20 November 2014

Tiga Kuntum Daisy

Lukisan itu bersandar di sudut kamar. Bingkainya berwarna hitam dengan sudut-sudut dilapisi kertas. Berhari-hari kubiarkan seperti itu, hingga debu halus mulai menyelimutinya. Sesekali kupandangi lekat-lekat sambil menyesap teh. Begitu dekat jaraknya dariku, namun begitu jauh dari jangkauanku. Bulan-bulan berlalu, debu mengendap semakin tebal. Kuambil selembar kain, kubersihkan, lalu kumasukkan ke dalam kantong kertas. Kubawa pada seorang kenalan yang akan berangkat ke kota lain. Ia boleh menyimpan atau memberikannya, kataku padanya. Siapapun tak masalah. Kemana pun tak masalah. Heran ia menerima, tapi tak juga berpanjang tanya. Sudut kamarku pun kosong. Lukisan itu sudah tidak ada. Tak perlu lagi kuhabiskan waku menatap begitu lama. Pagi berjalan seperti biasa. Kubuka jendela, kurapikan buku, kusetrika baju, kuseduh segelas teh dan menyesapnya pelan-pelan. Kulirik kembali sudut itu, mengingat jejaknya sewaktu masih ada. Cukup lama. Cukup lama.
12 November 2014

Selimut Debu


Pembeli : Berapa harga kepala kambing ini ?
Penjual  : Lima puluh afgani
Pembeli : Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.
Penjual  : Apa? Dua puluh afgani? Kamu Gila? Kamu kira ini kepala manusia ? 
~Lelucon Kandahar~ 

Ketika harga tiket pesawat didiskon setengah harga, ditambah tawaran “pengalaman tak terlupakan” dari agen-agen perjalanan, orang-orang pun antusias melakukan perjalanan ke berbagai tempat, berwisata mengumpulkan foto-foto dan membukukan kisah-kisah mereka. Namanya juga wisata, tempat yang dikunjungi tentulah tempat yang indah dengan panorama yang eksotis. Tempat yang mampu membuat siapapun bersantai menikmati tiap detik perjalanan. Tapi bagaimana bila tempat itu bernama Afghanistan ? Hm, sepertinya bukan plihan yang bagus. Sebab selain kamera, buku jurnal, ransel, paspor dan uang, dibutuhkan bekal keberanian untuk memasuki negara ini. Hebatnya lagi si penulis, Agustinus Wibowo, memulai petualangannya dari Beijing ke Afghanistan dan Asia Tengah menggunakan jalur darat dan tinggal selama beberapa tahun di sana. 

Negara konflik, mungkin itu yang muncul di benak bila mendengar Afghanistan. Walaupun saya tak tahu pasti konflik macam apa lagi yang terjadi di sana selain perang melawan Rusia dan invasi Amerika Serikat. Tapi sejak bergolak pada tahun 2001, negara tersebut telah identik dengan bom dan kekacauan. Saat ini Afghanistan hanya terdengar sambil lalu atau sesekali nyelip di ragam berita dunia. Itu pun tak jauh-jauh dari bom bunuh diri dan sejenisnya. Negeri ini, seperti yang diungkapkan penulis, menyimpan misteri di balik selimut debu yang tebal. Jadi, apa yang sebenarnya si penulis cari di tempat yang panas dan berdebu itu ? 

Lewat buku ini kita bisa mengintip sisi-sisi kehidupan Afghanistan yang ternyata menyimpan warna-warni di balik selimutnya. Ada yang lucu, ironis dan mengejutkan. Beberapa kenyataan yang ditemui dalam buku membuat saya kerap bertanya, Masa sih ? Masa sih ? 

Afghanistan tak hanya identik dengan perang, tapi juga hashish. Cheras. Ganja. Di Afghanistan, posisi ganja dan candu  hanya setingkat rokok kretek di Indonesia. Afghanistan juga terkenal dengan permadaninya. Seorang turis Jepang yang meneliti ragam karpet Asia Tengah menyebutkan bahwa tak ada karpet yang lebih baik dari permadani Afghanistan. 

Agustinus memaparkan detil Afghanistan mulai dari bahasa, suku-suku, beda corak pakaian antara suku satu dan lainnya, beda Sunni dan Syiah terkait Ali bin Abi Thalib hingga peradaban Bamiyan ratusan tahun lalu yang kini telah runtuh. Ada tribal area di perbatasan Afghanistan-Pakistan bernama Darra Adam Khel, sebuah desa di mana orang bebas membeli dan mencoba berbagai model senjata api mulai dari Kalashnikov sampai pulpen yang bisa menembak. Desa ini tak pernah sepi dari rentetan bunyi tembakan. Seluruh penduduk, baik langsung atau tidak langsung, terlibat dalam bisnis pembuatan dan penjualan senjata. Anak umur sepuluh tahun sudah mencangklong besi untuk pegangan bedil serta mempelajari model yang bakal laku di pasaran. Mainan bocah-bocah di sana bukan kelereng, melainkan selongsong peluru. 

Penulis juga merekam berbagai ironi seperti orang-orang asing yang mengaku sebagai pekerja sosial di Afghanistan tetapi justru berjarak dengan penduduk setempat. Pekerja sosial itu malah melewatkan malam di Kabul dengan gemerlap ala Eropa ditemani botol-botol wiski dan vodka. Juga sejumput kemegahan bernama Kabul City Center, sebuah pusat perbelanjaan termewah di Afghanistan, berdiri megah di antara pemukiman kumuh dan runtuhan bangunan. 

Ironi lain yang menarik disimak adalah pendapat Nancy Hatch Dupree, seorang nenek usia delapan puluhan tahun berkewarganegaraan Amerika Serikat namun mengabdikan diri di Afghanistan. Nancy mengungkapkan bahwa orang Afghan adalah manusia paling ramah di dunia. Tapi keramahtamahan itu sering disalahgunakan oleh pendatang. Turis-turis enggan menghiraukan kultur setempat seperti memakai pakaian tipis dan tembus pandang. Seorang pemilik toko pernah menolong hippie yang terlunta-lunta di jalan. keesokan harinya turis tersebut sudah raib bersama seluruh dagangannya. Para pendatang dari negeri yang katanya kaya, maju dan “beradab” malah memanfaatkan penduduk setempat yang telah rela mengorbankan perut dan nyawa demi menolong musafir. 

Nancy juga kerap mengkritik para ahli gender mancanegara yang menyerbu Afghanistan dengan setumpuk program tanpa lebih dahulu memahami nilai-nilai kemasyarakatan. Kesetaraan gender sudah ada dan hidup dalam masyarakat tradisional afghan, kata Nancy. Tak perlu mendatangkan konsep asing yang justru bertubrukan dengan nilai yang mereka anut. 

Dilanda perang bertahun-tahun membuat negeri ini penuh dengan orang-orang cacat. Ranjau bekas perang tak henti menelan korban tiap harinya. Ada yang kehilangan tungkai kaki, lengan, hingga lumpuh total. Jalan raya dipenuhi janda-janda berbalut burqa yang mengais belas kasihan sepanjang hari. Lapangan pekerjaan tak banyak tersedia. Anak kecil pun harus turun tangan membantu ekonomi keluarga. Bocah sepuluh tahun sudah jadi pelayan kedai teh, menyemir sepatu, membersihkan kaca mobil dan jualan permen. 

Hal yang mengejutkan dari Afghanistan adalah masalah playboy, dalam artian play with boy. Dikenal dengan istilah bachabazi, bacha artinya “bocah laki-laki” dan bazi artinya “bermain”. Bachabazi adalah kultur orang Uzbek di Afghanistan. Saat Taliban berkuasa, pelaku hubungan sejenis dihukum dengan diambruki tembok. Taliban tidak memberi ampun sedikit pun terhadap homoseksualitas, apalagi pemerkosaan terhadap perempuan. Candu dilarang dan kriminalitas ditumpas. Burqa adalah pakaian wajib bagi wanita. Mereka dilarang keras berkeliran di jalan tanpa ditemani lelaki anggota keluarga. 

Benak orang-orang ketika melihat wanita Afghan adalah bahwa betapa malangnya perempuan Afghanistan, tak ada kebebasan, tak ada kemerdekaan. Bush lalu menghujani negeri itu dengan roket, katanya untuk membebaskan rakyat Afghan, tapi di saat bersamaan justru menciptakan jutaan janda dan anak yatim piatu. Laura Bush pun ikut berkomentar bahwa serangan militer di Afghanistan telah berhasil sehingga perempuan tidak lagi terpenjara dalam rumahnya. 

Saat Taliban jatuh, media beramai-ramai menampilkan gambar perempuan Afghan yang melepas burqa dan bebas menyusuri jalanan kota Kabul. Kenyataannya, sebagian besar perempuan Afghan masih lebih nyaman berselimut burqa. Wanita-wanita yang memakai burqa masih saja ramai menyelimuti kota Kabul. Mereka tak dikenali laki-laki di jalan. Hidup dalam lindungan total suami yang selalu mengawal. 

Foto bergambar wanita Malaysia yang sibuk bekerja di sawah dan pabrik bukannya mengundang kagum wanita Afghan, malah membuat mereka jatuh kasihan. Aduh kasihan perempuan Malaysia harus kerja, aduh kasihan kenapa para suami tidak bekerja untuk mereka, aduh kasihan betul. Begitu kata mereka. Wanita adalah barang berharga yang harus dilindungi, dijaga dan dirawat. Burqa adalah salah satu alatnya. Bagi orang Pasthun, zan (wanita) adalah kehormatan bagi laki-laki. Jangankan bisa melihat wajah, nama perempuan pun terlalu berharga untuk disebut. 

Di negeri perang, ledakan bom, penembakan dan penculikan bukan lagi berita istimewa. Tingkatannya sudah turun seperti berita maling ayam di Indonesia. Selama bukan anggota keluarga yang jadi korban, orang-orang sudah kebal dan mati rasa terhadap berita semacam itu. Korban-korban hanya diberitakan dalam bentuk angka. Jika berita kecelakaan pesawat di Indonesia menampilkan nama-nama korban, di Afghanistan sana, korban-korban ledakan atau tembakan hanya berupa angka tanpa nama, berapa jumlah koban dan pukul berapa kejadian. 

Di negeri perang, anak sekolah belajar penjumlahan bukan dengan 1 kelereng + 2 kelereng =…, tapi “1 kalashnikov + 2 kalashnikov =…”. Atau “Jika saya membunuh tiga Rusia, kamu membunuh dua Rusia, berapa Rusia yang kita bunuh ?” 

Tapi di negeri perang sekalipun, ada surga tersembunyi bernama Lembah Wakhan. Lebih dari delapan abad yang lalu Marco Polo pernah berada di sana. Di tempat yang kebersihan udaranya membersihkan relung hati manusia manapun, gemercik airnya membawa kehidupan bagi semua makhluk, serta gunung-gunung yang saking tingginya bahkan burung pun tak mampu mencapai puncaknya. 

Daya tarik buku ini adalah, apa lagi kalau bukan foto-fotonya. Beragam foto yang ditampilkan cukup untuk menggambarkan kondisi kehidupan di Afghanistan. Mulai dari foto masjid Shahe Do Shamsera yang dikerubungi ratusan burung-burung, foto Mazar-e-Sharif yang diyakini orang Syiah sebagai makam Ali bin Abi Thalib, foto bocah-bocah yang sedang mandi sambil tertawa riang, foto orang-orang yang berkaki palsu, foto bayi yang mengalami malnutrisi, foto para gadis cantik nan jelita hingga foto danau Band-e-Amir yang berwarna biru jernih. Begitu lengkap dalam satu buku. Bacalah, dan kita akan melihat sisi lain Afganistan di balik selimut debu.
 
;