06 July 2012

By The Way...

Ngomong-ngomong, kemarin malam bulan sedang purnama. Warnanya putih kekuning-kuningan, seperti lukisan saja. Oke, ini tidak penting. 

Ngomong-ngomong, malam ini gerimis, saya baru saja minum susu coklat hangat. Oke, ini juga tidak penting. 

Ngomong-ngomong, hari ini sudah lewat separuh bulan Sya’ban, sebentar lagi masuk bulan Ramadhan. Nah, ini yang penting. Di pertengahan menjelang akhir sya’ban, di depan pintu ramadhan, saya mohon dimaafkan atas segala khilaf dan kata. Semoga kita bisa bertemu dengan bulan ramadhan. 

Allahumma baariklana fii sya’ban wa ballighnaa ramadhan, wa taqabballallah minnaa wa minkum...^_^

Dua Kejadian Konyol (2)

Lanjutan dari sini 

Nah itu tadi kisah yang pertama. Kisah yang kedua terjadi pada malam hari sekitar jam 11. Saat itu teman saya yang gampang kaget sedang asyik online di depan laptopnya. Ia duduk lesehan sambil bersandar di dinding dan sesekali tersenyum (kadang juga tertawa) melihat layar monitor. Sepertinya, begitulah kondisi orang-orang yang baru saja hijrah dari dunia nyata ke dunia maya. Karena kamarnya yang agak panas, saya berniat cari angin di luar. Saya berjalan melewatinya yang masih lincah menekan tombol-tombol keyboard. 

Sebelum mencapai gagang pintu, tangan saya berhenti di udara karena terdengar bunyi pagar yang diguncang dengan keras. Bunyinya seperti bunyi pagar yang dirusak oleh demonstran ketika melakukan aksi di depan kantor DPR. Bunyi itu terdengar berulang-ulang, sepertinya pelaku benar-benar berniat merusak pagar depan. Karena penasaran, saya buru-buru memutar gagang pintu. Ketika pintu baru terbuka sedikit, tiba-tiba sebuah tangan terulur di atas tangan saya. Dengan gerakan kilat tangan itu mendorong lagi pintu sampai tertutup. Kemudian terdengar bunyi kunci yang diputar dua kali. 

Tentu saja saya kaget dan langsung menoleh, ternyata empunya tangan adalah teman yang tadi sedang online. Saya ternganga melihatnya. Lincah amat orang ini. Tadi dia masih online di tempat duduknya. Jarak antara tempat duduk dan pintu ada sekitar 2,5 meter. Dan hanya sepersekian detik waktu yang ia butuhkan untuk berlari mencapai pintu. Hebat betul, saya terbengong-bengong melihatnya. Sementara itu, ia telah berubah menjadi cecak, menempel di pintu dan merekatkan telinganya, menunggu lanjutan keributan tadi. Kelihatan di matanya ia sangat cemas.

“Jangan keluar”, katanya.

“Kenapa ?”

Ia tidak menjawab, hanya memegang gagang pintu kuat-kuat seolah-olah itu adalah warisan terakhir yang ia punya. Saya memutar bola mata. Ya ampun anak ini, yang benar saja. Saya menyingkirkan tangannya, memutar kunci kemudian menghambur keluar. Di luar kamar, sudah berdiri Kakak Pertama (sebutan untuk penghuni kos yang paling tua) yang terlihat santai memandang sumber kegaduhan sambil menyeruput Teh Gelas.

Setelah ditanya, Kakak Pertama menjawab bahwa keributan itu adalah karena petugas PLN yang sedang bekerja. Saya mengangguk paham. Dan seperti teringat sesuatu, saya langsung menoleh ke teman saya tadi. Ia terlihat mengenaskan dengan bahu yang melorot, tangan yang memeluk tiang, mata yang terpejam dan napas yang dihembuskan kuat-kuat pertanda bahwa dirinya sangat lega. Saya tertawa sampai terbungkuk-bungkuk melihatnya. Yeah, kecemasannya memang keterlaluan.

Demikianlah kejadian-kejadian lucu yang terjadi pada teman saya yang gampang kaget itu. Apa kalian menangkap kelucuannya ? Kalau tidak, ya kan saya sudah bilang di awal tadi kalau cerita ini memang tidak akan selucu jika dilihat langsung.

Dua Kejadian Konyol (1)

Ehm, kali ini saya mau cerita kejadian lucu bin konyol yang terjadi dua hari lalu. Mungkin kalau diceritakan ulang tidak akan selucu jika dilihat langsung. Tapi, mari kita coba. Jadi begini, saya mempunyai seorang teman kos yang sangat cepat tanggap atau kalau mau dibilang, terlalu refleks terhadap kejadian-kejadian yang mengejutkan. Berhubung dia memang orangnya gampang kaget. 

Dua pekan yang lalu, seorang anak kecil dengan langkah malu-malu, datang ke kosan kami sore itu (ini mirip puisi ya). Tidak ada yang menyadari kehadirannya padahal semua penghuni tidak ada yang tidur meski sibuk di kamar masing-masing. Saat itu, Teman saya sedang menghadap ke cermin. Di antara semua kamar, hanya pintu kamarnya yang terbuka. Ketika ia sedang khusyuk mematut-matut diri, tiba-tiba anak kecil itu muncul di depan pintunya dan berkata dengan suara memelas, 

“Kak, tolong beri saya beras.” 

Teman saya yang gampang kaget pun terlonjak, sisirnya jatuh berdenting di lantai. 

“Uwaaaaaa....”, teriaknya. Dengan gerakan cepat ia menendang pintu sampai tertutup dan menimbulkan bunyi yang sangat keras. Sesaat kemudian, terdengar bunyi pintu-pintu lain yang terbuka, semua penghuni keluar mencari tahu. Terlihatlah anak kecil itu jatuh terduduk dengan mata melotot. Sepertinya ia kaget sekali dengan kejadian barusan. 

Semua penghuni mengerubunginya dan bertanya ia siapa, dari mana dan sedang berbuat apa. Dengan gemetar, anak kecil itu menjawab, “Saya hanya meminta beras, Kak”. Dia jelas ketakutan. Semua penghuni iba melihatnya. Teman saya yang gampang kaget itu pun akhirnya pelan-pelan membuka pintu dan keluar. Kejadian ini hanya diceritakan oleh para penghuni kos karena saat itu saya tidak berada di rumah. Sambil tertawa saya bertanya padanya, 

“Jadi, apa kalian memberinya beras ?” 

Teman saya menggeleng.

Lanjut ke sini
01 July 2012

Tepuk Nyamuk

Ada satu kebiasaan yang sering dilakukan teman-teman sekelas saya semasa SMA. Namanya Tepuk Nyamuk. Berbeda dengan tepuk tangan, tepuk nyamuk dilakukan hanya dengan sekali tepukan, persis seperti orang kalau menepuk nyamuk. Entah siapa yang memprakarsai kekonyolan ini. Tapi seingat saya, saat itu salah seorang teman baru saja selesai presentasi di depan kelas dan penampilannya sangat bagus. Ia memberikan penjelasan yang mendetail tapi mudah dipahami serta menyajikan data-data yang cukup lengkap. Seperti tradisi umumnya, presentasi seseorang atau suatu kelompok diakhiri dengan tepuk tangan, setelah guru memerintahkan tentunya. Tapi saat ia selesai mengucapkan terima kasih dan salam, beberapa anak laki-laki langsung menyeletuk, “Tepuk nyamuk!!!”. Dan entah kenapa, serentak tiga baris meja ke belakang menepuk tangan mereka dengan sekali tepukan. Kontan saja kami semua tertawa karena kesannya terdengar seperti tepuk tangan yang ditahan.

Setelah kejadian itu, Tepuk Nyamuk pun naik daun. Jika ada yang bercerita dengan lancar tanpa titik seperti komentator bola, bukan lagi disela dengan seruan “Gooolll...!!” tapi berganti dengan, “Tepuk nyamuuukkk...!!” Jika ada yang sibuk memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu sendu, kami akan merusak suasananya dengan Tepuk Nyamuk. Termasuk juga saat pengumuman juara kelas, sang juara tidak lagi mendapatkan tepuk tangan yang meriah, tapi hanya sekedar Tepuk Nyamuk. Semakin lama kekonyolan ini menular ke kelas lain. Tepuk Nyamuk tidak lagi hanya eksis di dalam kelas tapi juga mulai merambah ke berbagai event sekolah seperti pekan olahraga dan seni antar kelas atau lomba dance. Dan tidak ada masalah dengan hal ini. Saya bahkan sering melihat para guru tersenyum-senyum melihat tingkah kami. Tapi seiring dengan kelulusan kami, popularitas Tepuk Nyamuk pun pudar dan hanya hadir kembali bila kami reuni kecil-kecilan.

Mimpi Buruk Calon Ibu

Musibah yang menimpa sepupu saya beberapa hari yang lalu membuat saya semakin menyadari betapa menakutkannya jadi calon ibu. Sepupu saya sedang hamil muda dengan usia kehamilan sekitar 5 minggu. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, ia sempat melakukan USG dan dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja. Tapi dua hari setelah USG, ia mengalami pendarahan. Karena semakin lama perutnya semakin sakit, akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit Ibu dan Anak.

Saat itu suaminya sedang ada proyek di luar kota jadi yang menemaninya hanya adiknya, saya dan seorang sepupu lainnya *yeah, jumlah kami sesepupuan memang bisa bikin dua tim sepak bola*. Sementara orangtuanya baru berangkat menuju Makassar setelah kami kabari. Berhubung dokter yang biasa memeriksanya sedang ke luar kota, jadi pemeriksaan digantikan oleh asisten. Saya terus menemaninya selama pemeriksaan tapi sibuk tutup mata dan telinga karena takut. Asisten dokter mengatakan bahwa jalan lahir belum mengalami pembukaan sehingga pemeriksaan dilanjutkan dengan USG. Saat USG, saya dibolehkan untuk melihat janinnya di monitor. Tapi yang terlihat hanya bulatan kecil.

Setelah beberapa lama, asisten dokter tersebut mengerutkan kening dan bergumam sendiri, “Seharusnya usia segini sudah kelihatan...” Saya kembali melihat monitor tapi tetap tidak mengerti apa-apa. Setelah USG selesai, asisten dokter kemudian menjelaskan masalahnya bahwa janin sepupu saya tidak berkembang. Rasa sakit yang timbul itu karena janin sudah mendekati jalan lahir dan secara alaimah tubuh akan mendorong janin keluar. Tapi karena janinnya tidak keluar, jadi pilihannya adalah harus dikuret. Mendengar kata kuret saya langsung menoleh ke sepupu saya dan melihatnya mematung, raut wajahnya berubah. Kecewa. Ia lalu meminta waktu sendiri untuk menghubungi suaminya. Dari jauh saya bisa lihat sepupu saya sedang menangis.  Ini adalah kehamilan pertamanya, pengalaman pertamanya menjadi calon ibu. Sayangnya nasib berkata lain.

Menjelang maghrib, orangtuanya tiba di rumah sakit. Proses kuret membutuhkan persetujuan dari suami, Tapi karena suaminya masih dalam perjalanan, jadi yang menandatangani adalah ayahnya. Saya pernah mendengar kata kuret dan setahu saya ini adalah pengobatan yang menyakitkan. Setelah kejadian ini saya jadi tambah takut menjadi ibu. Saat melahirkan, seorang ibu mempertaruhkan nyawanya. Disebutkan pula bahwa sebelah kakinya telah berada di gerbang kematian. Ibu pernah bercerita bahwa saat melahirkan saya, prosesnya berjalan lancar. Saya tidak banyak menyusahkannya. Saya bahkan mbrojol sebelum bidannya datang. Semoga saya benar-benar bisa jadi anak yang berbakti dan tidak menyusahkan orangtua. Aamiin...
 
;