14 May 2015

Garis Batas

 

“Mana yang lebih penting, bebas bersuara tetapi kelaparan, ataukah mulut dibungkam tetapi perut selalu kenyang ?” 
~Agustinus Wibowo, Garis Batas~ 

Di antara ketiga buku Agustinus, Garis Batas adalah buku pertama yang saya beli. Tetapi buku kedua yang saya baca. Macam mana bisa begitu ? Panjang ceritanya. Saya belum pernah baca tulisan Agustinus Wibowo sebelumnya. Tapi buku Titik Nol pernah samar-samar terdengar karena banyak yang bilang bagus. Waktu ke Gramed juga sempat lihat buku itu nongol di posisi best seller. Tapi tidak tertarik beli. Maklum, masih kena demam Haruki Murakami. Iseng-iseng baca sekilas, saya langsung buka halaman terakhir, di situ ada informasi tentang buku Agustinus sebelumnya yang berjudul Garis Batas. Di sinopsisnya disebutkan kalau Garis Batas merangkum petualangan penulis di Asia Tengah yang misterius; Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkemnistan. Eh, tadi apa katanya, Kazakhstan ? Ini dia. Perempuan itu berasal dari Negara ini, bisik saya dalam hati. 

Mari kita undur waktu ke bulan Februari 2014. Ceritanya waktu itu shalat subuh baru saja usai. Puluhan orang berdesak-desakan keluar di pintu Masjidil Haram. Kami memilih menunggu beberapa bentar sampai kerumunan di pintu berkurang. Saya bersandar di salah satu tiang sambil memperhatikan sekitar. Tiba-tiba pandangan saya terpaku pada sosok berjubah hitam dan berkerudung biru muda. Yang membuat saya terpana adalah parasnya, masya Allah. Kalau hanya sekadar cantik, sudah sering saya lihat yang lalu-lalang mulai dari penduduk asli atau jamaah dari berbagai negara. Tapi yang satu ini, Masya Allah. Saking noraknya, sambil terus berucap Masya Allah, mata saya terus mengikuti perempuan yang sedang berjalan keluar masjid bersama rombongannya. Di punggungnya menggantung ransel yang dipakai seragam oleh setiap anggota rombongan bertuliskan : Kazakhstan. 

Jadi pertama, saya tertarik beli buku karena teringat perempuan itu. Kedua, seperti kata penulis, negeri-negeri “Stan” itu misterius. Kabar beritanya sangat jarang sampai ke Indonesia. Lihat saja buku-buku travel yang banyak dijual di gramed, jarang atau mungkin tidak ada yang mengupas tentang Tajikistan, Kirgiztan dan Negara Asia Tengah lainnya. Kebanyakan berputar di Eropa, Jepang, Korea, Yunani dan Asia Tenggara.
Sayangnya, setelah buku dibeli, sepupu datang berkunjung dan membawa pulang buku itu. Karena sudah penasaran stadium lanjut, dua hari kemudian saya kembali ke gramed dan memboyong buku pertama dan ketiga. Demikian ceritanya. Terima kasih sejauh ini tetap bertahan membaca. Hihihi… 

Setelah beberapa tahun tinggal di Afganistan, Agustinus melanjutkan perjalanannya menyeberangi Amu Darya, masuk ke negeri stan bersaudara. Sungai Amu Darya adalah garis batas. Menyeberangi garis batas berarti menyeberangi garis batas kultur dan ideologi. Negara-negara berakhiran “stan” yang dijelajahi penulis dulunya adalah bagian dari raksasa Uni Soviet yang luasnya mencapai lima belas persen luas daratan bumi. Lalu, raksasa itu ambruk. Kolaps. Seketika terpecah menjadi berbagai negara baru dengan nama aneh-aneh, dalam bentuk dan ukuran yang beragam.  

Tajikistan, belasan tahun lalu tak banyak orang tahu tentang Negara ini. Tidak nampak di peta dunia. Berbeda dengan Afganistan yang memiliki aturan ketat dalam berpakaian, di Tajikistan yang berlaku adalah modernitas ala Eropa : jas, dasi, kemeja, sepatu dan tas kerja. Lelaki Tajik memakai kemeja dan celana panjang, mengenakan jubah tebal yang menjuntai mirip jas kebesaran raja. Sementara kaum perempuan membiarkan rambut mereka tergerai. Jarang sekali terlihat perempuan mengenakan jilbab, apalagi burqa. Dibanding Stan-stan lainnya, Tajikistan adalah negara terkecil sekaligus termiskin. Tapi walau tidak kaya, mereka juga tidak mengemis atau menggelandang. Dan walaupun miskin, angka melek huruf di Tajikistan hampir seratus persen. Sebab di zaman Uni Soviet dulu, pemerintah selalu mendorong pendidikan sampai ke pedalaman. Suasanan bulan ramadhan di Tajikistan nyaris tidak terasa. Mayoritas memang muslim, tapi restoran dan warung ramai seperti biasa sebab kebanyakan tidak berpuasa. Para lelaki Tajik malah asyik menenggak vodka di siang hari. 

Kirgiztan, Negara pertama yang memproklamirkan kemerdekaannya dari Moskow. Negara pertama di Asia Tengah yang punya mata uang sendiri. Dan juga, Negara pecahan Soviet pertama yang menjadi anggota WTO, dengan bantuan IMF dan Bank Dunia tentunya. Sayang, jika dulu harus menurut perintah Moskow, kini harus manut pada aturan globalisasi, kapitalisme dan lembaga internasional. Mata uang Kirgiz, Som, langsung ambruk begitu diperkenalkan. Sekarang Kirgiztan kecil megap-megap ketika banyak penduduknya kehilangan pekerjaan. Kota-kota Kirgiztan pun jadi berbahaya ketika hari mulai gelap, karena pemabuk bisa-bisa melompat dari balik pohon dan menodongkan pisau. 

Kazakhstan, raksasa besar dengan luas wilayah menempati urutan kesembilan dunia, seluas Eropa Barat, masih lebih luas daripada keempat saudara Stan digabungkan sekaligus, hampir satu setengah kali luas daratan Indonesia. Tapi penduduknya tak sampai 16 juta jiwa. Dulu yang tinggal di padang luas Kazakhstan adalah bangsa pengembara, kehidupan berkutat pada rumput, ternak, sungai dan musim. Lima belas tahun setelah Kazakhstan berdiri, padang rumput itu berubah menjadi negara kaya. Penduduknya bukan lagi gembala kelaparan, tetapi gadis cantik berbalut syal dari bulu yang mahal, berhak sepatu tinggi, menenteng tas bermerk Paris atau Italia. Kaum pria menebarkan bau parfum impor dan berpakaian perlente. Nuansa mewah memancar di sudut toko di pusat kota Almaty dengan dengan label harga yang selangit. Harga bakmi instan saja bisa mencapai lima dolar. Tapi semahal-mahalnya Almaty, sebanding dengan gaji yang mereka dapat. Gaji bulanan guru bahasa inggris untuk militer Kazakhstan bisa lebih dari sepuluh ribu dolar, atau seratus juta rupiah. Dengan produksi minyak yang sampai ratusan ribu barel per hari, pendapatan Kazakhstan melonjak dari 100 dolar menjadi 6.000 dolar hanya dalam hitungan belasan tahun. Dua ladang minyak Kazakhstan termasuk yang terbesar di muka bumi. Sama-sama merdeka berbarengan, Kazakhstan terus memodernisasi diri, sementara Tajikistan harus tabah di barisan negara termiskin di dunia. 

Uzbekistan, terkenal sebagai salah satu pecahan Soviet yang paling anti Rusia. Patung-patung pahlawan komunis ditumbangkan. Bahasa Rusia diganti bahasa Uzbek. Begitu merdeka, etnis Rusia tergusur kedudukannya. Yang dulu penguasa sekarang warga kelas dua. Keturunan Rusia sulit mendapat pekerjaan, banyak yang terpaksa jadi pemulung dan pegemis. Yang menarik, ternyata universitas di Uzbekistan punya jurusan Bahasa Indonesia. Kalau di Indonesia, ada tidak ya kampus yang punya jurusan bahasa Uzbek ? Di Negara yang mayoritas muslim ini, Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Pada masa Uni Soviet, Islam dianggap ancaman. Setelah Uzbekistan merdeka, keadaan tidak banyak berubah. Masjid terus dikontrol pemerintah, adzan tidak boleh dikumandangkan, isi khotbah harus sejalan dengan kebijakan pusat dan orang-orang yang dicurigai ditangkap. Secara umum, yang berkembang di Asia Tengah adalah ajaran sufi, bercampur dengan budaya dan tradisi. Sehingga tak jarang orang merancukan mana yang budaya dan mana yang benar-benar ajaran islam. 

Turkmenistan, ketika Negara-negara Asia Tengah lainnya gencar mengganti nama jalan, kota, sekolah, lapangan dan gedung yang berbau Uni Soviet atau Rusia, Turkmenistan lebih ekstrim lagi. Nama bulan-bulan di penanggalan pun ikut diganti. April menjadi Gubansoltan Eje, September menjadi Ruhnama dan ada pula bulan yang namanya sangat berbau propaganda, seperti bulan Netralitas, Bendera, dan Kemerdekaan. Perubahan nama juga merembet ke nama hari. ada hari isirahat (Minggu), hari bahagia (Rabu), dan hari roh (Sabtu). Melihat foto kota Ashgabat yang modern dan artifisial, rasanya seperti melihat dunia yang sama sekali asing. Pusat kota Ashbagat adalah daerah yag teramat sensitif. Ada mata-mata yang terus mengintai. Di setiap sudut jalan tentara mondar-mandir dengan langkah tegap. Setiap gerak-gerik terpantau, tidak boleh ambil gambar sembarangan, salah sedikit bisa berujung penjara.

Foto-foto yang ditampilkan dalam buku kedua ini jauh lebih banyak dibanding buku pertama. Yang menjadi masalah teknis dari trilogi buku ini adalah kualitas perekat yang kurang baik. Baru dibuka beberapa kali, lembarannya mulai lepas satu per satu. Bagi saya yang belum pernah menyentuh wilayah Asia Tengah, negeri-negeri Stan itu tetap misterius. Sebab antara membaca dan menyaksikan secara langsung itu jelas berbeda. Ah, semoga suatu saat nanti saya punya kesempatan berkunjung ke sana.
 
;