29 September 2016

Permen dalam Gelas

“Rasanya benar-benar hampa ketika aku tidak tahu apa yang kuinginkan atau apa yang harus kulakukan.”

Satu hal yang kupahami selama mengenal sepupuku ini adalah bahwa ia jarang menunjukkan keresahannya, atau kelemahannya. Dia selalu terlihat ceria. Mungkin karena pengaruh nama panggilannya sejak kecil. Nama yang tidak berhubungan dengan nama lengkapnya. Nama yang memiliki arti “bahagia”. Tapi di momen yang singkat itu, aku bisa mengintip secuil kegelisahannya. Kami sedang membahas rencananya untuk lanjut studi. Membahas berbagai universitas dan beasiswa. Tapi tak tahu kenapa pembicaraan itu jalan di tempat. Seolah-olah tidak ada yang ingin melangkah lebih jauh. Seperti lari di treadmill. Kau berlari tapi tak kemana-mana. Hingga kemudian ia mengatakan ini,

“Aku selalu bermimpi pergi ke luar. Menjelajah tempat baru. Bertemu orang-orang asing. Tapi jika mengingat ibuku yang semakin tua, rasanya impian itu tidak terlalu penting lagi bagiku.”

Pikiranku melayang keluar jendela, terus naik ke angkasa dan terbang menuju pulau kecil yang terletak di ujung paling selatan Pulau Sulawesi. Lalu menukik ke sebuah rumah mungil tempat keluargaku berada. Ibuku mungkin sedang memasak atau memeriksa ujian murid-muridnya, atau sedang nonton sinetron India bersama ayahku. Tetiba aku dihantam rasa rindu. Padahal baru sehari kutinggalkan rumah dan sedang transit di Makassar. Dulu jarak Makassar-kampungku kuanggap sudah cukup jauh. Tapi sejak bekerja di kota ini, baru terasa kalau Makassar dan kampungku sebenarnya sangat dekat. Hukum relativitas nampaknya berlaku di sini.

Aku, seperti kebanyakan orang, punya banyak mimpi. Bertumpuk-tumpuk seperti permen dalam gelas. Permen impian. Begitu banyaknya hingga kadang aku lupa pada permen yang berada di dasar gelas. Seiring bertambahnya pengetahuan, beberapa di antaranya sudah kubuang. Kadang aku tersenyum sendiri mengingat banyaknya hal mustahil yang kuimpikan ketika masih kecil. Beberapa lagi sudah kumakan, Alhamdulillah. Sisanya tetap tersimpan dalam gelas. Menunggu dimakan.

“Bila keinginan kita masih tentang diri kita sendiri, habiskanlah”, kata Kurniawan Gunadi dalam buku Hujan Matahari-nya. Situasiku saat ini, boleh dibilang mendukung berdasarkan anjuran si penulis. Kita ingin ini-itu, mau buat ini-itu, mau bangun ini-itu, mau belajar macam-macam, mau jalan kemana-mana. Poin pentingnya, jika kau masih sendiri, habiskan egomu sebisanya. Dengan begitu, lanjut KG, seseorang akan lebih lapang ketika tiba waktunya membersamai orang lain. Sebab ada tanggung jawab dan prioritas baru yang boleh jadi berbeda dari sebelumnya.

Menghabiskan ego. Sepertinya masuk akal juga. Tetapi saat libur, tepatnya meliburkan diri, selama tiga bulan membuatku punya banyak waktu memikirkan dan menyusun ulang beberapa hal. Terkait “libur panjang” ini beberapa teman kerja meledekku macam-macam. Katanya sudah mirip orang cuti melahirkan. Hahaha. 

Entah kapan mulanya, tapi kurasa ini pemicunya : uban. Uban ibuku tepatnya. Setiap bercermin di lemari, kudapati helai-helai uban menempel di pinggiran kayunya. Rupanya ibuku sesekali mencabuti ubannya dan menempelkannya di bingkai cermin. Gatal katanya. Setahuku, kita dilarang mencabuti uban karena di hari kiamat akan menjadi cahaya bagi orang mukmin. Bagaimanapun, aku terharu melihat helai demi helai rambut putih itu. Aku bukan orang yang cengeng. Tapi segala sesuatu yang menyangkut ibuku bisa membuatku menangis. Dia kekuatan sekaligus kelemahanku.

Ibuku selalu sibuk, dalam arti aku jarang melihatnya duduk-duduk tanpa melakukan sesuatu. Ada-ada saja yang dia kerjakan. Jadi aku membantunya sebisaku, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian dan mengantarnya kemana-mana mulai dari sekolah, pasar, tempat arisan atau ke acara kondangan. Masa libur tiga bulan itu, seingatku, adalah waktu terlama aku tinggal bersama ibu sejak 17 tahun terakhir. Masa libur tiga bulan itu, mengubah sesuatu dalam diriku. "Aku tidak ingin kemana-mana lagi", kalimat ini meluncur begitu saja dari kepalaku. Ditambah kata-kata sepupuku tadi, aku jadi mengerti sepenuhnya.

Kita punya banyak impian. Tapi kita dibatasi pilihan. Yang namanya pilihan, seringkali kau hanya bisa memilih satu. Di samping itu, ada waktu yang memagari impian dan pilihan itu. Kesempatan belum tentu datang dua kali, kata orang. Ini berlaku untuk semua hal. Untuk impian maupun pilihan tadi. Dalam kasus sepupuku, ia ingin belajar dan bekerja di tempat yang kelihatannya lebih menjanjikan. Ia bisa saja mengejar impiannya. Tapi ia juga paham bahwa birul walidain tidak bisa diulang dua kali. Sama seperti mendidik anak yang tidak bisa diulang dari awal. Karena itu, suatu hari sepupuku pernah berkata bahwa ia, mungkin, tidak akan keluar dari Makassar. Karena di sanalah ia bisa menjangkau impian dan pilihannya sekaligus. Bekerja di tempat yang tidak jauh dari rumah. Dengan begitu ia selalu bisa berada di dekat orangtuanya. Bukan berarti ia benar-benar tidak akan ke mana-mana. Bagaimana pun, sepupuku itu tukang jalan. Hanya saja untuk yang sifatnya jangka panjang dia tidak akan pergi jauh. Mungkin ia tidak bisa memakan permen besar dalam gelasnya. Tapi dengan begitu ia tidak akan menjadi anak yang menyesal. Ini hanya masalah pilihan. Bagiku dan bagi sepupuku, ada sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang impian-impian itu. Kesempatan membersamai orangtua. Kesempatan yang mungkin suatu saat seorang anak akan menyesal dan bersedia menukar semua impian itu dengan satu kesempatan tadi. Sepupuku tidak ingin menjadi orang yang menyesal. Aku pun tidak.

Semoga Allah menjaga dan melindungi orangtua kami, menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi anaknya, memberkahi umurnya, menjauhkan mereka dari penderitaan penyakit dan penderitaan masa tua. Dan membahagiakan mereka dunia akhirat.
04 September 2016

Kesetiaan Mr. X (Yõgisha X no Kenshin)


Ketika si mantan suami muncul lagi untuk memeras Yasuko Hanaoka dan putrinya, keadaan menjadi tak terkendali, hingga si mantan suami terbujur kaku di lantai apartemen. Yasuko berniat menghubungi polisi, tetapi mengurungkan niatnya ketika Ishigami, tetangganya, menawarkan bantuan untuk menyembunyikan mayat itu. 

Saat mayat tersebut ditemukan, penyidikan detektif Kusanagi mengarah kepada Yasuko. Namun sekuat apa pun insting detektifnya, alibi wanita itu sulit sekali dipatahkan. Kusanagi berkonsultasi dengan sahabatnya, Dr. Manabu Yukawa sang profesor Galileo, yang ternyata teman kuliah Ishigami. 

Diselingi nostalgia masa-masa kuliah, Yukawa sang pakar fisika beradu kecerdasan dengan Ishigami, sang genius matematika. Ishigami berjuang melindungi Yasuko dengan berusaha mengakali dan memperdaya Yukawa, yang baru kali ini menemukan lawan paling cerdas dan bertekad baja. 

Ini pertama kalinya baca novel detektif karangan Keigo Higashino yang dilihat dari tahun terbit ternyata sudah lama beredar (pertama kali terbit tahun 2005 di Jepang). Novel ini juga sudah diadaptasi ke layar kaca. Beberapa tahun lalu sepupu sempat menyinggung dorama berjudul Galileo. Katanya ratingnya cukup tinggi di Jepang. Tapi cuma sebatas itu. Sampai sekarang belum pernah nonton karena tidak terjangkau radar si Tukang Donlot. Wehehehe… 

“Soal-soal dariku sama sekali tidak sulit. Aku hanya memanfaatkan lubang kelemahan dalam asmumsi mereka.” 

Dalam novel detektif, biasanya penulis menyajikan sederet nama agar pembaca ikut menebak pelaku kejahatan berdasarkan petunjuk yang disediakan. Tapi novel ini mengandalkan trik rahasia yang digunakan. Sebab pelaku pembunuhan sudah jelas di awal cerita yaitu Yasuko Hanoka. Yang kemudian tetangganya, Ishigami menawarkan bantuan untuk menyembunyikan mayat dan menyelamatkan Yasuko dari tuduhan. 

“Mana yang paling sulit : membuat soal yang sulit dipecahkan orang lain atau memecahkan soal itu sendiri ?” 

Yukawa, sang professor Galileo, dan Ishigami adalah teman seangkatan di Universitas Teito. Ishigami mengambil jurusan matematika sementara Yukawa di jurusan fisika. Yukawa meneruskan penelitian hingga menjadi asisten profesor. Sementara Ishigami karena satu dan lain hal, berakhir menjadi guru matematika di SMA swasta. Kasus inilah yang mempertemukan mereka kembali. 

Nah, apa jadinya jika dua orang genius bertemu dengan tujuan yang saling bertolak belakang ? Yang satu ingin mengungkap kejahatan, dan satunya lagi berusaha melindungi pelaku kejahatan. Ishigami mengerahkan seluruh kemampuan dan kecerdasannya untuk membantu Yasuko dan putrinya. Ia mengajarkan mereka hal-hal yang harus dilakukan untuk memperkuat alibi, cara bersikap di depan polisi dan cara menjawab pertanyaan para detektif agar tidak ada kontradiksi. Semua dirancang secara sistematis oleh Ishigami sendiri. 

“Saat orang biasa berusaha menutupi kejahatannya serumit mungkin, justru kerumitan itu yang akan membuatnya menggali lubang kubur sendiri. Tapi orang genius takkan sampai berbuat begitu. Dia akan memilih metode sederhana, tapi tak pernah terpikirkan atau bakal dipilih orang biasa untuk membuat kasus itu menjadi sulit.” 

Poin penting kasus ini adalah trik yang digunakan Ishigami untuk membuat alibi Yasuko sulit dipatahkan. Saya sendiri tidak menyangka ia menggunakan trik semacam itu. Triknya terlihat tidak rumit, tapi tidak akan terlintas di pikiran orang biasa. 

"Mana yang paling mudah : menjawab berdasarkan pemikiran kita sendiri atau memastikan benar-tidaknya jawaban yang berasal dari pihak lain ?” 

Yang menarik, novel ini tidak melulu membahas tentang pemecahan kasus. Tapi juga mengajak pembaca untuk memahami menusia dan jalan pikiran mereka. Terutama manusia jenius yang jatuh cinta pada seorang pelaku pembunuhan. Penyelesaian kasus juga bukan dengan memojokkan pelaku berdasarkan bukti-bukti sehingga ia tak bisa lagi mengelak. Pendekatan yang dipakai sama sekali berbeda. Ending-nya boleh dibilang layak untuk semua tokoh. Saya sampai terharu dibuatnya. Bagaimanpun, ada rasa sedih yang tersisa meski kasus sudah ditutup. 

“Di dunia ini tak ada roga gigi yang tak bermanfaat dan yang bisa menentukan bagaimana dirinya akan digunakan hanya si roda gigi itu sendiri.”
01 September 2016

The Wrath & The Dawn


Khalid Ibnu al-Rashid, Khalif Khorasan adalah seorang monster. Dia menikahi perempuan muda setiap malam dan menjerat pengantin barunya dengan tali sutra saat fajar tiba. Ketika sahabatnya menjadi korban kezaliman Khalid, Shahrzad al-Khayzuran bersumpah akan menuntut balas. Ia mengajukan diri menjadi pengantin Sang Khalif. Shahrzad tak hanya bertekad untuk bertahan hidup, tapi juga bersumpah akan mengakhiri rezim kejam sang raja. 

Malam demi malam, Shahrzad memperdaya Khalid, menceritakan kisah-kisah memikat yang membuatnya terus bertahan, meski tiap fajar bisa jadi merupakan saat terakhirnya melihat matahari terbit. Tetapi sesuatu yang tak terduga mulai terkuak: ternyata Khalid bukanlah sosok yang Shahrzad bayangkan. Sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang pembunuh berdarah dingin. Mata emasnya memancarkan kehangatan. Monster yang ingin dilawan Shahrzad itu tak lebih daripada pemuda dengan jiwa tersiksa. Dan Shahrzad mulai jatuh hati kepadanya… 

Well…well…tentang balas dendam yang berubah jadi jatuh hati, tentang cinta yang tidak direncanakan. Tema semacam ini biasanya selalu menarik minat pembaca romance. Tertarik baca novel ini karena latarnya yang kental nuansa Timur Tengah. Apalagi ceritanya terinspirasi dari novel klasik The Arabian Nights atau yang dikenal dengan Kisah 1001 Malam. Saya sendiri belum pernah baca novel itu tapi tahu sedikit lewat buku-buku lain. Buku Titik Nol-nya Agustinus Wibowo juga meminjam gaya The Arabian Nights. 

Alkisah, ada seorang Sultan yang sangat mencintai istrinya dan melakukan apapun demi sang istri. Sayangnya istri tersebut tidak mencintai sang Sultan, bahkan menipunya. Sultan yang kecewa dan sakit hati pun akhirnya membenci wanita. Baginya semua wanita sama liciknya dengan istrinya. Oleh karena itu jumlah mereka harus dikurangi. Maka setiap malam sang Sultan menikahi seorang perempuan, kemudian saat fajar ia memerintahkan wazir (penasihat)nya untuk membunuh perempuan itu. Begitu seterusnya hingga suatu hari putri sang wazir mengajukan diri untuk diperistri oleh Sultan. Putri tersebut menguasai filsafat, sastra, sains dan seni. Di malam hari sang Putri menceritakan kisah yang menarik minat Sultan. Tapi kisah itu berakhir menggantung ketika fajar tiba. Sultan yang penasaran dengan kelanjutan cerita memutuskan menunda eksekusi sang Putri. Malam demi malam sang Putri terus menceritakan kisah yang berakhir menggantung hingga akhirnya genap 1001 malam. Lewat kisah-kisah sang Putri itulah dikenal Aladin dan lampu ajaibnya, permadani terbang, kisah raja-raja hingga Sinbad si Pelaut Ulung. 

“Seratus kehidupan untuk satu nyawa yang kau ambil. Satu kehidupan untuk satu fajar.” 

The Wrath & The Dawn karya Renee Ahdieh ini adalah re-telling The Arabian Nights. Di kerajaan bernama Khorasan, berhembus rumor bahwa raja mereka, Khalid Ibnu al-Rashid telah berubah menjadi monster. Setiap malam ia menikahi perempuan muda yang dipilih secara acak. Perempuan-perempuan ini tidak ada yang hidup lebih dari satu hari dalam istana karena menjelang fajar leher mereka dijerat tali sutra hingga tewas. Suatu hari, sahabat Shazi bernama Shiva ikut menjadi korban sang Raja. Shazi yang ingin menuntut balas mengajukan diri menjadi istri sang Raja. Ia berniat membunuh Raja dengan tangannya sendiri. Malamnya Shazi menceritakan kisah tentang Agib si pelaut miskin. Kisah itu menggantung ketika fajar tiba sehingga Khalid, sang Raja, bersedia menunda eksekusi Shazi. Begitulah selama beberapa malam Shazi menceritakan kisah bersambung sambil mencari cara untuk membunuh Khalid. 

Tetapi Khalid yang tumbuh di lingkungan istana sejak kecil telah dilatih untuk berperang. Ia ahli menggunakan pedang. Secara fisik dan kemampuan, Khalid adalah lawan yang sulit dikalahkan. Pelan-pelan Shazi menyadari bahwa Khalid tidak seperti rumor yang beredar. Ia pun mulai mencari tahu alasan mengapa Khalid membunuh istri-istrinya. Ada rahasia gelap tersembunyi di dalam istana. 

Bagaimana, cukup menjanjikan bukan ? Hihihi… 

Buat penyuka romance, novel yang satu ini tidak boleh dilewatkan. Tokoh laki-lakinya sedingin es (dingin-dingin minta ditabok) sementara tokoh perempuannya kepala batu. Setelah lebih jauh, ternyata si tokoh laki-laki tidak seperti yang terlihat. Sebenarnya ia hangat dan penuh perhatian (eaaa…). Maka si tokoh perempuan pun jatuh kecebur, eh jatuh hati maksudnya. Karakter semacam Khalid sering dijumpai dalam novel atau film (atau anime), dan biasanya menjadi karakter yang memiliki baaaaanyak sekali fans. Itulah kenapa orang-orang lebih suka Rangga dibanding Mamet, atau Sasuke dibanding Naruto, atau Levi dibanding Eren. Tapi aku tetap padamuuu, Sanji-kun… *mulai gagal fokus* 

“Senyumnya merobek sesuatu yang mengaku sebagai jiwaku”  *ulalaa… 

Ceritanya lebih dititikberatkan pada tokoh Khalid, Shazi, serta konflik perebutan kekuasaan. Adapun kisah-kisah yang diceritakan Shazi hanya muncul di awal perkenalan mereka. Novel ini juga bisa disebut fantasi karena memuat unsur sihir dan semacamnya. 

“Ada perbedaan besar antara bermaksud melakukan sesuatu dan benar-benar melakukannya.” 

Ada banyak tokoh protagonis dalam novel tapi karena ceritanya berlanjut ke jilid dua jadi belum bisa dipastikan siapa yang benar-benar baik. Dibanding dua tokoh utama, saya lebih suka tokoh Jalal, sang Jenderal Al-Khoury, penasihat sekaligus sepupu Khalid. Tapi dalam novel ini karakternya belum banyak dikembangkan. Selain itu saya masih penasaran dengan tokoh Ava. Menurutku dialah yang paling layak dikasihani. Apa yang terjadi pada Ava membuat saya semakin jengkel sama Khalid.

Hal lain yang menarik adalah nuansa timur tengah yang kental (mungkin gabungan budaya India, Arab dan Persia) mulai dari menu makanan, pakaian, arsitektur bangunan, interior istana, model senjata, budaya hingga bahasa. Misalnya saja cara salam ketika bertemu atau berpisah. Kalau dalam budaya lain, salam bisa dilakukan dengan jabat tangan, cipika-cipiki, atau menangkupkan kedua telapak tangan di dada, atau membungkukkan badan. Dalam novel ini, salam dilakukan dengan membungkuk dan tangan menyentuh alis kemudian pindah ke dada, sedikit di atas jantung. Salam ini bermakna penghormatan dan kasih sayang. 

Dari segi bahasa juga banyak menggunakan kosa kata asing seperti effendi dan jan, akhiran yang melekat pada nama. Akhiran “effendi”  menunjukkan rasa hormat sementara akhiran “jan” berarti “sayangku”. Misalnya memanggil Jalal dengan Jalal-effendi  atau Khalid dengan Khalid-jan. Ada juga kata delam (jantung hatiku) dan joonam (segalaku) *mantap ^^. Meski arti kedua kata ini terdengar lebay, tapi ketika masuk dalam dialog dan dibaca dalam bahasa asli, ternyata dapat memicu efek doki-doki bagi pembaca *Hahaha… Kebayang Luffy atau Zoro memanggil dengan sebutan delam atau joonam, aiihh…bisa berbusa mulut penonton. 

“Kalaupun harus ada pilihan di antara kita, kau tidak perlu memilihnya, joonam. Tidak untukku.” 

Novel ini tampaknya lebih cocok untuk pembaca perempuan. Biasalah, perempuan suka cerita yang manis-manis menyakitkan. Kalo laki-laki mungkin akan bosan karena tidak banyak action berdarah-darah dan tidak ada super hero dalam cerita. 

“Ketika memikirkanmu, aku tidak dapat menemukan udara untuk bernapas. Dan sekarang, meskipun kau sudah pergi, tidak ada rasa sakit atau rasa takut. Yang tertinggal hanyalah rasa syukur."

Dongeng-dongeng yang pernah kita dengar semasa kecil, jika dipikirkan, memang merupakan kisah yang menakjubkan. Salah satu pelajaran yang dipetik adalah betapa sulitnya menjadi orang-orang dalam dongeng itu. Yang perempuan harus pandai bercerita agar selamat dari eksekusi. Sementara yang laki-laki harus membangun seribu candi demi mendapatkan seorang istri.

Random (10)

Canggung rasanya memainkan tombol-tombol di keyboard laptop. Sudah empat bulan saya tidak menulis apapun. Padahal setiap hari mengutak-atik laptop, tapi bukan untuk menulis. Kalau pun ada niat buat menulis, itu tidak cukup besar untuk ditindaklanjuti. Beberapa bulan ini dorongan menulis seperti samar-samar. Seperti embun yang menempel di kaca. 

Ada yang bilang menulis itu ibarat minum obat, yang kau butuhkan saat sakit dan berhenti setelah sembuh. Ada pula yang menganggapnya kebutuhan primer. Bagi saya, menulis bukan semacam obat, walau saat “sakit” saya bisa menulis lebih sering dari biasanya. Juga bukan kebutuhan yang setiap hari harus dilakukan layaknya makan dan minum. Jika memang ingin, saya akan menulis. Dan keinginan itu harus cukup kuat untuk menggerakkan. Jika memaksa menulis, biasanya saya tidak suka hasil tulisan yang saya buat. 

Terkadang saya membaca ulang semua tulisan di laptop. Beberapa di antaranya betul-betul saya suka, tapi banyak juga yang tidak. Jika diingat-ingat, tulisan yang saya suka itu adalah tulisan yang saya buat sepenuh hati. Sementara yang tidak mengesankan, sampai kapan pun tidak akan mengesankan. 

Saat membuat blog, saya memasang target untuk diri sendiri : minimal satu tulisan satu bulan. Target itu membuat saya seperti dikejar deadline. Padahal saya bukan penulis. Siapa pula yang menunggu tulisan saya ? Tapi saya tetap berusaha memenuhi target itu. Sayangnya, ada saat saya benar-benar tidak bisa memaksa menulis. Sesuatu yang dipaksakan biasanya tidak berakhir baik. Sama seperti berteman. Memaksa mendapat teman biasanya berakhir kekecewaan. Jika ada titik temu, kau akan berteman. Jika tidak, cukup jadi kenalan. Bukan berarti membatasi diri atau pilih-pilih. Setiap orang boleh berteman dengan siapa saja. Tapi bukankah setiap orang juga selalu membagi pertemanannya dalam lingkaran tertentu ? Di lingkaran pertama, atau yang paling dekat, tentu orang-orang yang ia percaya atau dengannya ia bisa membuka diri. Sementara di lingkaran berikutnya adalah yang di luar dari itu. 

Apa yang membuat kita berteman dengan orang lain ? Maksudku selain sebagai kebutuhan. Terhubung dengan orang-orang memang keniscayaan, tapi berteman adalah pilihan. Jawaban yang paling sering adalah karena cocok. Karena nge-klik secara alami. Kenapa bisa cocok ? Jawabannya bisa mudah atau bahkan tidak memiliki jawaban. Kita jarang bertanya lebih lanjut. Dan nampaknya memang tidak perlu. Kalau sudah cocok, selesai. 

Tapi kadang pertanyaan ini muncul di kepala saya. Apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Mudah menjawabnya andaikan saya memiliki hal-hal yang bisa dijadikan jawaban. Karena cerdas, misalnya. Seperti salah satu teman seangkatan : cerdas dan keahliannya dibutuhkan banyak orang. Sering dimintai bantuan, dia pun senang membantu orang lain. Ramah dan tidak suka pamer. Orang-orang tentu senang berteman dengannya. Beberapa lagi yang kukenal memiliki wajah rupawan. Beberapa lagi pandai menarik perhatian. Membuat orang betah bersamanya karena selalu ada topik menarik dibicarakan. Mereka mampu membuat orang-orang di dekatnya masuk dalam topik itu. Atau sebaliknya, mampu mencari topik yang orang-orang mudah masuk ke dalamnya. Mereka juga berimbang membagi percakapan denganmu dan dengan orang lain. Saya selalu kagum pada orang-orang dengan kemampuan semacam ini. Beberapa lagi adalah orang berkelebihan. Membuatnya seperti cahaya lampu yang dikelilingi banyak laron. 

Tapi saya tidak memiliki satu pun dari semua itu. 

Saya adalah orang kebanyakan. Sangat biasa, bisa kau temui di mana saja. Untuk hal tertentu, beberapa orang memang terlihat lebih dibanding yang lain. Tapi dalam banyak sisi, kebanyakan adalah orang kebanyakan. Yang bila diteropong dalam skala besar semuanya tampak mirip. Jadi kadang saya ingin tahu : apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Apa yang mereka cari ? Saya tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Tapi mereka tetap mau berteman.

Jika demikian adanya, itu benar-benar sesuatu yang patut disyukuri.
 
;