03 May 2014

Hakikat Kebebasan

 
Orang-orang berubah. Yang dulunya rapi kini berantakan. Yang dulunya berantakan kini rapi. Yang dulunya rajin ikut kajian, sekarang berhenti total. Yang dulunya siswa nakal, bergaul terlalu bebas, setelah kuliah dan ikut kajian islam, berubah total. Bagi yang perempuan, jilbab semakin lebar dan memakai kaos kaki. Yang laki-laki, celana dipotong pendek, memelihara janggut dan menjaga shalat jama’ah di masjid. 

Kuliah di kota besar bisa berdampak baik dan buruk. Apapun dampaknya, kehidupan kota memberi banyak pelajaran pada diri seseorang. Pelajaran yang hanya didapatkan bila bertemu langsung dengan kehidupan dan orang-orang kota. Mereka yang kuliah ke kota bukan sekadar ingin melanjutkan pendidikan. Di sisi lain mereka sedang mencari kebebasan. Menjauh dari orangtua dan kerabat, berusaha memberi ruang yang lebih leluasa untuk diri sendiri dan membangun hubungan baru.

Di kota besar, kebebasan bertebaran seperti botol plastik dan sampah di pinggir jalan. Orang berbondong-bondong ke sana untuk mencari kebebasan diiringi pandangan khawatir orangtua di kampung halaman. Mereka yang tidak memiliki kesadaran diri akan menyia-nyiakan kebebasannya. Tapi kebebasan itu samar. Tak jelas. Seseorang baru menyadarinya setelah terikat berbagai kebebasan yang membuatnya tak mampu lagi bergerak. Ia berharap bisa terbang ke langit luas, tapi saat harapan itu terpenuhi, ia tak tahu lagi apakah itu kebahagiaan atau kesenangan belaka. 

Pada akhirnya, kebebasan terbatas yang dimiliki saat masih berada di dalam sangkar, menjadi kebebasan paling berarti. Tempat yang tampaknya diliputi kebebasan, sebenarnya tidak memiliki kebebasan sama sekali. Yang ada hanyalah ilusi kebebasan. Orang mencari kebebasan yang berada jauh dari kampung halamannya. Mereka menganggap bahwa kebebasan yang ada di kota sangat mengagumkan. Namun, siapapun pada akhirnya mengikuti jalan yang sama, dan kembali ke tempat yang sama. Mereka memulai perjalanan untuk mencari kebebasan, lalu kembali pulang setelah kebebasan itu justru mengekang.

Perbedaan kesadaran diri membuat orang yang kembali dari perantauan di kota, menjadi begitu berbeda dengan saat pertama kali pergi. Bila tak memiliki kesadaran diri, kebebasan kota semacam Makassar bisa menghanyutkan seseorang. Begitu pula sebaliknya, kesadaran diri dapat membentengi seseorang meski kebebasan bertebaran seperti daun-daun kering. Senior yang satu tingkat di atas saya, yang oleh guru disebut sebagai siswa paling cerdas di angkatannya, memutuskan kuliah di Australia. Semua orang mengira bahwa saat kembali, dia sudah menyatu dengan kehidupan barat mulai dari pakaian hingga tingkah laku. Tapi orang-orang terkejut melihat penampilannya saat kembali. Berbeda dari perkiraan sebelumnya, dia justru pulang dengan hijab yang menutup seluruh tubuh dan wajahnya. Tak ada yang mengira bahwa di samping kuliah, dia juga rutin belajar Islam. 

Dalam sebuah reuni, seorang teman bercerita dengan bangga bahwa saat kuliah dia telah melakukan berbagai hal buruk. Dengan pengalamannya itu dia jadi tahu bahwa hal itu memang buruk. Menurutnya, walaupun secara teori kau tahu itu buruk, walaupun sudah ada label bahwa itu buruk, tapi kau tidak akan benar-benar tahu keburukan itu sebelum melakukannya. Saya tersenyum sinis mendengarnya. Bisa dianalogikan dengan peringatan “Awas! Listrik bertegangan Tinggi” yang terpasang di kawat pagar. Lalu seseorang datang. Dia sudah tahu itu berbahaya. Sudah ada peringatan yang jelas-jelas terpasang di sana. Tapi dia ingin memegang kawat itu sekadar tahu bagaimana rasanya kesetrum listrik. Kupikir, orang semacam ini sudah mati konyol sebelum sempat sadar kalau perbuatannya benar-benar bodoh. 

Islam sudah melabeli setiap perbuatan dengan label baik dan buruk. Sudah ada batas tegas antara keduanya. Kita hidup dengan menabung kedua hal itu, kebaikan dan keburukan. Hidup kita tak memiliki waktu tambahan. Pelan tapi pasti ia mendekati garis eliminasi. Dan setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap koin dalam tabungan itu akan diminta pertanggungjawaban. Tak ada yang lebih menyedihkan daripada orang yang sudah tahu mana yang buruk, tapi terus mengisi tabungannya dengan keburukan. Kata Lily Franky dalam Tokyo Tower, lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan, tapi segalanya akan sulit sejak saat itu. Kalau kau tidak punya malu, kata agama kita, berbuatlah sesukamu. Berbuatlah sesukamu, tapi kau pasti akan mati. Pilihan memang di tangan kita, mau bertindak bodoh atau bermain aman ?

Berlibur Ke Liang Tarrusu

Selayar panas seperti biasa. Sudah hampir dua pekan saya berada di sini. Seorang teman kampus yang baru pertama kali menginjak Selayar dalam rangka penelitian pernah memperlihatkan tiga kipas yang patah. Ternyata kipas itu patah karena keseringan dipakai. Cuaca di sini benar-benar panas, katanya. Teman sekampung lain lagi komentarnya. Katanya, perawatan kulit setahun di Makassar bisa hancur dalam sehari di Selayar :D. Kalau ingin menggelapkan kulit, katanya lagi, tidak perlu bayar mahal ke salon. Cukup berjemur seminggu penuh sudah bisa menyaingi Farah Quinn. 

Ada pula teman yang pernah ditugaskan mewawancarai salah seorang penambang yang sudah bertahun-tahun bekerja di Selayar. Setelah bicara beberapa menit, si penambang yang diwawancarai terlihat tidak paham bahasa teman saya. Padahal dia sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Berdasarkan data pribadi, si penambang berasal dari Jakarta. Mandor yang melihat ketidaknyambungan itu mendekat dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin kepada si penambang. Teman saya akirnya paham kalau si penambang adalah warga China. Mungkin karena kelamaan di Selayar, kulitnya jadi gelap, jadi tidak bisa lagi dibedakan dengan penduduk asli. 

Di cuaca yang panas, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding laut, pasir putih dan es kelapa muda. Malam kamis kemarin, saya dapat ajakan berlibur dari senior. Oleh keponakannya, dia sering dipanggil Mie Titi. Di hari libur yang  bertepatan dengan Hari Buruh, Mie Titi dan beberapa teman seangkatannya berencana pergi berenang ke Liang Tarrusu. Liang Tarrusu terletak beberapa kilo dari Liang Kareta. Nama-nama yang disematkan oleh penduduk untuk pantai itu terkesan asal-asalan. Disebut Liang Kareta karena katanya mirip kereta. Yang saya lihat hanya ceruk besar sepert gua, tak mirip kereta sama sekali. Liang Tarrusu artinya liang terusan. Saya juga tidak mengerti itu terusan apa atau terusan kemana. Karena semua liang di sana terlihat sama saja. Tapi tak perlulah mempersoalkan nama, sebab yang terpenting adalah pasir putih dan lautnya yang hijau torquise. Mau dikasih nama apapun, tempatnya tetap sama. 
Kami berangkat bertiga belas mengendarai motor. Saya membonceng sama Mie Titi. Kami menuju desa Padang, lalu menyewa perahu motor ke Liang Tarrusu. Sebenarnya bisa langsung dari kota Benteng menuju Liang Tarrusu, tapi perjalanan lewat laut jadi lebih lama. Liang Tarrusu tidak bisa disebut bersih. Pasir putih dan lautnya memang bersih. Tapi di sekitar liang tidak. Sampah pembungkus makanan, botol plastik dan puluhan sandal bertumpuk di sana. Kami tiba pukul 11 lewat. Karena shalat dhuhur kurang dari satu jam lagi, jadi saya menunggu waktu shalat dulu baru berenang. 

Beberapa di antara senior itu adalah pengurus OSIS yang mengospek saya sewaktu SMA. Seingatku mereka dulu kerjanya hanya ngumpul-ngumpul di pinggir pantai, minum sara’ba’ dan makan gorengan sambil main gitar. Tapi biar begitu mereka tetap berprestasi di kelas. Anak-anak IPA kesayangan guru. Bila para guru berkumpul, mereka sering bertukar cerita tentang kondisi siswa. Ada jenis siswa yang malas ke sekolah, sering bolos, tapi nilai ujiannya selalu paling tinggi. Mereka bolos bukan karena malas belajar, tapi mereka sudah paham apa yang akan disampaikan oleh guru. Guru sendiri kadang mengakui bahwa beberapa siswa sebenarnya lebih cerdas dibanding dirinya. Tapi guru tetaplah guru. Dan murid tetaplah murid. 

Saya sulit memulai percakapan dengan orang asing. Tapi bersama para senior itu, tak ada basa-basi kaku atau perkenalan membosankan. Semua berjalan natural. Dan saya suka awal pertemanan yang seperti itu. Mereka lucu tanpa bermaksud melucu. Mereka saling meledek satu sama lain. Ledekan-ledekan itu yang membuat saya tertawa lepas. Konyol pokoknya. Tapi hanya yang paham bahasa Selayar yang bisa menangkap humor percakapan mereka. Melihat tingkah teman-temannya, salah seorang dari senior itu menoleh ke saya, 

“Bagaimana ? Kami gila, kan ?” 

Di hari libur berikutnya, mereka berencana berlibur ke pulau Tinabo. Hanya saja, biaya yang dibutuhkan lebih mahal. Untuk menyewa speedboat bisa menghabiskan dua juta, belum lagi biaya penginapan, sewa alat snorkeling dan sewa guide. Bila rencana itu jadi, saya tidak yakin apa bisa ikut atau tidak. Sebab, tujuan utama saya di sini bukan untuk liburan.
 
;