01 February 2016

The Girl Who Saved The King of Sweden


Bahwa seorang gadis buta huruf kelahiran Soweto, sebuah perkampungan kumuh di Afrika Selatan, akan tumbuh dan kelak terkurung dalam sebuah truk pengangkut kentang bersama raja dan perdana menteri Swedia adalah kejadian dengan probabilitas statistik 1 : 45.766.212.810. Itu menurut perhitungan Nombeko Mayeki, si gadis buta huruf itu sendiri. 

Setelah meninggalkan Soweto yang suram tanpa masa depan, suatu hari Nombeko justru menjadi anomali dari probabilitas statistik yang dihitungnya sendiri. Bertemu raja dan perdana menteri Swedia bagi gadis sepertinya saja sudah luar biasa. Tetapi, terkurung di dalam truk pengangkut kentang bersama mereka ? Yang benar saja! 

Kegilaan ini tidak akan terjadi kalau bukan karena bom atom ketujuh, bom atom yang seharusnya tidak ada. Nombeko tahun terlalu banyak tentangnya, dan sekarang (walau terpaksa), nasib dunia berada di tangannya. Bersama kakak beradik kembar yang salah satu keberadaannya tidak diakui secara resmi dan rekan lain yang tidak kompeten, Nombeko tahu misi ini tidak akan mudah. Dan, ya…memang begitulah. 

Jika tokoh utama dalam buku The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared adalah kakek berusia 100 tahun, kali ini Jonas Jonasson menjadikan gadis 14 tahun dari Afrika Selatan sebagai tokoh sentral. Tema cerita masih seputar politik dan bom atom yang dibalut dalam komedi hitam. Sepertinya penulis sangat menyukai tema semacam ini. 

“Perbedaan antara kebodohan dan kecerdasan adalah bahwa kecerdasan ada batasnya.” 
-Anonim- 

Nombeko Mayeki, gadis buta huruf dari Soweto sehari-harinya bekerja sebagai penguras jamban di kota itu. Suatu ketika ia harus meninggalkan tanah kelahirannya setelah ditabrak mobil seorang insinyur pemabuk, Engelbrecht van der Westhuizen. Berdasarkan hasil keputusan pengadilan (yang sangat tidak adil dan konyol), Nombeko dinyatakan bersalah dan harus mengganti rugi sebesar lima ribu rand serta diwajibkan mengabdi pada Westhuizen selama 7 tahun. 

Westhuizen sendiri adalah seorang insinyur yang memimpin sebuah proyek paling rahasia; membuat Afrika Selatan menjadi negara bersenjata nuklir. Proyek tersebut dilakukan dalam sebuah laboratorium riset di Pelindaba, sebuah tempat di sebelah utara Johannesburg. Laboratorium itu memiliki pengawasan ketat dan berlapis. Dikelilingi pagar setinggi tiga meter yang dialiri listrik 12 ribu volt. Di lingkar dalamnya ada pengawal dan anjing penjaga. Di lingkar yang lebih dalam lagi ada pagar dengan tinggi yang sama dan aliran listrik yang sama besarnya. Dan di antara kedua pagar tersebut ditanam ranjau darat yang mengelilingi laboratorium. Selama bertahun-tahun Nombeko terkurung dalam laboratorium, mengabdi pada Westhuizen sebagai cleaning service. 

“Masa kini- bagian dari keabadian yang memisahkan wilayah kekecewaan dari alam harapan.” 
-Ambrose Bierce- 

Nombeko sebenarnya tidaklah sebuta huruf yang disebutkan. Selama di Soweto ia belajar membaca buku. Bahkan tujuan Nombeko meninggalkan Soweto setelah ibunya meninggal adalah untuk mengunjungi perpustakaan besar di Swedia. Keahlian utama Nombeko adalah masalah hitung-hitungan. Ia ahli menghitung berderet angka sampai ke titik desimal yang bagi orang biasa harus menggunakan kalkulator. Dengan kemampuannya itu, ditambah wawasannya yang luas karena rajin membaca buku, Nombeko secara tidak langsung banyak membantu Westhuizen dalam proyek pembuatan bom. 

“Hidup tidak harus mudah, apapun asal bukan kehidupan yang kosong.” 
-Lisa Meitner- 

Masalah dimulai justru setelah proyek tersebut selesai. Tugas Westhuizen adalah membuat enam bom. Tapi kebodohan insinyur pemabuk ini membuatnya salah perhitungan sehingga tercipta tujuh buah bom. Setelah bebas dari laboratorium, dan setelah Westhuizen mati dibunuh agen Mossad, Nombeko merasa bertanggung jawab terhadap bom atom ketujuh. Selama perlariannya dari dua agen Mossad yang menginginkan bom itu, Nombeko bertemu banyak orang mulai dari si kembar Holger, seorang gadis pemarah yang sulit diatur bernama Celestine, nenek Celestine, perdana menteri Tiongkok sampai Raja Swedia. 

“Tak pernah sekali pun dalam hidupku kulihat seorang fanatik yang memiliki selera humor.” 
-Amos Oz- 

Petualangan yang diciptakan Jonas Jonasson masih fantastis seperti biasa. Ceritanya penuh dengan anomali. Sementara tokoh-tokohnya kaya akan karakter unik (dan absurd) yang membuat pembaca geleng-geleng kepala. Tapi ada sedikit perbedaan dengan buku pertama. Jika dalam The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared Jonas Jonasson mengambil jarak dengan menjadi orang luar yang mengkritik dan mengomentari berbagai fenomena politik, maka dalam buku ini ia berpindah-pindah pada setiap karakter untuk menuangkan kritikannya. Jadi boleh dibilang ia menjadikan setiap tokohnya sebagai sindiran terhadap berbagai hal. Setiap kebodohan, kefanatikan atau kekonyolan tokoh-tokohnya adalah sindiran penulis. 

Yang fanatik benar-benar dibuat fanatik sampai mati. Seperti karakter Ingmar, ayah Holger bersaudara yang awalnya begitu memuja sistem monarki tiba-tiba berubah 180 derajat setelah dikecewakan oleh raja. Ia pun “mendedikasikan” hidupnya untuk menumbangkan monarki dan menggulingkan raja. Ia menghabiskan uang istrinya dan mendidik anak-anaknya untuk memenuhi ambisinya. Doktrin Ingmar kemudian menurun pada Holger Satu yang tidak pernah punya ide dan hanya membebek pada ajaran ayahnya. 

Yang polos dan bodoh tapi selalu beruntung juga dibuat seperti itu sampai akhir cerita seperti tiga gadis Tiongkok yang ditemui Nombeko dalam laboratorium. Atau sindiran Jonas Jonasson terhadap sistem suap yang lumrah terjadi di negara-negara secara umum dan secara tidak langsung ia memuji Swedia yang terkenal sebagai salah satu negara paling tidak korup di dunia. Sindiran sekaligus pujian itu dituangkan lewat alotnya prosedur yang dilalui Nombeko dan Holger Dua untuk bertemu Raja serta bertahun-tahun usaha mereka untuk sekadar berbicara dengan perdana menteri. Tidak satu pun staf pemerintahan yang bisa disuap untuk mempertemukan mereka. Para staf itu sangat patuh menjalankan protokol.

Di antara dua buku Jonas Jonasson, terus terang terang petualangan Allan lebih mengasyikkan dibanding Nombeko. Keabsurdan dalam novel kedua ini agak berlebihan (mungkin seperti itulah ciri khas penulis). Selain itu saya sempat bosan di pertengahan, yang membuat buku ini butuh waktu lama untuk diselesaikan.
 
;