19 January 2017

Buku Yang Kubaca Tahun 2017 (1)

Ehm…tes mic…tes…satu…dua…satu…dua…

Yosh, insya Allah tahun ini saya akan (usahakan) menulis daftar singkat buku-buku yang tamat dibaca. Mengingat tidak banyak lagi kesempatan mereview panjang lebar sebuah buku. Kesibukan saya memang belumlah selevel kesibukan ibu rumah tangga yang mengurus rumah, suami dan anak. Tapi pekerjaan saya bukan hanya membaca dan menulis blog saja. Ada beberapa amanah lain yang menuntut waktu lebih banyak. Selain itu membuat daftar singkat semacam ini jadi lebih praktis. Dan saya suka yang praktis-praktis. Hehehe… 

Kisah-kisah Nyata : Meninggalkan yang Haram Karena Allah, Mendapatkan yang Lebih Baik 

Penulis : Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi
Penerbit : Darul Haq
Halaman : 166

Sesuai dengan judulnya, buku kecil ini berisi 34 kisah penuh hikmah dari orang-orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah dan mendapat ganti yang lebih baik. Beberapa di antaranya sudah pernah kita dengar seperti kisah nabi Yusuf dan Zulaikha, atau kisah pemuda yang dijuluki al-Miski, atau kisah Cat Stevens (Yusuf Islam), penyanyi Inggris populer di tahun 70-an yang memeluk Islam dan meninggalkan dunia hiburan. Beberapa lainnya adalah kisah yang belum pernah saya dengar seperti kisah nabi Sulaiman yang mengurbankan kuda-kudanya karena Allah dan Allah menggantinya dengan anugerah angin yang dapat beliau kendarai kemana saja. Atau kisah ditahannya matahari untuk nabi Yusya’ bin Nun karena jihadnya di jalan Allah. Dan matahari tidak pernah ditahan kecuali untuk beliau. Kisah-kisah dalam buku ini bukan saja kisah para nabi dan rasul, tetapi juga para sahabat, tabi’in, orang-orang terdahulu maupun sekarang.

Misykat 

Penulis : Hamid Fahmi Zarkasy
Penerbit : INSISTS
Halaman : 302 

Selama ini saya membaca tulisan Dr. Hamid Fahmy lewat halaman Dr. Adian Husaini. Beliau memang jarang menerbitkan buku. Buku Misykat ini pun merupakan kumpulan tulisan beliau di Kolom Misykat Jurnal Islamia Republika. Tema yang dibahas dalam buku ini tergolong berat (bagi saya). Istilah-istilah semacam postmodernisme, iconoclasme, humanisme, deprivatization, averroisme, inklusif eksklusif, blasphemy, dll sudah cukup membuat kening berkerut-kerut. Tapi dalam buku ini, masalah tersebut dibahas dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga siapapun bisa membaca buku ini. 

The Geography of Faith 

Penulis : Eric Weiner
Penerbit : Qanita
Halaman : 497 

Eric Weiner kembali melakukan perjalanan, kali ini untuk melihat agama dan kepercayaan di berbagai belahan dunia. Atau dalam istilah Eric sendiri, mencari Tuhan. Eric adalah seorang Yahudi, tapi ia mendefinisikan dirinya sebagi “spiritual-tapi-tidak-religius”. Artinya ia menerima berbagai tradisi arif di dunia sekaligus menjauhi doktrin atau keyakinan sungguhan. Kelihatannya bijak, tapi justru terlihat seperti orang kebingungan. Eric mengalami depresi, ada semacam lubang dalam dirinya yang tidak tahu harus diisi dengan apa. Jadi Eric pun menyortir sembilan ribu sembilan ratus kepercayaan dan memilih delapan di antaranya yaitu : Sufisme, Buddhisme, Fransiskan, Raelisme, Taoisme, Wicca, Syamanisme dan Kabbalah. Dengan mempelajari berbagai kepercayaan itu, Eric berharap dapat mengatasi depresinya. 

Lewat buku ini saya baru tahu kalau ternyata ada kepercayaan yang berbasis UFO. Iya, UFO. Mereka percaya bahwa umat manusia diciptakan oleh ras asing bernama Elohim ribuan tahun silam. Ada pula Wicca, kepercayaan yang penganutnya menyebut diri mereka penyihir. Tapi bukan penyihir yang memakai topi runcing dan terbang dengan sapu. Tapi penyihir modern. Di akhir pencarian Tuhannya, Eric merenungi jati dirinya sebagai seorang Yahudi di Jerussalem. Walau ia pernah berputar dengan para darwis di Turki, meditasi dengan Dalai Lama, melatih chi bersama para Tao, bersenang-senang dengan Raelian atau melingkar seperti penyihir Wicca, selalu ada bagian dari dirinya yang tidak berubah. Ikan akan tetap jadi ikan, bukan wotel. Jadi ia pun berusaha menerapkan beberapa ajaran agamanya sendiri. Bagaimana pun Eric tetaplah Eric, yang menyimpan segudang keraguan. Secara umum, saya suka buku-buku terbitan Qanita. Ketiga buku Eric Weiner juga diterbitkan oleh penerbit ini. Sayangnya, buku terbitan Qanita sering tidak menyertakan bookmark di dalamnya. Arabian Nights yang tebal itu pun tidak ada bookmark-nya.

Everything Everything 

Penulis : Nicola Yoon
Penerbit : Spring
Halaman : 335

Madeline mengidap penyakit langka yang membuatnya harus tinggal di kamar steril sepanjang hidupnya. Dunianya hanya berotasi pada ibunya, perawatnya dan buku-bukunya. Satu hari sebuah truk pindahan tiba di sebelah rumahnya. Ada tetangga baru rupanya. Sepasang suami istri beserta dua orang anaknya. Anak laki-laki bernama Olly. Dan Madeline jatuh cinta padanya. Ehm…terus terang, cerita, alur maupun penokohannya terasa biasa saja. Tidak ada yang membuat saya terkejut, terharu atau tersentuh. Memang ada sedikit twist di akhir, tapi secara keseluruhan tidak begitu berkesan bagi saya. Kecuali tiga hal ini : cover, bookmark (ciri khas penerbit Spring adalah bookmark-nya yang keren-keren) dan ilustrasinya. Saya suka ilustrasi novel ini. Ternyata Nicola Yoon bekerja sama dengan suaminya. Ia menulis cerita, sedangkan suaminya, David Yoon yang membuat ilustrasi novelnya. 

The Rose & The Dagger 

Penulis : Renée Ahdieh
Penerbit :POP (imprint KPG)
Halaman : 480

Novel ini sebenarnya dikhatamkan bulan lalu, tapi saya masukkan saja ke dalam list ini. Plot yang ditawarkan di buku pertama (The Wrath & The Dawn) cukup menarik, yaitu membebaskan Khalid dari kutukan sihir. Awalnya saya kira itulah tujuan utama sekuel ini. Tapi konflik malah bertambah lebar ke mana-mana. Perebutan kekuasaan, pembalasan dendam dan cinta segitiga. Kutukan Khalid sendiri sudah beres di paruh awal novel. Selain itu, tokoh Ava yang membuat saya simpati di buku pertama tidak diceritakan lebih banyak di sini. Ending-nya persis seperti yang diharapkan dari novel romance : menikah, punya anak, kerajaan damai, dan hidup bahagia selamanya. 

Falling Into Place 

Penulis : Amy Zhang
Penerbit : POP
Halaman : 323

Ini novel paling menjengkelkan yang pernah saya baca. Lebih menjengkelkan dari The Beginning of Everything. Penokohannya lemah, chemistry antar sahabatnya tidak terasa, dan yang paling fatal, tokoh utamanya adalah sumber dari semua masalah tokoh lain dalam novel ini. Saya bahkan kesal dia masih selamat di akhir novel. Bunuh diri bukan solusi dari semua masalah yang ia buat, justru menunjukkan betapa pengecutnya Liz Emerson yang tidak siap meminta maaf dan mengakui perbuatannya secara langsung di hadapan orang-orang yang sudah dia hancurkan.

In The Dark, Dark Wood 

Penulis : Ruth Ware
Penerbit : Bentang
Halaman : 421

Untuk sebuah debut yang langsung bestseller, novel kriminal ini memang lumayan mencuri perhatian. Membacanya membuat kita tidak sabar membalik halaman berikutnya. Yang membuat kita penasaran adalah siapa yang terbunuh, kemudian siapa yang membunuh. Sebab nanti di pertengahan novel baru dijelaskan tokoh mana yang jadi korban pembunuhan. Adapun pelakunya tidaklah terlalu mengejutkan. Pembaca bisa menebak setelah disajikan karakter tokoh masing-masing dan masa lalunya. Tapi penulis tidak begitu saja membut pembaca yakin. Awalnya kita mencurigai satu tokoh, kemudian kita dibuat ragu-ragu dan mencurigai tokoh lain, kemudian ragu-ragu kembali. Begitu seterusnya dan ujung-ujungnya kembali lagi ke tokoh pertama yang kita curigai tadi. Bagi yang sering nonton film thriller, formula novel ini tidak asing lagi : pesta, rumah terpencil di tengah hutan, pembunuhan dan pelaku pembunuhan adalah salah satu dari peserta pesta. Tetapi penulis memodifikasi formula pasaran tersebut menjadi sedikit berbeda. Ada satu hal yang terasa tidak pas dalam novel ini. Nora yang diceritakan berprofesi sebagai penulis fiksi kriminal, idealnya selangkah lebih jauh dalam menganalisis kejahatan. Nyatanya tokoh utama ini selalu tertinggal di belakang. Dia yang seharusnya sibuk berpikir memecahkan kasus malah sibuk bermonolog ria tentang patah hatinya di masa lalu. Bahkan ketika pelakunya sudah jelas-jelas berdiri di hadapannya, dia masih belum sadar juga. Tapi sebagai novel debut, saya suka deskripsi ala Ruth Ware dan berharap bisa membaca karyanya yang lain. 

Himpunan Materi Kultum 

Penulis : Abdurrahman bin Abdullah as-Sanad
Penerbit : Darul Haq
Halaman : 166

Topik-topik yang dibahas dalam buku ini bervariasi mulai dari akidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Diperuntukkan bagi para da’i atau para aktivis yang rutin mengisi kajian atau yang sering dadakan mengisi kultum. Materinya singkat, padat dan mudah dipahami. Tapi yang utama adalah karena buku ini berisi ilmu, jadi patut dibaca oleh siapa saja meski bukan seorang da’i.

My Grandmother Asked Me To Tell You She’s Sorry

Penulis : Fredrik Backman
Penerbit : Noura Books
Halaman : 489

Saya suka novel ini. Suka apanya ? Semuanya. Tokoh-tokohnya, plotnya, pemilihan katanya, humornya sampai endingnya. Saya selalu suka novel bertema keluarga. Membuat hati kita hangat. Dan terutama mengingatkanmu pada nenekmu. Ditambah jika separuh hidupmu dilewati bersama nenek. Nenek saya tidaklah se-ekstrim nenek Elsa dalam novel, juga tidak pernah mendongeng. Tapi satu hal yang pasti seperti kata Elsa, yaitu nenekmu adalah orang yang ingin kau bawa dalam peperangan. Ia akan membela dan melindungimu. Novel ini jauh lebih bagus dibanding novel pertama Fredrik Backman, A Man Called Ove. Perbedaan utamanya adalah karena tokoh-tokohnya. Dalam A Man Called Ove, sampai halaman terakhir saya masih belum benar-benar menyukai Ove. Tapi dalam novel ini, saya suka semua tokohnya. Dan sepertinya penulis memang sengaja membuatnya seperti itu. Tetap saja, ada bagian yang sedikit mengganjal. Berlebihan tepatnya. Misalnya Elsa, tokoh utama novel ini. Gadis kecil berusia tujuh hampir delapan tahun yang digambarkan cerdas dan berbeda dari anak-anak kebanyakan. Jika Elsa diceritakan sebagai anak yang sudah pandai membaca di usia yang begitu muda, tidak mengherankan bagi saya. Banyak di antara kita yang sudah pandai membaca di usia itu. Jika Elsa sudah pandai berselancar di Wikipedia mencari berbagai hal yang belum diketahuinya, itu masih bisa dimaklumi. Anak-anak memang hidup di jaman teknologi yang jauh lebih modern. Jika Elsa membaca komik X-Man atau Spiderman dan hafal di luar kepala semua kekuatan super para mutan atau segala hal menyangkut super hero tersebut, itu pun tidak begitu mengherankan. Tapi jika seorang anak berusia tujuh tahun diceritakan sudah menamatkan serial Harry Potter minimal 12 kali, rasanya agak berlebihan. Bukan hanya itu, Elsa juga membaca Odyssey, karya-karya Charles Dickens, George Orwell, J.R.R. Tolkien, drama-drama Shakespeare dan berbagai karya klasik lainnya. Saya bahkan curiga jangan-jangan Elsa juga membaca buku-bukunya Karl Marx, Mein Kampf-nya Hitler, atau Il Principle-nya Machiavelli. Sejak awal penulis memang sudah mengingatkan bahwa Elsa berbeda, dan kerena itu ia dibully teman-temannya. Tapi penggambaran tersebut, terlebih pemilihan kata dalam dialog-dialog Elsa, justru membuat saya ragu kalau tokoh ini berusia tujuh tahun. Malah tampak seperti orang dewasa yang dipaksa mendekam dalam tubuh anak kecil. Tapi bagian ini sedikit terselamatkan dengan berbagai tingkah lucu Elsa yang membuat saya kembali ingat bahwa ia masih 7 tahun. Selebihnya bagus menurut saya. Fredrik Backman mempertahankan gaya bahasanya yang sinis dan kocak pada saat yang sama.
 
;