25 August 2012

Suatu Ketika

Somewhere over the rainbow
Way up high
There’s a land that
I heard of once in a lullaby
~Over The Rainbow (ost Wizard of Oz), Judy Garland~ 

Setiap manusia memiliki imajinasi masa kecil yang mungkin tak pernah bisa dilupakan. Ada yang ingin tinggal di pulau impian, ada yang ingin membangun istana seperti dalam kartun Disney, ada yang ingin menjadi seperti Oscar atau ratu Antoinette dalam Rose of Versailles. Bahkan ada yang ingin hidup seperti dalam dunia game. Game ada tempat kita menjauhi kenyataan, kata Ariel dalam buku Kisah Lainnya. Tapi apa salahnya. Siapapun pernah ingin menjauh dari kenyataan. Sejenak membuang realistis, dan bergabung dengan utopis.

Seperti mereka, aku pun begitu. Imajinasi-imajinasiku sebenarnya sederhana saja, tidak ada yang menakjubkan. Tetapi ada satu persamaan yang terbentuk begitu saja. Yaitu malam, bulan dan kadang-kadang laut. Malam selalu mendominasi, tak ada hari, tak ada matahari. Setiap kali menutup mata dan  membayangkan sebuah pulau, yang selalu kulihat adalah pulau di malam hari saat bulan mengalami fase purnama penuh. Aku sedang berdiri di tepi laut dan memandang bulan yang terpantul dari air. Suasananya hening, hanya terdengar suara angin. Di belakangku terhampar hutan belantara. Cahaya bulan menembus rimbunan pohon dan membentuk batang-batang cahaya di kedalaman hutan. Ada sesuatu yang tidak kuketahui yang sedang menunggu di sana. Tapi aku tidak berniat mencari tahu. Setelah itu, aku pun terlelap beralas pasir.

Lain waktu aku pernah menjadi pengembara. Lagi-lagi yang kudapati adalah malam. Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Melangkah di atas atap-atap rumah yang kosong tanpa alas kaki. Saat rumah-rumah mulai berkurang hingga benar-benar habis, samar-samar di depan sana terhampar gurun pasir yang diterangi ribuan bintang. Pengembaraan itu berakhir di atas sebuah tebing. Di bawahnya ombak mengamuk membentur karang. Aku berdiri menatap langit. Tiba-tiba telingaku menangkap alunan lain di antara bunyi angin. Entah di mana, seseorang sedang meniup seruling dari kejauhan. Nada-nada yang ia mainkan terdengar jernih sekaligus sendu, memberi batas yang tegas terhadap gemuruh ombak. Setelah itu, hal yang terakhir kulihat adalah tubuhku pelan-pelan menghilang, berubah menjadi serpihan, melayang di atas permukaan laut dan tenggelam di sana. 

And the dream that you dare to dream really do come true
Where troubles melt like lemon drops
Away above the chimney tops
That’s where you’ll find me

Terjaga

Aku ingin terlelap malam ini
Selama mungkin
Membebaskan diriku
Dan menjauh darimu
Melupakanmu...

Saat terjaga
Samar-samar kusadari
Aku masih di sana
Masih terperangkap di matamu

Dua Novel

Hanya tuhan yang tahu, apa yang ada di kepala laki-laki saat mengatakan cinta pada istrinya
~Istana Kedua, Asma Nadia~

Dua hari ini, entah kenapa saya tergerak membaca novel Mira W yang berjudul Perempuan Kedua yang sudah lama mendekam di folder Ebook. Keesokan harinya, saya melanjutkan membaca novel Asma Nadia yang berjudul Istana Kedua. Tema yang sama namun dari sudut pandang dan akhir yang berbeda. Saya selalu suka novel-novel Mira W tapi ending novel Perempuan Kedua bagi saya terlalu tragis. (Oh ya, ngomong-ngomong, kenapa ya sampul novel-novel Mira.W selalu bergambar bunga ?) Sementara untuk novel Istana Kedua, endingnya harus ditebak melalui sebuah paragraf dan lima baris kalimat penutup. Tapi siapapun yang membaca, pasti tahu akan kemana akhir cerita itu. Yeah, saya memang tidak akan sepenuhnya paham, toh saya belum menikah. Tapi rasanya tetap menyakitkan. Salut atas kebesaran jiwa mbak Asma Nadia ketika menulis akhir cerita. Terima kasih, banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari novel ini.


Kembali

Betapa ingin kau menjadi malam
Berharap-harap sebentar lagi aku tertidur
Lalu diam-diam kau menyelusup ke dalam mimpiku
 Betapa ingin aku menjadi pagi
Menyapa embun, mengunyah matahari
Dan melupakanmu
~2 Sisi, Epri Tsaqib~

Ada hal yang ingin kau dengar tapi takkan pernah kau dengar dari orang yang kau harap mengatakannya. Kebenaran yang klise. Tapi aku hanya ingin melihat, tak perlu mendengar. Karena kau tak pernah mengatakannya. Selalu begitu, sejak dulu. Hanya goresan tinta yang kau biarkan aku membacanya dalam hening. Dan dalam ruang yang kau kirim lewat mata. Ironis bukan ? Aku terdampar di titik yang dulu kerap kutertawakan padamu. Terperangkap, kebingungan mencari jalan pulang. Setiap detik yang berlalu adalah penjara. Tapi biarkan saja malam ini. Biarkan kupejam mata dan kubisik angin pengantar pesan. Biarkan dingin meresapi raga, sejenak meninggalkan rasa yang sudah lama tak lagi singgah.  

Seperti selalu
Waktu mundur, mendekati garis eliminasi yang memulangkan
Yang memalingkan

Bulan terbenam. Aku berbalik. Kubuka mata, semua masih sama. Masih hening, masih kosong. Angin terdiam. Dan, dingin semakin menjadi.

Semua kembali.
Pada apa ?
Dan pulang.
Untuk siapa ?

Kau Bercanda, Kan ?

Jika ada sesuatu yang paling absurd di muka bumi ini, itu adalah cinta 
~Edensor, Andrea Hirata~ 
 
Absurd. Konyol. Hal-hal semacam itu banyak berhamburan di muka bumi. Mulai dari kejadian sampai orang-orangnya. Tapi, di antara semua keabsurdan, kenapa harus jenis ini yang kutemui. Awalnya kupikir, hey, ini bercanda, kan ? Benar-benar lelucon yang tidak lucu lagi. Hanya muncul dalam sinetron lebay, atau dalam novel yang sangat membosankan untuk dibaca. Mungkin Andrea Hirata ada benarnya, karena bisa kulihat korelasi yang jelas antara teori dan realita. Tapi...oh ayolah, kawan, hal itu tidak harus membuatmu terlihat begitu konyol. Begitu absurd. Tak perlu berlebihan, sewajarnya saja. Kau masih bisa tetap bersikap waras, kan ?

Random Ramadhan

Assalamualaikum…

Bagaimana kabar setelah sebulan berada dalam madrasah Ramadhan ? Semoga target-target ibadah yang telah diprogramkan bulan ini tercapai maksimal. Di sela-sela persiapan ketupat dan saudara-saudaranya, saya curi-curi waktu untuk menulis beberapa kepingan kejadian selama bulan Ramadhan. Akhir-akhir ini saya memang lebih suka menulis random karena lebih simple dan bisa membahas banyak hal.
  1. Untuk pertama kalinya selama lima tahun terakhir sejak kuliah, saya bisa melewatkan hari pertama puasa di kampung halaman. Dan rasanya something banget.
  2. Pekan pertama Ramadhan diwarnai dengan berbagai berita duka. Beberapa orang tua teman kembali menghadap Allah. Semoga amal ibadah mereka diterima di sisi-Nya dan semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
  3. Entah kenapa ramadhan selalu dijadikan momen untuk gila-gilaan mengendarai motor selepas tarwih. Pernah sekali, sepulang tarwih ada polisi yang menegur seorang pengendara karena motornya tidak dilengkapi spion dan plat nomor. Selain itu pengendaranya juga tidak mengenakan helm. Dia berdalih baru pulang shalat juga. Polisi itu kemudian menatap sinis dari atas sampai bawah dan tak lupa perempuan yang ia bonceng. “Seperti inikah pakaian orang yang pulang shalat ? Jaga kelakuan kalian anak muda!”, katanya tajam. Saya mengangguk-angguk. Setuju, Pak Polisi!
  4. Shalat tarwih di mesjid juga menjadi momen nostalgia masa kecil. Masa ketika ustadz yang ceramah dikejar-kejar layaknya selebritis demi segores tanda tangan. Banyak yang berubah, saya jadi kikuk sendiri karena merasa asing di sana. Jamaah ibu-ibu haji yang dulunya jadi penghuni setia mesjid, satu per satu telah kembali menghadap Allah. Sisanya adalah orang-orang baru atau anak-anak kecil yang telah tumbuh menjadi remaja. Sering heran sendiri saat menyadari betapa cepatnya waktu berlalu. Beberapa di antara remaja itu dulunya masih anak-anak yang menghisap ingus, berebutan bakso dan paling suka main petak umpet saat tarwih berlangsung. Sekarang kebiasaannya bergeser, masih main petak umpet tapi dengan modus yang berbeda. Takut kalau-kalau ketahuan sedang mojok dengan makhluk dari planet lain saat ustadz sedang ceramah.
  5. Ramadhan juga sepertinya menjadi waktu paten bagi seseorang untuk minta ditraktir Magnum. Pertama, kenapa harus di bulan Ramadhan ? Kedua, kenapa harus Magnum ? Ketiga, kenapa harus saya yang traktir ? Sungguh terlalu.
  6. Pulang kampung adalah momen sempurna untuk melampiaskan hasrat akan makanan laut. Mulai dari ikan, cumi-cumi, udang, kepiting dan kawan-kawannya habis saya hantam. Ibu sampai heran melihat saya makan seperti orang kalap. “Kamu seperti tidak pernah lihat makanan laut saja”, kata Ibu. Hoo, mungkin Ibu perlu tinggal beberapa bulan di Makassar untuk tahu betapa sulit dan mahalnya makanan laut segar di sana.
  7. Akhir pekan pertama ramadhan ditutup dengan buka puasa bersama. Karena sampai mendirikan tenda di jalan, salah seorang teman iseng kirim sms begini, “Hey, di depan rumahmu ada tenda biru lengkap dengan kursi dan sesajiannya. Plis, jangan bilang kamu mau lambung kiri.” Saya tertawa dan membalas, “Tenang boss, saya belum waktunya ganti status di facebook
  8. Pertengahan ramadhan, tepatnya sehari setelah kembali ke kota Daeng, saya kena flu berat. Suara jadi serak bahkan nyaris hilang. Kalau berjalan, bumi terlihat seperti gasing yang berputar. Bernapas pun rasanya susah. Tapi semoga rasa sakit itu bisa menjadi penggugur dosa-dosa yang sudah tak terhitung jumlahnya. Aamiin...
  9. Ada yang hilang dari ramadhan tahun ini karena menjadi ramadhan pertama sejak Istiqomers bubar. Tidak ada lagi shalat berjamaah, buka puasa dan sahur bersama Istiqomers. Tidak ada lagi “Kepala Suku” yang memegang jabatan tetap sebagai Imam di Istiqomah. Personilnya keluar satu per satu, dan saya menjadi penghuni terakhir. Sempat terpikir untuk tetap tinggal, karena bagaimana pun juga, kamar, rumah dan suasananya sudah terlalu kuat melekat. Terutama kamar yang jendelanya menghadap ke barat yang sudah bertahun-tahun saya tempati. Lewat jendela itu saya sering memandang bulan terbenam. Pertama kali melihat gerhana bulan 16 Juni tahun lalu juga dari jendela itu. Tapi, setelah janji untuk menetap sampai lulus sudah terpenuhi, kupikir mencari suasana baru saat kembali lagi ke bangku kuliah adalah pillihan yang bagus. Karena itulah, sebagai penghuni terakhir, saya pun memilih pergi.
  10. Sempat mengunjungi Gramedia untuk mencari buku yang dipesan teman. Tapi karena buku yang dicari belum ada, tiba-tiba saja saya terdampar di rak yang berisi buku-buku konyol. Melihat salah satu buku Nguping Jakarta sudah ada yang terbuka plastiknya, saya pun lupa waktu dan ketagihan membaca sampai habis. Buku ini berawal dari sebuah blog dengan nama sama yang berisi percakapan absurd di sekitar kota jakarta. Mulai rutin membaca blog ini sejak tahun 2010. Pertengahan 2011 kemarin, Kuping Kiri dan Kuping Kanan (pemilik blog) mengumumkan bahwa blog mereka akan dijadikan buku. Blog ini terinspirasi dari sebuah situs bernama Overheard In New York. Beberapa di antara percakapan absurd itu sukses membuat saya tertawa dan dilirik pengunjung Gramedia. Berikut ini dua percakapan yang sempat saya catat.
Yang Penting Sangaaaaaaaaaaaaaar!
Vokalis black metal     : “Kami adalah arwaaaaaah!”
Penonton                    : “Yeaaaaaah!”
Vokalis black metal     : “Kami bawa oleh-oleh dari nerakaaaaaa!”
Penonton                    : “Yeaaaaaah!”
Vokalis black metal     : (mengeluarkan sesuatu dari kantong) “Stikeeeeeeeer!”
Didengar oleh para penonton yang segera merapal mantra pengusir arwah 

Dua Negatif Tidak Selalu Jadi Positif
Cewek #1        : “Hadooohh. Sumpah, tegang banget gue tadi! Gue takut salah ngomong!”
Cewek #2        : “Lo vermes gitu, yah ?”
Cewek #1        : “Hah ? vermes ?
Cewek #2        : “Iya, vermes. Grogi-grogi gitu.”
Cewek #1        : “Ooh, ya ampuun. Maksud lo herpes, kali ? Iya, gue herpes gitu, deh, tadi.”
Mal di Jakarta selatan, didengar oleh panitia jumpa penggemar yang ingin melempari mereka dengan cacing berpenyakit kulit 

11.  Selepas dari Gramedia saya sudah berniat pulang. Tepat saat menuruni eskalator, dari arah bawah, dua anak kecil melambaikan tangan dan berteriak senyaring-nyaringnya, “Tanteee...!!!”. Wow, suaranya melengking ke segala penjuru. Bersamaan pula dari arah belakang terdengar bunyi “Gubraakk!!” Saya berbalik dan mendapati beberapa orang sedang senyum-senyum sambil bergantian melihat saya dan dua keponakan saya. Saya nyengir, lha memang saya tante mereka kok. Lagipula saya juga kebiasaan menyapa anak kecil dengan panggilan “Nak” bukan “Dek”. Rasanya panggilan “Nak” itu lebih akrab dan lebih sayang.
12.  Semakin mendekati akhir ramadhan, jamaah masjid mengalami kemajuan. Maksudnya barisan jamaahnya semakin maju. Kalau di awal ramadhan jamaah meluap sampai keluar halaman masjid, maka tiga hari sebelum ‘Ied Fitri hanya tersisa dua baris saja. Idealnya, mendekati akhir ramadhan semangat ibadah harus lebih kuat dari hari-hari sebelumnya. Karena lailatul qadr yang dicari-cari manusia itu ada di sepuluh malam terakhir. Betapa jauh perbedaan kita dengan para salaf, kata ustadz yang ceramah. Saya mengangguk setuju.
13. Terakhir, semoga ramadhan ini bisa menjadi bekal kita untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya. Semoga dosa-dosa kita diampuni oleh Allah, semoga ibadah-ibadah kita diterima dan semoga kita dipertemukan kembali dengan bulan ramadhan tahun depan. Selamat hari raya Idul Fitri 1433 H. Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin.
 
;