01 March 2017

Buku Yang Kubaca Tahun 2017 (2)

We Were Liars
Penulis : E. Lockhart
Penerbit : Gramedia
Halaman : 294

Novel ini berlatar sebuah pulau bernama Beechwood, pulau pribadi milik keluarga Sinclair. Harris Sinclair memiliki tiga orang putri yaitu Carry, Bess dan Penny. Carry memiliki dua anak : Johnny dan Will. Bess memiliki 4 anak : Mirren, Taft dan si kembar Liberty dan Bonnie. Sementara Penny hanya memiliki satu anak : Cadence. Setiap musim panas, keluarga ini menghabiskan liburan di pulau tersebut. Rutinitas tahunan itu membuat para cucu Sinclair terutama Mirren, Johnny, Gat dan Cadence menjadi dekat satu sama lain. Berbeda halnya dengan para ibu mereka yang lebih sering berselisih memperebutkan harta warisan Harris Sinclair. 

Menggunakan sudut pandang Cadence sebagai tokoh aku, novel diawali ketika Cadence mengunjungi kembali pulau Beechwood pada suatu musim panas di usianya yang ke delapan belas. Dua tahun sebelumnya, terjadi kecelakaan yang menimpa Cady di pulau itu. Kecelakaan yang membuatnya hilang ingatan karena ia hanya mampu mengingat potongan kecil saat terjadi kecelakaan. Tujuan dari novel ini adalah untuk mengungkap kecelakaan macam apa yang terjadi pada Cady dua tahun sebelumnya, diselingi dengan penuturan Cady tentang konflik dalam keluarga Sinclair. Setelah selesai baca, saya baru paham maksud desain sampulnya. Sekilas gambar di sampul terkesan seperti seseorang yang dikucilkan atau kesepian. Ternyata sama sekali bukan itu.

Yang membuat saya penasaran dengan novel ini adalah karena di sinopsis tertulis bahwa We Were Liars adalah novel suspense modern yang masuk finalis National Book Award dan menerima Printz Award. Tapi mungkin karena suasana yang tidak tepat, saya tidak begitu menikmatinya. Saya membacanya dalam perjalanan pulang kampung. Membaca novel dalam perjalanan bukan kebiasaan saya. Dalam perjalanan pulang kampung, hal yang menyenangkan untuk dilakukan hanya dua, tidur atau memperhatikan pemandangan di luar jendela bus. Bagi saya pribadi, novel lebih nyaman dinikmati saat sedang sendiri di kamar.

Botchan
Penulis : Natsume Soseki
Penerbit : Gramedia
Halaman : 217

Novel ini sudah lama terparkir di rak buku sepupu. Tapi belum pernah tertarik membacanya. Waktu berselancar di online shop, ketemu satu toko yang menjual murah berbagai novel klasik dan original. Jadi saya pun memesan beberapa novel dari toko tersebut, termasuk novel ini. Botchan bercerita tentang guru muda yang berontak terhadap sistem pendidikan di sebuah sekolah desa. Sifat Botchan yang terus terang dan tidak suka berpura-pura membuatnya kesulitan berinteraksi dengan sekitarnya yang suka berputar-putar dan tidak langsung ke inti pembicaraan. Botchan yang bebas sangat kontras dengan ketatnya kungkungan tatakrama social di Jepang. Itulah yang membuat novel ini popular. Ada banyak pandangan Soseki yang bagus dijadikan pelajaran. Karakter yang dimunculkan dalam novelnya mewakili karakter yang cukup sering dijumpai di sekeliling kita. Atau dalam dunia kerja kita. Kondisi siswa sekolah menengah yang dikeluhkan Botchan di tempat mengajarnya pun sedikit banyak mirip dengan kondisi siswa yang dihadapi para guru. Banyak kutipan bagus tapi yang paling saya suka adalah kutipan ini, “Hanya karena seseorang pandai berargumen, bukan berarti orang itu orang baik.”

Kontroversi 101 Mitos Kesehatan
Penulis : Florentina R. Wahjuni
Penerbit : Penebar Swadaya Grup
Halaman : 139

Buku yang dipinjam dari perpustakaan daerah ini membahas berbagai mitos kesehatan seperti mitos seputar mata, rambut, kulit, demam, ibu hamil, anak olahraga, diet, mulut, makanan, kanker, psikis dan beberapa mitos aneh lainnya. Beberapa yang masih saya ingat seperti mitos bahwa membaca tidur atau membaca sambil berbaring dapat membuat mata rabun atau minus. Faktanya, yang membuat mata minus adalah jarak antara mata dan bacaan yang terlalu dekat. Pencahayaan juga ikut berpengaruh dalam hal ini. Sebab semakin sedikit cahaya, semakin dekat jarak antara mata dan objek bacaan sehingga membuat mata cepat lelah. Jadi walaupun seseorang membaca sambil duduk atau berdiri, tapi jika jarak bacaan terlalu dekat, kurang dari 30 cm (kalau tidak salah) dari mata, maka akan berisiko mata minus. Ada pula mitos seputar psikis seperti anggapan bahwa orang yang antisosial adalah mereka yang introver, penyendiri atau tidak punya banyak teman. Hal ini tidak selamanya benar. Orang yang introver menjadi penyediri karena mereka tipe pemalu dan sulit memulai percakapan dengan orang lain. Tapi bukan berarti mereka tidak peduli. Bahkan mereka bisa sangat peduli dan peka terhadap orang lain (pengen peluk penulisnya pas baca bagian ini). Yang dimaksud antisosial adalah orang yang tidak segan mengorbankan kepentingan orang lain demi kepentingannya sendiri. Dan tidak jarang, orang yang antisosial ini adalah makhluk ekstrover. 

Edensor
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 288

Dibaca ulang. Kebetulan sedang di kampung halaman dan koleksi novel bang Ikal ada di sini.

Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 247

Dibaca ulang juga. Skip…^^

Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 529

Skip lagi. Hahah… Kali ini saya membaca dengan urutan terbalik, mulai dari Edensor kemudian Sang Pemimpi dan terakhir Laskar Pelangi. Maryamah Karpov tidak masuk karena belum punya bukunya. Ada yang mau ngasih ? >_<. Kalau tidak salah dulu lebih suka Sang Pemimpi ketimbang 3 novel lainnya. Setelah berulang kali baca, entah kenapa baru kali ini lebih suka Laskar Pelangi. Mungkin karena urutan terbalik tadi, kali ya ^^

Padang Bulan
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 254

Dibaca ulang juga. Dwilogi ini lebih cocok diberi judul Maryamah Karpov karena ceritanya berpusat pada kehidupan Mak Cik Maryamah. Justru dalam novel Maryamah Karpov, tokoh ini tidak banyak diceritakan. Yang menjadi fokus lebih kepada perjuangan Ikal menemukan A Ling. Tapi bukan masalah, mau diberi judul apapun, bahkan seumpamanya penulis menerbitkan novel berjudul Lelaki Berwajah Dangdut, saya akan tetap membaca tulisannya ^^

Cinta di Dalam Gelas
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 270

Skip lagi…

Ayah
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Halaman : 396

Dibaca ulang juga. Pertama kali terbit tahun 2015 lalu. Waktu itu ikut PO yang dapat edisi tanda tangan. Melihat tanda tangan tersebut, besar kemungkinan penulis setengah tertidur pada jam 2 pagi saat membubuhkannya atau tangannya pegal lantaran menandatangani ratusan eksamplar mengejar deadline. Yang paling saya suka dari novel ini selain kisah Sabari tentunya, adalah kisah Ukun dan Tamat yang menjelajahi Sumatera mencari Marlena dengan berbekal Kamus Umum Bahasa Indonesia. Saya terpingkal-pingkal setiap kali membaca dialog antara Ukun dengan orang-orang yang ditemuinya. Misalnya, “Dalam pada melintasi kota demi kota, adakah kiranya Kakanda Sopir pernah melihat perempuan manis berlesung pipit dalam foto ini ?” atau kepada Pak Pos, Ukun bertanya, “Dalam pada mengemban tugas mengantarkan amanah, adakah Kakanda pernah melihat orang-orang dalam foto ini ?” Lalu pak Pos menjawab, “Tiadalah saya pernah melihatnya. Namun, seumpama saya melihatnya, tentulah tersirat dalam hati saya untuk menyampaikan pada pihak-pihak yang ada dalam foto itu, bahwasanya dua orang pemuda dari negeri seberang samudra nan bergelora sedang mencari mereka.” Lucu membayangkan dua lelaki lugu dengan dandanan super norak yang setiap bertemu orang selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan bantuan kamus tebal di tangannya. Kedua orang ini, sesuai kata JonPijareli, patut dibekukan dan lalu ditempel di dinding atau dimasukkan ke dalam kotak kaca. Karena makhluk semacam ini sudah punah dari muka bumi.
 
;