20 December 2017

Bagaimana Rasanya Belajar Mencintai Orang Yang Tidak Dikenal ?

“Huda, bagaimana rasanya belajar mencintai orang yang tidak dikenal ?"

Sebuah pertanyaan singkat lewat BBM dari seorang sahabat masuk ke ponselku sore itu. Cukup lama kupikirkan sebelum akhirnya menjawab pesan tersebut. Pertanyaan itu akhirnya menginspirasi judul tulisan ini. Saat mencoret-coret di microsoft word, hujan turun sepanjang pagi. Terhitung baru lima pekan sejak kita menikah. Seperti hari ini, saat itu hujan turun deras. Sesaat sebelum kau mengucap ijab qabul. Begitu pun saat resepsi di rumahmu, lagi-lagi hujan turun. Beberapa hari setelahnya kau mengutip sebaris kalimat tentang hujan dan pernikahan. Aku tersenyum mendengarnya. 

Lima pekan, angka ini belum ada apa-apanya. Kita akan menemukan banyak kejutan ke depannya. Sebab ini adalah ibadah seumur hidup, maka kita harus siap jadi pembelajar seumur hidup. Lima pekan, cepat sekali waktu berlalu. Kita bersama hanya dua pekan, lalu berjarak kembali. Kita belum terlalu dekat, seperti katamu, kemudian berjauhan. Sejujurnya aku pun tidak menyukai situasi ini. Hal yang cukup mengejutkan mengingat orang sepertiku sudah terbiasa sendiri sebelum menikah. Jadi kupikir apa bedanya ? Ternyata sangat berbeda. Tapi dengan jarak sementara ini, aku bisa bercerita banyak hal padamu. Berceloteh berjam-jam di telpon sampai kuping kita panas. Sesuatu yang mungkin canggung kulakukan jika berhadapan langsung. Maka kupahami bahwa ternyata jarak itu mampu mendekatkan. Setidaknya itulah yang kurasakan. Bagaimana denganmu ? 

Bagaimana rasanya belajar mencintai orang yang tidak dikenal ? Jika ini ditanyakan sebelum menikah, tentu saja aku tidak tahu jawabannya. Tapi masya Allah, benarlah bahwa cinta dan kasih sayang itu datangnya dari Allah. Jika pernikahan diniatkan dalam rangka beribadah kepada-Nya, Allah akan menumbuhkan perasaan itu di hati hamba-Nya. Aku pernah beranggapan bahwa manusia itu jatuh cinta, bukan belajar mencintai. Jika mereka tidak jatuh cinta, mereka tidak akan mampu mencintai. Betapa kelirunya. Pandangan seperti ini, Kata Salim A. Fillah, hanya muncul dari orang yang tidak memandang cinta sebagai kata kerja. Padahal tidak ada cinta yang tidak bisa dibangun. Sebab ia-nya adalah kata kerja. Maka kau bisa memulainya. Dan kau selalu bisa membangunnya kembali, insya Allah. 

Allah memegang hati para hamba-Nya, dan sangat mudah baginya membolak-balikkan hati itu sesuai kehendak-Nya. Tiada yang mustahil jika Dia berkendak. Saat itu masih bulan Ramadhan ketika aku sedang mengutak-atik instagram. Salah satu akun yang ku follow meng-upload gambar yang merupakan sebuah game. Namanya game jomblo. Semacam tebak-tebakan tahun berapa followers-nya akan menikah. Caranya dengan men-screenshoot gambar tersebut dan melihat tahun berapa yang ter-capture. Iseng kucoba game itu dan di gambar tertulis, “Insya Allah saya akan menikah tahun 2017 . Aku tertawa membacanya. “Mana mungkin? Tahun 2017 sudah lewat separuh jalan. Mana mungkin aku menikah tahun ini.”  Tapi Allah Maha Berkehendak. Pernyataan sinisku terjawab hanya beberapa minggu setelah idul Fitri. 

Waktu itu pukul 11 malam. Aku masih terjaga membaca sebuah buku. Lalu pesan dari salah satu sepupu masuk ke WhatsApp hpku. Sepupuku yang satu ini adalah tipe serius. Ia tidak akan mengirim pesan jika bukan hal penting. Salam pembuka basa-basinya pun sangat singkat, hanya sebaris kalimat. Lalu ia mengutarakan maksudnya ; memperkenalkanmu. Aku sudah bersiap menolak sebab menikah tidak masuk targetku tahun ini, tahun depan atau bahkan tahun depannya lagi. Bicara soal target, aku menjadikan orangtuaku sebagai gold standard. Ibuku menikah ketika berusia 29 tahun, karenanya aku santai saja menanggapi pertanyaan “Kapan nikah?” dari orang-orang. Selain itu, pernikahan adalah sesuatu yang sungguh rumit bagiku. 

Maka sepupu memintaku memikirkannya kembali. Ingin sekali kukatakan saat itu bahwa aku tidak perlu mikir dua kali. Tapi betapa tidak santunnya jika kutolak maksud baiknya. Jadi begitulah, aku diminta berpikir selama beberapa hari. Dan selama beberapa hari itu pula, entah kenapa hal-hal di sekitarku seperti kompak berkonspirasi dengan caranya masing-masing. Seperti salah satu akun instagram yang ku follow. Akun itu biasanya memposting gambar atau video terkait motivasi beramal saleh, tentang perkara halal-haram atau perkara aqidah lainnya. Tapi selama beberapa hari itu, entah kenapa postingannya lebih banyak tentang pernikahan. Ta’lim yang rutin kuikuti setiap senin, yang tema utamanya adalah fikih malah nyerempet ke pernikahan. Bahkan murabbiku pun ketika mentarbiyah kami saat itu tiba-tiba membahas panjang lebar tentang pernikahan. Padahal kami sangat jarang membahas tema ini. Beberapa hari kemudian sepupu kembali menghubungiku. Maka kucoba mengikuti arahannya. 

Aku tidak mengenalmu, bertemu pun tidak pernah. Tapi lingkaran kita ternyata beririsan. Kita dihubungkan lewat benang-benang yang jaraknya ratusan kilo. Aku di kota ini, sepupuku di Makassar dan kau sedang di Bogor sana. Ketika sepupuku mulai mencocokkan jadwal pertemuan, aku semakin ketar-ketir. Ini pertama kalinya menjalani proses yang disebut ta’aruf. Tapi sungguh sulit mempertemukan jadwal. Maka kukatakan pada sepupu bahwa jika jadwalnya tidak ketemu sampai aku pulang ke kampung untuk idul adha maka sebaiknya dihentikan saja. Kuputuskan seperti itu agar proses ini tidak berlarut. Take it or leave it. Aku sudah siap pulang keesokan harinya dan kupikir proses itu akan berhenti ketika sepupuku tiba-tiba mengabarkan kau akan datang sore nanti. Ia memintaku menepati janji untuk melanjutkannya. Maka perasaanku pun semakin tidak karuan. Selepas ashar sambil berjalan kaki menuju kediaman sepupu, aku mendengar murattal lewat earphone yang saat itu sedang memutar surah Al Furqaan. Ketika tiba di ayat 74 tiba-tiba saja aku menangis untuk alasan yang entah apa. Kupikir itu mungkin semacam firasat bahwa inilah saatnya bersiap pindah, insya Allah. 

Jadi, di sanalah pertama kali aku bertemu denganmu. Dan Allah memudahkan proses ini dalam keluarga. Setelah shalat istikharah sampai tiga kali, aku memberanikan diri bicara pada ibu. Sedikit tidak percaya beliau langsung mengiyakan. Malah dialah yang menguatkan dan membesarkan hatiku. Salah satu hal yang menjadi pertimbanganku melangkah ke tahap berikutnya adalah karena prosesnya. Salim A. Fillah dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta menulis bahwa gejala kedua dari pernikahan yang barakah adalah proses menujunya sesuai syariat. Kita menginginkan pernikahan yang berkah, maka kita berusaha menjaga koridor yang sudah ditetapkan. Kita dipertemukan secara baik-baik. Komunikasi hanya lewat perantara sepupu. Aku tidak tahu nomor hpmu, tidak tahu akun media sosialmu dan tidak ingin mencari tahu. Semua informasi tentangmu berasal dari sepupu dan sedikit dari teman kuliahku yang ternyata adalah temanmu semasa SMA. Bumi bisa sekecil ini rupanya. Kita mengharapkan pernikahan yang barakah. Maka kita memohon ampun kepada Allah atas ketidakmaksimalan usaha kita pada yang lainnya.

Aku pernah berdoa, dulu sekali, bahwa aku ingin dipertemukan dengan orang yang tidak kukenal dan tidak pernah kutemui sebelumnya. Dengan begitu aku akan belajar mengenal dan memahaminya dari awal. Aku juga pernah berdoa bahwa jika memang ditakdirkan menikah, maka aku berharap tidak perlu menjalani ta’aruf berkali-kali untuk bertemu dengannya. Dan Allah mengabulkannya dalam satu waktu. Semoga kita termasuk orang yang jujur pada Allah atas niat-niat kita. Dengan begitu Dia akan menggenapkannya untuk kita. Semoga Allah memberkahi pernikahan ini. Dan semoga kita bisa menjadi sahabat dalam agama, dalam urusan dunia dan akhirat. 

Jadi, bagaimana rasanya belajar mencintai orang yang tidak dikenal ?
Hmm…kayak ada nano-nanonya gitu. ^_^
 
;