26 October 2011

The Falling Leaf Doesn’t Hate The Wind

Bahwa hidup harus menerima...penerimaan yang indah.
Bahwa hidup harus mengerti...pengertian yang benar.
Bahwa hidup harus memahami...pemahaman yang tulus
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana. Dan kita akan mengerti, kita akan memahami...dan akan menerima. Karena daun yang jatuh tak pernah membenci angin. (Tere-Liye)

Daun memang tak perlu membenci angin.....tapi gravitasi” (seorang teman, yang menyembunyikan matanya)

“.........”(aku)

Tanpa gravitasi, bumi ini adalah...hampa

Rindu Lewat Hujan

Sore ini hujan kembali turun. Aku terbangun dengan rasa yang tak menentu. Sejak lama aku selalu senang memandang hujan yang turun satu-satu dan semakin lama semakin deras. Tapi kali ini menjadi berbeda. Berbeda oleh segurat rasa yang menyeruak di antara denting air yang menghujam bumi. Muncul begitu saja bersama hawa dingin sore. Rasa yang jika berwarna mungkin sama dengan warna langit yang abu-abu dan mengambang seperti kabut. Aku memutar gagang pintu, keluar menghirup basah harum bumi. Kulihat sekitar, semua tampak berjalan pelan. Selalu ada ketenangan selepas hujan. Orang-orang terdiam memandang air yang jatuh di pinggiran atap. Sepertinya setiap manusia punya kenangan tersendiri dengan hujan. Lalu aku kembali ke kamar. Sejenak kututup mata. Membiarkan semuanya mengalir. Tak perlu ada perlawanan. Tak perlu ada penolakan akan kehadiran yang hampir mustahil dihindari. Lalu, kutatap cahaya remang yang menembus kaca jendela. Matahari masih berusaha menerangi bumi dengan sisa-sisa cahayanya. Kuraih laptop dan kutuliskan satu paragraf tentang kau, hujan dan sekeping rindu.
25 October 2011

Cemburu

Beberapa jam yang lalu, sebuah pesan dari seorang teman masuk ke hp saya. Dia curhat kalau sedang dilanda rasa cemburu pada orang yang bukan apa-apanya. Apa itu cemburu ? Saya pun masih belum jelas tentang definisi cemburu. Yang saya tahu, cemburu itu adalah semacam perasaan tidak suka atau tidak rela terhadap perlakuan yang diberikan seseorang pada orang lain. Entah itu diberikan sama kadarnya atau lebih dari yang diberikan pada kita. Misalnya saja saya cemburu pada adik saya yang dibelikan hadiah oleh ibu atau ayah sementara saya tidak. tapi di sini pun saya ragu, ini cemburu atau iri. Atau mungkin saja kedua kata ini selalu berjalan bergandengan. Entahlah. Ada yang punya definisi lebih jelas ?

Salah seorang teman mengatakan bahwa siapapun tidak berhak cemburu pada orang yang memang bukanlah siapa-siapanya. Kalaupun orang itu adalah 'teman dekatnya', baginya itu tetaplah bukan apa-apanya. Saya sepakat dengan teman saya. Tetapi manusia tidak bisa menolak kapan rasa itu datang. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengendalikannya. Saya pun sering mendapati diri saya berada dalam balutan perasaaan cemburu, entah dalam ruang lingkup keluarga maupun di luarnya.

Dalam novel Padang Bulan, Abang Ikal mengatakan bahwa cemburu adalah perahu nabi Nuh yang tergenang di dalam hati yang karam. Lalu naiklah ke geledak perahu itu, binatang yang berpasang-pasangan yakni perasaan tak berdaya-ingin mengalahkan, rencana-rencana jahat-penyesalan, kesedihan-gengsi, kemarahan-keputusasaan, dan ketidakadilan-mengasihani diri. Cemburu adalah perasaan ganjil, perasaan paling aneh yang pernah diciptakan Tuhan untuk manusia.

Yang jelas, cemburu itu sangat tidak menyenangkan. Selain memang rasa cemburu itu sendiri yang tidak enak, cemburu juga bisa membuat saya menjadi serba salah. Saya tidak masalah menjadi tempat menumpahkan keluh kesah. Itu artinya saya masih dibutuhkan sebagai teman. Tapi kadang waktunya yang kurang tepat. sepertinya sulit juga menjadi teman yang “selalu ada” setiap dibutuhkan.
20 October 2011

Tak Tersentuh

Seperti bintang di langit, ia tak tergapai, tak tersentuh. Hanya kerlipnya yang bisa kutatap dari jarak ribuan tahun cahaya. 
Seperti bintang di langit, ia selalu muncul di saat gelap, kala bumi dipeluk malam.

Pantun dan Masa Kecil

Masa kanak-kanak bukan karena dilahirkan bagi usia tertentu dan pada usia tertentu
anak bertumbuh, dan meninggalkan hal-hal kekanakan. Masa kanak-kanak serupa
kerajaan di mana tak ada yang meninggal

-Edna St. Vincent Millay-

Masa kecil yang bisa saya ingat adalah sebuah pulau yang terpisah dari ibu kota kabupaten dan dijuluki sebagai pusat hal-hal mistis. Saya pertama kali diajari membaca bukan lewat buku-buku pelajaran sekolah tapi dari kaleng-kaleng mentega dan buku-buku sastra milik ayah yang tersimpan dalam peti kayunya. Buku-buku pelajaran di rumah ada banyak tapi saya lebih tertarik membaca tulisan yang ada di kaleng susu, kaleng mentega, kaleng biskuit dan kardus-kardus mie goreng. Jika bulan sedang purnama, ayah biasanya mengajak saya dan adik jalan-jalan keluar entah hanya untuk beli gula, teh, garam di warung yang terletak di ujung desa atau hanya mengukur jalan ke tepi pantai. Saat berjalan dan menatap rembulan itulah ayah akan bercelutuk begini :

Terang bulan terang di kali
Buaya timbul kusangka mati
Jangan percaya mulut lelaki
Berani sumpah takut mati

Saya tidak sepenuhnya paham maksud kalimat-kalimat yang ayah katakan, tapi saya kagum karena pertama, setiap kalimatnya selalu diakhiri huruf “i”. Kedua, di awal kalimat disebutkan tentang bulan dan kali (sungai). Jika menyebutkan dua hal ini saya selalu teringat gambar Kabayan dalam buku-buku cerita lama yang diilustrasikan dengan bulan purnama, sungai, sawah dan seorang lelaki bersarung. “Itu disebut pantun”, kata ayah saat ditanya tentang kalimat-kalimat tadi. Itulah saat pertama kali saya mendengar istilah pantun. Bagi saya, gambar Kabayan yang bersarung dengan rembulan, sungai dan sawah adalah representasi pantun yang disebutkan ayah. Setelahnya ayah akan menyuruh saya menuliskan pantun tadi. Begitulah cara ayah mengajari saya baca tulis. Beberapa waktu kemudian ayah masih menyebutkan pantun-pantun lain seperti :

Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur panjang
Semoga kita berjumpa lagi

Elok rupanya si kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah pulang

Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
15 October 2011

Masih Di Sini

Kepada angin yang berhembus, kepada gelombang laut yang kuseberangi, kepada langit yang beranjak senja, kepada ribuan bintang yang menghiasai angkasa, kepada rembulan yang mengambang, kepada malam yang membungkus separuh bumi, kepada mimpi yang kugantungkan, kepada takdir yang tertutup , kepada debu yang melayang, kepada daun-daun yang berguguran, kepada hujan yang jatuh satu-satu, kepada waktu yang beranjak menjauh, kepada jalan yang berliku, kepada yang selalu dirindukan, kepada embun yang menghujam tanah, kepada bayang kabut waktu subuh, kepada hati yang berbolak-balik, kepada air mata yang mengering, kepada senyum yang tersembunyi, kepada puisi yang tersimpan, kepada kenangan yang berlalu, kepada buku-buku yang terkurung, kepada temaram cahaya lampu, kepada cerita yang berakhir, kepada nafas di awal pagi...dengarkan aku...
Aku masih di sini...
Masih di sini...
Di sini...
.....
.....
.....
Kepada Engkau yang menguasai langit dan bumi. Kepada Engkau, Sang Pemilik Segala Sesuatu. Kepada Engkau, yang memegang detak jantung ini...
Aku masih di sini Tuhan...
Masih di sini...
Masih mengharap ampunanmu...
Meratap padaMu...
Hanya Engkau yang Maha Mendengar...
Bukan dia...
Bukan mereka...
14 October 2011

Reuni Sunyi

Remember what I said long time ago ?
I never stop thinking about it (2003)
“Bukan waktu yang singkat, kan?”
“Ya, sayang kita tak bisa melipatnya”
“Tak masalah”
“Bodoh, justru di situ letak masalahnya”

If only I could make you realize
If only time could give us just another chance (2006)
“Kau pernah menemukan hal seperti itu ?”
“Tidak”
“Lalu, kau percaya hal itu benar-benar ada?”
“Ya, tentu saja”
“Kenapa ?”
“Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tidak punya pilihan lain”

Then I would hold you in my arms(2009)
“Kadang kupikir itu hanya bayangan”
“Dia memang bayangan, yang semakin lama semakin nyata”
“Kuharap itu bukan ilusi”
“Dia tetaplah dia”

If I could turn the hands of time
Now, it seems like forever I can't get you off my mind
“Itu pertaruhan yang berisiko”
“Oh ya, kenapa ?”
“Kau tahu, terkadang angin bisa membuatmu tak mungkin berbalik arah”
“Aku tak berpikir untuk kembali”
09 October 2011

Laut Bukan Tempat Sampah

Apa itu romantis ? Bunga, lilin, malam, atau kado ? Bagiku, salah satu hal yang romantis adalah duduk berdua dengan buku di tengah laut kala langit di ambang sore, sebelum senja. Perjalanan lewat laut ketika pulang kampung selalu menjadi perjalanan yang paling kutunggu-tunggu. Selalu ada sensasi tersendiri dalam setiap putaran roda bus yang merayapi jalanan. Dimulai dari terminal Mallengkeri kemudian melewati lima kabupaten dan akhirnya bertemu dengan laut. Karena perjalanan melewati lima kabupaten tadi bisa memakan waktu empat jam, sehingga waktu sudah menjelang sore saat Feri mulai berlayar.

Dan inilah bagian yang paling kusukai, yaitu duduk di kursi paling pinggir dekat dinding kapal yang terbuka sambil membaca buku. Angin bebas, langit jingga dan teman duduk yang menyenangkan di tengah-tengah laut adalah hal yang sangat...romantis. Jika mata mulai agak lelah membaca, maka perhatian kualihkan sejenak ke laut. Suara angin dan bunyi jutaan buih air laut yang pecah ditabrak badan kapal adalah alunan pengusir kebosanan. Kadang kutemukan sebagian diriku masih percaya pada kisah fantasi dalam buku atau film bahwa di dalam laut berwarna biru gelap itu, ada monster yang senantiasa memburu kapal yang melintas di atasnya atau putri duyung cantik yang gemar menggoda para pelaut kemudian menyantap tubuh mereka.


Oke, kembali ke topik. Sayangnya, keromantisan yang kusebutkan tadi akan berakhir menyebalkan karena sekantong sampah. Lebih tepatnya sampah yang dibuang ke laut. Bagi sebagian orang mungkin ini terdengar remeh, toh sampah yang dibuang akan jadi makanan bagi penghuni laut. Teori mana yang menyebutkan bahwa ikan makan plastik dan botol minumam ? Rasanya sungguh menjengkelkan ketika kau sedang asyik menikmati riak-riak laut dan ikan yang berenang di sisi kapal lalu tiba-tiba melintas sekantung sampah, kaleng, bungkus rokok dan botol-botol minuman. Anak kesehatan lingkungan bisa mencak-mencak melihat ini. Lagipula di dinding kapal sudah ditulis dengan huruf arial bold warna merah berbunyi “DILARANG MEMBUANG SAMPAH KE LAUT”. Kupikir setiap orang yang tahu baca tulis dan juga sopan santun, seharusnya bisa mematuhinya. Kogoro Mouri bilang, peraturan dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar.


Bayangkan saja bagaimana rasanya jika suatu hari kau sedang asyik lari-lari pagi atau sedang khusyuk makan siang tiba-tiba sebuah sampah ruang angkasa jatuh di atap rumah dan menimpa kepalamu. Itu karena sekumpulan alien di luar sana sedang menikmati camilan sambil berkendara mengunjungi teman sesama alien di planet lain. Lalu tanpa sengaja bungkusan camilannya jatuh di planetmu, dan dengan keakuratan yang mengerikan, mengenai kepalamu. Yah, tidak apa-apa, kau bisa memaafkannya toh si alien tidak sengaja. Tapi bagaimana jika setiap kali lewat, alien itu melakukan hal yang sama. Beberapa tahun kemudian planetmu tidak ada lagi bedanya dengan tempat pembuangan akhir.


Terserah ilustrasi ini mau dibilang berlebihan atau bagaimana tapi menurutku seperti itulah kondisi penghuni laut. Dan kita, manusia yang melewati wilayahnya, tak ubahnya makhluk asing yang menyeberang ke galaksi lain. Rasanya kurang ajar jika orang asing seenaknya mengotori daerah penduduk asli bahkan menganggap sampahnya adalah makanan bagi mereka. Laut adalah elemen penting dalam keseimbangan ekosistem. Tidak perlu berpanjang lebar tentang teori-teori lingkungan dan betapa pentingnya laut yang telah membuat bumi ini dijuluki planet biru. Di samping itu, tidak sedikit dari kita yang menggantungkan hidupnya bahkan makanan kita pun berasal dari hasil laut. Jadi berhubung kita sangat membutuhkan laut dan isinya, maka kita pun harus ikut menjaga dan melestarikannya. Caranya sangat mudah, minimal, JANGAN BUANG SAMPAH KE LAUT.

Buku Yang Membunuh

Dr. ‘Aidh Al Qarni mengatakan bahwa seseorang bisa terbunuh karena sebuah tulisan atau sebuah novel. Saya tidak tahu apa kata terbunuh di sini adalah arti yang sebenarnya atau hanya kiasan. Saya sempat googling tentang buku yang bisa membunuh dan ternyata ada sebuah buku yang cukup ramai dibicarakan beberapa tahun lalu. Buku itu disebut sebagai buku yang membunuh karena Mark David Chapman meminta John Lennon menandatangani kopi buku tersebut pada pagi hari sebelum ia menembak mati bekas personel The Beatles itu beberapa jam kemudian. Disebutkan pula bahwa John Hinckley, si penembak Presiden Ronald Reagan, mengaku mendapatkan inspirasi aksinya dari buku yang sama selain kasmarannya pada Jodie Foster. Tentu saja saya kaget karena saya pun pernah membaca buku ini tiga bulan yang lalu dan baru tahu kontroversinya kemarin, saat sedang keluyuran di dunia maya.

Buku itu adalah sebuah novel psikologi berjudul Catcher In The Rye. Saat pertama kali melihat, saya tidak begitu tertarik membacanya karena dari sampul saja sudah bergambar mata satu, ciri khas zionis dan ternyata penulisnya memang adalah keturunan Yahudi. Tapi karena teman saya sangat pintar berpromosi bahwa novel itu bagus untuk dibaca jadi berpindah tanganlah novel tersebut sementara waktu. Novel ini pertama kali diterbitkan di Amerika tahun 1951 dan sempat dilarang beredar karena dianggap memicu pembacanya untuk bertindak kriminal (na'udzubillah).

Buku ini menceritakan tentang masa-masa labil remaja Amerika yang mencari identitas diri. Kesan saya di awal-awal membaca buku ini adalah bahwa  si Holden (tokoh utama) membenci dunia dan orang-orang sekitarnya. Sepanjang buku ini kita akan disuguhi monolog berupa umpatan dan caci maki Holden pada teman sekamarnya, gurunya, teman klub, perempuan, film, dll. Walau begitu akhir ceritanya memang menyentuh. Sebenarnya membaca novel ini membuat saya berkaca pada kehidupan masa remaja. Meski kehidupan remaja Amerika sangat berbeda dengan remaja Indonesia tapi mereka mempunyai persamaan yaitu sama-sama masa yang penuh emosi, mimpi, kelabilan, pemberontakan dan pencarian identitas. Masa remaja adalah masa yang paling merepotkan. Setelah membaca novel ini, saya harus 'menetralisir' suasana yang tadinya penuh dengan kesinisan dengan membaca kembali Sang Pemimpi-nya abang Ikal yang bernuansa semangat, menghargai dan kehangatan. Ibarat hitam dan putih, kupikir buku pun begitu, ada buku yang bisa membuatmu hidup dan ada pula buku yang membuatmu serasa mati.

Ngomong-ngomong ada lagi sebuah novel thriller terjemahan keluaran tahun 2003 yang baru-baru saya khatamkan berjudul The Devil’s DNA. Dan bukunya sukses membuat saya “terbunuh”. Berhari-hari saya berusaha menyelesikannya tapi tidak sempat karena tugas yang menumpuk dan berhubung kemarin saya seharian di rumah teman, begitu bangun sampai menjelang maghrib, buku itu terus berada di tangan saya. Andai dia bisa bicara mungkin dia akan berteriak karena sesak napas.

Sebenarnya, saya kadang agak malas membaca novel luar negeri karena meski sudah diterjemahkan saya masih saja tidak paham. Di samping karena otak saya yang lemot ibarat pentium dua kena petir, orang barat juga mempunyai budaya, tontonan, kebiasaan, gaya bahasa bahkan lelucon yang tidak saya pahami. Ini sangat berbeda dengan penulis dalam negeri. Ketika hampir menyelesaikan bagian epilognya, rasanya seluruh isi lambung saya merangkak naik ke kerongkongan. Pengen muntah rasanya. Sudah ceritanya yang berliku-liku, akhir yang tak terduga, ditambah lagi bahasa yang berat benar-benar membuat kepala saya pening.

Tapi harus saya akui, mereka memang hebat dalam menulis. Mampu merangkai peristiwa, menggabungkan kriminal dengan psikologi, dan akhir yang tak bisa ditebak bahkan dalam beberapa novel terkesan menggantung. Seperti memberi pesan pada pembaca bahwa kejahatan tidak akan pernah selesai dan masih banyak orang gila tak kasat mata yang berkeliaran di luar sana. Bisa jadi orang gila itu adalah teman kuliahmu, suamimu, atasanmu, pembantumu atau mungkin salah satu anggota keluargamu sendiri. Membaca novel thriller memang bisa membuat seseorang paranoid dan sebagian orang gila malah terinspirasi karenanya. Mereka membawa alur fiksi itu ke dunia realita, dan akhirnya terjadilah kejahatan yang mengerikan. Sehingga benarlah kata Dr. 'Aidh Al-Qarni bahwa banyak orang yang terbunuh karena sebuah tulisan atau novel. Tapi sekali lagi, ini buatan orang Amerika. Di sana memang banyak orang gila. Dan semoga kegilaan itu tidak menular ke Indonesia. Eh, tapi ngomong-ngomong masalah kesadisan dan kegilaan, katanya orang Asia jauh lebih mengerikan dibanding orang Amerika atau Eropa. Entah ini benar atau tidak.
04 October 2011

Saat Jatuh Cinta

Kami bertemu secara kebetulan. Ah, tapi tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah ditakdirkan. Aku pertama kali melihatnya di sebuah toko, berhubung aku memang sering mampir ke sana. Tapi saat itu aku hanya melihatnya sekilas dan waktu berlalu. Selanjutnya, beberapa kali aku mampir ke toko itu, dia juga selalu hadir di sana, atau masih ada di sana. Aku hanya tahu nama dan beberapa partikel kecil tentang dirinya. Tapi pernah selama satu bulan dia tidak pernah muncul di toko itu. entah dia menghilang kemana.

Hingga suatu hari aku kembali bertemu dengannya di pelataran lantai 1 perpustakaan umum kampusku. Sepertinya saat itu dia sedang jalan-jalan ke sana. Aku melihatnya duduk bersandar di koridor yang agak agak remang-remang. Dari jauh aku sudah bisa mengenalinya tapi di koridor itu dia tampak seperti siluet. Dia memang selalu memakai pakaian berwarna gelap dan bergambar baju yang berlumuran tinta atau mungkin cat. Tapi dia hanya  diam. Selalu diam. Dia terlihat angkuh dan tak peduli pada lalu lalang manusia di hadapannya. Dan dia juga terlihat kotor, kulihat debu-debu menempel di bajunya. Entah darimana atau apa yang dia lakukan sampai begitu. Dia menikmati duduk bersandar di koridor, dia terlihat kusut dan kelelahan. Dia hanya duduk dalam diam, tak sedikitpun meminta orang lain untuk melihat apalagi memperhatikannya.

Sebenarnya aku ingin melihatnya dari jarak dekat dan bermaksud menyapanya tapi berhubung aku sudah terlambat masuk kuliah dan saat itu temanku sudah menyeretku menjauh jadi kupikir mungkin dia masih akan di sana sampai kuliahku selesai. Sayangnya, kuliahku selesai jam empat sore lewat dan ketika kembali ke sana, dia sudah pergi.

Kemudian suatu hari, entah angin apa yang membawanya tapi tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depan kosku. Dia datang bersama tetangga kamarku. Aku hanya melongo melihatnya. Kau percaya takdir ? Yah, aku percaya, jodoh memang takkan kemana. Akhirnya dia pun mulai bercerita tentang banyak hal. Tentang arti hidup, tentang semangat, tentang pengorbanan, tentang mimpi, tentang penderitaan, tentang dendam dan tentang memaafkan.

Tepat detik terakhir dia bercerita, aku bergumam dalam hati, “astaga, aku jatuh cinta”. Tolong, tolong jangan menghakimi dulu. Saya akan menjelaskannya. Mungkin ini  aneh atau bahkan konyol. Tapi adakah yang lebih aneh dari cinta ? Aku hanya jatuh cinta padanya. Hanya itu. Dan setiap orang punya perasaan semacam itu. Meski apa yang kurasakan memang sedikit berbeda. Aku seakan bisa melihatnya menangis meski ketika bercerita dia bersikap biasa. Juga bisa kurasakan dia tertawa bebas meski dia menceritakannya dengan sangat-sangat datar, tanpa ekspresi hanya terlihat hitam dan putih. Tapi aku senang mendengar kisahnya. Sekarang dia sudah pergi tapi aku masih selalu mengingatnya, mengingat kisah yang dia ceritakan padaku. Dia bernama Story dan dia adalah sebuah BUKU. (sampai di sini silakan tertawa)

Yah, intinya kawan-kawan, saya hanya sedang jatuh cinta (lagi) pada sebuah buku. Begitulah, saya kadang gampang jatuh cinta pada...buku. Selama menurut saya buku itu menginspirasi maka saya bisa jatuh cinta entah itu tulisan Aidh Al Qarni, Salim A. Fillah, Andrea Hirata, Rizki R, Tere Liye atau Arthur Conan Doyle dan inilah yang bisa membuat saya bangkrut di awal bulan untuk membeli buku atau bisa membuat saya menjadi perompak (memaksa pinjam meski yang punya buku keberatan) Huhuhu...

Begitulah, makanya kubilang tadi jangan menghakimi dulu. Dan oh ayolah, jangan terlalu serius begitu dong. Santai...oke...santai. Peace !
03 October 2011

Catatan Halaman 16

Angin berhembus di sisi jendela, membawa debu halus mengisi ruas-ruas kamar. Pelan kubuka kelopak mata. Samar kutatap langit kamar, laba-laba berjuang menyulam istana, melawan gravitasi. Burung-burung kertas tergantung didekatnya, berputar diolok-olok angin. Di bawahnya berdiri cermin yang retak tiga tahun lalu. Kulihat pantulan bayang di dalamnya, berantakan tak berbentuk. Berapa lama aku terbaring di sini ? Sehari ? Seminggu ? Berapa purnama yang terlewati ? Entahlah, detik-detik berguguran tak terhitung.


Aku ingin keluar. Aku harus keluar. Kulempar buku yang sesak napas dalam genggamanku. Ia membentur dinding, mengerang kesakitan di sudut kamar. Kuseret langkah menelusuri lorong-lorong tanpa cahaya lampu. Kuputar gagang pintu. Berharap. Sia-sia. Tak ada apapun di sana. Langit telah kehilangan matahari. Awan berdarah disayat senja. Hari meregang nyawa, pasrah diseret waktu ke lubang kematian. Menyisakan nisan kenangan. Kulintasi lagi lorong kamar yang semakin mengelam. Kukunci kamar dan kuraih buku itu kembali. Kupaksa ia menemaniku tenggelam bersama malam, yang belum berhenti merekatkan pecahan-pecahan gelap.
 
;