28 December 2012

Mesin Waktu

Menurutku, konsep mesin waktu dan time traveler adalah salah satu imajinasi terhebat yang pernah singgah di kepala manusia. Meskipun merupakan hal yang mustahil, saya suka cerita semacam ini. Pernah nonton film Time Machine ? Film itu bercerita tentang seorang ilmuwan fisika yang menghabiskan hidupnya menciptakan mesin waktu untuk mengembalikan tunangannya yang tewas terbunuh oleh seorang pencuri pada suatu malam bersalju. Setelah mesin itu selesai, ia pun kembali ke masa lalu, ke malam sebelum tunangannya terbunuh. Di masa itu, usaha penyelamatannya memang berhasil, tapi hanya selang beberapa saat, tiba-tiba sebuah kereta melintas dengan kecepatan tinggi dan menyambar tubuh tunangannya yang membuatnya meninggal seketika. 

Ilmuwan itu kemudian mengulangi usahanya. Ia kembali lagi ke masa lalu. Dan hasilnya tetap sama. Berapa kali pun ia kembali dan bagaimana pun usahanya, selalu ada cara lain yang membuat tunangannya tetap berakhir mati. Ilmuwan itu akhirnya kembali ke masanya dalam keadaan frustasi. Melihat kondisi putranya yang memprihatinkan, ibu sang ilmuwan berkata bahwa manusia tidak akan mampu mengubah apa yang telah berlalu tetapi ia masih bisa memperbaiki keadaan di masa mendatang. Ilmuwan itu tersadar dan memutuskan untuk mencoba melakukan perjalanan ke masa depan. 

Masa depan yang ia kunjungi mempunyai kondisi yang beragam. Ada masa ketika buku-buku tidak lagi dalam bentuk lembaran kertas tetapi hanya dibuka melalui sebuah layar. Ada masa ketika terjadi lagi peperangan besar, semacam perang dunia ketiga. Dan ada masa ketika kondisi bumi semakin kacau karena bulan terpecah. Masa terakhir tempat imuwan itu mendarat sekitar tahun 30.000-an. Di masa itu bulan tidak lagi berbentuk lingkaran di langit, tapi separuhnya sudah berupa pecahan-pecanan kecil. Kehidupan manusia masa itu seperti kembali ke zaman primitif. Mereka membangun rumah di dinding-dinding jurang. Setiap hari mereka berjuang bertahan hidup dari predator mutan yang bersembunyi di bawah tanah. Di akhir cerita, sang ilmuwan memilih tinggal di masa depan. 

Terkait dengan waktu, Imam Al Ghazali pernah memberikan 6 pertanyaan pada muridnya. Salah satu dari pertanyaan itu berbunyi, “Apa yang paling jauh dari diri kita ?”. Murid-muridnya menjawab negeri Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang. Imam Al Ghazali membenarkan tetapi yang paling benar, kata beliau, adalah “Masa Lalu”. Karena walau dengan cara apapun, manusia tidak akan bisa kembali ke masa lalu. 

Banyak hikmah yang bisa dipetik mengapa Allah membuat waktu tidak bisa diputar, tidak bisa diundur, tidak bisa dipercepat dan juga tidak bisa dilipat. Di antaranya agar manusia belajar menjaga hari-harinya dengan kebaikan. Waktu adalah makhluk yang mulia, Allah bahkan bersumpah dengan waktu dalam surah Al Ashr, bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling nasihat menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Hasan Al Basri berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.” Detak jantung kita bahkan lebih gamblang mengajarkan bahwa hidup manusia itu bukanlah bilangan tahun, bulan, atau hari. Tetapi ia terdiri dari detik-detik yang bila Allah menghendaki, bisa berhenti kapan saja. 

Hikmah lainnya adalah agar manusia belajar tentang penyesalan. Penyesalan selalu menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hidup di masa mendatang. Andaikan waktu bisa terputar kembali, maka dunia akan kacau. Andaikan waktu bisa terputar kembali, maka kamus manusia tidak akan mengenal kata sesal dan manusia tidak akan pernah belajar apapun. Dan tanpa belajar, maka hidup menjadi tak berarti apa-apa. 

Setiap manusia punya catatan masa lalu yang berbeda-beda satu sama lain. Ada yang biasa-biasa, ada yang cerah menyenangkan dan ada pula yang kelam. Bagaimana pun kondisi kita di masa lalu, selama nafas belum terhenti, maka tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Masa depan pun adalah hal yang tidak pasti. Kita tak pernah tahu kondisi seperti apa akhir hidup kita nanti. Hari ini mungkin kita masih semangat menuntut ilmu, masih semangat beribadah, masih memperhatikan koridor-koridor yang telah ditetapkan, masih konsisten dengan pakaian yang dipakai. Tapi tak ada yang menjamin kebaikan dan nikmat hidayah yang Allah berikan saat ini akan terus bertahan sampai akhir.

Hati manusia berada di antara jari-jari Allah. Ketika Allah tidak lagi menginginkan kebaikan pada seseorang, DIA bisa dengan mudah membalikkannya. Kita tak pernah tahu ujian macam apa yang menunggu kita dan sekuat apa kita bertahan menghadapinya. Kita hanya bisa terus belajar, terus berusaha, terus berdoa agar kebaikan menyertai kita di akhir masa. Semoga Allah selalu meninggalkan keimanan dan keistiqamahan dalam hati-hati kita. Dan semoga Allah tak pernah membiarkan kita mengurus diri kita sendirian. Aamiin.

Ruang Yang terlupakan


Bila sedang membaca novel atau menonton film berlatar sejarah, saya sering membayangkan mesin waktu. Saya sudah pernah katakan sebelumnya, saya sering dilanda perasaan aneh setiap kali mengakhiri bacaan atau tontonan begenre sejarah. Rasanya seperti sulit untuk keluar dari sana. Membuat saya seperti mengambang selama beberapa hari. Rasa itu sama ketika saya melihat kumpulan foto hitam putih peninggalan kakek dan nenek yang ayah simpan dalam peti “harta karun”-nya, atau yang terpasang di dinding rumah peninggalan kakek. 

Saya sering lama-lama memandang foto hitam putih itu sambil menerka-nerka seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Dalam foto itu mereka masih muda. Beberapa di antaranya sudah meninggal dunia dan saya belum sempat bertemu mereka. Yang paling sering saya perhatikan adalah bagian mata. Entah bagaimana menjelaskannya, saya melihat sinar mata dalam foto-foto itu sangat berbeda dengan mata orang-orang yang saya temui di masa sekarang. Seperti ada yang hilang dari mata orang-orang masa kini yang dimiliki orang-orang di masa lalu. Tapi tentu ini hanya pendapat subjektif saya saja. Tidak usah terlalu dipikirkan. 

Rumah tua peninggalan kakek terletak paling ujung di sebuah desa jauh di pedalaman. Saya sering punya keinginan egois agar desa itu tidak berubah sampai kapanpun. Tetap seperti itu selamanya. Mungkin karena hanya di tempat ini saya merasa bisa “kembali ke masa lalu”. Suasana malam di sana seakan terjebak waktu. Berapa kali pun kembali, rasanya masih sama dengan malam belasan tahun sebelumnya. 

Penerangan di sana juga masih memakai petromax atau lampu minyak. Sepupu saya sering bercanda bahwa memasuki desa itu membuat siapapun seperti pulang ke zaman kolonial. Bila purnama muncul, desa itu jadi lebih terang, mirip suasana subuh. Kalau ditambah lolongan serigala, desa itu benar-benar terlihat magis. Tapi selalu ada kegelapan yang menenangkan di sana. Yang tidak akan saya temukan di tempat lain apalagi di kota. Di sana ada bukit padang rumput yang luas. Pepohonan rimbun dan gelap membentang di depannya. Makhluk nocturnal sering mengintai dari sana. Bulan biasanya muncul dari balik pepohonan tadi. Pemandangan jadi kontras antara sinar bulan, bayangan hitam hutan dan suara hewan malam. Kalau bulan tidak muncul, langit di sana sesak oleh bintang yang berserakan seperti kaca pecah. Saya suka menghabiskan malam dengan berbaring telentang menatap langit sambil menggigit-gigit sebatang rumput. 

Mungkin mesin waktu itu memang ada. Foto-foto hitam putih, desa yang terlupakan dan langit yang ditinggalkan zaman. Ketiganya adalah “mesin waktu” yang selalu bisa memulangkan saya ke masa lalu.
19 December 2012

If I Stay

“Kadang-kadang kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang 
pilihanlah yang memilihmu” 
~Gayle Forman~ 

If I Stay bercerita tentang seorang remaja bernama Mia yang dihadapkan pada dua pilihan, tetap tinggal dan bertahan hidup atau memilih pergi. Mia adalah pemain cello berbakat yang memilih aliran klasik sebagai jalur musiknya. Dia mewarisi bakat musik dari ayahnya yang mantan drummer sekaligus penulis lagu. Mia mempunyai keluarga yang menyayanginya dan masa depan cerah setelah diterima di sekolah musik terkenal dengan beasiswa penuh. 

Tapi hidupnya berubah hanya dalam hitungan menit ketika mobil yang membawa mereka sekeluarga mengalami kecelakaan. Ayah, ibu dan adiknya tewas sementara ia berada dalam keadaan koma akibat tulang-tulang yang patah. Entah bagaimana menyebutnya, tapi saat koma, Mia mendapati dirinya masih seperti manusia normal. Hanya saja, ia tidak berada di dalam jasadnya. Disebut hantu juga bukan, karena dia belum mati, tidak bisa menembus dinding tapi juga tak terlihat orang lain. Saat koma, Mia menceritakan kehidupannya dimulai sejak ayah dan ibunya belum menikah sampai sebelum mereka mengalami kecelakaan. Dari situlah Mia dihadapkan pada pilihan antara menyusul ayah, ibu dan adiknya yang telah mendahului atau tetap tinggal bersama orang-orang yang masih menyayanginya. Novel ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan keluarga dan persahabatan. 

Saya terkesan karena tidak menemukan kesan cengeng di dalamnya. Karakter-karakternya juga realistis. Kita tidak disajikan diksi yang indah atau hal-hal klise. Kita malah bisa menemukan kebrutalan yang terselip dalam suatu pilihan. Bahasa yang dipakai juga sederhana tapi dalam dan menyentuh. Terima kasih kepada si pengalih bahasa, Poppy D. Chusfani yang membuat buku ini nyaman dibaca dalam bahasa Indonesia. Latar waktu dalam novel ini hanya sekitar 24 jam. Pagi hari, tepatnya pukul 07.16, Mia memutuskan pilihannya. 

Pilihan yang dipilih Mia di akhir cerita sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan saya karena dalam beberapa hal, *spoiler alert*, saya suka bila ceritanya berakhir mati. Novel ini sangat menghibur di tengah antrian tugas yang mendekam dalam folder (-_-“). Ada kesan ajakan dalam novel ini untuk memiliki keluarga normal dibanding gaya hidup bersama tanpa ikatan yang banyak diadopsi orang-orang barat. Saya suka penggambaran Mia tentang keluarganya. Membaca novel ini mengingatkan saya pada ayah. Bagaimana seorang laki-laki harus melepaskan banyak hal dalam hidupnya, mengekang kebebasannya dan meninggalkan hobinya ketika mereka memutuskan untuk berkeluarga. 

Aku tidak memilih
Tapi aku sudah letih 
Dan keputusan ini kuambil sejak dulu
Semalam, yang telah lalu
(Waiting for Vengeance)
16 December 2012

Semacam Uneg-uneg

Saat membaca status-status yang berhamburan di timeline, ada sebuah gambar yang diupload salah seorang teman. Di gambar itu terdapat 9 gambar yang berbeda satu sama lain. Ternyata gambar itu semacam tes kepribadian. Peraturannya, kita disuruh memilih gambar mana yang paling disukai. Hasil tesnya akan diberitahukan lewat inbox untuk menghindari ada yang tidak jujur dalam memilih. Tes kepribadian, bagaimana pun bentuknya, boleh dipercaya boleh tidak. Toh, tidak ada yang menjamin keakuratan hasilnya. Terlebih karena objeknya adalah manusia. 

Di antara sembilan gambar tersebut, saya memilih gambar nomor 2. Gambar itu berbentuk segi empat berwarna hitam. Di atasnya terdapat semacam pulpen berwarna merah dan sebuah garis berwarna putih di sampingnya. Beberapa menit kemudian, hasilnya muncul lewat inbox sebagai berikut : 

Gambar Nomor 2. Mandiri, Tidak Biasa (tidak konvensional).
Anda menginginkan kebebasan dan ketidakterikatan hidup yang membiarkan anda menentukan jalan anda sendiri. Anda memiliki bakat artistik dalam kerjaan anda dan aktifitas luang. Desakan untuk bebas kadang menyebabkan anda melakukan perbuatan yang sangat berlawanan dengan apa yang anda inginkan. Gaya hidup anda sangat individual. Anda tidak akan meniru secara buta apa yang sedang “in”, di sisi lain anda mencari kehidupan yang sesuai dengan cita-cita dan dan pendirianmu, bahkan bila harus berenang melawan pasang. 

Baiklah, saya akan analisis satu per satu.
  
Mandiri. Jika parameter mandiri adalah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orangtua, maka dengan sangat menyesal saya mengatakan, saya belum termasuk tipe ini. 

Tidak biasa (Tidak konvensional). Ah tidak juga, saya ini orang biasa. Tidak konvensional ? Ada kemungkinan begitu. Saya sering tidak sepakat dengan beberapa kelaziman yang diaminkan orang-orang. Dalam hal selera, saya bisa lebih tradisional dibanding zaman saat itu. Tapi kesemuanya itu masih dalam taraf yang biasa. 

Menginginkan kebebasan dan ketidakterikatan dalam hidup. Ini dia. Saya tidak suka terikat. Saya mencintai kebebasan. Kebebasan di sini bukan kebebasan yang tanpa kendali. Tidak ada kebebasan semacam itu. Pengecualian bagi orang yang gila. Manusia, seaneh apapun ia, setidakbiasa bagaimana pun ia, selama belum gila, ia masih terikat norma dan nilai terlebih jika ia beragama. Manusia punya rasa malu dan setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang mengikutinya. Selain itu, ada koridor-koridor yang telah saya tentukan sendiri sebagai pembatas. 

Kebebasan dan ketidakterikatan yang saya maksud adalah sejenis belenggu lain yang entah orang lain sepakat dengan saya atau tidak. Dan karena itu pula, saya sering merasa aneh dengan diri sendiri. Intinya, saya tidak suka terikat dan tidak suka mengikat orang lain. Jika seseorang memilih pergi, saya tidak akan menahannya. Meskipun setelah itu, saya akan setengah mati merindukannya. Begitu pula sebaliknya, bila saya benar-benar ingin pergi, saya tidak suka ditahan-tahan. 

Anda memiliki bakat artistik dalam kerjaan anda dan aktifitas luang. Bakat artistik ? Bakat artistik apa maksudnya ? Saya paling lemah di bidang seni. Saya tidak bisa menari, tidak bisa menyanyi, tidak bisa bersyair, diksi saya buruk, tidak pintar berakting dan tidak bisa melukis. Kali ini tebakan Anda benar-benar salah. 

Desakan untuk bebas kadang menyebabkan anda melakukan perbuatan yang sangat berlawanan dengan apa yang anda inginkan. Saya bisa sangat menikmati kesendirian. Kesendirian saat bepergian, saat jalan-jalan, saat makan, saat hunting buku, saat di kamar. Dalam banyak hal, saya lebih senang melakukan segalanya sendiri. Dan inilah yang membuat saya sering berjarak dengan orang-orang terdekat saya. Saya merasa sesak bila terlalu dekat dengan orang-orang yang saya cintai. Adanya jarak membuat saya bisa bernapas lega. Di rumah pun seperti itu. Ibu dan nenek sudah ratusan kali menegur saya yang tidak suka ngumpul saat makan malam. Untuk waktu-waktu tertentu, saya masih bisa berkompromi. Tapi selebihnya, saya lebih suka mengambil tempat di teras belakang, dan makan sendirian di sana sambil memandang bintang berserakan di langit. Entah ini terdengar sentimentil atau malah bodoh, tapi seperti itulah. Saya bisa tenggelam dalam dimensi sendiri dan lupa pada orang-orang di sekitar. 

Yang cukup memahami hal semacam ini biasanya hanya ayah. Ia selalu membebaskan saya untuk hidup dengan cara saya sendiri, berpikir dan mengambil keputusan sendiri. Tak jarang keputusan-keputusan yang saya ambil ditentang oleh ibu, tetapi selalu didukung oleh ayah. Salah satunya adalah saat saya memutuskan untuk serius memakai jilbab. Ibu mati-matian menentangnya bahkan sampai terlontar beberapa ancaman. Ayah hanya diam menunggui ibu marah-marah. Selepas itu, baru ayah angkat bicara dan dengan tegas mendukung keputusan saya. Saya jadi tersadar bagaimana posisinya sebagai seorang ayah. Ia lelaki muslim, yang punya anak perempuan muslim. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mendukung keputusan itu. 

Kembali ke topik, saya tidak menyukai kesepian, tak ada satu pun manusia yang suka hidup dalam kesepian. Tapi saya selalu butuh sendirian. Dan kesendirian memerlukan jarak. Sikap saya yang mengambil jarak sering menyakiti hati orang-orang di dekat saya. Saya pernah benar-benar berada dalam keadaan “sesak napas” karena terlalu sering bersama seseorang. Saya sudah berulang kali berusaha untuk lepas tapi tidak bisa. Akhirnya, saya mengatakannya secara jujur. Hasilnya bisa ditebak, ia sangat kecewa dan sakit hati. Ia memilih pergi. Saya menyesal. Menangisinya. Saya benar-benar merasa jadi orang paling jahat sedunia. Tapi sungguh, saya pun butuh kesendirian. Saya tersiksa tanpa itu. Karenanya, adalah sebuah berkah jika kau punya seseorang yang bisa mendampingimu namun bisa pula dengan mudah memberimu ruang untuk bernapas, kemudian dekat kembali tanpa harus ada yang tersakiti. 

Gaya hidup anda sangat individual. Tolong dihapus kata “sangat”nya. Saya tidak separah itu. 

Anda tidak akan meniru secara buta apa yang sedang “in”. Memang. Karena apa yang sedang “in”, demi langit dan bumi, bisa terlihat begitu konyol di mata saya. 

Di sisi lain anda mencari kehidupan yang sesuai dengan cita-cita dan dan pendirianmu, bahkan bila harus berenang melawan pasang. Terima kasih, saya sedang menjalani tahap itu. Doakan agar semuanya dimudahkan dan agar saya kuat mempertahankan apa yang saya yakini. Aamiin...
15 December 2012

(Bukan) Butterfly Effect

Katanya, kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil bisa menghasilkan tornado di Texas.
Kepakan sayap camar di Kirgiztan bisa menghasilkan angin ribut di Pantura. 
Sementara kamu, hanya perlu mengedipkan mata untuk menciptakan badai di hatiku
#eeaaa

*Hasil gombal battle dengan teman*

Ketidaktahuan ; Sebentuk Pertahanan Diri Manusia

Manusia melihat apa yang ingin dilihatnya. Manusia mendengar apa yang ingin didengarnya. Begitulah bentuk pertahanan diri manusia secara pikiran. Sebagai makhluk yang diciptakan sempurna dibanding jenis lain, manusia didesain dengan kemampuan adaptasi yang tinggi. Manusia tidak mungkin dilepas ke dunia tanpa diberi kemampuan apa-apa. Jellyfish menghasilkan racun mematikan keluar dari tubuhnya untuk bertahan dari musuh-musuhnya. Cecak akan memutuskan ekor jika berada dalam keadaan bahaya. Daun-daun putri malu akan mengatup bila mendapat sentuhan. 

Pada manusia, pertahanan diri bukan hanya dari segi fisik, tapi juga melalui pikiran. Salah satu medianya adalah ketidaktahuan. “Pengetahuan bisa menghambat. Ketidaktahuan justru membebaskan. Tahu kapan untuk tahu dan kapan untuk tak tahu, sama pentingnya dengan pedang yang tajam”, Kata Takashi Matsuoka dalam novel Samurai : Kastel Awan Burung Gereja. Pengetahuan bisa menjadi pedang tajam yang mampu ‘membunuh’ seseorang. Karena itulah dikatakan bahwa manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin ia dengar dan hanya melihat apa yang ingin dia lihat. Bila ia melihat atau mendengar sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang ia harap lihat atau dengar, atau bila ia mengetahui realita yang ternyata tak berpihak padanya, maka hal itu akan berakhir pada rasa sakit dan kecewa. Dengan ketidaktahuan, ia akan terbebas dari luka. Ia mungkin akan baik-baik saja. 

Ketidaktahuan membuat manusia pandai memanipulasi perasaan sekaligus menjadikannya takut untuk bertanya. Takut pada jawaban yang tidak seperti harapannya. Ia kemudian menciptakan ilusi yang telah ia tentukan sendiri akhirnya. Tak jarang ia membentak bisikan hati yang mencoba bersikap jujur. Ah, manusia, betapa kuat dan begitu rapuhnya mereka.

Biarkan Saja

Seorang teman pernah bercerita bahwa dia sulit meminta bantuan orang lain karena takut akan penolakan. Sehingga ia memilih mengerjakan semuanya sendiri dibanding permintaannya ditolak, yang akan meninggalkan rasa kecewa. Begitulah caranya mempertahankan diri.

Teman yang lain bercerita bahwa bila menyukai seseorang, ia tidak akan mengatakannya secara lugas. Jika ternyata akhirnya ia menemukan isyarat penolakan, ia akan membangun sendiri anggapan bahwa itu kerena orang tersebut tidak cukup pantas untuknya. Sedikit angkuh kedengaran. Tapi seperti itulah caranya bertahan dari rasa sakit dan kecewa. Kadang saya juga tidak bisa menahan mulut untuk berkomentar bahwa penolakan itu lebih baik baginya dibanding bila ada penerimaan yang akan mendorongnya melakukan hal-hal di luar koridor. Tapi sudahlah, dia tidak begitu peduli dengan koridor yang saya maksud.

Dan, sembunyi-sembunyi membaca buku yang isinya sama sekali tidak berhubungan dengan materi yang diajarkan dosen adalah salah satu cara saya bertahan melawan kantuk di tengah kuliah yang kadang bisa sangat membosankan. Memang bukan sikap yang baik, tapi akan lebih tidak sopan lagi jika saya tidur di depan dosen yang sedang memberi ceramah. Ya ya, saya tahu cara bertahan di sini memang tidak nyambung dengan dua cerita sebelumnya. Sudahlah, biarkan saja.
09 December 2012

Lirihan Hujan


Suatu waktu di saat hujan turun satu-satu. Dua manusia berdiri berdampingan di sisi kaca jendela yang berembun. Keduanya membuang pandangan jauh ke luar, tak ingin menatap satu sama lain. Keheningan berkuasa hingga hujan reda. Dan, entah siapa yang memulai, reuni sunyi itu harus ditutup dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya tak ia tanyakan.
“Apa yang kau pandangi di tengah hujan tadi ?”
...
Ia menunggu
...
Namun tak ada jawaban. Selalu begitu.
Ia menyerah dan memilih beranjak dari sana. Meninggalkan seorang yang sejak tadi membisu di sampingnya.
Sesaat sebelum mencapai pintu, dari balik punggungnya, samar terdengar bisikan ;
“Kenangan...”

Random (3)

Kalau sedang kerja tugas, saya bisa duduk sampai membusuk di satu titik kamar tanpa berpindah-pindah. Selalu saja ada sudut-sudut yang jarang bahkan tidak pernah disentuh. Maksudnya, dalam kamar yang berbentuk kotak dan punya empat sisi sebagai dinding, biasanya saya hanya bersandar pada dua sisi saja, sementara dua sisi lainnya hanya disentuh untuk dibersihkan. Padahal, saya bisa bebas untuk duduk, tidur dan bersandar di sudut atau di sisi manapun yang saya mau. Tapi entah kenapa, sudah menjadi kebiasaan hanya memilih beberapa bagian saja dan membiarkan yang lainnya tidak tersentuh. Begitu juga jalan yang sehari-hari selalu dilewati sampai tempat makan yang sering dikunjungi. Selalu ada bagian darinya yang saya pisahkan, tak ingin menyentuhnya. Dan dalam skala hidup yang lebih luas, ternyata saya pun seperti itu. Ah, rumit juga.

*****
Jika ingin menitipkan barang berharga, kepada siapa kita menjatuhkan pilihan ? Kerabat, saudara, atau sahabat ? Kejadian sederhana belakangan ini mengingatkan saya akan satu hal penting yang sedikit terlupakan. Beberapa waktu lalu saya sempat uring-uringan setiap kali akan keluar rumah karena mendapati motor telah dihiasi tiga kotoran ayam. Mau tidak mau saya harus mencucinya dulu dan menunggu sampai kering baru kemudian dipakai. Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Saking jengkelnya, saya sampai mengancam ayam-ayam yang berkeliaran di sekitar situ. Tapi sepertinya mereka tidak paham bahasa manusia. Dan saya juga tidak tahu bahasa ayam. Selepas shalat maghrib, saya membuka-buka sebuah majalah islam edisi terbaru. Ada sebuah kisah yang menyentuh di salah satu rubriknya. Kisahnya tidaklah terlalu nyambung dengan kejadian yang saya alami, tapi itu cukup untuk menjadi pengingat.

Ada banyak penjelasan masuk akal mengapa kotoran ayam tadi hanya nangkring di atas motor saya padahal ada beberapa motor lain yang juga terparkir di sana. Entah karena posisi motor yang diparkir, entah jumlah dan kebiasaan ayam atau pun alasan lainnya. Tapi saya lupa bahwa segala hal, sampai pada sehelai daun yang gugur pun, tidak akan lepas dari pengawasan dan kehendak Allah. Kehendak ciptaan tidak akan mengalahkan kehendak Penciptanya. Allah adalah sebaik-baik Pelindung, sebaik-baik tempat menitipkan. Saya lupa bahwa jika ingin menitipkan atau meminta sesuatu, Allah-lah yang pertama kali harus saya hubungi, bukan yang terakhir. Keesokan harinya sepulang kuliah, setelah memarkir motor, ada doa yang tertitip. Dan memang benar, Allah adalah sebaik-baik pelindung. Alhamdulillah, motor saya juga baik-baik saja. 

*****
Belakangan ini saya juga menyadari bertambahnya jumlah dosen yang menghentikan sejenak perkuliahan karena menjawab adzan. Seingat saya, sebelumnya hanya sekitar satu atau dua orang yang seperti itu. Dan kini jumlahnya bertambah. Lagi-lagi ini mungkin terdengar sederhana. Tapi untuk ukuran sebuah kampus, terlebih di zaman ini, berapa persen orang yang mengamalkannya ? Berapa banyak orang yang tahu bahwa salah satu sunnah yang diajarkan Rasulullah saat adzan berkumandang adalah menjawabnya ? Karena itulah, rasanya senang sekali jika dosen memerintahkan untuk diam dan menjawab saat terdengar panggilan adzan. Seperti saling mengingatkan satu sama lain.

*****
Suatu sore setelah gerimis mereda, tepat di penghujung garis horizon, matahari berhasil meloloskan diri dari awan. Bumi pun berubah warna menjadi jingga. Menyilaukan dan hangat.

Buya Hamka ; Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme

“Yang saya ingat  dari lisan almarhum papa saya dahulu adalah : ‘Jalanan di Jakarta hanya bisa sepi karena dua hal : Muhammad Ali bertanding, atau Hamka berpidato.’”
~Akmal Sjafril~ 


Buku berjudul Buya Hamka, Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme ini merupakan adaptasi tesis karya Akmal Sjafril. Sebelumnya, ia juga menulis buku berjudul Islam Liberal 101. Keduanya merupakan buku-buku bertema pemikiran yang berupaya membendung gerakan liberalisasi islam. Buya Hamka dikenal sebagai ulama besar asli Indonesia yang sangat produktif menulis. Buku-buku beliau jika dikumpulkan bisa mencapai seratus jilid. Di antara seluruh karyanya, 30 jilid Tafsir Al Azhar merupakan karya paling monumental yang beliau rampungkan dalam tahanan penjara Orde Lama. Sayangnya, saat ini karya-karya beliau sudah banyak yang tidak diterbitkan lagi. Tujuan umum buku ini adalah untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahan dari klaim pluralis yang sering dialamatkan pada Buya Hamka.

Bab pertama dibuka dengan menjabarkan bagaimana islam mendudukkan toleransi beragama serta menguraikan konsep ekslusif, inklusif dan pluralis. Bab kedua membahas biografi Buya Hamka mulai dari lahir, latar belakang keluarga, pendidikan yang ditempuhnya sampai menjadi ulama multitalenta. Bab ketiga khusus membahas tentang pluralisme agama yang digali sampai ke akar-akar sejarahnya, termasuk definisinya sendiri yang masih dianggap problematis. Bagian ini dilengkapi dengan penguraian tren-tren pluralisme seperti humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi dan teosofi-freemasonry. Bab keempat membahas ayat-ayat yang sering dikutip pengusung pluralisme untuk mendukung pendapat mereka. Secara sederhana, argumen pluralisme yang menggunakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai sandaran pemikirannya dikelompokkan ke dalam lima tema pokok, yaitu : (1) pluralitas sebagai kehendak tuhan, (2) keselamatan dapat ditemukan di semua agama, (3) adanya kesatuan risalah para nabi, (4) tidak ada paksaan dalam beragama dan (5) manusia tak berhak mengadili agama siapa yang benar. Bab ini diakhiri dengan kritik cendekiawan muslim terhadap kelima pemikiran tadi.

Bab kelima membahas konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka. Bab ini menelusuri secara rinci pandangan Hamka tentang definisi konsep agama, bagaimana Hamka menempatkan islam di antara agama-agama lainnya, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran yang telah dinyatakan menyimpang dari Islam, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran kepercayaan sinkretisme dan aliran yang lahir akibat kultus individu, bagaimana Hamka memandang komunisme, sekularisme dan pancasila serta bagaimana Hamka mengejawantahkan toleransi beragama. Bab keenam menguji klaim pluralisme dengan merinci bagaimana Hamka semasa hidupnya telah berhadapan langsung dengan konsep-konsep kunci pembentuk pluralisme seperti antroposentrisme atau relativisme. Bab terakhir membahas kekeliruan artikel atau makalah yang pernah ditulis oleh para pengusung liberalisme seperti Ahmad Syafii Maarif, Ayang Utriza NWAY dan Hamka Haq.

Buku ini berhasil menggambarkan keteguhan dan kelurusan ‘aqidah Buya Hamka serta membuktikan kekeliruan metode kaum liberalisme dalam mengambil kesimpulan penafsiran beliau, termasuk kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan ayat Al Qur’an. Namun karena diadaptasi dari tesis, bahasa dalam buku ini agak ‘kaku’ bila dibandingkan karya sebelumnya (Islam Liberal 101). Banyak istilah-istilah ilmiah yang membuat saya harus mencari definisinya dari literatur lain. Tetapi bagi yang tertarik dengan tema ghawzul fikr (perang pemikiran), buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca.
29 November 2012

Tak Tersentuh

Ada bagian dari dunia manusia yang tidak akan bisa dipahami siapapun. Sekuat apapun orang lain berusaha mengerti dan memahaminya, tidak akan pernah bisa. Meski telah bersama selama bertahun-tahun, itu masih tak cukup untuk membuatmu mengenal seseorang. Jangankan orang lain, diri sendiri pun kadang tak bisa dimengerti oleh pemiliknya. Sebagian manusia belajar menguraikannya lewat tulisan. Tapi selalu saja ada bagian yang tak terwakili oleh kata-kata ataupun tulisan. Dunia itu seakan-akan tidak tersentuh, tidak terjamah. Sekeras apapun kau berusaha dan seberapa seringpun kau mengulang ceritamu, ternyata pada akhirnya hanya kau sendiri yang memahami. Setiap manusia punya pengalaman dan masa lalu yang berbeda-beda. Menjalani hidup yang berbeda dan juga cara berpikir yang berbeda. Karenanya tak perlu mengasihani diri. Tak perlu mengeluh jika ternyata kita tak bisa dipahami oleh orang lain. Namun, jika ada seseorang yang mau berada di samping kita, menopang kita dan bersimpati meski tak memahami, rasanya sudah cukup. Selebihnya, itulah dunia yang harus kita terima.

Tanya



Medan perang telah terbentang
Bilah pedang telah terhunus
Beranikah engkau mengadapinya ?
Sekuat apa kau akan bertahan ?

Terkadang manusia belajar sesuatu dari hal yang menjadi kebalikannya. Seperti Ikal yang belajar menghargai hidup dari Bodenga yang justru membenci dan mengakhiri hidupnya sendiri. Kadang, kita belajar mempertahankan diri bukan dari mereka yang mampu melakukannya. Tapi justru sebaliknya, sambil memohon agar tidak menjadi salah satu di antaranya. Memang bukanlah hal yang mudah untuk bertahan di tengah arus yang semakin deras. Saat segalanya menjadi lebur tanpa warna yang tegas memberi batas. Bukan hal yang mudah ketika melihat sekeliling dan satu per satu telah jatuh tersungkur. Meninggalkan prinsip yang dulu ia perjuangkan mati-matian. Meninggalkan ilmu seakan-akan tidak pernah mendapatkannya. Meninggalkanmu yang dulu pernah berjuang bersama-sama. Tapi tak perlu menanyakan mengapa karena semua kembali pada kehendak Pemilik Langit yang tak bisa ditawar. Kau hanya perlu meminta diteguhkan, Dia-lah yang memutuskan.

Kepada Engkau yang memegang hati di antara jari-jari dan membolak-balikkannya, teguhkankan aku di jalan ini. Tinggalkan keimanan dan keistiqomahan padaku. Jangan pernah cabut ia, kumohon jangan pernah.
21 November 2012

Kepada Langit Malam


Maaf jika aku tak mampu mengibas mendung yang melingkupi
Maaf jika aku bukan embun yang kau harap temui di kala pagi
Maaf jika aku bukan jingga langit senja yang selalu kau nanti
Maaf...
Tak akan tersisa
Tak akan tertinggal
Tentang hari esok
Tak akan lebih dari seharusnya

Simpan tanya itu
Senja kali ini telah berubah warna
Kembalilah...
Ke tempat di mana sayap-sayap berpulang
Kembalilah...
Ke tempat dimana hening akan menjawab
Yang kau cari
Mungkin menunggu di sana
09 November 2012

Trilogi The Hunger Games


Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan terakhirmu
~Suzanne Collins, The Hunger Games~

Sengingat saya, terakhir kali semangat membaca buku terbitan luar adalah saat mengkhatamkan novel debut pertama Takahashi Matsuoka-sensei yang berjudul Samurai : Kastel Awan Burung Gereja dan Samurai : Jembatan Musim Gugur. Membaca buku sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang dilematis karena pengaruh yang ditimbulkannya. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi tidak buat saya. Bagi saya, membaca buku adalah proses berpindah dari alam nyata masuk ke alam buku. Yang menjadi persoalan adalah ketika cerita telah berakhir dan ternyata kau belum juga keluar dari buku itu. Bisa paham sampai sini ? Jika bukunya tidak terlalu berkesan maka tidak ada masalah. Tapi jika kesannya mendalam, tak jarang saya sering butuh waktu satu atau dua hari untuk untuk sepenuhnya ‘keluar’ dari buku.

Saya paling suka jenis novel yang berlatar sejarah, fiksi sains dan dunia fantasi. Tiga hal yang tidak pernah bertemu satu sama lain, masa lalu, masa depan dan utopia. Mungkin ini juga yang menyebabkan saya sulit ‘keluar’ dari buku di penghujung cerita. Walau begitu, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel Samurai misalnya, Matsuoka-sensei memberi peringatan bahwa dalam setiap kepemimpinan, kesetiaan selalu menemui konflik, bahkan untuk orang yang paling loyal sekalipun.

The Hunger Games merupakan novel trilogi fiksi sains yang ditulis oleh Suzanne Collins. Ketertarikan membaca novel ini muncul setelah iseng menonton filmnya. Ada banyak film yang menjadikan game maut sebagai tema cerita seperti Battle Royal (yang tak sanggup saya selesaikan). Setelah menonton, saya langsung mencari ketiga bukunya. Di antara sekian banyak buku yang pernah diterbitkan, ada buku yang dibaca dan lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Dan ada pula beberapa buku yang mampu membuat merenung dan sering mempengaruhi beberapa hal termasuk sudut pandang selama ini telah lazim saya anut. The Hunger Games adalah jenis yang kedua.

Puluhan tahun sebelum The Hunger Games pertama kali diadakan, terjadi pemberotakan terhadap Capitol yang dilakukan oleh 13 distrik di Panem, sebuah negara yang terbentuk dari sisa-sisa Amerika Utara. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dan berakhir dengan membumihanguskan distrik 13, sehingga tersisa 12 distrik. Setelah itu dibuatlah The Hunger Games sebagai peringatan sekaligus ancaman terhadap kedua belas distrik agar tidak mengulangi pemberontakan atau nasib mereka akan sama dengan distrik 13. The Hunger Games dilaksanakan setiap tahun dan dijadikan hiburan bagi penduduk Capitol, semacam reality show yang ditayangkan di TV. Semua laki-laki dan perempuan yang berusia 12-18 tahun akan dipilih secara acak di Hari Pemungutan. Hari pemungutan merupakan hari dimana peserta yang terpilih akan mengucapkan salam perpisahan karena kemungkinan yang kembali tinggal mayatnya. Setelah hari pemungutan, terkumpullah 24 peserta dari 12 distrik yang harus bertarung sampai mati sehingga hanya tersisa satu pemenang.

Katniss Everdeen adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang tinggal di distrik 12, sebuah distrik penambang batu bara. Ayahnya meninggal karena ledakan yang terjadi di tambang saat ia belum berumur 12 tahun. Kematian ayahnya membuat ibu Katniss trauma sehingga Katniss terpaksa menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya. Katniss mempunyai adik perempuan bernama Primrose Everdeen, yang lebih sering dipanggil Prim. Karena miskin dan harus memberi makan keluarga, Katniss terbiasa berburu di hutan. Ia ahli menggunakan panah dan memasang jerat. Katniss mempunyai sahabat sekaligus teman berburu bernama Gale. The Hunger Games ke-74 merupakan tahun pertama nama Prim masuk dalam daftar. Setelah diacak, ternyata nama Prim yang terpilih. Katniss kemudian mengajukan diri menggantikan adiknya.

Sementara peserta laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, ia seusia dengan Katniss dan mempunyai kemampuan dalam hal kamuflase. Sehari-harinya, Peeta bekerja menghias kue di toko roti milik ayahnya. Katniss dan Peeta kemudian dibawa ke Capitol. Setiap pasangan memiliki mentor yang diambil dari pemenang Hunger Games sebelumnya dari distrik masing-masing. Mentor mereka bernama Haymitch, pemenang Hunger Games ke-50 saat ia masih berusia 16 tahun. Di Capitol mereka melakukan serangkaian persiapan dan latihan serta berbagai wawancara untuk menarik dukungan para sponsor. Bantuan dari para sponsor sangat menentukan nasib para peserta di arena nanti.

Buku pertama menceritakan perjuangan Katniss dan Peeta bertahan hidup di arena dan akhirnya membuat sejarah baru, yaitu untuk pertama kali, ada dua pemenang dalam Hunger Games. Buku kedua yang berjudul Catching Fire menceritakan beberapa bulan setelah Katniss dan Peeta memenangkan The Hunger Games ke 74. Kemenangan mereka berdua dan lambang burung Mockingjay milik Katniss telah memicu munculnya pemberontakan di beberapa distrik. Untuk meredamnya, dengan licik Presiden Snow (Pemimpin Capitol) mengubah peraturan The Hunger Games. Peserta The Hunger Games yang ke-75 atau yang lebih dikenal dengan Quarter Quell diambil dari pemenang-pemenang Hunger Games sebelumnya. Dengan kata lain, Katniss dan Peeta harus kembali lagi ke arena. Banyak tokoh-tokoh baru yang muncul dalam seri kedua ini seperti Joanna, Finnick, Beete, Mags, Annie, dll. Buku terakhir yang berjudul Mockingjay menceritakan kemunculan distrik 13, yang awalnya dianggap telah hancur ternyata masih bertahan dan bertahun-tahun membangun kekuatan bawah tanah untuk melawan Capitol. Gerakan pemberontakan semakin bergaung di setiap distrik diikuti jatuhnya kekuasaan Presiden Snow dan menjadi pertanda berakhirnya The Hunger Games. Banyak kejutan yang ditemukan di sini, salah satunya adalah hubungan antara Capitol dengan distrik 13.

Lewat buku ini, Suzanne Collins sepertinya menumpahkan kemarahannya akan tayangan reality show serta sorotan terhadap perang, kediktatoran dan penggulingan rezim dengan revolusi. Saya ngeri membayangkan jika saja game tersebut benar-benar ada suatu saat nanti. Saat dimana kau menjadi pion yang diharuskan membunuh jika tidak ingin terbunuh. Sementara di luar arena, orang-orang menontonmu bertahan hidup dan menganggapnya sebagai hiburan. Menurutku, inilah bagian yang menarik dari trilogi The Hunger Games. Seperti selalu, di antara ketiga serinya, saya paling suka buku terakhir. Untuk para tokoh, saya paling suka Peeta. Andai saja Katniss tidak diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, saya mungkin lebih menyukainya. Tindakannya menggantikan Prim sebenarnya sudah cukup untuk membuat siapapun yakin bahwa dia adalah kakak yang baik. Meski sekuat apapun ia berusaha, pada akhirnya ia tetap tidak bisa menyelamatkan adiknya.

Tetapi karena menggunakan sudut pandang orang pertama, saya jadi terlalu sering melihat pergulatan batin dan sisi gelap yang muncul saat Katniss berjuang bertahan hidup. Sehingga benarlah kata-kata Haymitch pada Katniss bahwa ribuan kali pun ia berusaha, ia takkan pernah pantas untuk Peeta. Peeta yang tak pernah ragu melindungi Katniss, Peeta yang rela menggantikan Haymitch di Quartel Quell untuk menjaga Katniss bahkan ia sampai disiksa di Capitol yang kemudian mempengaruhi mentalnya. Dalam hal apapun, meski hanya sebagai pion, keselamatan Katniss selalu diutamakan karena ia adalah Mockingjay, lambang pemberontakan. Ending-nya juga tak bisa sebut happily ever after karena baik Katniss maupun Peeta bahkan Haymitch dan pemenang lainnya tak ada yang benar-benar pulih setelah Hunger Games. Game itu telah menjadi semacam jalan bagi siapapun untuk kehilangan dirinya demi bertahan hidup.

Untuk filmnya, bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah ketika semua peserta berlari menuju Carnucopia setelah gong dibunyikan. Saat itu ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tewas disabet pedang Cato. Bagian ini benar-benar membuat saya shock. Manusia macam apa yang membuat permainan dengan melepas anak 12 tahun ke arena untuk dibunuh dengan keji, sementara ayah ibunya hanya menyaksikan kematian anaknya lewat TV tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga hanya Presiden Snow yang bisa segila itu. Terakhir, jika orang-orang kota di masa depan seperti yang digambarkan dalam The Hunger Games, maka fashion-nya benar-benar sesuatu. Operasi plastik, tatto di wajah dan tabrakan warna akan menjadi sangat lumrah. Jadi tidak sabar menanti live action lanjutannya.
05 November 2012

Ngelantur Lagi

Lagi-lagi harus kuakui, aku memang tidak pandai memilih judul tulisan. Selalu tak lebih dari dua kata dan hanya berputar dengan yang itu-itu saja. Begitulah jika sudah malas mencari, akan kuberi judul sembarangan. Terserah kalau mau dibilang tidak kreatif. Lagipula ceritanya kan sedang ngelantur lagi. Jadi wajarlah.

Oh ya, hampir lupa. Jika dalam tulisan kata yang digunakan adalah “aku” dan bukan “saya” maka itu pertanda bahwa tulisan ini mungkin akan sedikit...sentimentil. Ehm, well, entah kata apa yang tepat, tapi yeah, kurang lebih semacam itulah. Dan apapun yang kau temui dalam tulisan ini, ingatlah satu hal : aku sedang ngelantur.

Hujan adalah berkah, semua orang tahu itu. Kita bahkan disunnahkan untuk berdoa saat hujan karena merupakan waktu yang mustajab. Banyak orang yang selalu menanti kedatangan hujan. Banyak orang yang membuat puisi dan cerita tentang hujan. Dan, banyak doa-doa yang terlantun ke langit saat hujan. Aku juga suka hujan. Suka melihat tetesan air yang jatuh seperti benang-benang perak dari langit. Suka melihat efek embun di kaca yang dingin. Suka minum kopi dan membaca buku saat hujan. Suka berlari menembus hujan (andai saja tidak menjadi tontonan dan disebut konyol). Intinya, aku suka hal-hal kecil yang berhubungan dengan hujan, hingga beberapa waku belakangan ini.

Seingatku, saat itu siang menjelang sore. Masih belum jelas apakah dosen masuk mengajar atau tidak. Di luar kelas, mendung mulai mengepung. Aku menoleh ke temanku yang kegirangan menanti kedatangan hujan. Ia memintaku menemaninya keluar jika hujan turun. Ia ingin melihat hujan dari tempat yang terbuka. Kelasku yang saat itu berada di lantai dua adalah tempat yang tepat. Aku mengiyakan. Ternyata kuliah batal, dosen berhalangan hadir dan hujan pun turun. Aku mengikutinya keluar dan berdiri di pinggiran koridor yang tersembunyi di samping kelas. Kulirik dia dan menemukan raut senang ketika beberapa tetes air hujan menerpa wajahnya. Yang pertama kulihat dari tempat itu adalah area parkir. Memandangi jejeran motor yang menggigil kedinginan. Lalu kualihkan mata ke arah langit. Yang kulihat hanya kelabu. Tak ada yang lain. Lama kupandang langit dan tak juga dihinggapi rasa senang, seperti seharusnya. Padahal setidaknya, aku bisa lebih baik ketika menyambut hujan seperti temanku. Namun, entah dari mana ada perasaan lain yang pelan-pelan menyelusup. Perasaan yang menggantikan tempat di mana rasa senang itu seharusnya berada. Awalnya aku tidak menyadari hingga beberapa kepingan ingatan melintas begitu saja bersama dengan jatuhnya tetesan hujan. Kepingan yang harusnya hanya muncul jika aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi warna jingga, buku, siluet beberapa orang dan sepasang bola mata yang jauh.

Aku memikirkannya beberapa saat dan kemudian tersadar, ada sesuatu yang mengambang di dalam. Dari mengambang kemudian naik kelas menjadi kosong dan berakhir dengan hampa. Aku membenci efek ini sejak dulu karena ia kadang muncul begitu saja di saat yang tidak tepat. Ia bisa melemparku melangkahi waktu dan meninggalkanku di sana. Sementara aku bersusah payah melepaskannya, berharap secepatnya pergi dari situ. Ketenanganku pun jadi terusik karena ini. Jika terjadi di kelas, aku akan mondar mandir mencari teman untuk diajak cerita apa saja. Apa saja untuk menghilangkannya. Jika tidak bisa, akan kutinggalkan kelas dan melarikan motor ke Snoppy, mengambil buku apa pun. Buku selalu menjadi pelarian terbaik, selalu berhasil memindahkanku ke tempat lain. Setidaknya sampai aku terlelap dengan buku yang menutup wajah. Karena itulah belakangan ini, setiap subuh aku selalu berdoa agar langit cerah sepanjang hari.

Ada beberapa hal yang ingin kulepaskan dan aku selalu tak siap melakukannya. Beberapa hal yang seharusnya sejak dulu kubiarkan pergi dari ingatan. Dari kenangan. Pada akhirnya, aku hanya melarikan diri dan masih saja membawanya.

Dibandingkan perasaan manusia, matematika lebih mudah dipahami
~Detective Conan~
25 October 2012

Sango dan Kunang-kunang

Inuyasha adalah salah satu anime yang paling saya suka, bersaing dengan Detective Conan, Samurai X dan Gundam. Saya suka semua tokoh-tokoh penting di dalamnya, mulai dari yang baik sampai yang jahat. Inuyasha, Kagome, Miroku, Sango, Shippo, Kirara, Kohaku, Kikyo, Sesshomaru-sama, Rin, Jaken, Kouga, Kagura, Kanna dan Naraku. Tapi di antara semua tokoh, karakter laki-laki yang paling saya sukai adalah Miroku dan Sesshomaru. Sedangkan untuk tokoh perempuan, saya paling suka Sango. Seperti yang saya bilang tadi, saya juga suka Inuyasha. Tapi saya yakin sudah banyak yang nge-fans pada tokoh ini. Di animenya saja sudah ada dua perempuan yang suka. Jadi saya tidak perlu lagi menambah jumlahnya. Sehingga pilihan jatuh pada Miroku dan Sesshomaru.

Menurutku, Miroku dan Sesshomaru-lah tokoh yang paling keren di anime ini walaupun karakter keduanya sangat berlawanan. Pertama, Miroku adalah seorang manusia, sementara Sesshomaru adalah Youkai (siluman). Kedua, Miroku suka menggoda perempuan dan lumayan mata duitan sementara Sesshomaru tak pernah terlibat hubungan perempuan manapun baik dari golongan manusia maupun Youkai. Youkai yang satu ini sangat misterius. Selain itu, Sesshomaru juga identik dengan bulan. Dan saya sangat suka bulan. Sementara tokoh perempuan, saya melebihkan Sango di antara tokoh lainnya. Selain kostumnya yang keren, perjuangannya merebut Kohaku (adiknya) dari pengaruh Naraku juga bikin salut.

Oh ya, Sango juga sering digambarkan duduk bersama kunang-kunang hijau di malam hari. Saya suka pemandangan itu. Instrumen Taiji-oku yang selalu jadi backsound Sango juga terdengar sangat dalam. Seperti menceritakan sesuatu yang tak akan kembali. Sunyi mungkin adalah kata yang tepat menggambarkan intrumen itu.
08 October 2012

Hello Darkness...

Hello darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Jarum jam adalah pilihan terakhir yang ingin kudengar setiap kali akan terpejam. Di puncak malam, ketika hari telah berganti nama, kesunyian mampu membuat detak arloji dan air yang menetes dari kran terdengar seperti tabuhan drum. Tapi kali ini aku butuh bunyi geseran jarum jam. Butuh bunyi tetesan air. Butuh derit kipas angin yang sudah tak bisa lagi berputar ke kanan. Butuh itu semua, hanya untuk mengingatkan bahwa waktu belum berhenti. Belum usai. Pada setiap renungan, begitu banyak kedamaian. Dan pada sisi lainnya, ia sampai pada kesimpulan yang menyakitkan. Jika hanya menyandarkannya pada keindahan, sampai batas mana kau akan bertahan ?
Pada waktu yang belum selesai, kukatakan padamu,
Tak seharusnya ia berada di sana. Tak seharusnya ia singgah di saat kau telah berlalu. Dari tempat kita terdiam dan membisu. Dari tanya yang tak kunjung usai. Dan pada jawab yang tak kunjung sampai. Ah, betapa jauh kita terlempar pergi. 

People talking without speaking
People hearing without listening

Ada saat kau merasa begitu berat membuka mata karena tak ingin lagi melihat apapun. Tak ingin mengingat hari kemarin dan tak membutuhkan hari esok. Pun ada saat ketika kau justru tak ingin memejamkan mata meski malam telah sekarat. Tak ingin yang kau lihat dan rasa berserah diri pada semunya mimpi. Ada saat kau ikut tertawa tanpa tahu mengapa. Pun ada saat kau menangis, tak tahu mengapa. Mungkin kau memang perlu tertawa, menertawakan kesunyian. Mungkin kau perlu menangis, menangisi keriuhan. 

This is me pretending
This is all I need

Ada saat ketika kau sangat menginginkan hangat matahari, namun langit malah menurunkan hujan. Mungkin langit ingin membantumu. Mungkin kau perlu membersihkan diri. Mungkin kau perlu berkaca pada genangan air. Melihat lebih dalam. Bagaimana jika kau temukan wajah lain di sana ? Kau tersenyum tetapi bayang itu sebaliknya. Kau marah, dan ia pun menertawakanmu.

Pada waktu yang belum usai, katakan padaku,
Bertahanlah di sana. Lihatlah di kedua sisimu. Lihatlah di balik punggungmu. Ada yang selalu menanti, mengulurkan tangan kapan pun kau butuh. Siap menahan dan menarikmu di saat yang tepat.

Cukup katakan itu,
Dan aku akan baik-baik saja.
24 September 2012

Mabuk Kopi

Akhir-akhir ini rasanya sulit untuk tidur jika belum lewat pukul 3 pagi. Kebiasaan lama sepertinya muncul kembali. Entah ini masuk kategori insomnia atau bukan. Tapi mungkin memang bukan. Yeah, maksudnya Alhamdulillah, sejauh ini masih sehat luar biasa. Gara-gara kebiasaan ini pula, dulu nenek sering menyindir dengan sebutan Manusia Kelelawar. Kadang sampai harus bersitegang karena berulang kali disuruh tidur tapi saya selalu menolak. Setelah kuliah dan belajar kesehatan, perlahan-lahan kebiasaan itu dihentikan. Hanya sesekali jika tugas sedang ngantri atau saat menyusun TA. Rasanya memang lebih santai. Sebelumnya saya sering merasa bebas tapi sulit untuk rileks. Sementara setelahnya, tidak begitu bebas bahkan cenderung tertutup, tapi jadi lebih rileks dan tenang. Seperti ada sedikit beban yang terangkat.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan tidur. Saya bisa tidur kapan saja, di mana saja dan dalam suasana apapun. Bisa tidur di ruang yang terang bisa juga gelap-gelapan. Bisa tidur di meja, bisa juga di kursi. Bisa tidur tanpa bantal dan tentu saja, lebih nyenyak pakai bantal. Bisa di dalam kamar, bisa juga di alam terbuka, asal bukan di Gurun Sahara saat matahari tepat di atas ubun-ubun. Sebenarnya bisa, tapi saya harus berdoa dulu supaya salju turun di sana. Oke, lupakan. 

Faktor keterlambatan menuju pulau kapuk ini umumnya karena menulis. Tengah malam atau subuh hari adalah waktu paling sempurna untuk menulis dan kerja tugas. Tak ada gangguan. Kadang jika mengejar deadline buletin, saya akan menunggu sampai penghuni lain tertidur, setelah itu barulah proses menulis dimulai. Tetapi yang menjadi masalah adalah, malam terkadang, walau sangat jarang, menghadirkan suasana yang berbeda dari biasanya. Entah bagaimana mendeskripsikannya, tetapi ia seperti gabungan antara tenang dan kelam. Apalagi jika langit kedatangan bulan, eh maksudnya bulan muncul di langit. Sesuatu yang terasa tidak asing sebenarnya, tapi momennya benar-benar tidak tepat. Tak jarang hal-hal yang sebelumnya telah terkunci rapat di laci kenangan, tiba-tiba, tanpa tahu diri muncul begitu saja. Sesuatu yang dianggap telah hilang, ternyata masih tersimpan rapi di sekat memori otak. 

Entah kenapa, tapi begitulah adanya. Ck, sebenarnya saya juga tidak tahu mau cerita apa. Anggap saja saya sedang ngelantur karena mabuk kopi. Yeah, maksudku kadang ada hal-hal yang kupikir sudah terlupakan tapi ternyata tidak. Ia muncul begitu saja tanpa diminta, dan diharapkan.
 
;