25 December 2011

Aku Suka Hujan


Aku suka hujan. Kedatangannya menyembunyikan matahari. Membuat bumi diliputi keremangan. Dan tak jarang dibayangi cahaya mematikan. 

Aku suka hujan. Memberi sejenak kesejukan untuk bumi. Meredam jalanan kota yang ribut ini. Dari gerak mesin yang berisik sepanjang waktu. 

Aku suka hujan. Saat orang-orang menggerutu kebasahan, belahan bumi lain bersujud melepas dahaga. 

Aku suka hujan, yang membuat jendela kamar berembun. Walau kadang bergandengan dengan hati yang ikut mendingin.

Aku suka hujan. Memberi kesempatan berlari menembusnya. Merasakan kebebasan tanpa teduhan payung. Dan menyamarkan air mata yang menghujam tanah.

Aku suka hujan, karena ada kehidupan yang mengikutinya. Meski kepergiannya tak selalu menyisakan pelangi. 

“Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit)”
“kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya”
“Lalu disana kami tumbuhkan biji-bijian”
“Dan anggur dan sayur-sayuran”
“Dan zaitun dan pohon kurma”
“Dan kebun-kebun yang rindang”
“Dan buah-buahan serta rerumputan”
“(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu”
(Q.S ‘Abasa : 25-32)

Terbit dan Terbenam

Saya teringat akan temuan Andre Hirata tentang bagaimana mengenal manusia melalui takaran gula dan kopi yang diminumnya dalam buku Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas. Dalam Buku Besar Peminum Kopi-nya ia menuturkan bahwa orang yang menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Namun mereka tetap mencoba dan mencipta. Mereka naik panggung dan dipermalukan. Mereka menang gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun, jatuh, bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern, mereka disebut Player. 

Orang yang takaran gula, kopi dan susunya proporsional umumnya adalah pegawai kantoran yang bekerja rutin dan berima itu-itu saja. Mereka adalah manusia ‘do-re-mi’ dan mereka telah menikah dengan seseorang yang bernama bosan. Kelompok anti perubahan ini melingkupi diri dengan selimut dan tidur nyenyak dalam zona nyaman. Proporsi gula, kopi dan susu itu mencerminkan kepribadian mereka yang sungkan mengambil risiko. Tanpa mereka sadari kenyamanan itu membuat waktu, detik demi detik, menelikung mereka. wajahnya sembab karena tahu waktu telah melewatinya begitu saja. Kaum ini disebut safety player. 

Entah kita adalah Player ataupun Safety player, sebagai manusia kita akan selalu hidup berdampingan dengan masalah. Orang yang sekolah punya masalah, yang tidak sekolah juga bermasalah. Orang kaya punya masalah, orang miskin juga punya. Orang yang kuliah punya masalah, sarjana pun punya masalah. Orang yang bekerja punya masalah, yang pengangguran lebih-lebih lagi. Boleh dikata bahwa seseorang bukanlah manusia jika ia tidak pernah mempunyai masalah. Karenanya ada yang mengatakan bahwa hidup adalah penderitaan tanpa akhir dan bahwa manusia yang paling beruntung adalah mereka yang tidak pernah dilahirkan. 

Setiap manusia menginginkan kebahagiaan. Ada yang berlari mengejarnya seperti player, ada yang berjalan lamban seperti safety player dan ada pula yang pasrah mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk menderita. Pascal mengatakan bahwa seperti apapun penderitaaan dan kepedihan yang mencekik seseorang, di kedalaman wataknya terdapat kekuatan mahabesar yang mendorongnya pada kehidupan. Yah, justru masalahlah yang mengantarkan manusia pada kehidupan. Andaikata tidak ada lava gunung merapi, kita tidak akan mendapatkan tanah yang subur. Andaikata biru langit tak pernah dikeruhkan awan hitam, kita takkan pernah mengenal hujan. Andaikata matahari tidak pernah terbenam, maka bumi akan kekeringan dan mati. Andaikata tidak ada kehilangan dan duka, lalu kepada siapa kita akan memberi simpati. Andaikata tidak ada lagi kesedihan, maka kesabaran akan mati. 

Siapapun pasti akan merindukan saat-saat matahari terbenam. Siapapun pasti akan merindukan langit yang gelap disusul hujan. Siapapun pasti merindukan awan hitam dan paling tidak badai untuk menggantikan hembusan angin yang monoton. Karena sekiranya nikmat penderitaan telah hilang, maka jadilah bumi tanpa perasaan. Dingin, seperti kelengahan yang menyihir. Selama kita masih manusia, masalah akan terus muncul karena itu menunjukkan bahwa kita harus terus belajar.
24 December 2011

Pesona Pakaian

Seorang wanita dengan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang. Mereka turun dari kereta api di Boston, dan berjalan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. 

Sesampainya di sana, sang sekertaris universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard bahkan tidak pantas berada di Cambridge. 

“Kami ingin bertemu dengan pimpinan Harvard,” kata sang pria lembut
“Beliau hari ini sibuk,” sahut sekertaris cepat
“Kami akan menunggu,” jawab sang wanita 

Selama empat jam, sekertaris itu mengabaikan mereka dengan harapan bahwa pasangan akan pergi. Namun nyatanya tidak. sang sekertaris mulsi frustasi, dan akhirnya memutuskan melapor kepada pimpinannya.
“Mungkin jika anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka kakan pergi,” katanya kepada sang pimpinan Harvard. 

Sang pimpinan menghela napas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika melihat dua orang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul. Sang pimpinan Harvard, dengan wajah galak, menuju pasangan tersebut. 

Sang wanita berkata kepadanya, “kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. tapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkah ?” tanyanya, dengan mata penuh harap. 

Sang pimpinan tidak tersentuh. Wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut
“Nyonya,” katanya dengan kasar, “ Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini akan menjadi kuburan.”
“Oh, bukan,” sang wanita menjelaskan dengan cepat, “kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang pimpinan memutar matanya. Dia sekilas menatap baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak,
“Sebuah gedung ?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ? kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. sang pimpinan Harvard senang. Mungkin dia terbebas dari mereka sekarang. 

Sang wanita menoleh kepada suaminya dan berkata pelan, “ Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?”
Suaminya mengangguk. Wajah sang pimpinan Harvard tampak bingung.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS. 
 ***
Pakaian atau apa-apa yang kita kenakan adalah hal yang paling mudah terlihat dari luar dan tidak jarang menipu mata. Kita seringkali tertipu sebab pesona pakaian bersifat instan, bisa dinilai dalam hitungan detik. Karenanya, kita gampang menjatuhkan nilai seseorang hanya dengan melihat tampilan luarnya. Seperti yang Andrea Hirata paparkan di Edensor tentang dilema seorang mahasiswa Indonesia yang menjadi guide bagi para petinggi yang ingin berutang. Saat para petinggi Jepang, yang memberi utang datang ke tempat pertemuan dengan memakai mobil mini bus carteran, sementara para petinggi Indonesia, yang berutang, datang satu per satu dengan limousine. Namun jika kita hanya melihat sekilas dari luar, semuanya akan tampak berbeda, bukan ?
20 December 2011

Untitled


Ini agak rumit. Saat kau bercerita, aku hanya termangu. Mudah tapi rumit, rumit tapi mudah. Tak ada yang tahu pasti. Begitulah takdir. Kadang takdir bisa jauh lebih rumit dari rumus fisika. Seperti kau yang berlalu lalang mencarinya. Yah, cukup lama menurutku. Tapi menemukannya sama saja seperti, misalnya, kau bisa berbalik saat anak panah yang ditembakkan padamu luput. Jika sedetik itu kau terlambat berbalik, kau bisa mati. Mungkin saja suatu hari di sebuah jalan, kau telah berbelok di tikungan, sementara orang yang kau cari-cari itu baru saja keluar dari pintu. Jika sedetik saja kau menunggu, mungkin kau akan bertemu dengannya.

Ini seperti permainan keberuntungan. Tapi seperti kata pepatah, menunggu keberuntungan sama saja dengan menunggu kematian. Jadi kau terus mencarinya. Dari di dunia nyata sampai dunia maya. Kau selalu berharap ia ada di antara pengendara yang memenuhi sesaknya jalanan, tiap kali aksi demonstrasi ditayangkan di TV, kau selalu berharap ia ada di antara orang-orang itu. Tapi tak pernah. Kau tak pernah menemukannya di kesibukan jalan raya. Tidak juga di antara para demonstran yang melakukan aksi. Pun di dunia maya, tak tertinggal jejaknya. Berkali-kali kau ketikkan nama atau apapun yang berhubungan dengan dirinya dan berharap google akan berbaik hati menemukannya. Tapi nihil. Aku hanya tertawa mendengar ceritamu. Oh, maaf...maaf kawan, aku hanya kagum atas usaha yang kau lakukan. Sama sekali bukan untuk mencela. Sayangnya, tak seorang pun tahu akan lahir dimana dan akan bertemu dengan siapa. Mungkin saja keberuntungan itu terletak beberapa detik di belakangmu. Tapi kau terus menjauh. Atau mungkin ia ada selangkah di depanmu, karena itu kau harus terus berlari mengejarnya. Tak ada yang tahu pasti.

Tak jarang pula takdir itu sederhana. Suatu waktu, aku tiba-tiba disergap rasa rindu pada seseorang. Lama kami tak bertemu. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Seperti biasa, aku menatap langit sambil terus memikirkannya. Saat akan beranjak, tiba-tiba beberapa meter di depan, orang yang kucari itu sudah berdiri sambil tersenyum. Dunia memang tidak pernah berubah ukuran. Takdirlah yang membuatnya menjadi ‘sempit’ atau ‘luas’.

Dari arah timur, selimut malam mulai memudar. Di tengah langit sana, bulan surut berpendar.

Untuk seorang kawan, yang belum juga siuman di kala fajar

Shadow

Ada saat, di antara sekat waktu yang berdetak cepat, saat udara senja mendingin dan malam mengepung separuh bumi. Saat bulan mengapung samar di atas langit kota ini. Saat kembang kertas telah terlelap dan binatang malam mengarungi angkasa. Saat musim mulai membosankan dan menyisakan suara di palung sunyi. Saat aku hanya sendiri menyelami langit biru, sepuasnya menatap kristal yang terpantul di langit. Mengembarai bintang dan bermain bersama angin. Saat itu, sebersit bayang muncul terbawa kelam malam. Tak terhentikan. Ia menyerupai bayang maya saat gerhana. Tapi aku menyukainya. Ia seperti sudut tanpa detak waktu. Tapi aku menyukainya. Ia seperti ukiran rasi bintang tanpa nama. Tapi aku menyukainya. Ia seperti sungai yang memantulkan cahaya purnama di tengah kegelapan. Dan, aku selalu menyukainya.

Laptop Juga Bisa Tidur

Dua orang mahasiswa baru (maba) sedang mengerjakan tugas kuliah.
Maba 1 : eh, tolong pindahkan data tadi ke FD ini
Maba 2 : yaaah, baru aja laptopnya aku sleep
Maba 1 : ya udah, cepat bangunin!!
Saya : hahahaha

Babysitter Sampai Konstelasi

Empat hari terakhir ini saya jadi panitia dalam suatu rangkaian acara besar. Kegiatan itu bertempat di sebuah pusat pelatihan di kota ini. Salah satu tugas saya adalah menjaga anak di tempat penitipan anak. Puluhan anak berkumpul di sana. Mulai dari bayi usia 8 bulan sampai anak kelas dua SD. Saya dan belasan teman diturunkan untuk menjaga anak-anak itu. Baru dua jam berjalan, rasanya tenaga saya sudah habis. Menjaga anak-anak jauh lebih melelahkan dibanding menganalisis data atau naik bolak balik tangga fakultas. Menangis seperti jadi virus flu, cepat menular. Tangisan satu anak akan diikuti berjamaah oleh anak-anak yang lain. Setelah melerai satu pertengkaran karena memperebutkan mainan, tiba-tiba ada lagi yang datang mengadu,
“Kak, di sana Adi menangis dipukul sama Fatan”
“Apaaaa ??”
Saya dan teman-teman kelabakan menenangkan anak yang menangis dan melerai mereka yang saling memukul. Beberapa sibuk memberi makan bubur dan mengganti popok bayi. Di tempat ini saya merasakan sulitnya jadi ibu. Tapi di sini juga saya melihat sisi lain dari teman-teman yang tidak saya temukan di hari-hari biasa.  Beberapa di antara mereka ada yang pendiam, cuek dan cenderung jaim. Tapi mereka terlihat berbeda saat menghadapi anak-anak. Karena ketika menenangkan anak yang menangis, kau harus bertingkah seperti anak-anak juga. Bermain lempar bola, bicara dengan boneka, main ayunan atau mambacakan cerita sambil menirukan suara binatang. Teman-teman saya yang pendiam berubah jadi cerewet ketika menenangkan anak yang menangis. Teman saya yang jaim tidak malu lari keliling berulang-ulang mengambil bola atau seperti orang gila yang bicara dengan boneka.

Tapi yang paling berkesan adalah di hari terakhir. Setelah membersihkan aula, saya beristirahat sejenak sambil berbaring menghadap ke langit-langit. Saat itulah saya sadar ada sesuatu di langit-langit aula itu. Di sana ada beberapa titik yang dihubungkan dengan garis dan akhirnya membentuk pola. Di samping pola itu tertulis “Andromeda”. Ternyata seseorang telah melukis konstelasi di sana. Gambarnya sederhana, hanya menghubungkan titik-titik dengan garis warna hitam. Tapi siapapun dia, orang itu pasti sangat paham konstelasi. Ada 48 pola yang terbentuk lengkap dengan namanya. Ada Orion, Auriga, Aquila dan konstelasi-konstelasi lain yang saya tidak ingat namanya. Orang itu melukis seluruh rasi bintang yang dibuat oleh Ptolomeus. Lukisan yang sederhana tapi mengagumkan.

Haruskah Adu Fisik Dulu ?

Masih berlokasi di jalan raya, beberapa pekan yang lalu terjadi tabrakan antara dua pengendara motor. Salah satu di antaranya adalah seorang bapak yang membonceng anak dan istrinya. Yang menjadi perhatian saya adalah sikap bapak itu. Setelah motor, anak dan istrinya tersungkur di jalan ia bangkit berjalan menuju pengendara satunya. Tanpa babibu, bapak itu melayangkan tinju pada pengendara tesebut. Saya heran, dalam pandangan saya, bapak itu seharusnya memeriksa dulu keadaan istri dan anaknya, apakah mereka terluka atau tidak, baru adu jotos kalau memang nafsu. 

Beberapa tahun sebelumnya, saat SMA, seorang teman menceritakan peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya. Saat itu ia membonceng ibunya pulang dari pasar. Di sebuah perempatan, ada pengendara lain dengan kecepatan tinggi yang langsung menabrak motornya. Ibunya terpental dan kepalanya membentur aspal. Teman saya bangkit dan menoleh sebentar ke arah ibunya lalu berjalan ke arah pengendara tadi dan seperti juga bapak tadi, ia langsung melayangkan tinjunya. Puas adu jotos barulah ia menghampiri ibunya dan sadar bahwa sang ibu terluka parah di bagian tengkorak. Setelah dia bercerita, saya bertanya, bukankah seharusnya dia melihat kondisi ibunya terlebih dahulu. Teman saya menjawab bahwa saat itu yang ada di kepalanya hanya memukul pengendara tadi. 

Saya juga pernah melihat tabrakan antara angkot dan motor di depan sebuah mall. Lagi-lagi, pengendara motor itu begitu bernafsu adu jotos dengan sopir angkot tanpa melihat kondisi orang yang ia bonceng. Apakah laki-laki memang selalu bertindak seperti itu ? Maksudku, kenapa mereka cenderung mendahulukan adu fisik? Apakah untuk memperlihatkan bahwa ia yang benar atau malah untuk menutupi kesalahannya ?

The Other Side Of Supir Angkot

Ibarat kasta, Angkot menempati urutan terbawah. Sumpek, panas, penuh asap rokok dan bau. Setelah naik angkot, badan yang tadinya masih segar dan wangi sabun mandi tergantikan dengan hawa ganas campuran matahari dan asap knalpot. Kejahatan juga sering terjadi di angkot. Bisa dilakukan oleh pencopet yang menyamar jadi penumpang, atau dilakukan oleh supir angkot itu sendiri. Mulai dari kriminal kelas teri sampai kelas pari. Kriminal kecil-kecilan yang dilakukan sopir angkot misalnya curang memberi kembalian, bohong tentang tarif angkot pada orang baru, atau bohong pada penumpang kalau angkotnya langsung jalan, padahal tahu-tahu berangkatnya nanti satu jam kemudian. Koran dan TV juga kerap menyajikan berita tentang penodongan, perampokan, pemerkosaan sampai pembunuhan yang dilakukan oleh sopir angkot. Bahkan sebelum berangkat ke kota ini, saya sudah diwanti-wanti untuk hati-hati sama sopir angkot. 

Para sopir angkot juga terkenal kasar dan tidak sopan. Kalau sedang naik angkot, sudah tidak terhitung berapa kali para sopir itu mengeluarkan makian mulai dari nama penghuni kebun binatang sampai organ reproduksi manusia. Pemicunya paling sering karena salip menyalip antara sesama sopir atau karena rebutan penumpang. Jika terkumpul antara sopir yang kasar, cuaca yang panas, jalanan yang macet, aksi salip menyalip dan muntahan makian, maka lengkaplah sudah penderitaan. Semangat yang full ketika berangkat kuliah, bisa terkorosi sampai setengahnya begitu tiba di kelas. 

Tapi setiap manusia punya sisi baik, sejahat apapun ia. Dan setiap manusia punya sisi jahat, sebaik apapun ia. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih ada sisi baik di antara sopir angkot itu, entah kita pernah atau tidak melihatnya. Suatu siang, saya berada di sebuah angkot menuju kampus. Di antara penumpang itu ada seorang nenek yang dari perawakannya, osteoporosis telah setia menemani hari tuanya. Dari pakaian pun saya miris melihatnya. Siang itu benar-benar panas, para penumpang tak henti-hentinya mengeluh karena jalanan yang macet. Setelah beberapa lama mobil itu merangkak seperti siput, nenek tadi turun di depan sebuah lorong kumuh. Dengan gemetaran nenek itu menyerahkan ongkos. Tapi, dengan bahasa kental daerah sini, si sopir angkot menolak dan langsung tancap gas. Kami tersentuh melihat sikap empati dari sopir tadi. Beberapa penumpang yang awalnya mengeluhkan cuaca panas langsung terdiam. Kebaikan tadi seperti oase di tengah panasnya jalanan macet. Tidak lama kemudian, makian kembali berkicau karena saling salip. Yah, oase tadi berakhir di situ, tergantikan oleh riuhnya jalan raya. Tapi saya senang melihat momen tadi, saat nenek itu tersenyum dan berulang kali mengucapkan terima kasih pada sang sopir. 

Lain waktu saya pernah mendapati seorang sopir angkot yang memberi uang pada penumpangnya. Hal yang jarang saya temui, karena umumnya kebaikan yang dilakukan hanya sampai menolak ongkos, tapi kali ini sopir itu juga memberi beberapa lembar uang seribuan pada penumpangnya. Penumpang yang beruntung itu adalah dua anak kecil yang jika dilihat dari penampilannya, setiap orang tahu kalau mereka memang membutuhkannya. Begitulah, jalan raya bukan hanya sekedar lintasan. Banyak hal yang diajarkan oleh orang-orang yang melewatinya, dari hal yang baik sampai yang buruk.
13 December 2011

Suara dan Rasa

Jika suara diibaratkan rasa, maka ada suara yang rasanya seperti kopi. Apa kau suka kopi ? Saya suka, sangat suka malah. Pekat, cenderung pahit tapi harum. Sebelumya saya tidak pernah memperhatikan karena dia lebih sering bicara pelan dan tenang dengan ritme teratur, jadi terdengar biasa saja. Hingga suatu hari, entah karena apa, dia mengeluarkan suara yang agak keras bahkan bisa dibilang berteriak. Saat itulah saya menyadari suaranya seperti gelombang. Saya lalu menajamkan telinga dan mendengarkan baik-baik. Tiba-tiba saja saya ingat kopi yang saya minum di rumah beberapa jam sebelumnya. Suara dan imagenya sangat bertolak belakang. Jika mendengar suaranya, seperti ada sesuatu yang tercerabut di sana. Saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Intinya seperti kopi. Pahit tapi harum. Biasanya harum diikuti rasa yang manis, tapi tidak dengan kopi. Setelah itu, jika berada di dekatnya saya lebih banyak diam karena senang mendengar suaranya. 

Jika suara diibaratkan dengan waktu, ada sebuah suara yang seperti saat matahari terbit setelah melewati waktu fajar. Hangat, ceria dan penuh semangat. Sewaktu berkenalan dengannya saya tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa karena suaranya seperti kawat yang digetar-getarkan. Aneh, lucu dan menyenangkan. Untungnya dia tidak marah saya tertawakan. Saya sudah lama berteman dengannya, sekitar empat tahun. Dia sering merepet sana sini. Komentar ini itu. Tapi saya suka. Dia selalu bisa menghangatkan situasi. 

Jika suara diibaratkan dengan temperatur, ada suara yang mendekati titik 0 derajat celcius. Dingin. Tidak hambar, tapi saya tak bisa merasakan apapun. Seperti ketika merendam kaki dalam air es. Lama kelamaan kita tidak mampu lagi merasakan kaki itu. Mungkin itu yang disebut misterius. 

Berada di antara ketiga orang itu membuat semangat saya berubah-ubah seperti suaranya. Saya kadang bingung juga, ternyata pengaruh suara tidaklah kecil.
10 December 2011

KEMI, Cinta Kebebasan Yang Tersesat

Beberapa hari yang lalu saya mengkhatamkan sebuah Novel berjudul KEMI, Cinta Kebebasan Yang Menyesatkan. Saya menemukannya di emperan sebuah toko. Saat pertama kali melihat, saya merasa ada yang unik dari gambar sampulnya. Setelah tahu bahwa buku itu adalah novel perdana Adian Husaini, maka saya pun membelinya. Saya tidak terlalu kenal penulisnya. Setahu saya, beliau adalah salah satu dari orang-orang yang giat menentang liberalisasi Islam. Buku-bukunya kebanyakan nonfiksi, bertema pemikiran dan peradaban islam serta menggunakan bahasa ilmiah. Tapi di kota ini, saya sulit menemukan buku-bukunya yang lain. Yang saya temukan hanya novel ini. Di kaki sampul depan novel terdapat endorsement dari sastrawan Taufik Ismail : “Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme”. 

Novel ini terbit pertama kali pada bulan September 2010. Tapi baru muncul di kota ini menjelang akhir 2011. Kemarin saya jalan-jalan ke Graha Media dan melihat novel ini duduk di antara buku-buku lain. Novel ini bercerita tentang tiga anak manusia. KEMI, seorang santri cerdas, melanggar amanah sang kyai, meninggalkan pesantren dan menjadi aktivis liberal. Angan-angan kebebasan menjerumuskannya. Ia terjerat, terperosok dan terperangkap dalam kebebasan yang didambakannya, bahkan mengancam jiwanya. Rahmat, santri cerdas dan tampan, utusan sang kyai, berusaha menyelamatkan Kemi. Sejumlah tokoh liberal terkemuka berhasil ditaklukkannya. Seorang kyai liberal wafat di ruang diskusi setelah bertemu dengannya. Siti, feminis liberal, putri kyai terkenal. Mulai mempertanyakan arti kebebasan yang selama ini dimaknainya. Cintanya pada Rahmat tak terbendung. Tapi bayang-bayang dosa dan masa depan pesantrennya membawanya pada suatu keputusan pahit. 

Alur cerita novel ini sederhana. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa standar sastra, tidak seperti novel islami pada umumnya yang mempunyai kata-kata yang memikat (sok tahu, padahal saya jarang baca novel islami :P). Walau begitu novel ini banyak memberi inspirasi dan pencerahan. Banyak ide-ide liberal yang dibahas dalam bentuk dialog seperti teori Transendent Unity of Religion (kesatuan transendensi agama-agama), kekeliruan paham pluralisme agama, jawaban tentang logika objektif dan “netral agama” dan masih banyak lagi. Pembahasan tentang logika objektif tercantum dalam dialog menarik antara Rahmat dan Kemi di halaman 66-67 :
Kemi   : “itu kebenaran subjektif. Kamu menggunakan standar ganda dalam menilai agama-agama lain karena parameter yang kamu gunakan adalag standar islam. Itu tidak adil. Dalam menilai agama lain, seharusnya digunakan standar yang netral dan objektif. Itu baru ilmiah.”
Rahmat : “ Kemi, Kemi...kamu terperdaya oleh logika yang salah...tapi seolah-olah ilmiah. Logika kamu ini sangat berbahaya. Kalau menurut Al Qur’an surah Al-An’am ayat 112, logika-logika macam ini termasuk kategori ‘zukhrufal qauli ghurura’, kata-kata indah dengan tujuan menipu. Coba kita pikirkan, sebenarnya manusia itu tidak terlepas dari kebenaran subjektif. Kamu tidak percaya imam Syafi’i, tetapi kamu percaya kebenaran Nasr Hamid Abu Zaid; kamu tidak percaya kebenaran yang dibawa oleh sahabat Nabi, tetapi kamu akhirnya mengambil apa yang kamu anggap sebagai kebenaran yang diceritakan para orientalis. Tetapi, kebenaran subjektif bisa menjadi objektif ketika menjadi kebenaran bersama. Itu yang dalam islam diterima sebagai Ijma’. Manusia menerima kebenaran bersama. Kalau tidak ada kebenaran bersama, manusia tidak bisa berhubungan satu dengan lain. Jika Tuhan satu, maka logikanya, tidak mungkin Tuhan mengharamkan babi dan pada saat yang sama Tuhan yang satu itu juga menghalalkan babi.”

Atau tentang pentingnya aspek pengakuan yang tertuang di halaman 83-86 :
Di tengah maraknya paham kemanusiaan (humanisme) di tengah masyarakat, banyak orang bertanya tentang relevansi iman di era modern sekarang. Ada santri yang pernah bertanya pada Rahmat. 

“Bagaimana kita memahami keadilan Allah, jika ada orang baik seperti Bunda Teresa dan Nelson Mandela akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang jahat akan masuk surga hanya karena ia bergama islam ?” 

Rupanya pertanyaan semacam ini juga pernah disampaikan kepada kyai Rois. Dan jawaban kyai Rois sangat mudah dicerna. Kyai Rois mengibaratkan iman sebagai pengakuan dan pembenaran. Aspek pengakuan tidak kalah pentingnya dengan aspek perbuatan. Dicontohkan, seorang anak yang tidak mengakui orangtuanya, seperti Malin Kundang, dipandang sebagai anak durhaka, meskipun si anak rela berbuat baik kepada orangtuanya. Begitu juga orang tua yang tidak mau mengakui anaknya sendiri sebagai anak kandungnya, akan dikatakan sebagai orang tua yang jahat, meskipun anak itu diberi perawatan dan pembiayaan yang baik. Hanya saja, nasab anak itu dikaburkan. Ia tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya. 

Jadi, kata kyai Rois, aspek pengakuan dan pembenaran ini sangat penting. Itulah persaksian (syahadat). Yang dicari pertama kali ketika negara Indonesia merdeka adalah pengakuan, bukan bantuan. Begitu juga suami istri harus saling mengakui. Utusan negara lain yang datang ke Indonesia juga perlu pengakuan dari negara Indonesia, sebelum utusan itu diperlakukan dengan baik. karena itulah, Allah meminta manusia agar mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Sebagaimana firman-Nya, “Qul Innani ana Allahu. La-ilaha illa Ana, fa’budni wa aqimish shalata li-dzikri,” Katakanlah, Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Thahaa : 14)
........Karena itulah, simpul kyai Rois, jika ada orang tidak mau mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan tidak mengakui Muhammad sebagai utusan Allah, padahal orang itu sudah tahu akan kebenaran tersebut, ia termasuk kategori bukan orang baik. ia jahat karena syirik. Karena itulah, syirik disebut sebagai kezaliman yang besar. 

Novel ini sangat bagus untuk dikonsumsi terutama bagi mahasiswa. Karena hampir setiap hari mereka bersinggungan dengan paham-paham keliru yang banyak beredar di kampus. Saya jarang menemukan novel islami yang berfokus pada tema pemikiran, bahkan rasanya tidak pernah ada novel seperti ini sebelumnya. Novel ini berakhir dengan misi Rahmat yang berhasil walau Kemi harus menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa. Siti, si feminis liberal juga menyadari kekeliruannya dan kembali ke pesantren. Dari info yang beredar, katanya novel ini akan dibuat lanjutannya berhubung masih banyak ide-ide liberal yang belum sempat dibahas. Selain itu banyak masukan dari pembaca agar melanjutkan kisah Rahmat dan Siti yang menggantung di akhir novel.
09 December 2011

Suatu Sore di Minimarket


Penjual            : cari apa mbak ?
Saya                : cari itu mbak (sambil menunjuk sebuah barang di balik punggungnya)
Tapi penjual itu tidak mengambil barang yang saya maksud malah mengambil barang lain di sampingnya.
Saya                : maaf mbak, bukan yang itu, tapi yang sebelahnya, yang sebelahnya lagi.  #sambil nunjuk- nunjuk
Penjual            : (nahan senyum) sama kok, ini kemasan baru. Mbak gak pernah nonton iklan, ya ?
Saya                : (berusaha tetap kalem) Ehm...gak pernah
Penjual            : (ketawa) kasian....kasian....
Saya                : (lari keluar dan jedotin kepala di tembok)
04 December 2011

Nostalgia


Saat membongkar tumpukan barang dalam kardus, saya menemukan buku-buku catatan selama ikut bimbingan belajar dan buku tulis sewaktu awal-awal menjadi mahasiswa baru. Tiba-tiba saya rindu duduk kembali di bangku kuliah. Walau baru dua bulan lulus, saya sudah rindu dengan kelas. Rindu kegiatan belajar kelompok. Rindu pada malam-malam begadang mengerjakan laporan, rindu duduk lesehan di depan kelas menunggu juru kunci datang membukakan pintu, rindu suasana diskusi dan debat di kelas. Rindu sms-an dengan teman untuk janjian kerja kelompok di kampus, rindu duduk di gazebo, rindu shalat berjama’ah di mesjid fakultas, rindu masa-masa PBL, rindu menit-menit mengerjakan soal ujian semester, rindu pada sensasi yang muncul saat melihat nilai akhir setiap mata kuliah, entah dapat A, B, C atau E, rindu suasana kelas yang gaduh, rindu teman-teman posko. Rindu semuanya, deh pokoknya.

Pentas Drama dari Komik

Tiba-tiba saja saya teringat masa-masa kelas 3 SMP, sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu itu hanya beberapa yang menyukai komik di kelas. Boleh dibilang saya yang menularkan virusnya (hehehe). Saat itu saya duduk di kelas 3 A, kelas dengan penduduk yang memegang nilai tertinggi dan paling bernafsu belajar. Entah nasib apa yang menimpa, saat melihat papan pengumuman kenaikan kelas, ternyata saya naik dari kelas 2B ke kelas 3A. Mereka rajin belajar sementara saya rajin baca komik. mereka rajin kerja tugas sementara saya rajin nonton anime. Tapi setelah sering bawa komik ke kelas, beberapa teman mulai tertarik ikut membaca.

Mereka lalu rutin meminjam komik mulai serial misteri, detektif sampai serial cantik. Pernah suatu pagi, teman saya yang bernama Asma (namanya memang mirip nama penyakit tapi percayalah, dia sangat sehat) datang ke sekolah dengan mata bengkak. Saat saya tanya dia bilang gara-gara komik Lady Mitsuko. Oalaah...saya kira apa. Dia bilang kalau semalam dia nangis-nangis membaca komik itu karena tokoh Henry, suami Mitsuko, meninggal disaat Mitsuko mulai diterima dalam lingkungan istana. Kasihan Mitsuko, kata Asma. Beberapa hari kemudian Asma muncul lagi sambil tertawa lebar. Karena heran, jadi saya tanya, “Kamu kenapa senyum-senyum begitu ?” Dia bilang sedang senang karena semalam baca komik Girls-nya Hikawa Kyoko. Katanya, komik itu seru dan endingnya manis. Ooh...Saya nyengir.

Begitulah, kehidupan saya yang kaku di kelas baru itu mencair karena komik. Saya mulai akrab dengan beberapa teman yang punya hobi sama. Saat ujian pelajaran seni, Asma berencana memainkan drama. Padahal kelompok lain semuanya memilih bernyanyi. Tapi dengan percaya diri Asma bilang, bahwa kami harus tampil beda dari yang lain. Saat saya tanya drama apa yang akan kami tampilkan, Asma cuma bilang,
“Bawa semua komikmu ke rumahku nanti sore. Kita akan memainkan drama dari komik-komik itu”.
Saya melongo, drama dari komik ? Bagaimana caranya ? Tapi saya ikuti saja kemauannya. Sore hari kami berkumpul di rumah Asma. Jumlah semua personil ada tujuh orang dan Asma adalah leader-nya. Saya meletakkan komik-komik itu di atas meja. Asma mulai serius memilah-milah komik dari serial misteri sampai serial cantik. Setelah berjam-jam berkutat dengan komik, dia jadi pusing sendiri. Awalnya dia berencana mementaskan komik Lady Mitsuko, tapi membawa suasana Jepang dan Eropa beberapa abad lalu ke dalam kelas yang berukuran sempit rasanya mustahil. Apalagi setting-nya adalah kerajaan. Saya menyarankan untuk mementaskan drama horor, tapi ditolak mentah-mentah. Mereka maunya drama diambil dari serial cantik. Tiba-tiba pandangan Asma tertumbuk pada komik Girls-nya Hikawa Kyoko. Ia lalu sibuk membolak-balik komik itu sambil menatap kami satu per satu. Akhirnya dia memutuskan, komik itulah yang akan dipentaskan. Saat  saya tanya alasannya, dia jawab begini,
“Tak perlu properti apapun, cukup pakai seragam sekolah”
Saya melongo, iya ya, komik itu kan bercerita seputar kehidupan anak SMA jadi propertinya paling barang-barang sekolah. Akhirnya, jadilah kami mengambil dan memodifikasi beberapa bagian dalam komik itu. Saya kebagian peran antagonis. Dalam drama itu saya harus berakting lari-lari keliling kelas karena dikejar Asma yang membawa sapu untuk ditimpuk ke kepala saya. Sambil berlari saya sempat melirik teman-teman yang terbungkuk-bungkuk menahan tawa melihat saya lari seperti dikejar garong. Oh ibu...mengapa nasibku jadi begini ? Mengapa...?? Mengapa....??

SMS Lucu

Ketika sedang membaca ulang sms-sms di inbox hp, saya menemukan sebuah pesan yang telah tersimpan lebih dari setahun yang lalu. Saya belum menghapusnya karena itu sms lucu. Berikut isi sms tersebut,

Sms pertama
Ada 4 anak main petak umpet, namanya :
  1. Bego
  2. Sopan
  3. Santun
  4. Mati
Si Bego yang jaga, dan dia telah menemukan si Sopan dan Santun di kamar mandi. Kemudian si Bego mencari si Mati ke tengah jalan. Tiba-tiba ada truk yang hampir menabrak si Bego. Supir truk terkejut dan marah ke Bego.
Supir : “Heh, kamu bego ya?”
Bego : “iya bang”
Supir : “hah, kamu cari mati ya?”
Bego : “iya bang, kok tahu?”
Supir : “sopan santun kamu dimana?”
Bego : “di kamar mandi bang, ya sudah saya cari mati dulu ya bang...!”
Supir : ???????????? (sambil berpikir dalam hati siapa yang gila di antara mereka berdua)

Sms kedua
Surat tukang buah yang patah hati :
Wajahmu memang MANGGIS, watakmu juga MELONkolis, tapi hatiku NANAS karena cemburu, SIRSAK napasku, hatiku AGGUR lebur, ini DELIMA dalam hidupku. Memang ini juga SALAKku, jarang APEL malam minggu. Ya Tuhan, mohon BELIMBING-Mu. Kalau memang perPISANGan yang terbaik untukku, SEMANGKA kau bahagia dengan pria lain...
SAWOnara....
Dari DURIANto

Surat balasannya dari tukang sayur :
Membalas KENTANG suratmu itu. BROKOLI sudah kubilang, jangan tiap datang, rambutmu selalu KUCAI. Disuruh datang malam minggu, tapi baru muncul hari LABU. Ditambah kondisi keuanganmu yang makin hari makin PARE. Menelpon pun harus ke WORTEL. Terus TERONG saja, aku padamu sudah TOMAT. Jangan KANGKUNG aku lagi. CABE deh...
24 November 2011

Percakapan Konyol

Lokasi : Kompleks Kos Mahasiswa
Waktu : Maghrib
Pemeran Utama : Dua mahasiswi
Figuran : Seorang lelaki, seekor kucing dan saya

Ceritanya, dua orang mahasiswi sedang bercakap-cakap dari dua rumah yang berdekatan. Figuran lelaki sedang duduk di sebuah tanah kosong sambil memetik gitar dan minum kopi. Saya sedang membaca dan menyaksikan dialog tersebut lewat jendela kamar.

Mahasiswi 1    : (berteriak pada mahasiswi 2 yang berada di sebelah rumah kosnya) 
                             Bagaimana caranya ini obat diminum ?
Mahasiswi 2    : Dua kali sehari
Mahasiswi 1    : Oh, maksudnya satu hari saya makan dua biji ?
Mahasiswi 2    : Iya, kau makan begitu sudah
Mahasiswi 1    : Yayaya, nanti saya tulis di bungkusannya 1 x 2
Mahasiswi 2    : Salah kau, bukan 1 x 2, tapi 2 x 1
Mahasiswi 1    : Sama saja, hasilnya 2
Seorang lelaki : (merasa terganggu) Woooiiiiiii....
Saya                : (sambil guling-guling)  Hmmmpppppuahahahahahahahaha...
Kucing             : Miawww..miaw....
23 November 2011

Memori Pertarungan Terakhir

Baru saja Closing Ceremony Sea Games XXVI berakhir dengan pesta kembang api yang mengagumkan. Meski hanya melihatnya lewat sekotak TV 14 inchi, tapi saya bisa merasakan kemeriahan dan kebanggaan di dalamnya. Setelah penantian empat belas tahun tahun, akhirnya gelar juara umum dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan begini, selesai sudah hari-hari nonton bersama kawan-kawan. Selesai sudah hari-hari dimana teriakan macam orang kesetanan sambil menunjuk-nunjuk TV, dianggap biasa. Selesai sudah masa-masa mendebarkan, detik-detik ketika gemuruh jantung penonton berpacu dengan peluh para atlet Indonesia yang mati-matian menumbangkan lawan lewat pertarungan sengit. Sea Games kali ini sukses menyalakan sumbu nasionalisme dalam diri saya yang hampir kolaps diisi berita-berita yang menggambarkan carut marutnya negeri ini setiap hari.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali bergairah menonton pertandingan olahraga yang melibatkan Indonesia di dalamnya. Saat Indonesia berlaga melawan Malaysia dalam pertandingan sepakbola beberapa tahun lalu, ketika rakyat Indonesia marah karena kasus laser, saya tidak begitu peduli. Bahkan setelah beberapa hari Sea Games berlangsung pun saya masih malas-malasan mengikutinya. Hingga suatu malam saya menyaksikan Indonesia bertarung melawan Thailand dalam pertandingan sepakbola. 

Saat itulah saya langsung jatuh cinta pada tim Indonesia, terlebih pada permainan dan semangatnya. Beberapa kali tim Indonesia jatuh bangun menghadapi permainan keras dari Thailand hingga kemudian peluit panjang ditiup, tanda permainan selesai dengan skor memihak kepada tim Garuda Muda. Saya jadi teringat kata-kata Andrea Hirata, bahwa mencintai sepak bola, adalah 10 % mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air. Karena dalam sepak bola kita membawa sebuah nama.

Setelah malam itu, saya jadi bersemangat menyaksikan pertandingan lain yang disiarkan di TV seperti bulutangkis dan bola voli, dua jenis olahraga yang saya gemari. Saking semangatnya, saya sering menolak ajakan teman untuk jalan-jalan atau hunting buku dan lebih senang duduk sendirian di depan TV menyaksikan pertarungan para atlet. Terkadang saya lebih senang nonton sendiri agar bisa bebas berekspresi seperti guling-guling di kasur atau menggigit bantal menahan teriakan.  

Akhirnya, setelah menyatakan “Goodbye Vietnam” pada pertarungan memperebutkan tiket final, Indonesia akan bertatap muka kembali dengan tetangga sekaligus –yang orang-orang sebut- musuh bebuyutannya, Malaysia. Dari hasil baca-baca di Yahoo, FB dan Twitter, pertandingan ini disebut-sebut sebagai sebuah pembalasan dendam sekaligus pertarungan berdarah demi mengulang sejarah 20 tahun yang lalu, ketika Indonesia meraih medali emas setelah mengenyahkan Malaysia tahun 1991. 

Selanjutnya, tidak perlu berpanjang lebar menggambarkan 120 menit yang melelahkan. Pertarungan mati-matian, menguras tenaga dan emosi, jatuh bangun menyerang dan mempertahankan bola, membuat wasit berkali-kali mengeluarkan kartu kuning bagi kedua tim. Menegangkan. Berkali kali saya memegang dada, mencoba meredakan detak jantung yang bergemuruh. Dan hanya bisa tersenyum pahit melihat dua gol dari Indonesia tidak sah karena perangkap offside. Jari-jari tangan saya hampir kaku karena tidak sadar dikepal dalam waktu yang lama. 

Setelah skor imbang 1-1 dan setelah babak tambahan 2 kali 15 menit habis, akhirnya tim Indonesia benar-benar dihadapkan pada pertarungan dramatis, mengulang kejadian 20 tahun silam, adu penalti. Selanjutnya yang saya ingat adalah mulut saya tidak henti-hentinya merapal doa kepada yang bersemayan di langit ketujuh, agar kemenangan berlari ke pelukan Indonesia. Beberapa teman memilih keluar dari kamar dan hanya mendengar di balik pintu, mereka tidak mau melihat partarungan terakhir itu. Sehingga yang bertahan memelototi TV hanya saya dan dua orang teman. 

Lalu kemudian, tendangan terakhir, yang akan menjadi penentu apakah skor masih imbang atau akan mengakhiri pertandingan dan menyerahkan medali emas pada Malaysia. Karena dua pemain Indonesia gagal memasukkan bola. Sementara dari pihak malaysia juga mengalami satu kali kegagalan setelah tendangan pemainnya dimentahkan oleh penjaga gawang Indonesia. Satu meter dari tempat saya duduk, lewat TV 14 inci itu saya melihat tendangan terakhir kapten Malaysia sempat membentur kaki penjaga gawang Indonesia, Kurniawan Meiga, lalu kemudian dengan pelan bola itu bergulir melewati garis dan akhirnya dipeluk net gawang. 

Kamar hening, Senayan senyap, puluhan ribu suporter Indonesia terdiam. Lalu sedetik kemudian, tim Malaysia meneriakkan kemenangan sambil berlari ke arah pendukungnya. Bersamaan dengan itu, rasa sesak dan gemuruh yang melanda jantung dan paru-paru saya serta merta terlepas dan menghilang entah kemana. Saya tidak tahu itu kelegaan atau apa tapi seperti ada beban yang terangkat seiring dengan berakhirnya pertandingan yang memukau dan berakhir menyakitkan tadi. Saya menyaksikan para penonton menangis sambil tetap melambaikan bendera merah putih, saya menoleh ke arah dua teman saya yang bersandar di dinding dan memandang kosong ke arah TV. Tidak ada air mata, tapi saya tahu sebenarnya kami pun ikut menangis. Menangis dengan cara berbeda. 

Sebelum berangkat tidur, saya masih sempat keluar kamar menatap langit yang tengah dilukis kilat dan membuat beberapa area terang benderang selama beberapa detik. Cahaya putih itu muncul berganti-gantian, timbul tenggelam di angkasa. Layar TV menayangkan sisa-sisa pertandingan, masih terlihat satu per satu raut wajah para pemain sebelum akhirnya saya mematikan TV. 

"Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya."
~Ayah Andrea Hirata, Sebelas Patriot~
21 November 2011

Postulat Pertama

Dunia ini penuh dengan orang-orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat (Andrea Hirata)

Laut, Langit, Bulan

Malam itu adalah malam terakhir di kota kecilku. Sudah sepekan lebih aku menghabiskan waktu bersama keluarga untuk merayakan Id Adha. Sepulang dari acara syukuran kelulusan seorang teman, kularikan motor ke arah barat, melewati toko milik orang-orang Tionghoa, berbelok di pertigaan lapangan, melintasi patung pejuang yang telah puluhan tahun berdiri dan terakhir belok kanan, masuk ke gerbang dermaga. Area sekitar dermaga dibatasi pagar besi. Sejak awal, aku memang sudah berencana mengunjungi dermaga itu sebelum kembali lagi ke kota ini.

Dermaga itu gelap dan sepi, hanya satu dua orang berlalu lalang. Setelah melewati pos jaga, aku meninggalkan motor di sisi kanan jalan. Jauh di seberang laut, pulau Gusung berkelap-kelip oleh cahaya lampu. Pulau itu terlihat indah di malam hari. Lalu apa yang kucari di sana ? Hanya menemui kawan lama. Sebuah benda bulat yang mengambang di angkasa. Yang mengisi kekosongan ketika langit dirantai gelap. Tergantung sempurna ribuan mil dari tempatku berdiri. Samar seperti dilapisi kabut. Bulan.

Dermaga itu adalah tempat yang paling tepat menikmati bulan saat fase purnama penuh, terutama ketika baru muncul di atas cakrawala. Laut seperti dicelup tinta hitam, kemudian menjelma menjadi cermin saat disiram rembulan. Laut dan langit malam adalah perpaduan lukisan yang menakjubkan. Indah, magis dan dingin. Berada di antara lukisan alam itu, membuatku seperti tersedot ke tempat yang jauh. Seperti dihisap sebuah Black Hole, melesat meninggalkan bima sakti dan terdampar di galaksi lain. Meski kenyataannya, aku masih terparkir di antara nelayan yang bersiap mengarungi laut bersama dinginnya malam. Kenyataannya, kakiku tak pernah beranjak dari tempat itu. Masih di antara orang-orang memandang langit dari geledak kapal, meraba-raba cuaca. Jauh di langit utara, petir menyemburkan cabang-cabang listrik ribuan volt, melukis angkasa dengan cahaya putih berkilau.

Aku berdiri di bibir dermaga, memandang laut yang pekat. Dua meter di bawah sana, karang-karang dibelai lembut riak laut. Tak ada gemuruh ombak, semuanya tenang, dan dingin. Bahkan orang-orang yang melintas pun tak bersuara. Aku menengadah menatap langit. Lalu, sebuah percakapan yang ditinggalkan waktu, muncul di antara riak-riak air. Sebuah enigma.

Enigma

Between sun and moon, i’m the moon
Moon ?
The Moon!

Kutatap tajam ke arah langit, melewati troposfer, menembus lapisan ozon, mesosfer dan berakhir di hadapan bulan, meminta pembenaran. Tapi tiba-tiba, bulan itu retak. Retakan yang membentuk garis bercabang ke semua sisi lengkungnya. Sedetik kemudian, kepingannya pecah berhamburan, saling menjauh, memenuhi angkasa raya.

Angin membisu
Aku membeku

Murid Bukan Sasak Tinju

Belakangan ini berita-berita nasional sering menyangkan berita kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Di antara siswa-siswa yang menjadi korban, ada yang sampai lumpuh akibat pukulan dan tendangan gurunya. Saya juga sempat melihat sebuah rekaman yang yang memperlihatkan seorang guru memukul wajah muridnya sampai terbanting ke tanah. Tidak sampai di situ, sang guru bahkan menambahkan tendangan ke murid tersebut. Kasus lain juga menyebutkan bahwa seorang kepala sekolah menghukum muridnya yang tidak mengerjakan PR dengan mendudukkannya di tengah lingkaran api yang diberi bensin. Hal itu membuat siswa tersebut trauma. Ada juga seorang murid yang tidak berani lagi keluar rumah dan hanya mengurung diri di kamar setelah dihukum berdiri oleh gurunya.

Guru adalah titik pusat perhatian murid di lingkungan sekolah. Setiap tindak tanduknya kelak besar kemungkinan ditiru oleh para murid. Karena itulah seorang guru selalu dituntut untuk menjadi teladan. Tapi sayangnya, tidak semua guru adalah seorang pendidik. Guru yang gemar menjadikan murid-muridnya sebagai sasak tinju tidak pantas mendapat gelar itu. Menjadi seorang guru tidaklah semudah yang terlihat. Meski telah menempuh pendidikan di perguruan tiggi selama kurang lebih empat tahun dan telah menjalani magang di berbagai sekolah serta telah diberi keterampilan mengajar, tidak langsung membuat seseorang bisa menjadi guru yang sebenar-benarnya.

Saya sempat beberapa kali terlibat diskusi dengan teman-teman yang mengambil jurusan keguruan atau yang sudah menjalani magang di beberapa sekolah atau teman yang sudah menjadi guru di sebuah sekolah. Mereka semua mengaku bahwa menjadi guru itu sangat berat. Selain harus menguasai materi, menjaga sikap dan wibawa, mereka juga harus senantiasa melatih kesabaran. Dan inilah yang paling sulit yaitu menjaga kestabilan emosi terutama jika menghadapi siswa yang nakal. Dari semua tingkatan, mereka mengatakan bahwa yang paling sulit adalah mengajar murid SD. Tentu saja, mengajarkan puluhan anak hal-hal dasar seperti mengeja huruf, menulis, dan berhitung memang menuntut keahlian dan kesabaran yang luar biasa.

Saya pernah bertanya, apa yang mereka lakukan jika berada di puncak emosi menghadapi menghadapi kenakalan siswanya ? Beberapa mengatakan hanya menggebrak meja, atau memukulkan sapu ke meja sampai sapu itu patah. Tapi pantang baginya melakukan kekerasan fisik pada murid sehingga yang menjadi korban kemarahannya adalah sapu dan meja. Hal yang menurutnya paling fatal yang pernah dia lakukan adalah mencubit seorang murid dan memarahinya di depan kelas. Katanya murid itu sampai menangis tapi teman saya bilang bahwa tangisan itu bukan karena sakitnya cubitan, tapi hatinya yang sakit karena dipermalukan di depan umum. Lihat, betapa kesabaran adalah sebuah harga yang sangat mahal bagi seorang guru.

Sejak sekolah dari SD sampai SMA, hukuman yang bersifat kekerasan yang pernah saya saksikan hanya sebatas tamparan di wajah. Tidak pernah lebih dari itu. Tapi itu tetap membuat hati saya miris dan sejujurnya, wibawa seorang guru berkurang di mata saya jika dia sudah berani memukul. Saya tidak lagi hormat atau segan padanya tapi turun tingkat menjadi takut padanya. Beberapa kali saya melihat teman-teman saya ditampar karena hal-hal yang sebenarnya sangat sepele. Hati saya ikut sakit.
Guru adalah contoh, teladan bagi siswanya. Mungkinkah siswa bisa taat aturan untuk tidak merokok dalam sekolah jika gurunya saja bebas merokok dalam kelas dengan alasan tidak bisa berpikir tanpa rokok ? Mungkinkah menjadikan seorang siswa gemar membaca jika gurunya saja hanya membaca satu buku pegangan untuk satu mata pelajaran ? Mungkinkah menumbuhkan siswa yang bermoral dengan guru yang kerap menjadikan muridnya sebagai sasak tinju ?

Bisakah kekerasan mengubah seorang murid ?
Mungkin ya, mungkin tidak. Entahlah. Seorang teman pernah mengatakan bahwa andaikan dulu dia tidak ditampar oleh gurunya mungkin dia tidak akan berubah. Tapi saya pribadi tidak sepakat. Meski itu ‘hanya’ sebuah tamparan. Karena saya pun pernah mengalaminya sewaktu masih SD. Bukan sebuah tamparan, tapi pukulan penggaris kayu satu meter di kaki karena tidak bisa menjawab soal matematika di papan tulis. Hasilnya, saya semakin membenci matematika dan juga guru saya. Untunglah, hubungan saya dan matematika berubah tepat di awal masa SMA oleh seorang guru yang agak nyentrik, senang bercanda dan tegas. Dia tidak pernah memukul saya dengan penggaris satu meter tapi memancing rasa penasaran saya bagaimana memecahkan soal. Jika saya tertarik saya pasti akan berusaha keras mencari tahu. Sejak saat itu saya menyukai matematika bahkan berencana masuk jurusan matematika saat kuliah walaupun karena sebuah alasan ‘konyol’, akhirnya saya memutuskan masuk jurusan lain. Saya tidak akan melupakan jasa guru itu. Satu-satunya guru yang membuat saya menyukai matematika.

Mendidik siswa dengan cara menjadikannya sebagai sasak tinju tidak akan mengubah generasi bangsa ini menjadi lebih baik. Justru akan melahirkan predator-predator baru yang mungkin saja lebih sadis dari sebelumnya.
04 November 2011

'Iedul Adha

Cuma mau ngucapin Taqabballallahu Minna Wa Minkum, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Selamat hari raya ‘Iedul Adha 1432 H. ^_^

Yang Tidak Bertarget

Baru saja saya selesai sms-an dengan seorang senior yang beberapa hari lagi akan menyempurnakan separuh diennya. Bulan ini undangan menikah datang beruntun dari teman dan senior-senior saya. Sekarang saja sudah ada tiga undangan. Bulan depan akan menyusul dua teman. Entah siapa lagi bulan berikutnya. Undangan pernikahan adalah berkah tersendiri bagi saya. Bisa menjadi ajang silaturahim sekalian wisata kuliner dari makanan berat sampai pencuci mulut. Selain itu juga bisa dibungkus untuk dibawa pulang. :D

Menikah adalah sunnah Rasulullah, sepertinya semua orang juga tahu. Tapi ternyata ada segelintir manusia yang lebih memilih hidup sendiri. Saya pernah membaca kisah seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak menikah. Saya juga dibesarkan oleh seseorang yang memilih hidup sendiri. Sejak kecil saya diasuh oleh nenek yang merupakan tante ayah saya. Ibu pernah bercerita bahwa dulu banyak pemuda yang datang melamar nenek tapi tak satupun yang diterimanya. Saya tidak pernah menyakan alasannya karena kupikir itu adalah urusan pribadi. Tapi apapun alasannya itu adalah pilihan nenek. Dan lagi nenek sendiri tidak pernah mempermasalahkan kesendiriannya. Bedanya dengan para ulama, adalah mereka tidak menikah karena terlalu sibuk menuntut ilmu. Jangankan menikah, untuk makan saja mereka tidak ingat. Kalau yang lain mungkin punya alasan sendiri kenapa memilih untuk tidak menikah.

Belakangan ini saya juga sering terjebak pembicaraan atau diskusi seputar pernikahan. Mungkin karena pengaruh undangan-undangan tadi, jadi kalau sedang ngumpul dengan teman-teman tanpa disadari topiknya berubah haluan. Yang awalnya membahas masalah rencana lanjut studi, atau tentang buku yang baru dibeli, atau tentang rencana jalan-jalan tiba-tiba berpindah ke area pernikahan. Kalau sudah begitu saya cuma nyengir dengar mereka bercerita. Kadang saya salut dengan beberapa teman saya yang sudah punya rencana atau setidaknya bayangan akan kehidupan pribadinya. Bahkan ada seorang teman yang menargetkankan menikah paling lambat dua tahun ke depan. Persoalan dengan siapa dia menikah itu tidak penting, yang difokuskan adalah dia berani menargetkan akan membangun rumah tangga dua tahun lagi. Bahkan dia sudah berencana mempersiapkan diri menjadi seorang ibu di usianya yang masih muda itu. Wow...

Sementara saya, jangankan mempersiapkan diri menjadi ibu, menikah saja adalah hal yang belum pernah saya masukkan dalam target rencana hidup. Saya bukannya tidak ingin menikah tapi belum ada keinginan untuk itu. Entah kenapa tapi rasanya itu adalah hal yang sangat...sangat...jauh. Lebih jauh dari target jangka panjang. Pertama, saya baru dua putaran di usia kepala dua, bagi saya itu terlalu cepat. Terserah orang mau bilang saya tidak punya persiapan atau bagaimana. Terserah, itu benar. Kedua, saya masih menyukai kesendirian saya. Saya masih ingin belajar dan bepergian. Saya tidak mengatakan bahwa menikah membuat orang terkekang tapi tak bisa dipungkiri bahwa setelahnya, semua tidak akan lagi sama.

Ada yang bilang, nikmatilah hidupmu saat ini karena akan datang masa ketika kau menginginkan waktu berputar kembali. Jadi mari nikmati masa ini. Nikmati saja kesendirian ini.

Bensin...oh...bensin

Setelah sehari di kampung untuk idul adha dengan keluarga, kehidupan mulai terasa ‘sulit’. Halah lebay.....maksudnya begini, kampung saya itu cukup terpencil karena dikelilingi oleh laut. Transportasi ke sana juga cukup sulit karena harus menggunakan kapal laut. Barang-barang di sini juga kebanyakan didatangkan dari kabupaten lain. Hasil utama kampung saya adalah dari laut. Di sini mudah mendapatkan ikan. Beda dengan kota Daeng apalagi kompleks tempat saya kos, sangat sulit makan hasil laut. Kalaupun ada sudah tidak segar karena kelamaan dalam peti es.

 Eh, tapi bukan itu yang membuat hidup jadi ‘sulit’. Ini lebih dikarenakan kelangkaan BBM. Kebanyakan kendaraan penduduk adalah motor . kemana-mana naik motor. Sementara di sini bensin hanya dijual eceran oleh msyarakat. Tidak ada SPBU yang di kota Daeng seperti jamur di musim hujan. Dimana-mana bisa ketemu SPBU jadi tidak perlu khawatir kehabisan bensin. Sementara di sini, bensin menjadi the most wanted. Semalam saja antrian begitu panjang di salah satu rumah penjual bensin. Dan saya adalah salah satu antrian di sana. Tapi setelah beberapa lama menunggu tiba-tiba si penjual mengumumkan bahwa bensin telah habis. Bagooosss....

Setelah itu saya keliling lagi cari bensin, tapi setelah mutar-mutar di beberapa tempat, hasilnya sama. Jadi pulanglah saya dengan motor yang sudah sekarat. Kalau begini terus, bagaimana caranya silaturahim kalau id adha nanti. Masa jalan kaki ???

Telepon di Sore Hari

Sore ini, di luar hujan turun satu-satu, gerimis. Saat mata saya beberapa detik kemudian sudah akan terpejam, tiba-tiba hp berdering dengan ringtone bunyi tembakan beruntun seperti dalam film-film perang. Sontak saja mata saya langsung melek. Dan yang paling tidak enak kalau sudah hampir tertidur tiba-tiba dikagetkan oleh sesuatu adalah kepala langsung nyeri. Saya meraba-raba mencari ponsel sambil menahan nyeri di kepala. Aha, ketemu. Di layar ponsel tertera sebuah nama, teman lama. Kami pertama kali berteman saat kelas dua SMA sekitar lima tahun yang lalu. Setelah lulus SMA karena beberapa hal kami saling menjauh. Kami menempuh pendidikan di universitas yang berbeda. Kami juga wisuda di bulan yang sama walau berbeda hari.

Kami sangat jarang bertemu. Komunikasi pun hanya sesekali lewat sms. Setelah beberapa menit terlibat dalam percakapan kaku, tiba-tiba kebiasaan lima tahun lalu muncul. Dulu kami sering saling mengejek lewat telepon, saya selalu mengejeknya begini, “hey, hati-hati kalo jalan nanti dikira tiang listrik”. Dan dia selalu mengejek saya begini, “jangan lupa minum susu sebelum tidur biar kamu lebih tinggi sedikit” . Kami sama-sama tertawa di telepon. Percakapan ditutup dengan pesan darinya agar saya pergi cuci muka dan tidak tidur sore. Kebiasaan buruk, katanya. Dari mana pula dia tahu saya sedang tidur sore. Oh, mungkin dari suara, orang kalau baru bangun suaranya terdengar berat. Setelah telepon ditutup saya duduk dan merenung sebentar. Dia adalah seorang teman. Tidak akan kurang dan juga tidak akan lebih dari yang seharusnya. Banyak hal yang menyenangkan di masa lalu. Dan beberapa di antaranya, saya tak berharap itu kembali. Kemudian saya bangun dan pergi mencuci muka.

Golok Seliwa

Pagi ini, saat menonton TV,  saya takjub menyaksikan salah satu jenis beladiri yang menggunakan golok. Namanya Golok Seliwa. Saat itu ada seorang bapak yang merupakan guru dari seni bela diri ini. Kalau tidak salah namanya Babe Husein. Saat diwawancarai dia menyebutkan bahwa awalnya dia tidak berniat untuk mengajarkan golok seliwa pada orang di luar garis keturunannya karena Golok Seliwa adalah seni beladiri yang sudah  turun temurun. Tapi karena anak-anak dan saudaranya tidak ada yang tertarik mempelajari seni beladiri tersebut sehingga demi menjaga agar tidak punah, dia pun mulai mengajarkan golok seliwa pada orang lain.
Selama ini saya tidak pernah tertarik pada golok karena bagi saya pedang samurai jauh lebih keren. Tapi setelah menyaksikan bagaimana kemampuan babe husain dan para muridnya melakukan gerakan-gerakan golok seliwa, saya benar-benar kagum. Keren sekali. Gerakannya cepat dan luwes seakan-akan menyembunyikan golok. Awalnya golok itu masih dalam sarung, eh tiba-tiba setelah beberapa gerakan, goloknya sudah keluar dari sarungnya. Yang awalnya di tangan kiri entah kenapa beberapa detik kemudian sudah pindah ke tangan kanan. Saya tidak melihat kapan golok itu pindah saking cepatnya gerakan mereka. Yang paling mengagumkan adalah gerakan menyembunyikan golok. Hanya dalam beberapa detik, golok yang sebelumnya masih dalam sarung kemudian sudah berada di leher lawan. Benar-benar membuat konsentrasi lawan pecah. Pokoknya keren. Saya tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Intinya...keren. Beberapa dari murid bapak itu adalah anak-anak perempuan. Mereka melakukan gerakan silat ini seperti orang yang menari dan memakai golok. Luwes dan cepat. Pokoknya keren...keren...

Terakhir, saya sepakat sama presenternya bahwa seni beladiri ini harus dilestarikan. Jangan mengaku anak bangsa kalau tidak bisa mencintai budaya sendiri.
26 October 2011

The Falling Leaf Doesn’t Hate The Wind

Bahwa hidup harus menerima...penerimaan yang indah.
Bahwa hidup harus mengerti...pengertian yang benar.
Bahwa hidup harus memahami...pemahaman yang tulus
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana. Dan kita akan mengerti, kita akan memahami...dan akan menerima. Karena daun yang jatuh tak pernah membenci angin. (Tere-Liye)

Daun memang tak perlu membenci angin.....tapi gravitasi” (seorang teman, yang menyembunyikan matanya)

“.........”(aku)

Tanpa gravitasi, bumi ini adalah...hampa

Rindu Lewat Hujan

Sore ini hujan kembali turun. Aku terbangun dengan rasa yang tak menentu. Sejak lama aku selalu senang memandang hujan yang turun satu-satu dan semakin lama semakin deras. Tapi kali ini menjadi berbeda. Berbeda oleh segurat rasa yang menyeruak di antara denting air yang menghujam bumi. Muncul begitu saja bersama hawa dingin sore. Rasa yang jika berwarna mungkin sama dengan warna langit yang abu-abu dan mengambang seperti kabut. Aku memutar gagang pintu, keluar menghirup basah harum bumi. Kulihat sekitar, semua tampak berjalan pelan. Selalu ada ketenangan selepas hujan. Orang-orang terdiam memandang air yang jatuh di pinggiran atap. Sepertinya setiap manusia punya kenangan tersendiri dengan hujan. Lalu aku kembali ke kamar. Sejenak kututup mata. Membiarkan semuanya mengalir. Tak perlu ada perlawanan. Tak perlu ada penolakan akan kehadiran yang hampir mustahil dihindari. Lalu, kutatap cahaya remang yang menembus kaca jendela. Matahari masih berusaha menerangi bumi dengan sisa-sisa cahayanya. Kuraih laptop dan kutuliskan satu paragraf tentang kau, hujan dan sekeping rindu.
 
;