18 December 2014

Menuju Seperempat Abad

Sebaliknya bagi kita yang masih hidup, setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, umur akan terus bertambah. Terkadang aku bahkan merasa bahwa umurku terus bertambah setiap jam. Yang menakutkan adalah bahwa hal itu memang demikian adanya.” 
~Haruki Murakami, Kaze No Uta O Kike~ 

Derek Heartfield, salah satu pengarang yang sezaman dengan Hemingway dan Fitzgerald, katanya hanya menyukai tiga hal. Senapan, kucing, dan kue yang dipanggang ibunya. Kesukaannya pada senjata menjadikannya kolektor yang nyaris sempurna di seluruh Amerika. Dari sejumlah senjata miliknya, yang paling dia banggakan adalah revolver 38 mm, yang gagangnya berhiaskan mutiara. Dia sering berkata bahwa suatu saat nanti akan menembak dirinya sendiri dengan benda itu. Tapi kemudian Heartfield memilih mati dengan cara lain. Ketika ibunya meninggal, dia naik ke puncak Empire State Building dan meloncat sambil memeluk lukisan Hitler di tangan kanan dan payung terbuka di tangan kirinya. Saya tidak tahu apa-apa tentang Heartfield. Dan tidak pernah membaca satu pun karangannya yang dipenuhi makhluk fantasi dari planet Mars itu. Murakami-lah yang memberitahu saya semua informasi tadi. 

Kematian, adalah tema yang paling jarang dibicarakan. Kita lebih memilih mengalihkan atau menghindari pembicaraan semacam itu. Tapi di kepala saya sudah lama muncul gagasan ini : mati muda. Sejak kecil, mungkin SD atau SMP, dengan segala keterbatasan pemahaman, selalu kepikiran bahwa sepertinya saya akan cepat mati. Tidak seperti nenek yang meninggal di usia renta 70 atau 80 tahun, saya merasa akan lebih cepat dari itu. Tak tahu juga kenapa begitu. Saya hidup sebagaimana layaknya anak-anak biasa,  belajar di sekolah dan bermain di luar rumah. Tapi pikiran tentang mati muda sering muncul di sela-sela waktu itu. Muncul begitu saja. Saya jadi sering menegur diri, kamu anak sekolahan, kenapa memikirkan hal seberat itu. Tapi hingga kini pun, pikiran itu tak pernah hilang. 

Suatu waktu saya berbincang dengan teman tentang bunuh diri. Teman saya berkata bahwa apapun alasannya, menghilangkan nyawa yang hanya satu-satunya adalah kenaifan. “Sayangnya”, dia melanjutkan, “Aku pun pernah berpikir senaif itu.” Jika Heartfield punya segudang koleksi senjata yang bisa kapan saja dia pakai untuk menembak dirinya, maka di dalam rumah ada berbagai macam benda semisal silet, pisau, gunting, tali jemuran atau cairan pembersih. Seorang teman dengan wajah datar pernah memamerkan bekas sayatan di pergelangan tangannya. Tapi saya tidak memikirkan tindakan semacam itu. Saya haya merasa bahwa waktu untuk pergi akan tiba lebih cepat. Entah dengan cara apa. 

Anak-anak dianugerahi rasa ingin tahu yang besar, dan kadang kelewat liar. Ingin tahu rasanya hujan-hujanan, ingin tahu rasanya panjat pohon, ingin tahu rasanya mahir naik sepeda  dan juga, ingin tahu seperti apa rasa sakit itu. Sewaktu kecil, saya pernah memasukkan biji jangung ke dalam hidung, menghirupnya kuat-kuat hingga tersangkut dan menutup aliran udara. Ketika mulai kesulitan bernapas, saya tergopoh-gopoh mendatangi ibu yang saat itu sedang menanak nasi. Sendok nasi yang dipegang ibu jatuh ke lantai. Berikutnya yang saya ingat, ibu berlari menggendong saya ke rumah dokter yang jaraknya ratusan meter dari rumah. Bodohnya, saya mengulang kasus yang sama di lain waktu. 

Saya juga pernah menyayat jempol tangan kiri. Saat itu sedang penasaran dengan benda bernama silet. Begitu kecil dan tipis. Ketipisannya mampu memotong kuku jari yang keras dan panjang. Saya tidak berpikir apa-apa ketika tahu-tahu sudah mulai menyayat dari ujung jempol lurus ke bawah hingga garis tengah. Ada rasa menyengat di sepanjang kulit yang tersayat. Awalnya hanya berupa garis merah kecil, lalu pelan-pelan garis kecil itu melebar, meluap seperti sungai. Darahnya jatuh menetes ke tanah. Melihat itu saya pun dilanda panik dan berlari kesana kemari mencari kapas dan plester. Sampai sekarang, jika melihat silet saya selalu teringat peristiwa itu. 

Pikiran tentang mati muda tak pernah saya ungkapkan kecuali sekali. Baiklah, dua kali dengan tulisan ini. Hasilnya adalah ekspresi yang sulit digambarkan. Seolah-olah orang itu baru saja melihat bentuk kue yang tidak lazim. Padahal saya berharap bisa menemukan sesuatu yang berbeda. Tapi hanya itulah yang saya tangkap. 

Bila kematian menjadi tema yang jarang dibicarakan, pernikahan sebaliknya. Tema terpopuler, terutama di kalangan usia 20an ke atas. Untuk ini pun saya punya firasat yang aneh. Beberapa bulan terakhir, salah satu teman SMA sering datang berkunjung. Seperti biasa bila cerita tentang masa SMA, ujung-ujungnya membahas teman mana saja yang sudah atau belum menikah. Di tengah percakapan, tiba-tiba ada jeda yang cukup lama. Teman saya memutuskan memecah keheningan, “Hei, tak tahu kenapa ya, tapi sepertinya masih lama baru saya bisa nikah”. Masa sih, tanya saya. “Yup, dan kalau kuperhatikan, kau juga akan mengalami nasib serupa”  Saya tertawa mendengarnya. Saya malah berpikir akan mati sebelum sempat menikah. Pernah suatu hari di musim hujan, saya pulang membawa kaos kaki baru yang rencananya akan dipakai untuk upacara sekolah. Saat hari senin tiba, baru sadar kalau ternyata kaos kaki itu tidak lengkap. Hanya ada bagian kanan. Kaos kaki itu mirip dengan nenek, yang tetap sendiri hingga akhir hayat. Yang tetap menjadi bagian yang tidak lengkap. Entah kenapa, saya punya firasat akan menjadi seperti kaos kaki itu. Jika untuk hidup saja sepertinya tak lama lagi, bagaimana bisa memikirkan hal lain bernama pernikahan ? 

Baiklah, saya tidak berharap yang demikian itu benar-benar terjadi. Tapi semakin lama pikiran itu semakin menguat. Hanya doa satu-satunya senjata agar dijauhkan dari firasat buruk. Berharap apa yang terus kepikiran itu tidak benar adanya. Banyak bekal yang lebih wajib saya cari. Banyak hal yang lebih mendesak untuk saya benahi. Dan banyak dosa yang lebih patut saya renungi.
16 December 2014

Tokyo Tower : Antara Aku, Ibu dan Terkadang Ayah


“Ketika hidup, kau rela mati demi anakmu. Ketika mati, kau ingin hidup untuk menjaga anakmu”
~Tokyo Tower~

Awalnya saya pikir orang barat yang nulis, namanya saja Lily Franky. Kan banyak tuh novel bernuansa jepang tapi ternyata penulisnya bukan orang Jepang. Jadi ragu mau beli atau tidak ? Beli tidak ? Tapi berhubung di cover ada kalimat bertulis “telah terjual lebih dari 2 juta kopi di Jepang”, serta “telah diangkat ke layar lebar dan serial TV”, akhirnya dibeli juga. Ngomong-ngomong, Lily Franky terdengar seperti nama perempuan kan ? Yup, saya tidak ragu, penulisnya pasti perempuan. Tapi setelah beberapa halaman, kok kayaknya bukan perempuan yang nulis. Tokoh utamanya laki-laki. Gaya bertuturnya pun beda dari penulis perempuan. Saat tanya ke salah satu teman kesannya akan buku ini, dia bilang dia tidak yakin kalau penulisnya perempuan. Tuh kan ? Jadi untuk lebih jelasnya kita pun meminta bantuan Daeng Google.

Daeng Google yang dimintai tolong malah mengarahkan kita ke halaman Dramawiki. Lho, penulis kok larinya ke dramawiki. Pas lihat fotonya, eh ini kok kayak kenal ya ? Maksudnya saya yang kenal dia, kalau dia sih mustahil kenal saya. Ternyata pemirsa, si Lliy Franky ini adalah aktor yang berperan sebagai bapaknya dr. Aizawa di dorama Code Blue, yang nyaris terlupakan karena saya lebih fokus ke dr. Aizawa sepanjang dorama. Menunggu momen kapan kira-kira si dokter ini akan tersenyum. Nama asli Lily Franky adalah Masaya Nakagawa, seorang aktor, illustrator, desainer, fotografer, penulis lagu, novelis dan vokalis band. Whoaaa…ini baru namanya multitalenta. Tokyo Tower bukan sekadar novel, tapi otobiografi dari Masaya Nakagawa.

Tak ada keluarga yang sempurna. Begitupun keluarga Masaya. Sejak kecil ia terbiasa hidup hanya berdua dengan ibunya. Orangtuanya tidak bercerai tetapi mereka memilih hidup terpisah. Bagi Masaya, ibunya ibarat pesawat Thunderbird 2 dalam serial TV Thunderbirds, yang membawanya sebagai muatan dan keberadaannya begitu dekat. Sementara ayahnya, ibarat pesawat Thunderbird 5 yang melayang di angkasa dan tidak pasti ada di mana. Muncul di saat tertentu dan menghilang saat disadari. 

Ibu Masaya adalah tipikal perempuan yang menyenangkan, suka tertawa dan menyukai pekerjaan rumah tangga. Ia sangat peduli pada hal-hal yang berhubungan dengan makanan dan pakaian Masaya. Setiap makan, ibunya rutin menyediakan berbagai macam lauk di atas meja. Sementara untuk pakaian, ibunya rajin membelikan Masaya baju baru untuk berbagai acara atau perayaan. Tapi sang ibu sendiri selalu memakai pakaian yang sama selama bertahun-tahun. Hal itu membuat Masaya tak pernah merasa miskin meski mereka tidak punya rumah sendiri.

Ayah Masaya adalah tipikal laki-laki kasar, peminum berat dan suka ngamuk saat mabuk. Jenis manusia yang kaku dan tak peduli dengan sekitar. Saat Masaya lahir atau saat masuk rumah sakit, ayahnya sedang menghabiskan waktu di bar. Ayahnya tidak ikut membesarkan Masaya, tapi tetap mengurusnya. Ia peduli dengan pendidikan Masaya, menempuh berbagai cara agar anaknya diterima di sekolah seni dan membantunya mencari pekerjaan sewaktu kuliah di Tokyo. Ia selalu mendorong Masaya untuk hidup mandiri. Pekerjaannya sering berganti-ganti karena memang tipe manusia yang setengah-setengah menekuni sesuatu. Walau begitu, ia tetap menyisihkan penghasilan untuk istri dan anaknya. Jiwa seni yang mengalir dalam diri Masaya pun diturunkan oleh ayahnya. Sejujurnya, ayah Masaya tetap menjadi misteri bagi saya hingga akhir cerita. Tak bisa disebut baik, tapi juga tak bisa disebut jahat.

Memasuki masa SMA, Masaya keluar dari sarangnya, hidup sendiri dan bersekolah di Beppu. Di masa ini kehidupannya mulai tak teratur. Tak ada lagi ibu yang membangunkannya di pagi hari. waktunya dihabiskan di game center dan pachinko. Semangatnya akan sekolah dan seni pun perlahan-lahan surut. Tapi dengan susah payah Masaya berhasil masuk institut seni di Musashino, Tokyo bagian barat. Di Tokyo, tempat kebebasan dapat diperoleh dengan mudah, hidupnya makin tak teratur, digerus oleh kehidupan kota. Kondisinya sedikit demi sedikit membaik setelah ibunya ikut tinggal bersamanya.

Masaya banyak menyorot kehidupan hedonis orang-orang Tokyo. Ia menyindir definisi kaya dan miskin ala orang kota. Memiliki uang koin seratus yen di kantong tak dapat dikatakan miskin. Justru satu-satunya kekayaan berupa uang seribu yen dalam dompet Louis Vuitton yang dibeli secara kredit malah lebih tergolong miskin. 

Pun keluarga bagi Masaya adalah sesuatu yang rumit. Dan sesuatu yang rumit itu dimulai dari pernikahan. Ia mengutip dialog dalam opera The Marriage of Figaro bahwa “Di antara hal-hal yang serius, pernikahan adalah yang paling bodoh”. Ya, dua manusia bodoh melalui proses menjadi suami-istri, lalu menjadi orangtua, dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tahu-tahu sudah terbelit dalam hubungan keluarga. Masaya beruntung memiliki ibu yang begitu dekat dan menyayanginya serta ayah yang tetap mengurus kebutuhannya. Tapi pengalaman dengan keluarganya tidak bisa disebut bahagia. Mungkin itulah mengapa sampai akhir hayat sang ibu, bahkan sampai sekarang pun Masaya memilih untuk tidak berkeluarga.

Saya kira wajar kalau novel ini laku keras. Ada sisi kehidupan yang nyaris hilang pada diri orang kota, yang muncul dalam novel ini. Tak banyak orang dewasa, apalagi di Tokyo, yang tetap berbakti pada orangtua hingga akhir hayat seperti halnya Masaya. Di negara maju, saat orangtua sudah tidak lagi mampu merawat dirinya, mereka cukup didaftarkan ke panti jompo. Sang anak hanya perlu sesekali menjenguk orangtua mereka. Tapi membawa serta ibu tinggal bersama di kota, merawatnya di saat sakit, memenuhi keinginan-keinginannya dan menemaninya di saat-saat terahir seperti yang dilakukan oleh Masaya adalah sesuatu yang tak bisa dilakukan kebanyakan anak yang sudah mandiri.

Novel ini dibaca di sela-sela penelitian di bulan April. Untungnya saat itu saya berada di tengah-tengah keluarga bersama ibu, ayah dan kedua adik. Apa jadinya jika dibaca saat jauh dari rumah, di kos misalnya. Mungkin saya sudah meraung-raung di kamar memanggil nama ibu (lebay). Jadi, hati-hatilah membaca novel ini ketika jauh dari rumah.

“Ada begitu banyak perasaan di dunia ini, namun tidak ada yang menyerupai perasaan orangtua pada anak. Saat masih anak-anak, kita belum memahami hal itu. Tapi saat sudah berada pada posisi orangtua, kita pun akan memahami apa yang dipikirkan orangtua tentang anaknya”
~Lily Franky~
10 December 2014

Zankyou no Terror

 

“Itulah sebabnya kau menerima kasus ini. Karena kau tidak bisa memaafkan penjahat yang bermain-main dengan senjata nuklir”
~Kurahashi, Zankyou no Terror~

Terorisme tanpa korban jiwa, adakah ? Ada. Tapi hanya di dunia anime. Lagi-lagi, hal-hal bagus sering ditemukan secara tak sengaja. Saat berkunjung ke rumah teman untuk suatu urusan, tetangganya yang ternyata penggemar anime bercerita sekilas tentang anime ini. Kedengarannya menarik, lagipula kalau hanya 11 episode berdurasi 23 menit, kenapa tidak ?

Umumnya anime bercerita dari sudut pandang sang pahlawan. Tapi anime ini sebaliknya, bercerita dari sudut pandang si teroris. Berawal dari pencurian Plutonium di Aomori yang dilakukan oleh dua remaja bernama Nine (Kokonoe Arata) dan Twelve (Hisami Touji). Enam bulan sejak peristiwa itu, rangkaian teror bom mulai bermuculan di berbagai tempat di wilayah Tokyo. Sehari-harinya, kedua remaja ini menyamar sebagai siswa di sebuah sekolah tinggi. Selain mereka, ada pula tokoh lain bernama Mishima Lisa, gadis yang punya banyak masalah terutama menyangkut ibunya. Lisa menggambarkan senyum Twelve seperti matahari di musim panas dan mata Nine yang dingin seperti es.

Dalam setiap aksinya, mereka rutin mengunggah video ke internet sebagai teka-teki yang mengarah ke lokasi target bom. Dalam rekaman video, mereka memakai topeng Spinx, sejenis monster yang muncul dalam kisah mitologi Yunani, Oedipus Rex. Tragedi Oedipus dimulai ketika ayah Oedipus diberitahu oleh peramal bahwa ia akan dibunuh oleh putranya sendiri. Oleh karena itu sang ayah membuang Oedipus ke hutan tepat setelah kelahirannya. Namun Oedipus berhasil bertahan hidup dan tumbuh dewasa. Entah bagaimana ceritanya Oedipus memang akhirnya membunuh sang ayah tanpa tahu bahwa orang itu adalah ayahnya. Ia lalu berkunjung ke negeri ayahnya dan menikah dengan ibunya sendiri. Setelah tahu bahwa ia membunuh ayah dan menikah dengan ibu kandungnya, Oedipus pun mencongkel matanya dan menjadi buta.

Aksi Nine dan Twelve bukan sekadar remaja yang cari perhatian. Atau remaja yang bosan lalu membom berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Aksi teror yang mengadopsi mitologi Oedipus Rex itu adalah sejenis pesan terkait apa yang mereka alami bertahun-tahun sebelumnya. Pesan yang berhubungan dengan proyek penelitian rahasia yang dilakukan oleh pemerintah terhadap 26 anak panti asuhan. Pesan yang tidak dapat mereka sampaikan hanya dengan melapor langsung ke polisi. Ibaratnya seperti teriakan kecil di tengah keributan, teriakan itu akan hilang sebelum sempat didengar oleh siapapun. Uniknya, aksi mereka direncanakan sedemikian matang hingga tak sampai menimbulkan korban jiwa.

Episode terakhir mengingatkan kita pada masa perang dunia kedua ketika bom atom menelan ribuan korban. Tapi bagi dua remaja ini, ada cara meledakkan bom nuklir tanpa melukai siapapun. Endingnya betul-betul menguras emosi. Lagi-lagi dibuat menangis oleh tokoh fiktif dan cerita rekaan. Perasaan mengambang menggantung lama bahkan setelah anime berakhir. Dari segi gambar, empat jempol untuk anime ini *angkat `jempol kaki*. Grafisnya mendetail, mirip dengan yang asli. Tata kota, pohon, jalan raya, kereta, hujan dan langitnya mirip dengan yang nyata. Seperti grafis anime Kotonoha no Niwa. Oleh karena itu dengan mantap saya nobatkan anime ini sebagai anime terbaik yang saya tonton sepanjang tahun 2014.

"Ingatlah jika kami pernah hidup” 
~Nine~
20 November 2014

Tiga Kuntum Daisy

Lukisan itu bersandar di sudut kamar. Bingkainya berwarna hitam dengan sudut-sudut dilapisi kertas. Berhari-hari kubiarkan seperti itu, hingga debu halus mulai menyelimutinya. Sesekali kupandangi lekat-lekat sambil menyesap teh. Begitu dekat jaraknya dariku, namun begitu jauh dari jangkauanku. Bulan-bulan berlalu, debu mengendap semakin tebal. Kuambil selembar kain, kubersihkan, lalu kumasukkan ke dalam kantong kertas. Kubawa pada seorang kenalan yang akan berangkat ke kota lain. Ia boleh menyimpan atau memberikannya, kataku padanya. Siapapun tak masalah. Kemana pun tak masalah. Heran ia menerima, tapi tak juga berpanjang tanya. Sudut kamarku pun kosong. Lukisan itu sudah tidak ada. Tak perlu lagi kuhabiskan waku menatap begitu lama. Pagi berjalan seperti biasa. Kubuka jendela, kurapikan buku, kusetrika baju, kuseduh segelas teh dan menyesapnya pelan-pelan. Kulirik kembali sudut itu, mengingat jejaknya sewaktu masih ada. Cukup lama. Cukup lama.
12 November 2014

Selimut Debu


Pembeli : Berapa harga kepala kambing ini ?
Penjual  : Lima puluh afgani
Pembeli : Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.
Penjual  : Apa? Dua puluh afgani? Kamu Gila? Kamu kira ini kepala manusia ? 
~Lelucon Kandahar~ 

Ketika harga tiket pesawat didiskon setengah harga, ditambah tawaran “pengalaman tak terlupakan” dari agen-agen perjalanan, orang-orang pun antusias melakukan perjalanan ke berbagai tempat, berwisata mengumpulkan foto-foto dan membukukan kisah-kisah mereka. Namanya juga wisata, tempat yang dikunjungi tentulah tempat yang indah dengan panorama yang eksotis. Tempat yang mampu membuat siapapun bersantai menikmati tiap detik perjalanan. Tapi bagaimana bila tempat itu bernama Afghanistan ? Hm, sepertinya bukan plihan yang bagus. Sebab selain kamera, buku jurnal, ransel, paspor dan uang, dibutuhkan bekal keberanian untuk memasuki negara ini. Hebatnya lagi si penulis, Agustinus Wibowo, memulai petualangannya dari Beijing ke Afghanistan dan Asia Tengah menggunakan jalur darat dan tinggal selama beberapa tahun di sana. 

Negara konflik, mungkin itu yang muncul di benak bila mendengar Afghanistan. Walaupun saya tak tahu pasti konflik macam apa lagi yang terjadi di sana selain perang melawan Rusia dan invasi Amerika Serikat. Tapi sejak bergolak pada tahun 2001, negara tersebut telah identik dengan bom dan kekacauan. Saat ini Afghanistan hanya terdengar sambil lalu atau sesekali nyelip di ragam berita dunia. Itu pun tak jauh-jauh dari bom bunuh diri dan sejenisnya. Negeri ini, seperti yang diungkapkan penulis, menyimpan misteri di balik selimut debu yang tebal. Jadi, apa yang sebenarnya si penulis cari di tempat yang panas dan berdebu itu ? 

Lewat buku ini kita bisa mengintip sisi-sisi kehidupan Afghanistan yang ternyata menyimpan warna-warni di balik selimutnya. Ada yang lucu, ironis dan mengejutkan. Beberapa kenyataan yang ditemui dalam buku membuat saya kerap bertanya, Masa sih ? Masa sih ? 

Afghanistan tak hanya identik dengan perang, tapi juga hashish. Cheras. Ganja. Di Afghanistan, posisi ganja dan candu  hanya setingkat rokok kretek di Indonesia. Afghanistan juga terkenal dengan permadaninya. Seorang turis Jepang yang meneliti ragam karpet Asia Tengah menyebutkan bahwa tak ada karpet yang lebih baik dari permadani Afghanistan. 

Agustinus memaparkan detil Afghanistan mulai dari bahasa, suku-suku, beda corak pakaian antara suku satu dan lainnya, beda Sunni dan Syiah terkait Ali bin Abi Thalib hingga peradaban Bamiyan ratusan tahun lalu yang kini telah runtuh. Ada tribal area di perbatasan Afghanistan-Pakistan bernama Darra Adam Khel, sebuah desa di mana orang bebas membeli dan mencoba berbagai model senjata api mulai dari Kalashnikov sampai pulpen yang bisa menembak. Desa ini tak pernah sepi dari rentetan bunyi tembakan. Seluruh penduduk, baik langsung atau tidak langsung, terlibat dalam bisnis pembuatan dan penjualan senjata. Anak umur sepuluh tahun sudah mencangklong besi untuk pegangan bedil serta mempelajari model yang bakal laku di pasaran. Mainan bocah-bocah di sana bukan kelereng, melainkan selongsong peluru. 

Penulis juga merekam berbagai ironi seperti orang-orang asing yang mengaku sebagai pekerja sosial di Afghanistan tetapi justru berjarak dengan penduduk setempat. Pekerja sosial itu malah melewatkan malam di Kabul dengan gemerlap ala Eropa ditemani botol-botol wiski dan vodka. Juga sejumput kemegahan bernama Kabul City Center, sebuah pusat perbelanjaan termewah di Afghanistan, berdiri megah di antara pemukiman kumuh dan runtuhan bangunan. 

Ironi lain yang menarik disimak adalah pendapat Nancy Hatch Dupree, seorang nenek usia delapan puluhan tahun berkewarganegaraan Amerika Serikat namun mengabdikan diri di Afghanistan. Nancy mengungkapkan bahwa orang Afghan adalah manusia paling ramah di dunia. Tapi keramahtamahan itu sering disalahgunakan oleh pendatang. Turis-turis enggan menghiraukan kultur setempat seperti memakai pakaian tipis dan tembus pandang. Seorang pemilik toko pernah menolong hippie yang terlunta-lunta di jalan. keesokan harinya turis tersebut sudah raib bersama seluruh dagangannya. Para pendatang dari negeri yang katanya kaya, maju dan “beradab” malah memanfaatkan penduduk setempat yang telah rela mengorbankan perut dan nyawa demi menolong musafir. 

Nancy juga kerap mengkritik para ahli gender mancanegara yang menyerbu Afghanistan dengan setumpuk program tanpa lebih dahulu memahami nilai-nilai kemasyarakatan. Kesetaraan gender sudah ada dan hidup dalam masyarakat tradisional afghan, kata Nancy. Tak perlu mendatangkan konsep asing yang justru bertubrukan dengan nilai yang mereka anut. 

Dilanda perang bertahun-tahun membuat negeri ini penuh dengan orang-orang cacat. Ranjau bekas perang tak henti menelan korban tiap harinya. Ada yang kehilangan tungkai kaki, lengan, hingga lumpuh total. Jalan raya dipenuhi janda-janda berbalut burqa yang mengais belas kasihan sepanjang hari. Lapangan pekerjaan tak banyak tersedia. Anak kecil pun harus turun tangan membantu ekonomi keluarga. Bocah sepuluh tahun sudah jadi pelayan kedai teh, menyemir sepatu, membersihkan kaca mobil dan jualan permen. 

Hal yang mengejutkan dari Afghanistan adalah masalah playboy, dalam artian play with boy. Dikenal dengan istilah bachabazi, bacha artinya “bocah laki-laki” dan bazi artinya “bermain”. Bachabazi adalah kultur orang Uzbek di Afghanistan. Saat Taliban berkuasa, pelaku hubungan sejenis dihukum dengan diambruki tembok. Taliban tidak memberi ampun sedikit pun terhadap homoseksualitas, apalagi pemerkosaan terhadap perempuan. Candu dilarang dan kriminalitas ditumpas. Burqa adalah pakaian wajib bagi wanita. Mereka dilarang keras berkeliran di jalan tanpa ditemani lelaki anggota keluarga. 

Benak orang-orang ketika melihat wanita Afghan adalah bahwa betapa malangnya perempuan Afghanistan, tak ada kebebasan, tak ada kemerdekaan. Bush lalu menghujani negeri itu dengan roket, katanya untuk membebaskan rakyat Afghan, tapi di saat bersamaan justru menciptakan jutaan janda dan anak yatim piatu. Laura Bush pun ikut berkomentar bahwa serangan militer di Afghanistan telah berhasil sehingga perempuan tidak lagi terpenjara dalam rumahnya. 

Saat Taliban jatuh, media beramai-ramai menampilkan gambar perempuan Afghan yang melepas burqa dan bebas menyusuri jalanan kota Kabul. Kenyataannya, sebagian besar perempuan Afghan masih lebih nyaman berselimut burqa. Wanita-wanita yang memakai burqa masih saja ramai menyelimuti kota Kabul. Mereka tak dikenali laki-laki di jalan. Hidup dalam lindungan total suami yang selalu mengawal. 

Foto bergambar wanita Malaysia yang sibuk bekerja di sawah dan pabrik bukannya mengundang kagum wanita Afghan, malah membuat mereka jatuh kasihan. Aduh kasihan perempuan Malaysia harus kerja, aduh kasihan kenapa para suami tidak bekerja untuk mereka, aduh kasihan betul. Begitu kata mereka. Wanita adalah barang berharga yang harus dilindungi, dijaga dan dirawat. Burqa adalah salah satu alatnya. Bagi orang Pasthun, zan (wanita) adalah kehormatan bagi laki-laki. Jangankan bisa melihat wajah, nama perempuan pun terlalu berharga untuk disebut. 

Di negeri perang, ledakan bom, penembakan dan penculikan bukan lagi berita istimewa. Tingkatannya sudah turun seperti berita maling ayam di Indonesia. Selama bukan anggota keluarga yang jadi korban, orang-orang sudah kebal dan mati rasa terhadap berita semacam itu. Korban-korban hanya diberitakan dalam bentuk angka. Jika berita kecelakaan pesawat di Indonesia menampilkan nama-nama korban, di Afghanistan sana, korban-korban ledakan atau tembakan hanya berupa angka tanpa nama, berapa jumlah koban dan pukul berapa kejadian. 

Di negeri perang, anak sekolah belajar penjumlahan bukan dengan 1 kelereng + 2 kelereng =…, tapi “1 kalashnikov + 2 kalashnikov =…”. Atau “Jika saya membunuh tiga Rusia, kamu membunuh dua Rusia, berapa Rusia yang kita bunuh ?” 

Tapi di negeri perang sekalipun, ada surga tersembunyi bernama Lembah Wakhan. Lebih dari delapan abad yang lalu Marco Polo pernah berada di sana. Di tempat yang kebersihan udaranya membersihkan relung hati manusia manapun, gemercik airnya membawa kehidupan bagi semua makhluk, serta gunung-gunung yang saking tingginya bahkan burung pun tak mampu mencapai puncaknya. 

Daya tarik buku ini adalah, apa lagi kalau bukan foto-fotonya. Beragam foto yang ditampilkan cukup untuk menggambarkan kondisi kehidupan di Afghanistan. Mulai dari foto masjid Shahe Do Shamsera yang dikerubungi ratusan burung-burung, foto Mazar-e-Sharif yang diyakini orang Syiah sebagai makam Ali bin Abi Thalib, foto bocah-bocah yang sedang mandi sambil tertawa riang, foto orang-orang yang berkaki palsu, foto bayi yang mengalami malnutrisi, foto para gadis cantik nan jelita hingga foto danau Band-e-Amir yang berwarna biru jernih. Begitu lengkap dalam satu buku. Bacalah, dan kita akan melihat sisi lain Afganistan di balik selimut debu.
28 October 2014

Kembali ke Peradaban

“Maka, untuk sementara kita kembali ke kota. Kembali ke peradaban.” 
~Haruki Murakami, Kafka on the Shore~ 

Peradaban, kata Jean-Jacques Rousseau, sama seperti ketika manusia membangun pagar. Semua peradaban merupakan produk dari kurangnya kebebasan akibat kungkungan. Suku Aborigin di Australia adalah pengecualian. Mereka berhasil mempertahankan peradaban yang tidak terpagar hingga abad ketujuh belas. Benar-benar bebas. Pergi kemana saja mereka mau, melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Sewaktu bangsa Inggris tiba serta membangun pagar untuk melindungi ternak mereka, suku Aborigin tidak dapat memahaminya. Dan kerena tidak tahu prinsip-prinsip yang digunakan bangsa Inggris, mereka dianggap berbahaya sekaligus anti-sosial sehingga diusir ke daerah terpencil. Karena itu, orang-orang yang membangun pagar paling tinggi dan kuat adalah mereka yang paling mampu bertahan. Kenyataan itu dapat disangkal hanya bila seseorang membiarkan dirinya masuk ke dalam hutan belantara. 

Kembali ke peradaban bagi saya adalah saat ketika kaki menapaki tanah kota Daeng. Dengan gedung tingginya, pusat perbelanjaannya, cuaca panasnya, bunyi klaksonnya, keributan jalanannya, dan debu-debunya yang menyumbat paru-paru. Dan tentu saja, macetnya. Macet adalah lambang peradaban negeri ini. Dihiasi wajah pengendara dan pengemudi yang keras dan tegang. Wajah yang kata Ahmad Tohari, mengusung semua lambang kekotaan ; keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Jalan raya menyadarkan kita bahwa berjalan kaki adalah pekerjaan yang berbahaya. Tak ada tempat bagi golongan ini. Trotoar yang selayaknya diperuntukkan bagi pejalan kaki lebih sering dipakai pengendara motor. Demi mengatasai macet, pemerintah memperlebar jalan raya. Jalan raya diperlebar, trotoar dihilangkan. Trotoar hilang, pejalan kaki gigit jari. Pun saat menyeberang jalan, bersiap-siap dibentak klakson mobil dan motor. Melihat ada yang mau menyeberang jalan, semakin cepat pula pengendara memacu kendaraannya. Ketika lampu merah menyala, ada-ada saja yang nekat menerobos. Mereka seperti dikejar sesuatu yang tak nampak. Entah apa.

Orang-orang yang muak hidup di kota memilih mengasingkan diri. Kembali ke alam, pergi ke Bhutan, atau kemana saja asal menjauh dari kota. Tidak mudah hidup seperti itu walaupun beberapa dapat melakukannya. Mengasingkan diri di tempat yang tenang, damai dan tidak melakukan apa-apa sejatinya adalah istirahat panjang. Tapi istirahat dapat menjadi suatu ancaman. 

Saat ini, pulang kampung adalah satu-satunya cara bagi saya untuk mengasingkan diri. Menetralisir diri dari pengaruh kota. Setidaknya di sana tidak ada gedung tinggi, tidak ada macet, bunyi klakson jarang terdengar serta kepedulian yang masih kental. Kota itu berjalan lambat. Seperti orang tua. Datar, nyaris tanpa riak. Hiruk-pikuk baru ditemui di sekitar pantai di sore hari ketika matahari mulai terbenam. Di sana tidak ada mall, tidak ada bioskop. Jadi pantai adalah satu-satunya pilihan melepas penat. Ada yang sekadar duduk-duduk, ada yang bersepeda, main bola, berenang, lomba dayung dan ada yang bersiap melaut. Duduklah di sana menghadap matahari, tutup mata, lalu dengarkan angin. Lima detik saja. Sangat drama kedengaran. Tapi itu membuat saya sedikit lebih baik. Hehehe


Berada di sana membuat saya menggunakan kembali bahasa daerah, bersosialisasi dengan orang-orang tua, dan makan makanan sehat. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan lomba gerak jalan dalam rangka memperingati hari jadi Sulsel yang ke-345. 


Tempat itu menenangkan. Tempat semua kenangan masa kecil hingga remaja tersimpan. Berada di sana membuat saya santai, tak perlu memikirkan apapun selain mengenang. Suatu kondisi yang perlahan-lahan membuat saya membusuk. Mungkin itu sebabnya mengapa istirahat disebut sebagai ancaman. Jadi, untuk sementara saya harus kembali ke kota. Kembali ke peradaban.
09 September 2014

Pidato Kelulusan

Dan, sekarang pekerjaan dimulai 
Dan sekarang kebahagiaan dimulai
Sekarang tahun-tahun persiapan 
Pelajaran yang membosankan
Dan pembelajaran yang menarik dijelaskan

Kumpulan kata-kata dan
Lilitan ide-ide besar dan kecil 
Mulai tersusun
Dan pagi ini kau bisa melihat 
Sebagian kecil dari
Rencana besar masa depanmu

Jam-jam lamaran pekerjaanmu,
Harapan-harapan orangtuamu, 
Dan tugas-tugas dari gurumu
Membawa saat ini 
Ke dalam tanganmu

Hari ini, kalian adalah putri-putri dan pangeran-pangeran
Pagi hari 
Nyonya-nyonya dan tuan-tuan musim panas
Kalian telah memperlihatkan 
Nilai-nilai kebaikan yang paling mengagumkan
Karena hari ini saat kalian duduk 
Terbalut dalam jubah-jubah kerja keras
Secara harafiah ataupun kiasan, 
Aku melihat kalian dipenuhi keberanian
Karena meskipun kalian semua 
Menjadi cemerlang, cerdik secara intelektual,
Kalian harus menggunakan keberanian 
Untuk sampai pada saat ini

Kalian mungkin saja,
Seperti yang digambarkan tentang kalian,
Istimewa, yang tentu saja berarti 
Kaya, atau terlahir dengan perjuangan memenuhi kebutuhan
Dalam kedua kasus, kalian harus menumbuhkan 
Keberanian luar biasa
Untuk menemukan saat ini

Dari semua perlengkapanmu, usia muda,
Kecantikan, kecerdasan, kebaikan hati, 
Belas kasih,
Keberanian adalah pencapaian terbesarmu

Karena kau, tanpa itu, tidak bisa melakukan
kebaikan lain dengan konsistensi. 
Sekarang kau telah menunjukkan
Bahwa kau mampu untuk membuat 
Kebaikan yang paling menakjubkan itu  

Kau harus tanyakan pada diri sendiri,

Apa yang akan kau lakukan dengan itu.
Yakinlah bahwa pertanyaan itu 
Ada di dalam pikiran,
Leluhurmu, orangtuamu dan orang asing 
Yang tak mengenal namamu,
Teman muridmu yang lain yang 
Tahun depan, atau tahun-tahun yang akan datang
Akan duduk, berjubah dan bertopi wisuda 
Di tempat kau duduk sekarang.
Dan akan bertanya 
Apa yang akan kau lakukan ?
Ada satu pepatah afrika 
Yang sesuai dengan situasimu.
Yaitu, “masalah bagi pencuri adalah 
bukan bagaimana mencuri terompet kepala suku,
Tapi di mana bisa memainkannya.”

Apakah kau dipersiapkan untuk bekerja
Untuk menjadikan Negara ini, Negara kita 
Lebih dari hari ini ?

Karena itulah pekerjaan yang harus dilakukan
Itulah alasan kau sudah 
Bekerja keras, pengorbanan
Energi dan waktumu, 
Uang orangtuamu
Atau pemerintah yang telah membayarimu 
Agar kau bisa mengubah
Negara dan duniamu.

Lihatlah di luar topimu yang bertali
Dan kalian akan melihat ketidakadilan 
Di ujung jari-jarimu
Kau akan menemukan kekejaman 
Kebencian irasional, kepedihan sekeras batu
Dan kesepian yang menakutkan. 
Itulah pekerjaanmu.
Membuat suatu perbedaan 
Menggunakan gelar yang
Telah kau dapatkan untuk meningkatkan 
Kebaikan di duniamu

Kalian, semua orang,
Berharap agar kalian 
adalah orang-orang yang melakukan hal itu

Tugas ini begitu besar,
Kebutuhannya luar biasa besar, 
namun kalian bisa berlega hati
karena kalian tahu bahwa kalian telah menunjukkan 
keberanian.
Dan simpanlah dalam pikiran 
Satu orang, dengan tujuan baik,
Bisa, mengangkat mayoritas. 
Karena hidup adalah anugerah kita yang paling berharga
Dan karena kita hanya diberi hidup sekali, 
Maka marilah jalani hidup yang tak akan kita sesali
Tahun-tahun kesia-siaan dan tanpa perubahan

Kau akan terkejut bahwa pada waktunya
Hari-hari penelitian yang berpikiran tunggal 
Dan malam-malam kelumpuhan dan kebuntuan
Akan terlupakan.

Kau akan terkejut bahwa tahun-tahun
Dengan malam-malam tanpa tidur dan bulan-bulan 
Dengan hari-hari yang tidak mudah
Akan bergulir menuju 
Suatu kejadian yang disebut “masa lalu yang indah”,
dan kau tidak akan bisa 
mengunjungi hari-hari itu lagi 
bahkan dengan sebuah undangan 
Karena seperti itulah kau harus menghadapi masa sekarang 
Kalian telah disiapkan
Keluarlah dan ubahlah dunia kalian

Selamat datang di hari kelulusan

Selamat…. 

*Tulisan Maya Angelou dalam buku “Letter to My Daughter”
08 September 2014

Memungut Semangat

Take me away upon a plateau
Far, far away from fears and shadow
Strengthen my heart in times of sorrow
Light the way to bright tomorrows
 
 ~Take Me Away, Globus~

Kata mahasiswa semester akhir, momen paling bahagia ada dua, saat kaki melangkah keluar dari ruang ujian, dan kedua, saat topi wisuda menaungi kepala. Entah yang lain sepakat atau tidak, tapi menurutku, apa yang terasa selepas ujian meja lebih tepat disebut lega ketimbang bahagia. Pun momen wisuda, bagi saya, tak lebih dari sekadar formalitas kelulusan. Pakai toga, datang ke Baruga, duduk berjam-jam, naik ke panggung, foto-foto, salam-salaman dan selesai. 

Saat masih skripsi, selepas ujian meja, saya berdiri di lantai tiga depan jurusan. Cukup lama sampai membuat kaki pegal. Sedang menunggu momen bahagia kata orang. Tapi momen itu tak kunjung datang. Mungkin nanti di Baruga, begitu pikir saya, yang ternyata juga keliru. Duduk di Baruga justru menjadi saat yang paling menekan. Saya duduk di sana, tapi pikiran entah kemana. Setelah ini bagaimana ?, tanya saya pada diri sediri. Setelah ini harus kemana ?

Baruga dipenuhi lautan manusia berpakaian sama. Saling bertukar cerita dengan senyum yang tak henti menghiasi sudut bibir mereka. Mars Universitas Hasanuddin mengalun pelan dari sebelah kiri. Saya menunduk menatap lantai, menyembunyikan kerut di wajah yang sekuat tenaga menahan tangis. Sesosok manusia yang ikut menumpang di planet bumi bersama milyaran manusia lain, berjibaku di tengah kota menjadi yang diperhitungkan. Rasanya seperti terseret arus ke dasar laut yang dalam. Ke tempat yang tak dicapai matahari. Sesak dan gelap. Dalam kegelapan itu, tangan terulur menggapai ke segala arah. Mencari pegangan. Lambat-laut, ada yang datang menyambut. Sesosok makhluk bernama sunyi. Di kedalaman yang kosong itu, kesunyian adalah satu-satunya suara yang dapat kau dengar. Perasaan semacam ini sangat jarang muncul. Tapi sekali muncul, saya tahu tidak akan mampu mengatasinya. 

Dibanding dulu, sekarang sedikit lebih baik. Tekanan lebih berat, kejutan muncul silih berganti, tapi sebanding dengan kekuatan yang ada. Kekuatan yang sepertinya dapat dipungut bahkan di tepi jalan. Suatu pagi, saya memacu motor dengan isi kepala yang didominasi berbagai rencana penelitian. Teman yang lain sudah berlomba mengajukan judul ke pembimbing. Sementara saya masih diliputi kebimbangan. Hitung sana hitung sini. Mikir ini mikir itu. Setelah berbelok di perempatan jalan, saya melewati barisan baliho berisi iklan rokok. Iklan rokok, biar begitu, sering memuat kutipan keren. “Berhenti mengukur masalah, mulailah membangun langkah”, begitu tertulis di sana. Kalimat yang biasa. Tapi saya tertegun. Rasanya baliho itu sedang mengajak bicara. Andai orang lain, siapa pun dia, yang mengucapkan kata-kata itu, efeknya tidak akan seberapa.  Kupikir, kata-kata itu hanya bisa masuk jika berbentuk tulisan, bukan ucapan. Ia harus dibaca, bukan didengar.

Jika membaca buku, saya sering berlama-lama di kalimat tertentu. Mungkin semua orang juga begitu. Menyerap dan memaknainya dengan cara sendiri. Hingga sampai pada apakah saya setuju atau tidak dengan kalimat itu. Menerima atau menolaknya. Cara semacam ini akan menuntun pada sebuah kesadaran. Lalu berujung pada pembentukan pola pikir dan sikap yang akan saya ambil. Ada lima baliho berdiri sejajar dan semuanya menuliskan hal yang sama. Saya sadar, inti masalah sebenarnya bukan di luar, tapi ada dalam diri sendiri. Tak peduli sesederhana atau serumit apapun suatu masalah, semuanya ditentukan oleh langkah yang kita bangun. Terlalu banyak pertimbangan atau perhitungan hanya membuat kita jalan di tempat. Tentu saja berpikir atau menimbang tetap diperlukan. Tapi harus ada keberanian untuk memulai sesuatu. Klasik bukan ? Para motivator juga sudah ribuan kali mengatakan hal serupa. Tapi ternyata, kalimat dari iklan rokoklah yang mampu menembus kesadaran itu. Jadi, lakukan saja, kata saya pada diri sendiri. Pelan-pelan kebimbangan itu memudar. Pelan-pelan ada kekuatan yang menyusup masuk lewat sebaris iklan rokok di pinggir jalan. Pulang ke rumah, kalimat itu saya pindahkan ke white board kamar dan masih tertulis hingga kini. 

Suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka tujuh, saya berempat dengan teman masih mondar-mandir di kampus mengurus administrasi. Saat mengetik pesan di ponsel, saya perhatikan jari-jari tangan pucat dan gemetaran. Ada apa ini ? Tiba-tiba terdengar bunyi perut keroncongan. Membahana di tengah lego-lego yang sepi. Oops, ternyata bunyi itu berasal dari perut saya. Baru ingat kalau sejak pagi yang masuk ke lambung hanya cairan. Pagi teh hangat, siang es teh manis dan sore lagi-lagi es teh manis. Saya belum menyentuh nasi sejak semalam, eh bukan, sejak kemarin. Iya, sejak kemarin belum ada sebutir nasi yang mengisi perut. Emergency, saya benar-benar butuh makan secepatnya. Tapi bagaimana bisa makan sambil mondar-mandir ? Dan lagi pukul tujuh malam kantin kampus sudah tutup semua. Selesai mengetik pesan, ponsel saya taruh di atas map lalu menunduk dengan dahi menempel di meja. Menunggu balasan dan menahan lapar. Malam itu salah satu teman tersangkut urusan tanda tangan. Hal yang sepele sebenarnya, tapi entah kenapa selalu jadi momok di saat-saat genting. Dia bermaksud mendatangi rumah sang dosen tapi takut diusir karena sudah lewat jam tujuh. Dosen juga butuh istirahat. Dia bingung. Buntu. Di tengah kebuntuan itu, tiba-tiba teman yang duduk di samping saya berkata begini,

“Rin, yang wajib kamu lakukan hanya datang ke rumah beliau. Diterima atau tidak, bukan lagi urusanmu. Kita berusaha, itu saja” 

Kata-kata emas. Saya lelah dan kelaparan. Lutut gemetar tak karuan karena seharian naik turun tangga. Perut berdemo tanpa henti. Tapi kata-katanya barusan membuat saya tersenyum. Rasanya seperti dapat asupan dalam bentuk lain. Dengan kepala masih bertumpu di meja, pelan saya meraih dan menepuk pundaknya. Kamu luar biasa!!

Sumber kekuatan bisa berasal dari mana saja. Lewat kitab, lewat tulisan, kata-kata seseorang, atau apa saja. Ada kalimat tertentu, yang dapat menembus hati jika berbentuk tulisan. Masuk lewat mata. Begitupun, ada kalimat yang menembus jiwa jika berbentuk ucapan. Masuk lewat telinga. Saya berharap bisa sering menemukan hal semacam ini nantinya. Sebab setelah ini, dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk menghadapi hari-hari baru. 

Ada yang bilang, kehidupan sebenarnya dimulai saat kau lulus kuliah. Ada yang bilang, hidup sebenarnya adalah saat kau mulai bekerja. Ada yang bilang kehidupan sebenarnya adalah saat kau sudah menikah. Ada pula yang menambahkan, nanti, setelah kau punya anak. Kenapa harus menunggu punya anak lalu dikatakan hidup yang sebenarnya. Manusia sudah hidup sejak jantungnya berdetak, sejak ruh ditiup ke dalam raganya. Mereka hanya berpindah zona seiring berjalannya waktu. Tapi segala yang ia lalui dalam rentang waktu itu adalah sesuatu yang juga akan dihitung. Sekian lama hidup di kampus, sekarang waktunya pindah zona. Waktunya turun gunung. Welcome to the jungle.
29 August 2014

Metafora

Kususun selaksa kepingan
Begitu lama dan melelahkan
Pada keping terakhir kukatakan :
“Ini akan menggenapkan”
Hingga kuperhatikan,
Bentuk itu tak pernah utuh
Sejak awal,
Aku telah menyusun sesuatu yang tak pernah lengkap

Kubangun sebuah rumah 
Yang ingin kusebut rumah impian
Tak lama berselang
Bangunan itu runtuh berserakan
Kubangun kembali
Dan hancur kembali
Pelan kusadari,
Aku telah membangun rumah
Di atas pasir yang bergeser

Bertemu,
Lalu kehilangan pada suatu waktu,
Menemukannya kembali
Dan kehilangan lagi

Berapa banyak waktu harus berlalu,
Dalam keadaan yang terbatas ini ?
Kita terus berjalan,
Dan apa yang kita temukan?
25 August 2014

Lemari Ingatan

All of my memories keep you near
In silent moments
Imagine you'd be here
All of my memories keep you near
The silent whispers, silent tears
 ~Memories, Within Temptation~ 

Kubuka pintu berkarat, di sebuah ruang bernama ingatan. Deritnya mengingatkan, betapa sunyi tempat itu. Kutatap sekeliling, dua puluh lima rak berukuran besar berbaris sejajar. Beragam warna buku mengisi setiap baris. Jika hidup masih berjalan, lemari itu akan terus bertambah. Tak ada yang tahu kapan jumlahnya akan terhenti. Nenekku tutup usia di umur 73 tahun. Tapi lemari ingatannya berhenti di bilangan 71. Dalam rentang dua tahun itu, apa yang mengisi memorinya adalah misteri.

Buku yang awalnya terusun rapi di dalam menjadi acak-acakan. Saat kusuapkan makanan, ia berkata akan menjahitkan pakaian baru untukku. Yang punya pita merah di bagian pinggang. Dalam ingatannya yang terperangkap, aku masih seorang bocah tujuh tahun yang rutin dijahitkan pakaian dan dibawa ke pesta pernikahan. Suatu sore, saat masih berseragam abu-abu, ia pernah berkata bahwa mungkin hidupnya tidak akan sampai pada waktu ketika topi wisuda menudungi kepalaku. Ucapannya terbukti bertahun kemudian. Kini, topi kedua akan kembali menaungi kepalaku.

Dalam ruang bernama ingatan, kita mengambil buku tertentu, membawanya ke ruang terbuka, membacakannya pada manusia selain kita. Tapi, buku yang tak kita perlihatkan, buku yang tetap kita simpan, jauh lebih banyak. Kita tak pernah tahu, jumlah buku yang disimpan seseorang dalam ingatannya.

Dalam buku ingatan, ada lembar bercetak jelas, ada lembar yang samar, nyaris tak terbaca, dan ada yang kosong, seolah tak pernah ada tulisan di sana. Ingatan yang hilang. Sifat alamiah manusia. Mungkin itu patut disyukuri. Sebab, ada situasi ketika lupa membuat hidup lebih mudah dijalani. Dalam kesendiriannya, dalam ingatan yang terperangkap, kurasa nenekku pun begitu. Hidup bersamanya kulewati lebih dari separuh umurku. Ia menempati ruang tersendiri dalam hati dan ingatanku. Kuharap, lembar yang menulis tentangnya akan tercetak jelas hingga waktu berhenti di garis batas.
03 August 2014

Rekreasi Ke Tamammelong

Jika rekreasi tahun lalu kami jauh-jauh menyeberang ke Liang Kareta, maka selepas lebaran tahun ini kami memilih tempat yang dekat dari kota. Namanya Tamammelong. Awalnya saya kira “Taman Melon” yang terpengaruh dialek sehingga menjadi Tamammelong. Tapi kata teman, namanya memang Tamammelong. Jangan tanya artinya, saya tidak tahu. Tapi jadi lebih cocok bila dibanding “Taman Melon”, karena di pantai tidak ada pohon melon. Selayar bukan penghasil melon. Yang ada cuma pohon kelapa sejauh mata memandang. 

Tamammelong dapat dicapai dengan berkendara 20 menit ke arah selatan. Letaknya berdekatan dengan pantai Baloiya. Resort Baloiya dulunya dikelola orang Jepang yang sekarang sudah berpindah tangan. Pengunjung wajib bayar tiket kalau mau masuk. Kalau tidak salah seratus ribu per orang. Sementara kami cari yang gretongan. Bisa habis gaji satu bulan kalau setiap orang bayar seratus ribu. Biar begitu pemandangan sunset dari pantai Baloiya memang sangat indah. Tamammelong sendiri adalah pantai biasa. Seperti pantai lain di selayar, semuanya biasa, pasir putih, air laut yang jernih dan barisan pohon kelapa yang bila ditiup angin buahnya berjatuhan ke tanah.

Tugas dibagi sebelum hari H. Ada yang membeli ikan, udang dan cumi-cumi, ada yang mengumpulkan sabut kelapa, ada yang menyiapkan tenda, ada yang menanak nasi santan, ada yang membawa buah-buahan dan ada yang membeli air mineral. Ibu sendiri kebagian tugas membuat sambal. 

Kami berangkat dengan tiga mobil dan beberapa motor. Semua keponakan dimasukkan ke mobil biar tidak bikin repot. Saya dan beberapa sepupu memilih naik motor. Sesampai di sana, tidak ada orang lain selain kami. Bagus. Kami menguasai pantai ini. hehehe. Turun dari mobil, yang bapak-bapak langsung mencari pelepah kelapa untuk tempat bakar ikan. Ibu-ibu cekatan membersihkan dan mengeluarkan isi perut ikan. Para suami sepupu menggelar tenda untuk alas duduk. Para kurcaci alias ponakan langsung menyerbu laut. Sepupu dan saya sibuk motret kiri kanan sebelum turun ke laut. Yang penting jepret dulu, berenang urusan nanti.

Ngomong-ngomong, bagaimana suasana lebaran kalian ? Dapat angpau tidak ?? Di sebelah kiri mana suaranya ?? Apa ?? Ditanya terus kapan nikah ?? Ignore.  Saya sarankan beli cotton buds banyak-banyak untuk korek kuping kalau nanti ditanya lagi. Atau sumbat telinga pakai kapas dan menulilah seharian. Atau pura-pura amnesia sekalian, saya siapa ? Kamu siapa ? Ini dimana ? Nikah itu apa ?


Ada sepupu saya yang rutin kasih angpau ke saudara, sepupu dan ponakannya tiap Idul Fitri. Sementara para orangtua biasanya dihadiahi kemeja, gamis dan mukena. Dia dan istrinya hanya setahun sekali pulang kampung. Istrinya bekerja di Depok sementara dia berlayar ke berbagai tempat. Jadi sekali pulang, barang bawaannya bisa sangat banyak. 

Ternyata untuk bersenang-senang pun butuh perjuangan, terlebih bagi orang yang tak tahu berenang. Saya dan sepupu harus “perang” dulu sama ponakan memperebutkan pelampung baru bisa berenang jauh ke tengah laut. Setelah beberapa jam berenang, aroma ikan, udang dan cumi bakar memanggil-manggil dari kejauhan. Kami pun mengikuti asal aroma itu, seperti upin-ipin mencium bau ayam goreng. Ah, sedapnya bau… 

Perut sudah berdemo minta diisi. Nasi santan masih hangat. Ikan, udang dan cumi-cumi baru diangkat dari pemanggang. Dilengkapi sambal buatan ibu. Bila dimakan bersamaan, rasanya…uhm…sadeesss!! *iklan


Acara makan diiringi dengan humor sepupu yang terkenal gokilnya. Sakit perut yang saya rasa entah karena kekenyangan atau karena kebanyakan tawa. Campur aduk sudah. Selesai makan, berenang sesi kedua dilanjutkan. Saya menonton ponakan dan sepupu berenang sambil bersandar di bawah pohon kelapa. Semoga tidak ada kelapa yang jatuh. Angin bertiup kencang. Menerbangkan debu dan abu pembakaran. Gemersik dedaunan seolah sedang berbisik satu sama lain. Rasanya seperti dipanggil seseorang dari seberang laut.

Cuaca cerah. Langit berwarna biru cerah. Gumpalan awan dengan berbagai bentuk menggantung di langit seperti kapas raksasa, juga dengan warna putih cerah. Lalu pandangan saya arahkan ke kumpulan ponakan yang sedang belajar berenang. Warna anak-anak adalah warna cerah. Merah, kuning, hijau, biru, jingga, semuanya cerah. Ketika beranjak dewasa, warna itu tetap ada, tapi tak lagi cerah, bercampur dengan kelabu. Ada warna merah, merah kelabu. Ada warna hijau, hijau kelabu. Ada biru, biru kelabu. Warna orang dewasa adalah warna yang kelabu. Anak-anak tertawa. Tawa yang manis dan ringan. Orang dewasa tertawa. Tawa yang tawar dan berat. 

Seorang dosen pernah memotong doa mahasiswa yang mendoakan umurnya panjang. Katanya buat apa umur panjang bila raga sudah tak mampu. Baginya, umur 60-65 tahun sudah cukup. Dosen itu mungkin tak tahu bahwa ada orang yang ingin mati sebelum umur 27 tahun. Ada orang yang tak berniat melewati umur 30, 40 atau 50 tahun. Di saat yang sama, ada pula yang berharap bisa hidup ribuan tahun. Betapa beragamnya keinginan manusia, termasuk untuk hidup dan mati.

Siklus kehidupan berputar tanpa henti. Orang-orang lahir dan mati. Orang-orang datang dan pergi. Dulu mereka adalah anak-anak yang dimarahi orangtua bila tak mengaji atau berbuat onar saat shalat berjamaah di masjid. Kini mereka menjadi orangtua yang memarahi anak-anaknya yang berbuat sama. Dulu mereka berusaha lepas dari kekangan ayah dan ibu yang selalu khawatir akan keselamatan dan masa depan mereka. Sekarang mereka menjadi ayah dan ibu yang mengusahakan segala cara untuk menjaga anaknya. Dulu mereka anak-anak yang keinginannya harus dituruti. Sekarang mereka orang dewasa yang banting tulang memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dulu mereka anak-anak yang menganggap betapa menyebalkannya orang dewasa. Sekarang mereka orang dewasa yang menyadari betapa menyusahkannya anak-anak. 


Hari beranjak petang. Sebentar lagi akan terbenam dan mati. Mimpi-mimpi menarik selimut di balik kelopak malam. Sebagian tetap utuh hingga esok. Sebagian lagi hancur dan tenggelam bersama gelap. Lalu hari baru datang. Membawa rencana dan harapan baru. Siklus hidup berputar kembali. Meninggalkan sesuatu yang berharga di masa lalu. Dan membawa sesuatu yang sama berharganya untuk menyongsong hari esok.
 
;