30 March 2014

Paling Jahat, Paling Baik

Dua hari terakhir saya habiskan meringkuk membaca buku. Selepas ujian, sepupu mengajak nginap di rumah barunya. Sesampai di sana telah terjadi transaksi tukar menukar buku. Sepupu punya teman seorang dosen komunikasi. Mereka seangkatan waktu kuliah walau berbeda jurusan. Sama-sama suka baca novel. Dan, sama-sama betah melajang. Kedatangan saya menggenapkan mereka bertiga baik dari segi jumlah, maupun status.

Sepanjang malam kami larut dalam bacaan masing-masing. Teman sepupu membaca salah satu novel Tere-Liye di dekat tangga. Sepupu satu membaca buku komedi di depan pintu kamar dan sepupu satunya lagi membaca novel lain yang bercerita tentang perempuan usia lewat 30 tahun, hidup mandiri, tapi belum menikah. Saya memasang wajah pura-pura prihatin melihat novel itu. Merasa diledek, dia pun mengibaskan tangannya, mengusir saya keluar kamar. Saya memilih ruang tengah untuk membaca, dengan TV yang sudah berjam-jam menyala tapi tak dilirik oleh penghuni.

Salah satu buku komedi yang sejak siang saya baca sudah hampir khatam. Saya ingin membaca buku lucu lagi. Masih ingin tertawa lagi. Maksudnya, tertawa karena membaca buku. Kalau hanya sekadar tertawa, berdiskusi dengan sepupu sudah cukup. Dia punya selera humor yang bagus. Tapi ada perbedaan antara tertawa karena mendengar kelucuan dengan membaca kelucuan. Berhubung si sepupu belum selesai dengan buku di tangannya, saya mengambil buku lain dalam ransel. Just One Day, karya terbaru Gayle Forman. Awalnya saya tak berniat membeli buku ini. Target sebenarnya adalah buku terbaru Salim A. Fillah, Lapis-Lapis Keberkahan, yang sepertinya belum tersedia di Makassar. Karena tidak ingin pulang dengan tangan kosong, saya mencari buku lain. Dari jarak dekat terlihat IQ84 jilid 3 karya Haruki Murakami. Saya menimang buku itu cukup lama. Jilid 1 dan 2 sudah dikhatamkan beberapa bulan lalu. Bagaimana pun, penasaran juga dengan akhir kisah Kepompong Udara.

Saya mulai mengoleksi buku penulis Jepang ini sejak membaca karya perdananya, Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike). Tapi, membaca buku-buku Murakami membuat saya seperti diliputi kegelapan. Seperti ada awan mendung yang muncul di atas kepala saya. Lalu cairan hitam pelan-pelan turun dari awan itu. Kelam. Di satu sisi, saya menyukai cara tokoh-tokohnya bercerita. Penokohannya kuat. Penggambarannya rumit dan mendetail. Tapi di sisi lain, saya frustasi dengan nuansa yang begitu murung, suram dan sunyi. Ada jenis buku yang tak masalah kau membacanya berulang-ulang. Kau akan baik-baik saja. Malah kau bisa merasa lebih baik dengan membaca ulang. Dan ada jenis buku, yang cukup sekali kau membacanya, atau kau bisa gila. Karya Murakami masuk jenis kedua. Saya berharap bisa membaca karyanya yang lebih cerah, ceria dan lebih “normal”.

Saya meletakkan buku itu ke tempat semula dan berjalan malas menuju komputer, mengetikkan kata kunci, Prie GS. Tidak ada buku baru. Andrea Hirata, juga tidak ada yang baru. Tiba-tiba saya teringat Gayle Forman, dan cepat-cepat mengetikkan namanya pada kolom pengarang. Saat hasil keluar, saya bersorak dalam hati melihat karya terbaru penulis ini terpampang di layar komputer.

Saya hanya membaca novel-novel tertentu. Karya penulis-penulis tertentu. Di toko buku ada ratusan novel dengan desain cover yang semakin hari semakin menarik. Jumlah yang sebanyak itu malah membuat saya malas melihatnya. Kalau bukan karena rekomendasi orang lain atau secara tak sengaja membaca yang bagus, saya tidak akan tertarik dengan karya berikutnya. Di toko buku, orang-orang bisa memborong puluhan novel sampai-sampai saya berpikir mereka butuh kardus untuk membawa pulang tumpukan buku itu. Sementara saya, hanya tertarik pada beberapa penulis. Mungkin karena jarang mencoba membaca karya lain. Sama seperti makanan. Saya bukan tipe orang yang suka mencoba aneka makanan. Selera makanan jarang berubah, selalu yang itu-itu saja. Tapi sekali suka, bisa kecanduan. Karenanya, efek yang ditimbulkan pasca membaca bisa jadi serius. Itulah mengapa Yoru, yang sedang tergila-gila pada penulis India, Chitra Banerjee Divakaruni, pernah berkata bahwa penulis adalah orang yang paling “jahat” sedunia. Kutambahkan, penulis itu, bukan hanya orang paling jahat, tapi juga paling baik.

Eh, sebenarnya saya ini mau nulis apa ya. Ah, sudahlah…
16 March 2014

Tanah Haram

Dua hari yang lalu salah satu stasiun TV menayangkan berita penipuan yang dilakukan sebuah travel terhadap puluhan jamaah umrah. Ngeri rasanya membayangkan sejumlah uang yang dibawa lari pelaku. Tapi yang lebih memprihatinkan adalah perasaan para jamaah. Mereka berniat ibadah dengan dana yang tentu tidak sedikit, tetapi justru dijadikan kesempatan pihak lain mencuri keuntungan. Awal bulan Maret ini juga sempat heboh oleh berita penahanan salah satu jamaah umrah Indonesia yang kedapatan menggunting kain Ka’bah. Tak peduli sedikit atau banyak yang digunting tapi tindakannya tetaplah pencurian.
  
Makkah adalah wilayah haram. Di dalamnya Allah melarang pertumpahan darah, memburu binatang, berkelahi, mencabut tanaman dan dilarang memungut barang jatuh yang bukan miliknya. Ketika berada di wilayah haram kita harus meminimalkan kesalahan walau sekecil apapun kesalahan itu. Bukan hanya perkataan atau perbuatan, niat yang terbersit di hati pun harus dijaga karena akan langsung dibalas oleh Allah saat itu juga.

Berbagai cerita “ajaib” dari orang-orang yang pulang dari Tanah Haram mungkin sudah sering didengar. Tante saya pernah cerita kejadian aneh dari pengalaman umrah sebelumnya. Ketika memasuki Masjidil Haram, salah satu jamaah ada yang tidak bisa melihat Ka’bah. Padahal dengan ukuran sebesar itu, orang yang rabun pun bisa lihat. Setelah diinterogasi oleh pemandu, barulah ketahuan kalau di ikat pinggang pakaian ihramnya dipasangi jimat yang dibawa dari kampung. Di jarinya juga ada cincin yang berfungsi sebagai jimat. Pemandu pun menasihati orang itu tentang bahaya jimat karena dapat menjerumuskan pelakunya pada kesyirikan. Setelah kedua benda itu dilepas, barulah orang tersebut bisa melihat Ka’bah. Pelajaran pertama, bersihkan diri dari hal-hal yang berbau syirik.

Tante yang lain juga punya cerita pengalaman haji beberapa tahun lalu. Saat itu suami tante niat bersedekah pada pengemis di tepi jalan. Ketika mengeluarkan dompet, Tante mencegah suaminya dengan alasan bahwa pengemis itu pasti pencuri karena tangannya terpotong. Akhirnya uang yang sudah menyembul dari dompet dimasukkan kembali. Saat kembali ke hotel ternyata dompet itu hilang. Pelajaran kedua, jauhi prasangka buruk. Ketiga, jika sudah niat bersedekah jangan ditunda-tunda. 

Pengalaman si Arai Wannabe sewaktu mengunjungi Makkah di sela-sela pekerjaannya di Jeddah juga menarik disimak. Saat itu dia bergegas memburu shalat jamaah di masjid. Ketika memasuki masjid, dia berpapasan dengan makhluk halus alias perempuan arab yang cantik jelita. Saking cantiknya, si Arai wannabe berjalan ke depan sambil leher berputar ke belakang karena terus menatap perempuan cantik itu. Tiba-tiba kakinya menginjak kotoran merpati yang memang banyak berkeliaran di langit-langit masjid. Padahal sehari-harinya lantai masjid selalu bersih, tak pernah ada kotoran merpati di sana. Mungkin merpatinya tahu diri bahwa tidak boleh buang kotoran di dalam masjid.  Selain itu puluhan orang juga berlalu lalang di tempat yang sama, tapi dialah yang “terpilih” menginjak kotoran tersebut. Arai wannabe pun berjalan terpincang-pincang keluar masjid untuk wudhu ulang. Setelah berwudhu, tiba-tiba perutnya mulas kebelet BAB. Dia pun berlari kesana kemari mencari toilet. Keluar dari pintu toilet, ternyata shalat jamaah sudah selesai. Dia pun tersadar sedang berada di Tanah Haram. Jadilah dia beristigfar banyak-banyak. Pelajaran keempat, hati-hati dengan pandangan.

Sewaktu pemandu kami mengumumkan bahwa bus telah memasuki wilayah haram, semua penumpang langsung memperbaiki posisi duduk seperti sedang bersiap menghadapi sesuatu. Saya sendiri dilanda perasaan deg-degan melihat tugu batas tanah haram di pinggir jalan. Semacam rasa gugup bercampur senang memasuki wilayah itu. Tapi ada perbedaan mencolok antara masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Masjid Nabawi di Madinah punya pintu masuk yang terpisah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Privasi jadi lebih terjaga. Selain itu ada area khusus yang disediakan untuk para lelaki menunggu istri mereka di pelataran masjid. Bila ada yang melewati batas itu, siap-siap ditegur petugas. Berbeda kondisinya dengan Masjidil Haram yang tidak dipisah. Laki-laki dan perempuan dapat masuk dari pintu mana saja. Peluang berdesak-desakan dengan lawan jenis jadi lebih besar. Belum lagi ditambah banyaknya makhluk rupawan yang membuat mata sulit berpaling. Saya sendiri kadang mengucapkan “Masya Allah” dan “Astagfirullah” secara berurutan karena menoleh ke kanan ketemu perempuan cantik jelita, menoleh ke kiri ketemu pemuda tampan rupawan. Hehehe. Tapi bagaimana pun kondisinya, upayakan meminimalkan kesalahan. Sebab keburukan meski hanya sebesar zarrah akan dibalas tunai. Begitu pula sebaliknya.

Ada satu pengalaman sewaktu di Madinah. Kejadiannya biasa saja, tidak ada yang aneh atau “ajaib”, tapi akan selalu teringat. Saat itu kepala saya sedang sakit karena sejak siang menahan kantuk setelah berziarah ke berbagai tempat. Selepas shalat ashar, saya pulang ke hotel merebahkan diri. Menjelang maghrib, ibu mengingatkan untuk siap-siap berangkat ke masjid. Tapi saya bilang ibu duluan saja. Saya sudah berniat mengibarkan bendera putih karena sakit kepala itu tidak hilang juga. Setelah Ayah dan ibu pergi, saya masih berbaring memijat kepala. Susana kamar hening. Tiba-tiba entah dari mana seorang bocah laki-laki menggedor-gedor kamar saya dari luar dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak saya pahami. Awalnya saya abaikan, nanti juga berhenti sendiri. Ternyata tidak. Bocah itu terus menggedor kamar saya. Lebih tepat disebut mendobrak dibanding menggedor. Nakal amat sih nih anak. Padahal ada banyak kamar di situ tapi kenapa sasarannya hanya kamar saya. Dan lagi orangtuanya mana, masa anaknya dibiarkan begitu. Tiba-tiba saya teringat bahwa saat itu adalah maghrib terakhir di Madinah, selepas shalat kami akan berangkat ke Makkah. Jadi kepikiran, masa di saat terakhir malah tidak shalat di masjid. Saya pun berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi dengan berpegangan ke dinding. Setelah berwudhu, sakit di kepala mulai berkurang, dan menyadari si bocah juga sudah pergi. Saat itu adzan masih berkumandang. Saya pun menyambar kaos kaki dan bergegas keluar kamar. Di luar kamar tidak ada siapapun. Lorong hotel sepi. Kemana anak itu, tanya saya dalam hati. Tapi tidak ada waktu mencari tahu, saya harus segera ke masjid. 

Tiba di masjid saya mencari celah-celah kosong dan dapat tempat di sudut belakang. Di samping kanan saya duduk seorang nenek, di samping kanan nenek itu ada kursi roda yang terlipat. Saya tak bisa memperkirakan umur nenek yang terlihat sangat tua dan tidak berdaya itu. Ketika shalat berjamaah, barulah saya sadar kalau nenek yang di berdiri di samping saya tiap beberapa detik berpegangan pada kursi roda di dekatnya. Lututnya gemetar karena berdiri cukup lama. Dengan keadaannya yang seperti itu sebenarnya beliau sudah bisa mengambil keringanan dengan shalat sambil duduk. Beliau juga lebih baik shalat di rumah daripada berdesak-desakan di masjid yang bisa membahayakan jiwanya. Beberapa wanita lain yang saya perhatikan jauh lebih lebih kuat malah memilih shalat sambil duduk. Tapi tidak dengan nenek itu. Beliau bertahan berdiri terbungkuk-bungkuk dengan sesekali berpegang pada kursi rodanya. Pun ketika duduk di antara dua sujud terasa jelas si nenek menahan sakit di kakinya. Menyadari itu, pelan-pelan saya dihinggapi rasa malu. Rasanya seperti disindir, apalah arti sakit kepalamu dibanding kondisi yang dialami nenek itu. Kamu masih kuat, tidak perlu bantuan kursi roda, tapi sakit kepala yang tidak seberapa saja sudah manja. 

Selepas shalat saya menatap nenek itu agak lama. Lalu menoleh kiri-kanan mencari tahu apakah ada anggota keluarga yang menemaninya. Tapi tidak ada, nenek itu terlihat sendirian. Beliau lalu melanjutkan shalat sunnah sambil duduk. Setelah salam saya menyapa dan menjabat tangannya. Mengucapkan terima kasih. Nenek itu tersenyum menjawab salam. Saya pun undur diri. Dalam perjalanan pulang, saya banyak-banyak merenung. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan surga. Tapi yang membedakan adalah tingkat usaha dalam meraih surga itu. Ada yang berusaha dengan mengerahkan seluruh tenaga, ada pula yang hanya setengah-setengah. Saya yakin usaha keras nenek itu dalam menyempurnakan kewajiban akan diganjar dengan pahala yang berlipat-lipat. Sebab lelah selalu berbanding lurus dengan faidah. Semoga Allah senantiasa menjaga dan menguatkan beliau di mana pun berada.
13 March 2014

Keberanian itu...


*Hasil jepret di kamar sepupu
02 March 2014

Namanya Raith

Pertemuan itu terjadi setelah Thawaf Wada’, tepat di malam terakhir sebelum berangkat ke Jeddah. Saat itu kami memilih thawaf di lantai dua yang lebih sedikit orang dan sebenarnya diperuntukkan bagi mereka yang memakai kursi roda. Dari lantai dua, Ka’bah dan orang-orang di bawah terlihat lebih jelas. Di lantai dua kita tidak perlu berdesak-desakan thawaf. Shalat juga bisa lebih tenang.

Setelah menyelesaikan putaran thawaf, saya mencari tempat kosong agar ayah dan ibu bisa shalat di bagian paling depan. Sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan mereka dari Ka’bah. Karena tempat kosong yang saya dapat hanya muat dua orang, saya persilakan ayah dan ibu shalat duluan. Sementara saya menunggu salah satunya selesai agar bisa gantian. Saat menunggu itulah seorang lelaki yang sejak tadi duduk di kursi kecil di samping ibu memberi isyarat kepada saya dengan memundurkan kursinya. Dengan begitu ada ruang kosong bagi saya untuk shalat di samping kiri ibu. Sementara saya shalat, dia duduk di belakang. Setelah shalat, ternyata orang itu sudah pindah ke samping kiri saya. Yang dilakukannya hanya duduk menatap Ka’bah di bawah.

“Maaf, kau bisa bahasa arab ?”, sapanya

Refleks saya menoleh, tapi matanya tak lepas dari Ka’bah. Setelah yakin bahwa sayalah yang ditanya, saya pun menggeleng.

“Tidak bisa” 

“Bahasa Inggris ?”

“Sedikit”

Dia menyodorkan sebuah kartu berwarna coklat yang di dalamnya terdapat cetakan huruf arab. Walaupun tidak paham arab gundul tapi saya tahu kartu itu memuat 99 nama Allah.

“Ambillah”, katanya

“Ini untukku ?”

“Ya. Ambillah”

“Terima kasih”

“Apa kau tahu surah Al Mulk?” 

Pertanyaannya itu mengawali pembahasan panjang yang akan memakan waktu lebih dari satu jam. Dia memulainya dari surah Al Mulk, menjelaskan keutamaan surah itu. Bahwa bila membacanya akan menjaadi syafa’at di hadapan Allah, bahwa surah itu termasuk surah-surah yang dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum tidur di malam hari. Setelah itu berpindah pada keutamaan membaca surah Al Kahfi. Membaca surah ini pada hari jumat akan dipancarkan cahaya dari kaki hingga ke baitul atiq, katanya sambil menunjuk sepatunya dan menarik garis ke atas Ka’bah. Selain itu akan diampuni dosa di antara dua jumat dan diselamatkan dari fitnah Dajjal. Selesai Al Kahfi, dia pindah ke surah An Nisa lalu berpindah lagi ke surah Al Baqarah. Lebih lanjut dia mengingatkan tentang ghibah dan namimah, dua perbuatan yang seringkali tanpa disadari mengggelincirkan pelakunya. Saya diam mendengarkan dengan seksama sambil menatap kerumunan manusia di lantai bawah, sesekali menimpali, bertanya atau minta diulangi sebab di sekitar terlalu ramai oleh orang yang sedang thawaf. Sudah lewat 40 menit dia membahas cepat berbagai materi. Dan selama itu pula saya belum tahu dengan siapa saya berbicara.

“Maaf, boleh tahu namamu ?”, tanya saya

“Raith”

Kening saya berkerut mendengar nama yang asing itu.

“Raith ?”

“Ya, R-A-I-T-H. Raith”

“Saya tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya”

Dia mengeluarkan kartu identitasnya, mungkin semacam KTP. Terlihat foto, nama dan beberapa hal tentang dirinya. Saya menggeleng-geleng melihat kartu itu oleh karena tidak bisa baca arab gundul. Raith tersenyum dan membalik kartu tersebut. Di baliknya ada kotak berwarna kuning emas, seperti yang ada di kartu SIM telepon seluler. Dia menjelaskan bahwa kartu itu memudahkannya melakukan perjalanan ke negara-negara di Timur Tengah. Mungkin sama seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina atau sesama negara Asean.

Dari hasil tanya jawab, Raith adalah penduduk Makkah. Tapi penampilannya berbeda dengan kebanyakan orang Arab yang memakai gamis putih dan bersorban. Dia memakai sepatu kets warna hitam, celana kain, baju kaos, jaket, kupluk berwarna abu-abu dan ransel hitam. Raith justru terlihat seperti pendatang dibanding penduduk asli. Tampaknya dia orang yang suka bepergian. Ketika tahu saya dari Indonesia, dia tersenyum mengatakan pernah mengunjungi Jakarta dan Madura. Tak banyak lagi yang saya tahu tentangnya selain bahwa dia baru mengunjungi seorang teman di London.

Dia menanyakan nama saya, kesibukan sehari-hari serta bertanya nama ibu yang duduk di samping kanan saya. Terakhir, Raith memberi saya sebatang siwak, menjelaskan keutamaan siwak dan manfaatnya. Dia bertanya apa orang Indonesia juga suka bersiwak. Saya menggeleng, kami lebih familiar dengan sikat gigi, kata saya. Raith tertawa. Jam di menara Zam-Zam menunjukkan pukul 11:30. Kami bersiap-siap pulang ke hotel. Raith berdiri menggeser kursi. Saya menatap sepatunya sejenak, lalu mengangkat wajah dan berterima kasih untuk semua ilmu dan nasihat yang disampaikannya. Dia tersenyum mengangguk. Setelah itu kembali ke posisinya semula, duduk di kursi menatap ke arah Ka’bah. Sambil berjalan pulang, tak tahu kenapa saya seperti ingin menangis.

Malam itu adalah malam terakhir di kota Makkah, di masjidil Haram. Saya tak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat yang penuh berkah itu. Saya tak tahu apa masih punya kesempatan untuk shalat dan thawaf di sana. Saya tak tahu apa ibadah saya selama di sana diterima oleh Allah atau tidak. Saya tak tahu apa masih bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan. Dengan Mona asal Mesir, dengan seorang nenek dari Maroko, dengan seorang ibu dari Kuwait, dengan dua pramusaji yang saya temui tiap hari, atau dengan Raith. 

Saya teringat akan gambar kotak kehidupan. Gambar segi empat dengan garis yang membelah tengahnya sampai keluar kotak. Garis tengah yang melewati kotak itu adalah cita-cita manusia. Garis atas kotak adalah batasan umur manusia. Garis-garis di sisi lainnya adalah ruang lingkup kehidupan manusia. Titik-titik di dalam kotak itu adalah orang-orang yang akan dijumpainya selama hidup. Mungkin di antara orang-orang itu, ada yang hanya sekali kau jumpai seumur hidup. Boleh jadi Mona, nenek dari Maroko, Ibu dari Kuwait, dua pramusaji  ataupun Raith, hanya sekali itu saja saya temui selama hidup saya.

Sepertinya ini yang membuat saya merasa seperti ketinggalan dompet. Di dalam dompet itu ada Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Ka’bah, bukit Uhud, Al Rawdah dan mereka yang saya temui selama berada di sana. Kalau pun ada yang saya sesali, mungkin ada tiga hal. Pertama, kenapa saya tidak belajar bahasa Arab. Kedua, kenapa tidak lebih banyak menghabiskan waktu di masjid. Ketiga, kenapa sampai saat terakhir, saya tidak tahu apapun, minimal nama dua orang pramusaji itu. 

Hingga setelah beberapa hari kembali ke rutinitas biasa, saya masih belum bisa sepenuhnya berada di sini. Suara adzan, lantunan al Qur'an imam masjid, jalanan yang sesak oleh orang-orang yang berangkat shalat, kawanan merpati di jalan raya, suasana thawaf, beragam bahasa asing yang tidak saya pahami, bukit-bukit batu, bangunan tinggi serta banyak hal membuat saya sulit tidur bila mengingatnya. Tak jarang saya suka mencocok-cocokkan waktu. Bila di sini jam segini, di sana masih jam segini. Orang-orang mungkin masih tidur di pelataran masjid pada jam segini, matahari mungkin sudah setinggi ini, lantai dua mungkin sudah dibuka jam segini, pramusaji itu mungkin sibuk bawa makanan ke sana ke sini. Dengan kondisi seperti ini, saya akan butuh usaha mengembalikan seluruh panca indera dan mengingatkan diri bahwa saya tidak lagi berada di sana. Ada banyak hal yang wajib saya selesaikan di sini. Dan bahwa saya, bagaimana pun, harus terus melanjutkan hidup.

Jejak Kaki di Tanah Suci (4)


Kami biasanya melakukan umrah dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari ayah, ibu, om tante dan saya, tanpa berpatok pada jadwal yang diberikan pihak travel. Berdasarkan jadwal tersebut, umrah dilakukan hanya dua kali. Padahal jika mampu, umrah bisa dilakukan setiap hari. Terutama bagi saya, belum tentu ada kesempatan besar seperti ini lagi di esok hari. Tidak seperti ibadah lain yang bisa dilakukan di mana saja, umrah hanya bisa dilakukan di Masjidil Haram. Thawaf hanya bisa dilakukan di Ka’bah. Di sanalah pusat kiblat kaum muslimin. Jadi mumpung berada di sana, waktu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Om dan tante yang sudah berpengalaman biasanya mengajak kami memulai umrah jam 3 pagi atau jam 3 sore. Bila start di siang hari, sebelum jam 3 sore kami berlima sudah naik bus besar menuju Tan’im untuk mengambil miqat. Laki-laki sudah memakai pakaian ihram sejak dari hotel. Jam 3 sore dipilih sebab diperkirakan ketika kembali dari Tan’im waktu sudah memasuki shalat ashar. Atau setidaknya bisa melakukan tahwaf dulu sekitar 3 atau 4 putaran sebelum masuk ashar. Ba’da shalat, tinggal menyempurnakan jumlah putaran lalu dilanjutkan sa’I dari Safa-Marwah dan terakhir tahallul. Jadi sebelum masuk maghrib atau isya, umrah sudah selesai. Begitu pun jika start jam 3 pagi diperkirakan umrah bisa selesai pada jam 7, bertepatan dengan waktu sarapan di hotel.

Ada lima titik tempat mengambil miqat yaitu Yalamlam, Qarnul Manazil, Dzatu Irq, Dzul Hulaifah (Bir Ali) dan Juhfa. Untuk jamaah asal Indonesia, bila start dari Madinah, maka miqatnya di Bir Ali. Bila langsung menuju Makkah, maka miqatnya adalah Yalamlam atau Qarnul Manazil (di atas pesawat). Bila sudah berada di Tanah Haram, maka harus keluar dari Tanah Haram dulu dan mengambil miqat di Tan’im, Ji’ronah atau Syumaisyi (perbatasan Tanah Haram dari arah Jeddah). Tempat kami biasa mengambil miqat selama di Tanah Haram adalah Tan’im.
 
Tan'im
Ada beberapa jenis kendaraan yang dapat dipilih untuk mencapai Tan’im. Pertama, Bus Besar, saya lupa istilahnya tapi bus itu berwarna merah atau biru. Kendaraan ini memang khusus digunakan bagi mereka yang ingin mengambil miqat di luar Makkah. Harganya pun paling murah di antara yang lain, hanya 2 SR atau Rp. 6.660/orang (1 SR = Rp. 3.330,-). Jadi pulang pergi per orang hanya diperlukan 4 SR. Bus besar mulai beroperasi nanti setelah shalat shubuh. Bagi yang ingin mengambil miqat sebelum waktu itu dapat memilih kendaraan lain. Kedua, bus kecil, lebih tepat di sebut mobil dibanding bus. tetapi dalam satu mobil bisa memuat 13 orang. Kendaraan jenis ini beroperasi setiap waktu. Harganya pun lebih mahal yaitu 5 SR per orang. Jadi pulang pergi dibutuhkan 10 SR per orang. Pilihan terakhir adalah taksi. Tapi demi penghematan, sebaiknya tidak memakai kendaraan ini sebab ongkosnya mahal, bisa mencapai ratusan SR.

Biaya hidup di kota Makkah memang tergolong mahal. Harga barang yang dijual paling rendah 3 SR. Malah ada sajadah yang per lembarnya mencapai tiga juta rupiah. Banyak orang dari negara tetangga Arab Saudi yang berumrah sendiri-sendiri tanpa memakai jasa travel. Mereka tidak tinggal di hotel. Jadi biaya lebih murah. Banyak pula yang ber-umrah ala backpacker. Biayanya tentu lebih kecil tapi yang jelas harus punya nyali. Siap tidur di pelataran masjid atau pinggir jalan, siap mandi di mana saja atau malah tidak mandi seharian, beli makan sendiri dan yang penting siap berhadapan dengan cuaca. Bila dini hari berjalan melewati masjid, sering saya dapati orang-orang yang tidur berselimut di pelataran masjid dengan ransel dan kotak makanan di sampingnya.

Teman suami sepupu yang kuliah di Sudan ber-umrah dengan cara seperti itu. Saat diajak, suami sepupu saya hanya menggeleng. Umrah dengan cara seperti itu memang bisa dilakukan laki-laki yang masih hidup sendiri. Berbeda kondisinya bila sudah berkeluarga, sebab mereka punya kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Mengingat hal ini, saya bersyukur Allah mengizinkan saya umrah saat kondisi saya masih sendiri dan usia yang belum seperempat abad. Saya tidak tahu bagaimana rasanya umrah bersama pasangan seperti yang dilakukan beberapa jamaah dalam rombongan. Tapi jujur, saya sangat menikmati perjalanan itu dengan kondisi saat ini, sendiri. Kupikir memang ada hal-hal yang sebaiknya dinikmati selagi sendirian. Semoga nanti bisa kembali lagi ke sana, mungkin bersama adik atau dengan ayah-ibu. Entah kenapa, pulang dari sana saya merasa seperti, ketinggalan dompet. Rasanya selalu ingin kembali dan kembali. Apa ya tepatnya…seperti ada yang belum selesai, sesuatu yang membuat saya ingin melihat lagi tempat itu, dan dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan.

Oh ya, ngomong-ngomong di sana saya kerap menyaksikan kebiasaan kaum laki-laki yang ketika bertemu kawannya berjabat tangan dan saling menepelkan pipi kiri dan kanan. Selama ini yang saya lihat laki-laki hanya berjabat tangan dengan saudaranya tanpa menempelkan pipi. Di tempat ini juga saya mendengar langsung lantunan ayat-ayat Al Qur’an para imam Masjidil Haram yang sebelumnya hanya saya dengar lewat laptop atau ponsel. Shalat di masjid itu ribuan kali lebih baik dibanding shalat di masjid manapun.

Di kota ini kau akan menemukan seluruh perempuan menutup auratnya. Di kota ini kau tidak akan menemui papan iklan memadati jalan raya. Di kota ini setiap kendaraan umum memutar murattal bukan musik yang mengganggu. Di kota ini orang-orang begitu semangat beribadah sehingga lafadz talbiyah dapat terdengar sampai keluar bus. Di kota ini kau akan mendapati petugas bandara atau polisi lalu lintas memegang tasbih di tangan yang satu, siwak di mulut dan tangan yang lain menertibkan kerumunan. Di tempat ini kau bisa melihat pemuda-pemuda berjalan dengan siwak di mulut, bukan selipan rokok seperti yang biasa ditemui sehari-hari. Yah, walaupun pernah sekali saya dapati seorang pemuda merokok, itu pun dilakukan sembunyi-sembunyi di dalam gang sempit. Bila perempuan naik bus, kau tidak perlu khawatir tidak dapat tempat duduk sebab kalaupun kursi penuh, para lelaki tidak akan segan berdiri dan mempersilakanmu menduduki kursinya. Pun di dalam bus, kau tidak perlu khawatir berdesakan dengan laki-laki sebab mereka sangat paham sehingga akan pindah kursi dengan sendirinya atau lebih memilih berdiri daripada duduk di dekat perempuan yag bukan mahramnya. Untuk semua alasan itu, saya sempat berpikir tidak ingin kembali ke tanah air. 

Detik berganti menit, menit berganti jam. Setelah berhari-hari berada di Makkah, tiba saatnya untuk pulang. Setelah Thawaf Wada’ selesai hampir tengah malam, kami pulang ke hotel beristirahat sebentar, sebab bus akan berangkat pukul 3 pagi menuju Jeddah. Menjelang subuh kami tiba di Jeddah dan singgah shalat di Masjid yang dibangun di tepi Laut Merah. Orang-orag menyebutnya masjid Terapung. Setelah itu bus melaju ke bandara internasional King Abdul Aziz. Selama perjalanan menuju bandara, saya melihat matahari berbeda dengan yang biasa saya lihat sehari-hari. Matahari pagi di Jeddah tampak seperti bulan, menggantung bulat dan berwarna kemerahan. Selama ini saya tidak bisa menatap matahari karena cahayanya yang menyilaukan. Tapi saat itu matahari dapat ditatap seperti menatap bulan. Indah sekali. Lewat pukul tujuh pagi, barulah cahaya menyilaukan itu muncul. Itu hal terakhir yang yang saya temui sebelum pulang ke Indonesia.

Masjid Terapung Jeddah
gambar diambil dari sini

Jejak Kaki di Tanah Suci (3)

Berbeda dengan Madinah yang dingin, cuaca di kota Makkah panas menyilaukan. Harga barang-barang di Makkah juga lebih mahal dibanding Madinah. Sejauh pengamatan saya, jarang dijumpai perempuan berdagang di kota itu. Kebanyakan pedagang adalah kaum laki-laki. Kecuali saat mengambil miqat di Tan’im, saya melihat pedagang perempuan di sekitar masjid. Di Madinah, perempuan ikut berjualan di pinggir jalan membantu suami mereka. Bila masuk waktu shalat, mereka akan meninggalkan barang dagangan dan ikut berjamaah di masjid Nabawi. Kondisi ini mengingatkan akan perbedaan wanita muhajirin dan wanita anshar di masa Rasulullah. Wanita anshar lebih aktif dan tidak segan-segan bertanya bila ada yang kurang mereka pahami ketika menuntut ilmu.

Masjidil Haram jauh lebih besar dan megah dibanding Masjid Nabawi. Juga lebih padat manusia. Bila Masjid Nabawi sepi pada jam 1-3 pagi, Masjidil Haram tak pernah sepi dari manusia. Semakin larut malam manusia semakin memadati masjid, entah melaksanakan shalat, thawaf, sai’I atau mengaji. Boleh dibilang mungkin itu satu-satunya tempat yang tak pernah sepi dari orang yang beribadah. Terlebih di hari Jumat, sebab Jumat merupakan hari libur di sana, bukan hari ahad. Di Masjidil Haram kita bisa sepuasnya minum air zam-zam. Orang-orang biasanya membawa botol kosong untuk diisi lalu diminum selama di hotel. Tetapi berbeda dengan Masjid Nabawi yang punya banyak toilet bawah tanah, di Masjidil Haram antrian toilet bisa sangat panjang dan berjam-jam. Karena itu disarankan pilihlah hotel yang dekat dari masjid sehingga bila ingin buang air tidak perlu lama-lama mengantri. Saat ini masjidil Haram dalam proses perluasan. Karena itu beberapa hotel di sekitarnya diruntuhkan. Proyek tersebut diperkirakan akan rampung pada tahun 2020.


Karena padatnya manusia di Masjidil Haram, orang jadi bebas berlalu lalang lewat di depan orang shalat. Saran saya, bawa tas selempang setiap ke masjid sebagai sutrah agar tidak melangkahi oang shalat. Selain daripada itu, yang paling penting adalah kekuatan bertahan dan kesabaran. Di masjidil Haram berkumpul kaum muslimin dari berbagai negara dan tentu saja budaya yang berbeda. Kita orang Indonesia rata-rata berperawakan kecil, berbeda dengan orang-orang Timur Tengah, Eropa atau Rusia yang tinggi besar. Pergerakan mereka juga cepat. Kita bisa terlempar kesana kemari kalau disenggol mereka. Kadang saat sujud, tangan atau kepala harus rela terinjak oleh mereka. Tapi begitulah kondisi di sana karena begitu padatnya manusia. Padahal sebenarnya mereka tidak berniat meyakiti.

Pernah saya lihat seorang bapak melewati satu barisan yang duduk-duduk menunggu waktu maghrib. Tanpa sengaja kakinya mengenai kepala bocah laki-laki berumur lima tahun. Ketika menyadari itu, si bapak berbalik mengusap kepala bocah itu dan mencium puncak kepalanya. Saya juga beberapa kali melihat orang yang sedang berjalan ditabrak kursi roda dari belakang. Orang yang mendorong kursi roda tersebut lalu memberi isyarat dengan meletakkan tangan di atas kepalanya dan menggumamkan beberapa kalimat yang saya tangkap sebagai permintaan maaf.

Selama di Makkah kami ziarah ke padang Arafah yang pada musim haji dipenuhi lautan manusia. Kami juga mengunjungi Jabal Tsur, tempat persembunyian Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam  bersama Abu Bakar dari kejaran kafir Quraisy. Juga mengunjungi Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Sewaktu diturunkan ke bumi, Adam turun di Sri Lanka dan Hawa turun di Jeddah. Setelah 200 tahun keduanya bertemu kembali di Makkah, tepatnya di Jabal Rahmah. Wallahu’alam apakah cerita itu shahih atau tidak. Tapi yang jelas tempat itu hanya tempat bersejarah. Tidak ada keutamaan terkait jodoh seperti yang dipahami sebagian orang. Sayangnya, masih banyak yang melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam islam seperti menuliskan nama atau menyimpan foto di sela bebatuan dengan harapan agar berjodoh dengan orang yang ditulis namanya atau yang disimpan fotonya itu.

Jabal Tsur
Jabal Rahma

Jejak Kaki di Tanah Suci (2)

Lain waktu kami dibawa ke Jabal Uhud, lokasi perang Uhud pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kisah perang Uhud sudah berulang kali saya dengar dalam berbagai kesempatan, entah dalam tarbiyah, ta’lim ataupun nasihat ketika menjadi panitia suatu kegiatan. Tapi saat itu, Uhud bagi saya adalah sesuatu yang jauh, baik ruang maupun waktu. Saya tak punya gambaran apapun akan tempat itu. Yang dapat saya lakukan hanya mengambil hikmah di dalamnya. Tapi kini, saya menginjakkan kaki di atas lokasi medan perang itu. Kini saya berdiri di tempat yang sebelumnya hanya saya baca dari buku-buku shirah. Kini, saya melihat langsung bukit di mana 40 pasukan pemanah ditempatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihii Wasallam yang kemudian mengabaikan perintah beliau karena kilauan harta ghanimah. Akhirnya tersisa 10 orang yang bertahan di atas bukit. Saya bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya perang itu di masa lalu. Saya bisa membayangkan bagaimana Khalid bin Walid yang kala itu belum masuk islam, melihat peluang ketika pasukan pemanah beramai-ramai turun lalu menyerang kaum muslimin dari belakang. Saya bisa membayangkan bagaimana paman Nabi, Hamzah, terbunuh dalam perang tersebut. Saya bisa membayangkan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  terluka parah dan nyaris terbunuh.

Gunung Uhud
Bukit pasukan pemanah
Area perang

Di area bekas tetesan darah Rasulullah yang terluka, hingga kini ada bau harum yang dapat tercium dari jarak 30 meter. Namun karena banyaknya orang yang melakukan kesyirikan di tempat itu, lokasi pun ditutup rapat dengan tembok batu. Sewaktu bus melewati area tersebut, sang sopir membuka pintu mobil bagian depan. Tiba-tiba Ahmad dan beberapa peserta yang duduk di depan mencium bau harum seperti mawar. Masya Allah. 

Ketika terjadi banjir bandang di Madinah, seluruh jenazah para syuhada uhud mengambang ke permukaan. Ajaibnya, jenazah mereka masih utuh seperti baru saja terjadi peperangan dengan darah yang masih mengalir di sekujur tubuh disertai bau yang harum. Tetapi hanya dua jenazah yang dapat dikenali. Salah satunya adalah Hamzah, paman Rasulullah, yang dapat dikenali karena jantungnya yang hilang diambil Hindun binti Utbah. Peristiwa ini sekaligus bukti nyata atas kebenaran perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa bumi tidak memakan jasad para syuhada.

Selain Jabal Uhud kami juga mendatangi masjid Quba dan melewati beberapa masjid lain di antaranya masjid Qiblatain, masjid dengan dua kiblat. Saat itu tahun kedua hijriyah, Rasullah sedang memimpin shalat yang kiblatnya masih menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa). Pada rakaat kedua, Rasulullah mendapat wahyu (surah Al Baqarah : 144) untuk mengubah arah kiblat ke Masjidil Haram (Ka’bah). Karena peristiwa inilah maka masjid tersebut dinamakan masjid Qiblatain.
 
Masjid Quba
Ada pula beberapa masjid kecil seperti masjid Salman al Farisi, masjid Fatah, masjid Ali, masjid Fatimah, masjid Abu Bakar, masjid Umar dan masjid Utsman. Tetapi tiga masjid terakhir yang disebutkan sudah dihancurkan. Pemandu juga menunjukkan lokasi parit sewaktu perang Khandaq yang kini berada di sekitar lampu merah. 

Setelah beberapa hari di Madinah, suatu siang selepas shalat dhuhur rombongan bersiap-siap berangkat ke Makkah sekaligus sebagai umrah yang pertama. Laki-laki sudah memakai pakaian ihram. Nantinya kami mengambil miqat di Dzul Hulaifah (Bir Ali). Perjalanan dari Bir Ali ke Makkah bisa memakan waktu enam jam naik bus. Selama perjalanan ihram itu kita disunnahkan memperbanyak lafadz talbiyah. Kata Ahmad, saat ini ada pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Madinah dan Makkah. Sehingga waktu perjalanan yang ditempuh  menjadi lebih singkat.
 
Bir Ali

Kami tiba di Makkah sekitar pukul sepuluh malam. Langsung check in dan makan malam. Setelah itu menuju Masjidil Haram untuk menyelesaikan dua rukun umrah yang tersisa, thawaf dan sa’i. Selama ini Ka’bah hanya dapat saya lihat lewat layar TV yang menayangkan siaran Makkah. Tapi kini saya diberi kesempatan oleh Allah melihat Ka’bah dari dekat untuk pertama kali. Segalanya tumpah di sana. Kerinduan, doa, cinta, harap dan takut, semua tumpah di sana. Tak perlu berpanjang lebar tentang ini. Akan menjadi catatan tersendiri yang akan saya ingat seumur hidup. Menjelang pukul tiga pagi, kami menyelesaikan sa’I yang dilanjutkan dengan tahallul atau potong rambut. Umrah pertama selesai. Kami kembali ke hotel istirahat sebentar untuk persiapan shalat subuh.

Safa-Marwah

Jejak Kaki di Tanah Suci (1)

Ketika melihat hamparan padang pasir yang luas dari ketinggian ribuan kaki, saya sadar semakin dekat dengan tempat tujuan. Hingga beberapa bulan lalu, tak pernah terpikir saya bisa mengunjungi kedua kota ini, Madinah dan Makkah. Tak pernah terpikir saya bisa umrah sementara belum punya penghasilan tetap. Selama ini saya membayangkan, kalau pun bisa umrah mungkin nanti di umur 40an tahun. Tapi segalanya berlangsung demikian cepat. Pemberitahuan dari ibu, tumpukan tugas kuliah yang belum selesai, kebimbangan saya, nasihat tante, hingga akhirnya saya memutuskan untuk ikut. Di kemudian hari, saya bersyukur itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Pun hari-hari selama berada di sana adalah hari-hari terbaik dalam hidup saya. Segala puji hanya milik Allah yang telah mengizinkan saya mengunjungi kedua kota yang penuh berkah itu. 

Pada hari Selasa, saya menjejakkan kaki di bandara internasional Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Begitu keluar dari pintu pesawat, angin musim dingin bersuhuu 15 derajat celcius datang menyambut. Rasanya seperti berada di dalam ruangan kecil dengan lima pendingin udara. Sangat dingin. Mengingatkan suhu air di desa Bone-bone Enrekang pada jam tiga pagi.

Kami tiba pukul 8 pagi, sementara hotel baru buka sekitar pukul sembilan. Jadi sambil menunggu hotel buka, kami diajak keliling mengunjungi Jabal Magnet. Tempat itu bukanlah tempat bersejarah, hanya saja tanahnya mengandung magnet. Pemandu kami menyarankan bahwa sebaiknya peralatan seperti ponsel, kamera dan benda-benda elektronik lainnya di pegang erat-erat selama di sana sebab kekuatan magnetnya bisa menerbangkan benda-benda semacam itu. Tempat itu pertama kali diketahui mengandung magnet ketika mobil seorang pengemudi mogok saat melewati jalan itu. Anehnya, walaupun mesin sudah mati, mobil tersebut tetap melaju kencang. 



Selepas itu, pemandu berencana membawa kami ke percetakaan Al Qur’an. Tetapi karena terlambat dan percetakan sudah tutup, kami pun dibawa menuju hotel Dallah Thaibah, tempat penginapan kami selama beberapa hari di Madinah. Jarak antara hotel itu sangat dekat dari Masjid Nabawi, hanya perlu berjalan beberapa langkah. 


Jalanan di depan Masjid Nabawi dipenuhi berbagai macam dagangan mulai dari pakaian, jilbab, pernak-pernik, buah-buahan, coklat, tas, sepatu, kaos kaki, peralatan makan sampai Al Qur’an. Sambil menunggu kamar dipersiapkan, saya jalan-jalan sebentar di sekitar hotel. 


Jalan raya di Madinah tidak dbanyak dihiasi papan iklan. Seingat saya hanya papan iklan susu formula untuk balita dan merk kartu SIM ponsel yang sempat terlihat. Selain itu, papan-papan yang ada hanya ajakan berdzikir kepada Allah, berbeda dengan Indonesia yang banyak menampilkan wajah caleg di sepanjang jalan. Kota Madinah tidak terlalu ramai. Kendaraan didominasi oleh mobil. Saya hanya sekali melihat orang naik motor. Itu pun seorang polisi yang bertugas dengan motor dinas. Lalu lintas lancar, tidak ada istilah macet di sana.

Jalanan sekitar hotel selalu padat setiap menjelang shalat. Para pedagang mulai menutup toko atau meninggalkan dagangannya ketika adzan berkumandang. Pertama kali memasuki masjid Nabawi saya seperti orang udik, tak bisa menutup mulut karena mengagumi payung-payung raksasa di pelataran masjid. Ribuan muslim dari berbagai belahan dunia ada di sana. Wajah Eropa, Asia, Timur tengah dan Afrika berbaur menjadi satu. Sulit menjelaskan perasaan saya saat itu. Walaupun dari segi wajah sangat mudah dikenali bahwa saya orang Indonesia tapi di sana tak ada yang memandang aneh dengan jilbab yang saya kenakan. Tak ada yang memandang sinis apalagi takut. Berbeda ketika masih di bandara Soekarno Hatta Jakarta. 

 

Luas Masjid Nabawi 8,2 hektar. Di Masjid inilah terdapat Al-Rawdah, tempat yang makbul untuk berdoa. Makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam beserta dua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab juga ada di sana. Seluruh istri-istri Nabi dimakamkan di Madinah kecuali ibunda Khadijah dan Maemunah yang dimakamkan di kota Makkah. Masjid Nabawi dilengkapi deretan al Qur’an di setiap pilarnya. Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa pun ada mulai dari bahasa Indonesia, Inggris, Turki, Rusia dll. Selain itu, ada ratusan tempat penampungan air zam-zam yang dapat diminum setiap saat.

Al-Rawdah
Ciri khas lain kota Madinah adalah pohon kurma yang menghasilkan kurma-kurma terbaik. Penduduk Makkah sendiri lebih sering membeli kurma Madinah karena keberkahannya. Pohon kurma juga mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan manusia. Salah satunya adalah tidak bisa tumbuh dengan baik bila ditanam sendirian. Sewaktu ziarah ke berbagai tempat, kami di bawa ke kebun dan toko kurma. Saat ibu sibuk membeli kurma, saya sibuk makan coklat, sebab semua coklat di sana halal. Halal yang dimaksud adalah kau bisa makan coklat  sepuasnya alias gratis. Saat saya bertanya apakah boleh mencoba setiap jenis coklat, penjual itu mengiyakan. Katanya, dari kotak sini sampai kotak sana kau bisa ambil sesukamu. Saya pun keluar dari toko itu dengan mengantongi belasan coklat mulai rasa jeruk sampai rasa kelapa. Tapi karena ini pulalah maka harga kurma yang dijual menjadi lebih mahal. Jadi sebenarnya tidak ada yang benar-benar gratis.  


Hujan adalah fenomena alam yang langka di sana. Sebegitu langkanya hingga bila hujan turun, orang akan beramai-ramai keluar menonton. Bila di Jakarta orang jenuh dengan banjir, orang Madinah justru senang melihat banjir. 

Semua informasi tersebut disampaikan oleh pemandu kami. Oh ya, perkenalkan pemandu kami bernama Ahmad, sudah lebih dari tiga tahun tinggal di Makkah. Orangnya sabar dan ramah menghadapi setiap peserta rombongan, terlebih pada mereka yang sudah tua dan sering kesasar bila keluar hotel. Usianya mungkin lebih muda dari saya. Setelah lulus pesantren di Jawa Timur dia langsung kuliah di Makkah. Tante bercerita bahwa umumnya orang Indonesia yang kuliah di sana kerja sampingan sebagai pemandu rombongan umrah, koki atau pramusaji.
 
;