28 August 2015

Kata Mark Twain

“Membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya.” 
~Mark Twain~

Penulis dan tulisannya, atau dalam hal ini, pencorat-coret dan coretannya. Suatu ketika kau menemukan buku yang menurutmu bagus. Melihat pengarangnya, kau pun mulai memburu buku-bukunya yang lain. Atau kau pernah, secara tak sengaja, menemukan coretan ngelantur di dunia maya. Ada sesuatu dalam tulisan itu yang membekas di hatimu. Kau pun mulai rutin membaca coretannya yang lain. Sepertinya kau punya pengalaman yang sama dengan penulis, dan dengan cara tertentu kau merasa bahwa si penulis memahami dirimu. Ketahuilah, orang bisa benar-benar berbeda dalam tulisan.

Dalam sesi wawancara dengan Jonas Jonasson, penulis asal Swedia itu ditanya apakah sehari-hari ia sama lucunya dengan novel karangannya. Jonas menjawab dengan mengutip kalimat Mark Twain di atas bahwa membaca buku yang menarik kemudian bertemu dengan pengarangnya, seperti makan paté hati angsa yang enak sekali kemudian harus bertemu angsanya. Memang benar tulisan adalah cerminan pikiran dan hati seseorang, tapi benar pula bahwa orang bisa sangat berbeda dalam tulisan. Bagaimana ya mengatakannya, ini sedikit rumit. Misalnya saja Raditya Dika, yang dikenal sebagai penulis novel komedi itu katanya sehari-hari adalah orang yang serius. Atau salah satu blogger yang dulunya favorit saya, yang muatan blognya berat, dark dan serius, katanya suka bercanda dan jarang bersikap serius di dunia nyata. Dulu saya suka tulisannya. Sampai membaca habis isi blognya, menyimpan semua tulisannya, melacak buku-buku karangannya dan menghabiskan waktu berjam-jam mencari tahu tentangnya. Tapi ibarat demam, suhu pelan-pelan kembali ke titik normal.

Yang ingin kukatakan, bahwa pada dasarnya yang kita sukai adalah tulisannya. Tulisannya, bukan si penulis. Beberapa orang sulit membedakan kedua hal ini sehingga mereka terjebak dalam ilusi sesat yang sesaat. Dengan berjalannya waktu, pelan-pelan kita akan menyadarinya sendiri.

The Idiots


Hari : Kalau Alok sanggup melewati semua ini. aku akan menulis buku tentang hari-hari sinting kita. Aku bersumpah 
Alok : Karena bergaul dengan Hari dan Ryan, nilai-nilaiku hancur
Ryan : Aku mengacaukan segalanya

Hari, Ryan dan Alok adalah setali tiga uang. Bahu-membahu mereka melewati hari-hari penuh tekanan di jurusan teknik IIT, berusaha menyeimbangkan antara belajar dan bersenang-senang. Sering juga mereka berselisih paham kemudian bertengkar. Bersama, tiga mahasiswa pas-pasan ini melakukan berbagai hal gila, dan puncaknya adalah mencuri soal ujian dari kantor kepala jurusan, lalu ketahuan. Dengan segudang masalah yang mereka hadapi, bisa tidak ya, mereka lulus dari kampus yang katanya terpopuler se-India ini ?

Membaca novel The Idiots, yang berjudul asli Five Point Someone karya Chetan Bhagat ini, membuat saya selalu membandingkannya dengan versi film. Kalau dihitung-hitung sekitar 60% cerita dalam novel yang dimasukkan dalam film dengan beberapa perubahan di sana-sini. Farhan yang di akhir film putar haluan menjadi fotografer, berbeda dengan Alok yang dalam novel tetap bekerja di bidang teknik walau ia sebenarnya lebih suka melukis. Versi novel lebih menekankan cerita yang realistis. Atau Rancho yang dalam film dipasangkan dengan Phia, anak Prof. “Virus”, maka dalam novel karakter aku/Hari yang menyukai Neha, anak Prof. Cherian. Rancho dalam film adalah tukang kebun yang menggantikan majikannya kuliah, sementara Ryan dalam novel berasal dari keluarga berada, kedua orangtuanya berbisnis di Eropa. Sudut pandang dalam novel berganti-ganti, mulai dari Hari lalu pindah ke kacamata Alok, Ryan bahkan Neha.

“Sebelum kalian begitu antusias soal bekerja untuk masa depan, bereskan dulu masa lalu dan masa kinimu.” (hal. 194)

Jika Ryan adalah Rancho, Hari adalah Farhan, Alok adalah Raju, Prof. Cherian adalah Virus, Neha adalah Pia dan Venkat adalah Chatur, maka terus terang versi film lebih unggul. Mungkin karena saya nonton filmnya duluan baru baca novelnya. Selain itu karakter Ryan yang kontras dengan Rancho. Rancho dalam film adalah gabungan antara jenaka dan jenius. Rancho memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan sahabatnya. Dia tahu bagaimana membantu mereka dengan cara yang elegan. Dia suka membuat ulah tapi menyelesaikan masalah dengan cerdas. Lebih dari itu, nilai-nilainya selalu tertinggi, mengalahkan Chatur. Karakter sempurna yang hanya eksis di dunia fiksi.

“Dan saat itulah, aku menyadari bahwa IPK mencetak mahasiswa yang baik, tapi bukan pribadi yang baik.” (hal. 363)

Karakter Ryan Oberoi berbeda. Ryan memang menyelamatkan Hari dan Alok di hari pertama ospek kampus. Ryan kreatif dan kepercayaan dirinya kuat. Tapi emosional, arogan dan suka mendebat siapa saja. Suka menabrak aturan. Suka membuat ulah dan melibatkan kedua sahabatnya yang berujung kekacauan. Dia tak pernah menyelesaikan masalah dan tidak pernah merasa bersalah. Sekadar mengucap maaf saja susahnya minta ampun. Egois dan kekanak-kanakan. Itulah Ryan. Nilainya juga paling rendah di antara yang lain dan dia tidak ambil pusing. Bagaimana pun, ada bagian yang membuat pembaca simpati pada tokoh ini.

“Salah satu bagian terbaik dalam kehidupan kampus adalah teman-teman yang kalian peroleh. Dan pastikan kalian bersahabat untuk selamanya.” (hal. 364)

Konflik dalam novel tidak sekompleks versi film. Tidak ada pendaratan darurat karena penumpang pesawat pura-pura kena serangan jantung. Tidak ada aksi nekat membawa lari mempelai perempuan dari acara pernikahan. Atau kejar-kejaran memperebutkan abu jenazah yang nyaris ditaburkan ke dalam kloset. Masalah yang muncul adalah masalah khas mahasiswa; tumpukan tugas, kuis dadakan, profesor yang kaku, asrama yang monoton dan persaingan mahasiswa yang melelahkan. Latar tempat berputar di beberapa area saja; kampus, asrama, rumah Alok dan kedai sekitar kampus. Ending novel juga tidak sedramatis film. Tapi sedihnya dapat, ketika ketiganya berpisah karena masing-masing bekerja di wilayah berbeda.

“Kau tahu, rasanya aneh, aku mungkin sudah lulus dari IIT, tapi jiwaku masih tertinggal di sana. Mungkin di koridor-koridor asrama, atau di kedai Sasi, atau di atap kampus.” (hal. 372)
04 August 2015

The Beginning of Everything


Ezra Faulkner, cowok paling populer di sekolah, percaya bahwa semua orang pasti akan mengalami tragedi. Begitu pun dirinya. Pada suatu malam, pengemudi ceroboh menabrak Ezra sehingga menghancurkan lutut, karier atletik dan kehidupan sosialnya. Saat tersingkir dari kalangan anak keren, ia berkenalan dengan Cassidy Thorpe. Gadis itu melibatkan Ezra dalam petualangan tak berkesudahan. Namun, ketika asyik dengan cinta dan persahabatan baru, Ezra jadi tahu bahwa ternyata ada orang-orang yang ia salah artikan. Akibatnya, ia sekarang berpikir kalau kecelakaan kemarin sudah menghantam dan mengubah seluruh hidupnya, apa yang akan terjadi jika tragedi lain menyusul ? 

Setelah dijejali kisah penuh petualangan dan sarat politik karya Jonas Jonasson, ada baiknya mengambil jeda dengan membaca novel remaja. Biasanya romansa remaja ringan kayak popcorn dan manis kayak es krim. Pilihan jatuh pada The Beginning of Everything. Dari sinopsis sudah kelihatan ide ceritanya bukan lagi sesuatu yang baru : Cowok keren, tampan dan populer di sekolah jatuh cinta pada cewek pindahan yang kuper, pemurung dan kutu buku. Di dunia nyata, berdasarkan pengamatan pribadi, orang populer hanya tertarik dengan sesama orang populer. Begitu pun manusia-manusia kuper yang menghabiskan waktunya membaca biasanya lebih senang dengan sesama golongan mereka. 

“Dunia ini mematahkan semua orang, lalu setelahnya, beberapa orang menjadi kuat di tempat-tempat yang patah itu.” (Ernest Hemingway)

Awalnya saya kira penulisnya laki-laki (namanya kan Robyn). Tokoh utamanya pun laki-laki yang diambil dari sudut pandang orang pertama. Tapi setelah puluhan halaman kok ada yang aneh. Ezra, kau ini tokoh laki-laki, kenapa cara bertuturmu kayak perempuan, pikir saya. Kutengok halaman biografi penulis untuk memastikan. Benar saja, penulisnya perempuan. Apa kubilang. Ini mirip dengan waktu baca Tokyo Tower-nya Lily Franky. Hanya saja yang itu kebalik, awalnya saya kira penulisnya perempuan, tapi setelah baca, kok cara berpikir dan gaya bertuturnya kayak laki-laki. Maksudku, kadang kau bisa mendeteksi mana tulisan laki-laki dan mana tulisan perempuan. Tulisan perempuan, terlebih genre romance, cenderung emosional dan melankolis walaupun tokoh utamanya laki-laki. Lihat saja ketika Adam jadi narator dalam Where She Went. 

“Dalam konteks pembuktian matematika, apabila sesuatu dianggap invalid, berarti menurut logika yang tidak terbantahkan, sesuatu itu tidak ada.” (Hal. 21)

Andai ketemu novel ini dalam situasi berbeda, sebelum baca novel John Green misalnya, mungkin saya akan menyukainya. Tapi konflik cerita dalam The Beginning of Everything terasa datar-datar saja. Walaupun di akhir memang ada sedikit kejutan. Tapi secara keseluruhan, mulai dari tokoh dan hubungan antar tokoh yang kurang kuat, sampai komedi dan petualangannya yang nanggung. Padahal di sinopsis disebutkan “petualangan tak berkesudahan”. Nyatanya, petualangan dalam novel ini tidaklah se-wah itu. Masih lebih seru petualangan Quentin ketika mencari Margo dalam Paper Towns.  Komedinya pun biasa saja, seingatku selama membaca saya hanya satu kali tersenyum. 

“Kau tahu cara mereka mengelompokkan drama-drama Shakespeare, kan ? Yang berakhir pernikahan masuk kategori komedi. Yang berakhir pemakaman masuk kategori tragedi. Jadi, kita semua tragedi berjalan, karena kita semua akan berakhir dengan cara yang sama, yang jelas bukan dengan pernikahan sialan.” (Hal. 282)

Mungkin dialognya yang sulit dimengerti karena banyak mengutip sastra klasik barat yang tidak pernah saya baca. Atau mungkin karena tokoh-tokohnya yang digambarkan begitu cerdas sehingga tidak bisa dipahami oleh pembaca macam saya. Atau barangkali lebih tepatnya, karena tidak ada satu pun karakter dalam novel ini yang benar-benar saya suka. Tidak Ezra, tidak Cassidy, tidak Toby dan tidak pula lainnya. Tapi saya cukup simpati pada Cassidy. Awal kemunculannya biasa saja, lalu mulai menyebalkan di pertengahan, mirip Alaska yang mood-nya naik turun dan menjengkelkan. Tapi di akhir, penjelasan Cassidy mampu melunturkan kejengkelan saya. Membuat saya setuju dengan pemikiran dan keputusannya. Lagipula, saya sudah pengen cepat-cepat pindah ke novel lain. 

“Kita melintasi kehidupan orang lain bagai hantu, meninggalkan kenangan-kenangan mendalam tentang orang-orang yang tidak pernah nyata. Padahal akhirnya kita sendiri yang memilih sosok yang ingin kita tampilkan di depan orang lain.” (Hal. 314)
02 August 2015

The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Walikota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu. Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang akan mengungkap kehidupan Allan sebelumnya. Sebuah kehidupan di mana –tanpa terduga– Allan memainkan peran kunci di balik berbagai peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin Komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya ?

Ini novel dengan judul terpanjang yang pernah saya baca. Awalnya saya pikir petualangan Allan akan mirip dengan petualangan kakek-kakek dalam film animasi Up. Tapi setelah baca beberapa halaman, harapan kecil itu buyar. Petualangan Allan tidaklah sesederhana itu, malah lebih mirip kisah Forrest dalam film Forrest Gump, bahkan lebih gila lagi.

“Ketika kau sudah hidup terlalu lama, akan mudah sekali bertindak semaunya” (hal. 9)

Alur novel ini maju mundur. Jadi boleh dibilang ada dua bagian cerita. Cerita pertama, dimulai tahun 2005 ketika Allan yang berumur 100 tahun melompat dari jendela dan memutuskan untuk kabur, kemudian mencuri koper milik anggota organisasi kriminal Never Again, dan akhirnya dikejar-kejar oleh polisi dan bos organisasi itu. Lalu cerita kedua mundur ke tahun 1905 ketika Allan lahir, tumbuh dan melewati masa mudanya dengan berlatih membuat bom yang membuatnya mengalami sederet petualangan yang ajaib. Terus terang, petualangan Allan di masa mudanya jauh lebih menarik, konyol, gila dan jauh lebih menegangkan dibanding petualangannya dikejar-kejar organisasi Never Again.

“Konflik terbesar dan paling sulit diselesaikan di muka bumi ini terjadi karena dialog berikut ini : ‘Kau bodoh, bukan, kau yang bodoh, bukan, kau yang bodoh.’” (hal. 250)

Allan menganut prinsip bahwa segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang terjadi, pasti terjadi. Prinsip ini yang membawa Allan ke berbagai belahan dunia, bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah dan berkali-kali lolos dari maut. Novel ini penuh dengan muatan politik, tapi kehadiran Allan yang polos dan situasinya yang tak tertebak ditambah dialognya yang lucu membuat saya tidak bosan membaca. Politik adalah satu dari dua topik yang paling membuat saya tidak tertarik.

“Balas dendam itu seperti politik, satu hal akan diikuti hal lain sehingga yang buruk menjadi lebih buruk dan yang lebih buruk akan menjadi paling buruk.” (hal. 89)

Jonas Jonasson, si penulis, menyindir banyak hal dan banyak orang dalam novelnya yang setebal 508 halaman itu. Mulai dari komunisme, permainan politik orang-orang penting, hukum, sampai agama tidak luput dari sindiran penulis. Amerika Serikat disebut sebagai hyena kapitalis. Pendeta Anglikan yang ditemui Allan, yang metodenya merekrut jemaat entah mau disebut gila atau genius karena perbedaannya tipis sekali. Metode penyiksaan ala CIA yang disebut ‘mengagumkan’, sampai kumis Stalin juga ikut dibawa-bawa. Dari awal sampai pertengahan saya rasa tidak ada yang begitu lucu, mungkin karena belum terbiasa baca novel komedi hitam semacam ini. Nanti di halaman 200-an saya mulai senyum-senyum, lalu terkikik-kikik, lalu terkekeh-kekeh, lalu terbahak-bahak. Tawa saya sukses meledak ketika sampai pada dialog yang membahas kumis Stalin itu.

“Orang Hindu dan Muslim tidak akur, dan di tengah-tengah ada Mahatma Gandhi yang duduk bersila, mogok makan karena tidak puas terhadap sesuatu. Strategi macam apa itu ?” (hal. 228)

“Dari semua kelompok yang ada di bumi, menurutku trinitas yang paling tidak membuatku tertarik” (hal. 200)

Dan yang paling seru adalah ketika Indonesia masuk dalam salah satu destinasi petualangan Allan. Alih-alih tersinggung atau marah, saya malah tergelitik membaca gambaran penulis tentang permainan politik di Indonesia. Kalau kau punya posisi, dan uang tentu saja, kau bisa menentukan mana yang benar. Dengan uang, orang bisa dengan mudah mendapatkan surat izin mengemudi bahkan meski orang itu begitu bodoh untuk membedakan mana kiri mana kanan. Dengan uang, orang yang kecerdasannya setara dengan kodok pun bisa jadi gubernur, menteri, duta besar atau bahkan kepala negara. Indonesia adalah negara di mana segalanya mungkin.

“Di Indonesia semuanya bisa dijual sehingga siapa saja yang punya uang bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan” (Hal. 359)
 
;