam, suhu pelan-pelan kembali ke titik normal.

Yang ingin kukatakan, bahwa pada dasarnya yang kita sukai adalah tulisannya. Tulisannya, bukan si penulis. Beberapa orang sulit membedakan kedua hal ini sehingga mereka terjebak dalam ilusi sesat yang sesaat. Dengan berjalannya waktu, pelan-pelan kita akan menyadarinya sendiri.

The Idiots


Hari : Kalau Alok sanggup melewati semua ini. aku akan menulis buku tentang hari-hari sinting kita. Aku bersumpah 
Alok : Karena bergaul dengan Hari dan Ryan, nilai-nilaiku hancur
Ryan : Aku mengacaukan segalanya

Hari, Ryan dan Alok adalah setali tiga uang. Bahu-membahu mereka melewati hari-hari penuh tekanan di jurusan teknik IIT, berusaha menyeimbangkan antara belajar dan bersenang-senang. Sering juga mereka berselisih paham kemudian bertengkar. Bersama, tiga mahasiswa pas-pasan ini melakukan berbagai hal gila, dan puncaknya adalah mencuri soal ujian dari kantor kepala jurusan, lalu ketahuan. Dengan segudang masalah yang mereka hadapi, bisa tidak ya, mereka lulus dari kampus yang katanya terpopuler se-India ini ?

Membaca novel The Idiots, yang berjudul asli Five Point Someone karya Chetan Bhagat ini, membuat saya selalu membandingkannya dengan versi film. Kalau dihitung-hitung sekitar 60% cerita dalam novel yang dimasukkan dalam film dengan beberapa perubahan di sana-sini. Farhan yang di akhir film putar haluan menjadi fotografer, berbeda dengan Alok yang dalam novel tetap bekerja di bidang teknik walau ia sebenarnya lebih suka melukis. Versi novel lebih menekankan cerita yang realistis. Atau Rancho yang dalam film dipasangkan dengan Phia, anak Prof. “Virus”, maka dalam novel karakter aku/Hari yang menyukai Neha, anak Prof. Cherian. Rancho dalam film adalah tukang kebun yang menggantikan majikannya kuliah, sementara Ryan dalam novel berasal dari keluarga berada, kedua orangtuanya berbisnis di Eropa. Sudut pandang dalam novel berganti-ganti, mulai dari Hari lalu pindah ke kacamata Alok, Ryan bahkan Neha.

“Sebelum kalian begitu antusias soal bekerja untuk masa depan, bereskan dulu masa lalu dan masa kinimu.” (hal. 194)

Jika Ryan adalah Rancho, Hari adalah Farhan, Alok adalah Raju, Prof. Cherian adalah Virus, Neha adalah Pia dan Venkat adalah Chatur, maka terus terang versi film lebih unggul. Mungkin karena saya nonton filmnya duluan baru baca novelnya. Selain itu karakter Ryan yang kontras dengan Rancho. Rancho dalam film adalah gabungan antara jenaka dan jenius. Rancho memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan sahabatnya. Dia tahu bagaimana membantu mereka dengan cara yang elegan. Dia suka membuat ulah tapi menyelesaikan masalah dengan cerdas. Lebih dari itu, nilai-nilainya selalu tertinggi, mengalahkan Chatur. Karakter sempurna yang hanya eksis di dunia fiksi.

“Dan saat itulah, aku menyadari bahwa IPK mencetak mahasiswa yang baik, tapi bukan pribadi yang baik.” (hal. 363)

Karakter Ryan Oberoi berbeda. Ryan memang menyelamatkan Hari dan Alok di hari pertama ospek kampus. Ryan kreatif dan kepercayaan dirinya kuat. Tapi emosional, arogan dan suka mendebat siapa saja. Suka menabrak aturan. Suka membuat ulah dan melibatkan kedua sahabatnya yang berujung kekacauan. Dia tak pernah menyelesaikan masalah dan tidak pernah merasa bersalah. Sekadar mengucap maaf saja susahnya minta ampun. Egois dan kekanak-kanakan. Itulah Ryan. Nilainya juga paling rendah di antara yang lain dan dia tidak ambil pusing. Bagaimana pun, ada bagian yang membuat pembaca simpati pada tokoh ini.

“Salah satu bagian terbaik dalam kehidupan kampus adalah teman-teman yang kalian peroleh. Dan pastikan kalian bersahabat untuk selamanya.” (hal. 364)

Konflik dalam novel tidak sekompleks versi film. Tidak ada pendaratan darurat karena penumpang pesawat pura-pura kena serangan jantung. Tidak ada aksi nekat membawa lari mempelai perempuan dari acara pernikahan. Atau kejar-kejaran memperebutkan abu jenazah yang nyaris ditaburkan ke dalam kloset. Masalah yang muncul adalah masalah khas mahasiswa; tumpukan tugas, kuis dadakan, profesor yang kaku, asrama yang monoton dan persaingan mahasiswa yang melelahkan. Latar tempat berputar di beberapa area saja; kampus, asrama, rumah Alok dan kedai sekitar kampus. Ending novel juga tidak sedramatis film. Tapi sedihnya dapat, ketika ketiganya berpisah karena masing-masing bekerja di wilayah berbeda.

“Kau tahu, rasanya aneh, aku mungkin sudah lulus dari IIT, tapi jiwaku masih tertinggal di sana. Mungkin di koridor-koridor asrama, atau di kedai Sasi, atau di atap kampus.” (hal. 372)
04 August 2015

The Beginning of Everything


Ezra Faulkner, cowok paling populer di sekolah, percaya bahwa semua orang pasti akan mengalami tragedi. Begitu pun dirinya. Pada suatu malam, pengemudi ceroboh menabrak Ezra sehingga menghancurkan lutut, karier atletik dan kehidupan sosialnya. Saat tersingkir dari kalangan anak keren, ia berkenalan dengan Cassidy Thorpe. Gadis itu melibatkan Ezra dalam petualangan tak berkesudahan. Namun, ketika asyik dengan cinta dan persahabatan baru, Ezra jadi tahu bahwa ternyata ada orang-orang yang ia salah artikan. Akibatnya, ia sekarang berpikir kalau kecelakaan kemarin sudah menghantam dan mengubah seluruh hidupnya, apa yang akan terjadi jika tragedi lain menyusul ? 

Setelah dijejali kisah penuh petualangan dan sarat politik karya Jonas Jonasson, ada baiknya mengambil jeda dengan membaca novel remaja. Biasanya romansa remaja ringan kayak popcorn dan manis kayak es krim. Pilihan jatuh pada The Beginning of Everything. Dari sinopsis sudah kelihatan ide ceritanya bukan lagi sesuatu yang baru : Cowok keren, tampan dan populer di sekolah jatuh cinta pada cewek pindahan yang kuper, pemurung dan kutu buku. Di dunia nyata, berdasarkan pengamatan pribadi, orang populer hanya tertarik dengan sesama orang populer. Begitu pun manusia-manusia kuper yang menghabiskan waktunya membaca biasanya lebih senang dengan sesama golongan mereka. 

“Dunia ini mematahkan semua orang, lalu setelahnya, beberapa orang menjadi kuat di tempat-tempat yang patah itu.” (Ernest Hemingway)

Awalnya saya kira penulisnya laki-laki (namanya kan Robyn). Tokoh utamanya pun laki-laki yang diambil dari sudut pandang orang pertama. Tapi setelah puluhan halaman kok ada yang aneh. Ezra, kau ini tokoh laki-laki, kenapa cara bertuturmu kayak perempuan, pikir saya. Kutengok halaman biografi penulis untuk memastikan. Benar saja, penulisnya perempuan. Apa kubilang. Ini mirip dengan waktu baca Tokyo Tower-nya Lily Franky. Hanya saja yang itu kebalik, awalnya saya kira penulisnya perempuan, tapi setelah baca, kok cara berpikir dan gaya bertuturnya kayak laki-laki. Maksudku, kadang kau bisa mendeteksi mana tulisan laki-laki dan mana tulisan perempuan. Tulisan perempuan, terlebih genre romance, cenderung emosional dan melankolis walaupun tokoh utamanya laki-laki. Lihat saja ketika Adam jadi narator dalam Where She Went. 

“Dalam konteks pembuktian matematika, apabila sesuatu dianggap invalid, berarti menurut logika yang tidak terbantahkan, sesuatu itu tidak ada.” (Hal. 21)

Andai ketemu novel ini dalam situasi berbeda, sebelum baca novel John Green misalnya, mungkin saya akan menyukainya. Tapi konflik cerita dalam The Beginning of Everything terasa datar-datar saja. Walaupun di akhir memang ada sedikit kejutan. Tapi secara keseluruhan, mulai dari tokoh dan hubungan antar tokoh yang kurang kuat, sampai komedi dan petualangannya yang nanggung. Padahal di sinopsis disebutkan “petualangan tak berkesudahan”. Nyatanya, petualangan dalam novel ini tidaklah se-wah itu. Masih lebih seru petualangan Quentin ketika mencari Margo dalam Paper Towns.  Komedinya pun biasa saja, seingatku selama membaca saya hanya satu kali tersenyum. 

“Kau tahu cara mereka mengelompokkan drama-drama Shakespeare, kan ? Yang berakhir pernikahan masuk kategori komedi. Yang berakhir pemakaman masuk kategori tragedi. Jadi, kita semua tragedi berjalan, karena kita semua akan berakhir dengan cara yang sama, yang jelas bukan dengan pernikahan sialan.” (Hal. 282)

Mungkin dialognya yang sulit dimengerti karena banyak mengutip sastra klasik barat yang tidak pernah saya baca. Atau mungkin karena tokoh-tokohnya yang digambarkan begitu cerdas sehingga tidak bisa dipahami oleh pembaca macam saya. Atau barangkali lebih tepatnya, karena tidak ada satu pun karakter dalam novel ini yang benar-benar saya suka. Tidak Ezra, tidak Cassidy, tidak Toby dan tidak pula lainnya. Tapi saya cukup simpati pada Cassidy. Awal kemunculannya biasa saja, lalu mulai menyebalkan di pertengahan, mirip Alaska yang mood-nya naik turun dan menjengkelkan. Tapi di akhir, penjelasan Cassidy mampu melunturkan kejengkelan saya. Membuat saya setuju dengan pemikiran dan keputusannya. Lagipula, saya sudah pengen cepat-cepat pindah ke novel lain. 

“Kita melintasi kehidupan orang lain bagai hantu, meninggalkan kenangan-kenangan mendalam tentang orang-orang yang tidak pernah nyata. Padahal akhirnya kita sendiri yang memilih sosok yang ingin kita tampilkan di depan orang lain.” (Hal. 314)
02 August 2015

The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Walikota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu. Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang akan mengungkap kehidupan Allan sebelumnya. Sebuah kehidupan di mana –tanpa terduga– Allan memainkan peran kunci di balik berbagai peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin Komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya ?

Ini novel dengan judul terpanjang yang pernah saya baca. Awalnya saya pikir petualangan Allan akan mirip dengan petualangan kakek-kakek dalam film animasi Up. Tapi setelah baca beberapa halaman, harapan kecil itu buyar. Petualangan Allan tidaklah sesederhana itu, malah lebih mirip kisah Forrest dalam film Forrest Gump, bahkan lebih gila lagi.

“Ketika kau sudah hidup terlalu lama, akan mudah sekali bertindak semaunya” (hal. 9)

Alur novel ini maju mundur. Jadi boleh dibilang ada dua bagian cerita. Cerita pertama, dimulai tahun 2005 ketika Allan yang berumur 100 tahun melompat dari jendela dan memutuskan untuk kabur, kemudian mencuri koper milik anggota organisasi kriminal Never Again, dan akhirnya dikejar-kejar oleh polisi dan bos organisasi itu. Lalu cerita kedua mundur ke tahun 1905 ketika Allan lahir, tumbuh dan melewati masa mudanya dengan berlatih membuat bom yang membuatnya mengalami sederet petualangan yang ajaib. Terus terang, petualangan Allan di masa mudanya jauh lebih menarik, konyol, gila dan jauh lebih menegangkan dibanding petualangannya dikejar-kejar organisasi Never Again.

“Konflik terbesar dan paling sulit diselesaikan di muka bumi ini terjadi karena dialog berikut ini : ‘Kau bodoh, bukan, kau yang bodoh, bukan, kau yang bodoh.’” (hal. 250)

Allan menganut prinsip bahwa segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang terjadi, pasti terjadi. Prinsip ini yang membawa Allan ke berbagai belahan dunia, bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah dan berkali-kali lolos dari maut. Novel ini penuh dengan muatan politik, tapi kehadiran Allan yang polos dan situasinya yang tak tertebak ditambah dialognya yang lucu membuat saya tidak bosan membaca. Politik adalah satu dari dua topik yang paling membuat saya tidak tertarik.

“Balas dendam itu seperti politik, satu hal akan diikuti hal lain sehingga yang buruk menjadi lebih buruk dan yang lebih buruk akan menjadi paling buruk.” (hal. 89)

Jonas Jonasson, si penulis, menyindir banyak hal dan banyak orang dalam novelnya yang setebal 508 halaman itu. Mulai dari komunisme, permainan politik orang-orang penting, hukum, sampai agama tidak luput dari sindiran penulis. Amerika Serikat disebut sebagai hyena kapitalis. Pendeta Anglikan yang ditemui Allan, yang metodenya merekrut jemaat entah mau disebut gila atau genius karena perbedaannya tipis sekali. Metode penyiksaan ala CIA yang disebut ‘mengagumkan’, sampai kumis Stalin juga ikut dibawa-bawa. Dari awal sampai pertengahan saya rasa tidak ada yang begitu lucu, mungkin karena belum terbiasa baca novel komedi hitam semacam ini. Nanti di halaman 200-an saya mulai senyum-senyum, lalu terkikik-kikik, lalu terkekeh-kekeh, lalu terbahak-bahak. Tawa saya sukses meledak ketika sampai pada dialog yang membahas kumis Stalin itu.

“Orang Hindu dan Muslim tidak akur, dan di tengah-tengah ada Mahatma Gandhi yang duduk bersila, mogok makan karena tidak puas terhadap sesuatu. Strategi macam apa itu ?” (hal. 228)

“Dari semua kelompok yang ada di bumi, menurutku trinitas yang paling tidak membuatku tertarik” (hal. 200)

Dan yang paling seru adalah ketika Indonesia masuk dalam salah satu destinasi petualangan Allan. Alih-alih tersinggung atau marah, saya malah tergelitik membaca gambaran penulis tentang permainan politik di Indonesia. Kalau kau punya posisi, dan uang tentu saja, kau bisa menentukan mana yang benar. Dengan uang, orang bisa dengan mudah mendapatkan surat izin mengemudi bahkan meski orang itu begitu bodoh untuk membedakan mana kiri mana kanan. Dengan uang, orang yang kecerdasannya setara dengan kodok pun bisa jadi gubernur, menteri, duta besar atau bahkan kepala negara. Indonesia adalah negara di mana segalanya mungkin.

“Di Indonesia semuanya bisa dijual sehingga siapa saja yang punya uang bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan” (Hal. 359)
 
;