28 January 2014

Keindahan Hukum di Zaman Umar

Kisah ini dikutip dari tulisan Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul Menyimak Kicau Merajut Makna. Sebuah kisah yang menggambarkan betapa adilnya proses hukum dan indahnya ukhuwah di zaman generasi terbaik. Kemampuan Salim A. Fillah mengolah kata mampu menyentuh hati para pembaca. Sampai terisak saya dibuatnya. Semoga Allah senantiasa menguatkan beliau dan mengistiqomahkannya dalam berdakwah menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Dan semoga pemimpin, penegak hukum serta kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah ini.

Suatu hari Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyura’ membahas aneka persoalan. Tiga orang pemuda datang menghadap; dua bersaudara berwajah marah mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belengguan mereka.

“Tegakkanlah keadilan untuk kami, hai Amirul Mukminin,” ujar seorang. “Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!”

Umar bangkit. “Bertakwalah kepada Allah,” serunya pada semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda ?” selidiknya.

Pemuda itu menunduk sesal. “Benar wahai Amirul Mukminin!” jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!” tukas Umar.

“Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini,” ungkapnya. “Saat sampai,” lanjutnya, “kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak dan ragas-rigis tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini.”

“Wahai Amirul Mukminin,” ujar seorang penggugat, “kau telah mendengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.”

“Tegakkanlah had Allah atasnya!” timpal yang lain. Umar galau dan bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu. “Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya,” ujar Umar, “dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat.”

“Izinkan aku,” ujar Umar, “meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayar diyat atas kematian ayahmu.”

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda dengan mata masih menyala merah; sedih dan marah, “kami sangat menyayangi ayah kami. Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk membuat kami kaya,” ujar salah satu, “hati kami hanya akan ridha jika jiwa dibalas dengan jiwa!”

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab; tetap kehabisan akal yakinkan penggugat.

“Wahai Amirul Mukminin,” ujar pemuda tergugat itu dengan anggun dan gagah, “tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha kepada ketentuan Allah,” lanjutnya, “hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah dan kewajiban yang tertanggung ini.”

“Apa maksudmu?” tanya hadirin. “Urusan muamalah kaumku,” ujar pemuda itu, “berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua. Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan qishash dalam Al-Qur’an, aku akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku.”

“Mana bisa begitu!” teriak penggugat. “Nak,” ujar Umar, “tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini ?”

“Sayangnya tidak Amirul Mukminin. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung utang dan tanggungan amanah lain ?”

“Baik,” sahut Umar, “aku memberimu tangguh 3 hari, tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau akan menepati janji untuk kembali.”

“Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini. Hanya Allah, hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman kepada-Nya,” rajuknya.

“Harus orang yang menjaminnya!” ujar penggugat, “andai pemuda ini ingkar janji, siapa yang akan gantikan tempatnya untuk diqishash?”

“Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mukminin!” sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al-Farisi.

“Salman ?” hardik Umar, “demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!”

“Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu ya Umar,” ujar Salman, “aku percaya kepadanya sebagaimana engkau memercayainya.”

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat mengkhawatirkan Salman. Shahabat perantau negeri; pengembara iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan sahabatnya.

Mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tenang dan tawakkal melangkah siap ke tempat qishash. Isak pilu tertahan. Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram; terseok, terjembab, lalu bangkit dan nyaris merangkak. “Itu dia!” pekik Umar.
Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh dan napas putus-putus ambruk di pangkuan Umar.

“Maafkan aku,” ujarnya, “hampir terlambat. Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari.”

“Demi Allah,” ujar Umar sambil menenangkan dan meminumi, “bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini ? Mengapa susah payah kembali ?”

“Supaya jangan sampai ada yang mengatakan,” ujar terdakwa dalam senyum, “di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”

“Lalu kau, hai Salman,” ujar Umar berkaca-kaca, “mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kaukenal sama sekali?”

“Agar jangan sampai dikatakan,” jawab Salman teguh, “di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara.”

“Allahu Akbar!” pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, “Allah dan kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya.”

“Kalian,” kata Umar makin haru, “apa maksudnya ? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tidak jadi diqishash ? Allahu Akbar! Mengapa ?” 

“Agar jangan ada yang merasa,” sahut keduanya masih terisak,” di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang.”

Mencari Jalan Kebahagiaan

Kemarin siang saya berkeliaran di jalan raya memburu alamat rumah. Setelah keliling beberapa lama, alamat itu belum juga ditemukan, padahal jarum tanki sudah menunjuk garis merah tanda bensin sekarat. Akhirnya saya memutuskan mengisi bensin dulu di SPBU terdekat. Tidak ingin kejadian dorong-mendorong motor terulang lagi karena kehabisan bensin. Selesai mengisi bensin, pencarian dilanjutkan kembali. Berdasarkan petunjuk lewat sms, rumah itu berada di dalam kompleks dekat sebuah yayasan. Tetapi ada dua kompleks yang berdampingan di wilayah itu. Saya memilih masuk kompeks pertama. Setiap orang yang saya temui dan tanyakan tentang alamat itu menggeleng tidak tahu. Orang terakhir malah tersenyum simpul ketika ditanya letak alamat tersebut.

“Jalan Kebahagiaan ? Kedengarannya menarik. Sepertinya saya juga harus mencari jalan itu”, katanya menahan senyum.

Gubrakkk…

“Bukan, maksudnya Jalan Kebahagiaan Utara blok a. Tahu ?” 

“Maaf, tidak tahu”

Karena tidak dapat juga, saya memutuskan mencari di kompleks kedua yang berada tepat di samping kompleks pertama. Setelah mutar-mutar, belok kiri belok kanan, akhirnya ketemu juga alamat yang dimaksud. Ternyata letaknya tidak jauh dari gerbang masuk. Saya saja yang terlalu jauh mencari ke belakang. Jalan itu malah masih terlihat dari kompleks pertama. Jadi kepikiran, apa sebegitu parahnya pengaruh individualisme sampai-sampai tidak mengenal nama jalan yang berada tepat di samping kompleksnya ? Sekuat itukah dinding pemisah setinggi 2 meter untuk menjauhkan jarak yang sebenarnya dekat ? Ah sudahlah. Toh, alamat yang saya cari sudah ditemukan.

Alamat itu adalah alamat baru teman saya. Setelah menikah dia dan suaminya pindah rumah. Tetapi selama tinggal di rumah baru, saya belum pernah berkunjung ke sana. Tujuan utama sebenarnya untuk meminta dijahitkan selembar kain. Sejak pekan lalu ibu terus mendesak agar membawa kain itu ke penjahit karena harus saya kenakan dalam sebuah acara bulan depan. Teman saya terampil menjahit. Daripada membawanya ke tempat lain, lebih baik bawa ke dia saja. Setelah ngobrol beberapa lama, dia pun memberikan pilihan berbagai model pakaian. Banyaknya pilihan yang ditawarkan membuat saya bingung sendiri. Harusnya sebelum datang saya minta saja dia menyiapkan tiga model supaya lebih gampang memilih.

Setelah membolak-balik berbagai gambar, saya pun menunjuk satu model pakaian. Dia lalu menjelaskan panjang lebar mengenai model itu termasuk beberapa bahan tambahan yang diperlukan. Saya sesekali menimpali dengan “hmm” dan “oh, begitu”. Setelah itu, dia memastikan sekali lagi dan saya jawab oke. Gambar ditutup. Teman saya berjalan ke meja mengambil alat ukur dan memberi isyarat agar saya mendekat. Saat berdiri di hadapannya, tiba-tiba saya berubah pikiran.

“Kak, rencana berubah. Model yang tadi tidak jadi. Ganti dengan yang lebih simpel. Tidak perlu bahan tambahan. Cukupkan dengan kain yang ada.”

Dia yang sudah siap dengan meteran di tangannya terdiam, menatap saya lekat-lekat. Beberapa detik berlalu, tawanya pecah. Kening saya berkerut.

“Kenapa ketawa, kak ?”, tanya saya bingung. 

“Tidak. Tiidak ji. Bukan apa-apa. Hmm, tapi untuk persoalan yang lebih serius, jangan begitu ya”

“Persoalan yang lebih serius, misalnya ?”

“Misalnya, ada yang datang. Kamu sudah mengiyakan. Semua sudah setuju. Tapi tiba-tiba kamu batalkan sendiri. Bisa gawat, kan kalau begitu”

Seperti menyadari hal penting yang luput dari perhatian, saya tertegun sejenak. Diikuti anggukan kepala tanda setuju.

“Iya ya”

“Makanya jangan plin-plan”

Dalam perjalanan pulang, kata-katanya masih terus berputar di kepala. Jangan plin-plan. Pada situasi tertentu, saya bisa bersikap tegas. Bisa mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Entah keputusan itu tepat atau tidak, sebab yang ditekankan adalah keyakinan saya ketika memutuskan. Setelah menakar berbagai kemungkinan tentunya. Yang saya sesali adalah jika ragu-ragu dengan keputusan yang saya ambil. Sampai kapan pun saya tidak akan tenang.

Pada situasi berbeda, saya juga bisa bersikap tidak jelas seperti tadi. Merasa blank, tak ada petunjuk untuk mengambil keputusan. Terlebih untuk sesuatu yang bersifat dadakan sementara tidak ada rencana atau persiapan sebelumnya. Biasanya, saya merencanakan sesuatu berurutan dan melakukannya sesuai rencana yang dibuat. Tapi seringnya, sesuatu yang tidak direncanakanlah yang justru terjadi. Seperti ungkapan terkenal John Lennon bahwa Life is what happens to you while you’re busy making other plans. Atau seperti nasihat kultum pondokan pada suatu malam bahwa di atas rencana kita, ada rencana Allah. 

Sejauh ini memang belum ada persoalan serius tingkat internasional menyangkut ke-plin-planan itu. Tapi kata-kata teman tadi, terus terang, membuat saya takut jika suatu saat benar-benar dihadapkan pada persoalan serius dan harus mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Semoga saat itu tiba, saya diberi keyakinan kuat dan dituntun pada keputusan yang tepat.

26 January 2014

Nonton Drama

Kebanyakan orang menyukai drama. Mungkin karena itu, tayangan sinetron tak pernah berhenti. Karena itu drama Korea sangat digemari. Karena itu film-film India tak pernah mati. Di kos saya, terutama di area belakang adalah penggemar berat drama Korea. Setelah menonton, bisa dipastikan dapur akan heboh oleh komentar para penonton. Saya pernah melihat teman kos geleng-geleng kepala sambil memegang keningnya seperti sedang depresi. Setelah ditanya barulah saya paham, dia masih kepikiran drama korea yang baru saja ditontonnya.

Dari segi jenis drama, penghuni kos saya terbagi beberapa kecenderungan. Ada penyuka drama Korea, ada penyuka film India, ada penyuka film Indonesia asal pemerannya Reza Rahadian dan ada penyuka drama jepang. Beberapa kali saya ditawari nonton drama korea, tapi sangat jarang ada yang menarik, atau minimal memancing rasa penasaran. Saya selalu tidak bisa menyelesaikan episode pertama. Kalau satu episode saja tidak bisa selesai, bagaimana lagi episode selanjutnya. Selain itu, jujur saja, drama korea sering membuat saya bingung. Semuanya cantik, dan agak mirip satu sama lain. Saya jadi kesulitan membedakan setiap tokoh. Saya juga tidak suka adegan drama yang pemerannya menangis keras, kadang lebih cocok disebut berteriak dibanding menangis. Sejauh pengamatan saya, drama Korea banyak menampilkan hal semacam ini. Tapi faktor yang paling penting adalah jumlah episode. Saya pernah mencoba nonton salah satu drama korea, tapi begitu melihat jumlah episodenya yang mencapai angka 26, batal deh.

Setiap siang, biasanya ada satu atau dua penghuni kos yang khusyuk nonton film India di ruang tamu. Film jadul yang diputar berulang kali sampai-sampai penonton bisa hapal beberapa dialognya. Saya yang baru pulang memilih mengurung diri dalam kamar. Tapi, lari dari film India malah masuk drama Jepang (halah). Berawal dari opening yang unik, saya justru larut nonton drama. Ada lima kata di bagian opening drama ini yang mewakili karakter setiap tokoh yaitu : Love, Liberation, Agony, Solitude dan Contradiction. Ceritanya agak beda dengan drama kebanyakan karena mengusung tema domestic violence, broken home dan pengalaman traumatis. Karena tidak berminat lama-lama di drama sepanjang 11 episode ini, jadi saya menonton sambil men-skip. Bila sudah paham jalan cerita tiap episode, dialog yang panjang-panjang dilewati saja demi menghemat waktu. 

Di antara semua tokoh, yang paling menarik perhatian saya adalah karakter si Contradiction. Benar-benar kontradiksi. Paling antagonis di antara tokoh yang lain. Sikapnya yang posesif dan ringan tangan sukses membuat penonton emosi. Tapi di sisi lain, karakter ini justru bersikap hangat dan kebapakan terhadap anak kecil yang ditemuinya. Saya jadi tidak bisa membencinya. Ekspresi datarnya membuat saya beranggapan bahwa orang ini sebenarnya menderita. Akhir ceritanya juga boleh dibilang sempurna dengan kematian tokoh ini. Walau sebelum itu berkali-kali saya bergumam dalam hati, “Jangan mati. Ayolah, jangan mati. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi.” Drama yang bagus karena mampu membuat mata saya berkaca-kaca. Terakhir kali nangis sesenggukan (halah) nonton drama adalah sewaktu menonton Nankyoku Tairiku. Pemilihan Prisoner of Love-nya Utada Hikaru juga sangat pas dalam drama ini.
19 January 2014

Jodoh Itu (Kadang) Sederhana Saja

Kalau dipikir-pikir (halah), jodoh itu adalah perkara yang memusingkan. Ada yang rumit seperti rumus fisika. Dan ada pula yang sederhana. Sesederhana mengatakan bahwa hari minggu itu hari libur, jadi seluruh sekolah tutup. Beberapa fakta di lapangan yang saya saksikan juga menunjukkan demikian. Dua orang bertetangga. Satu kuliah di Makassar, satu kuliah di Jogja. Nyaris tidak pernah bertemu semasa kuliah. Setelah pulang kampung, bertemu secara tidak sengaja di sebuah toko, bulan depannya undangan sudah disebar.

Sepupu saya seorang pelaut. Bertahun-tahun hidup di tengah air asin dengan cuaca yang berubah-ubah, kadang cerah kadang badai. Mengingatkan saya pada kehidupan di anime One Piece. Dia sudah berkali-kali ganti kapal dan menginjakkan kaki di berbagai negara dan benua. Dan berkali-kali mengajukan “proposal” ke ibunya. Proposal pertama berisi calon istri asal India. Tante sebenarnya membolehkan, tapi diberi pertimbangan begini, “Ibu sudah tua dan tidak kuat bepergian jauh. Ibu berharap kamu menikah dengan orang yang tidak jauh dari rumah.”

Proposal pun batal, diganti dengan proposal lain yang beberapa tahun berikutnya masih terus berganti. Seingat saya, yang terakhir adalah seorang perempuan asal Sumatera. Tante mengiyakan. Tapi entah kenapa yang itu pun tidak jadi. Suatu ketika tante berpapasan dengan teman lama. Tiba-tiba pembicaraan berbelok ke persoalan anak yang belum menikah. Teman tante yang merupakan guru sejarah saya semasa SMP ternyata punya anak perempuan yang juga belum menikah dan sudah bertahun-tahun bekerja di sebuah instansi di Jawa.

Dari pembicaraan tersebut timbullah rencana menikahkan keduanya. Percaya atau tidak, hanya dalam hitungan hari rencana itu terwujud. Saya bahkan tidak yakin apa sepupu saya dan calonnya itu dipertemukan terlebih dahulu atau hanya sekadar dikabari lewat telepon. Tapi bukan masalah karena sebenarnya mereka teman seangkatan sewaktu SMA walau hampir tidak pernah bertukar sapa. Sejak kelas satu si perempuan sudah menduduki kelas ekslusif untuk orang-orang pintar. Dan sesuai dengan doa ibunya, jodoh sepupu saya bukan orang yang jauh. Jarak antara kedua rumah mereka bila dihitung-hitung tidak sampai dua kilometer. Jodoh memang (kadang) sederhana ya.

Dan kali ini giliran si Arai wannabe. Saya masih tidak habis pikir. Orang ini tidak pernah serius, suka berkelakar dan sering sarkastis. Orang sini mengistilahkannya dengan maccalla. Kanjeng Mami sendiri bilang, siapapun yang berteman dengan makhluk antik ini harus siap-siap sakit hati :D. Btw, orang ini disebut antik karena di tengah gempuran media sosial, dia tidak tertarik bergabung di dunia twitter, facebook, line, whatsapp, wechat, BBM dll. Orang ini hanya bisa ditemui di dua tempat : yahoo messenger dan blog.

Orang ini suka maccalla. Sewaktu masih di China, sempat ditanya kenapa tidak memilih Jepang saja ? Dia menjawab : Jepang ? Apa tuh, negara kecil. Eh, beberapa bulan kemudian dia kena batunya. Harus ke Jepang dan tinggal di sana selama setengah tahun. Persoalan jodoh juga dia tidak pernah serius. Sampai berbusa mulut temannya menasihati orang ini. Inti nasihatnya hanya dua : lupakan perempuan itu dan cari yang lain. Tak disangka, jodohnya datang dengan cara yang terlalu sederhana. Tepatnya di sebuah warung. Warung jenis apa dia tidak mau bilang. Tapi karena disebut warung, bukan restoran atau rumah makan, pikiran saya jadi mengarah ke warung sari laut yang banyak ditemui di pinggir jalan.

Karena minimnya info yang diberikan, dia pun didemo. Kisahmu itu berliku-liku, masa cuma segitu ? Masa sesederhana itu ? Masa endingnya begitu ? Dia mengelak. Katanya kisahnya tidak berliku-liku, lurus-lurus saja. Hanya berisi satu orang tapi panjang dan lama. Dan sabtu kemarin, si Arai wannabe pun melangsungkan akad nikah. Sudah resmi ganti status. Untuk resepsi pernikahan di kampung, katanya nanti diselenggarakan setelah dia kembali dari India. Mungkin sekitar tiga atau empat bulan ke depan. Sebenarnya di hari pernikahannya saya ingin memposting tulisan yang dia tulis dalam sebuah buku harian sewaktu menjelang kelulusan SMA. Tapi izin terbit belum tembus jadi batal, deh. 

Iya, perkara jodoh memang (kadang) sederhana saja. Ada banyak kisah semacam ini di sekitar kita. Entah kita saksikan sendiri atau diceritakan lewat lisan orang lain. Tapi saya teringat dengan kicauan seorang teman pada suatu hari di dunia twitter. Persisnya bagaimana saya lupa, tapi intinya begini, jangan terburu-buru mencantumkan nama seseorang sebagai bagian dari masa depanmu, sebab belum tentu orang yang bersangkutan mencantumkan namamu sebagai bagian dari masa depannya. Dan teringat pula nasihat murabbi, tempuhlah jalan yang diridhai Allah. Teruslah belajar memperbaiki diri. Jangan lupa berdoa meminta kekuatan. Sebab, orang yang berilmu pun tidak ada yang aman dari perkara hati.
15 January 2014

Berita Cetar Membahana Tahun Ini


Jika muncul kekosongan, sesuatu harus datang mengisinya. Karena itulah yang dilakukan semua orang 
~Haruki Murakami~ 

Awal tahun lagi-lagi membawa berita yang disebut-sebut cetar membahana versi Kanjeng Mami. Kemarin, hujan turun cukup deras. Cuaca dingin. Saya sedang membaca buku sambil berbaring. Buku yang sudah dibaca, tapi dibaca kembali. Sama seperti ingatan yang dikumpulkan kembali menjadi kenangan (halah). Tiba-tiba ponsel berbunyi tanda satu pesan masuk. Saya meraih posel, membaca pesan itu sembari menguap. Hujan di siang hari memang momen yang sempurna untuk tidur. Tetapi, sebaris kalimat pendek dalam pesan itu langsung mengusir rasa kantuk saya. Mata saya melebar menangkap isi pesan itu. Gabungan antara kaget, tidak percaya dan bahagia. Saya terlonjak bangun dan membaca pesan itu sekali lagi. Sekali lagi. Dan sekali lagi.

Segera saya mengetik balasan. Saking semangatnya sampai banyak salah ketik di beberapa bagian. Tanpa peduli dengan susunan huruf yang kacau, pesan balasan pun dikirim.  Beberapa menit kemudian, tanda panggilan masuk berdering. Begitu mengangkat telepon, saya langsung mencecar si Kanjeng Mami dengan berbagai pertanyaan. What, Where, When, Who, Why and How (halah). Beberapa poin penting terjawab. Tapi masih samar-samar. Menyisakan ketidakpuasan bagi saya sebagai penanya. Telepon ditutup. Saya tercenung, sembari mengingat berita cetar membahana tahun lalu.

Bila tahun lalu kabar bahagia datang dari si Perempuan, pesan masuk tadi menyampaikan kabar bahwa kali ini, giliran si Arai wannabe (maafkan saya untuk nama samaranmu) yang membawa berita gembira. Tepatnya hari sabtu pekan ini. Pantas saja blognya kosong melompong selama dua bulan lebih. Terkejut juga dapat berita mendadak begini. Tapi bersyukur, karena akhirnya selesai juga cerita itu. Kini, teman-temannya tidak perlu lagi disibukkan dengan berbagai percobaan perjodohan.

Ngomong-ngomong, setelah sebelumnya terdampar di Jepang sono, makhluk ini kembali mendaratkan kakinya di Thailand dan tinggal selama beberapa bulan di sana. Sewaktu saya ikut dalam perjalanan enam hari di Bangkok, ada rencana bertemu demi oleh-oleh yang dipesan Kanjeng Mami. Tapi karena sesuatu dan lain hal, akhirnya pertemuan itu tidak jadi.

Setelah dua belas tahun menatap satu sosok, tak disangka jodohnya justru datang dari negeri antah berantah. Berdasarkan hasil investigasi, tersangka mengaku bahwa setelah menikah nanti, dia akan berkelana ke India. Katanya biar pulang nanti sudah pintar joget dan jadi artis. Tapi, masih menurut pengakuan tersangka, dia tidak akan membawa istrinya ke India, cukuplah dijadikan pajangan di rumah (sungguh terlalu). Demi acara pernikahannya nanti, dia sampai jauh-jauh datang ke rumah calon istrinya di Kalimantan dengan membawa keluarga besar (duileee…). Nah, berdasarkan penyelidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setelah menikah, pasangan ini terancam masuk salah satu kategori status yang sering disebut-sebut di twitter, LDR (haduh, saya jadi ikut-ikutan lebay). Tapi kurang lebih begitulah penuturan salah satu informan terpercaya kami.

Baiklah, sebelum berubah menjadi lebih konyol lagi, saya akhiri tulisan ini dengan doa yang senantiasa diucapkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam untuk orang yang melangsungkan pernikahan : 
Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair 
(Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan) 

Setelah menulis, hujan di luar sudah reda. Matahari menyapu langit sore dengan warna keemasan. Mendung sepertinya sedang hijrah ke tempat lain. Bagaimana menurutmu tonganni mentia’ ? Sejauh ini belum ada konferensi pers untuk para fans club. Hohoho ^_^
05 January 2014

Menulis Bagi Saya

Saya ini pencoret-coret, bukan penulis. Orang disebut penulis bila sudah menerbitkan buku. Disebut penulis bila tulisannya dimuat di berbagai surat kabar, tabloid atau majalah. Disebut penulis bila tulisan tetap fokus dari awal sampai akhir. Sementara pencoret-coret, seperti saya misalnya, hanya tipe yang senang mengisi lembar kosong di kala senggang. Tipe yang bila menulis, judul lari ke timur dan isi lari ke barat.

Awal mula menulis, karena saya kesulitan menguraikan jalinan-jalinan rumit di kepala. Seperti ada benang panjang dengan berbagai warna berkelindan di dalam sana. Lebih buruk lagi saya bukan orang terbuka. Hasil tes sidik jari menyebutkan saya termasuk tipe introvert. Tapi juga tidak begitu menutup diri. Setidaknya masih tahu kapan harus membaur dan kapan harus menarik diri. Pribadi introvert membuat seseorang terbiasa mengungkapkan setengah saja dari apa yang dipikirkannya. Bahkan mungkin lebih sedikit lagi. Suatu ketika saya sadar semakin sulit mengekspresikan sesuatu. Saya lalu mengambil pena dan mulai menulis apa yang ada di kepala. Apa yang saya pikirkan, saksikan dan rasakan dituangkan dalam tulisan. Menulis membantu menemukan kata yang mewakili apa yang sebelumnya sulit saya ungkapkan. Menulis, pada awalnya, adalah cara untuk menolong diri saya sendiri.

Setidaknya, ada lima buku harian kecil hasil dari pekerjaan mencoret-coret itu. Dari keseluruhan, tidak ada yang benar-benar terisi sampai lembar terakhir. Selalu ada belasan lembar yang dibiarkan kosong begitu saja. Di suatu malam yang cerah, menjelang berangkat kuliah ke kota, buku-buku itu dikumpulkan di halaman rumah nenek. Ditumpuk bersama sampah plastik, ranting pohon, daun-daun kering dan beberapa kotak kardus, lalu dibakar hingga menjadi abu. Menulis adalah pekerjaan yang menyakitkan ternyata. Tetapi menulis juga bisa menyenangkan. Mungkin karena menjadi alat untuk mengenal diri. Mungkin juga untuk menipu diri. Mungkin juga semacam percobaan untuk menyembuhkan diri. Setiap orang bisa berpindah-pindah pada situasi berbeda.

Bagaimana pun, membubuhkan makna pada kalimat itu menyenangkan. Membaca kalimat yang indah itu menyenangkan. Menemukan kata yang tepat untuk suatu kondisi itu menyenangkan. Dan membagi hal-hal menyenangkan kepada orang lain pun sesuatu yang menyenangkan. Seperti kata Chris Johnson dalam Into The Wild, Happiness only real when shared. Kesepakatan saya dengan Chris hanya untuk kalimat terakhirnya sebelum wafat. Bukan pada pilihan hidupnya yang mengasingkan diri karena kecewa pada masyarakat. Kita memang harus berani hidup sendirian. Tapi bukan dengan lari dari orang-orang. Saya lebih sepakat dengan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss, bahwa tak bisa dipungkiri, kebahagiaan itu berasal dari orang-orang di sekitar kita.

Kita adalah manusia yang terjebak di antara dua waktu. Masa lalu dan masa depan. Sesuatu yang tak dapat diubah dan sesuatu yang tak pernah pasti. Kita berjalan tepat di tengah-tengah. Terkadang, saya merasa seperti ditarik dari arah depan dan belakang. Kadang dari arah kiri dan kanan. Kadang juga seperti ditarik dari segala penjuru. Rasanya seperti berdiri dengan tubuh yang utuh tapi tercerai-berai di dalam. Mungkin itu tarikan dari sesuatu di masa lalu, mungkin tarikan harapan dari masa depan, mungkin tarikan pengaruh baik, mungkin juga dari pengaruh buruk. Saya berusaha menjabarkannya. Memilahnya satu-satu, mendefinisikannya satu per satu. Karena itu saya menulis.

Tapi saya hanya pencoret-coret. Tulisan saya bukan karya sastra, apalagi seni. Bila menginginkan seni atau sastra, kata Haruki Murakami, sebaiknya baca saja karya orang Yunani. Sebab sistem perbudakan sangat diperlukan untuk menciptakan seni murni. Begitulah yang terjadi di zaman Yunani kuno, budak-budak membajak ladang, mengolah makanan, mendayung perahu, sementara saat itu penduduk kota tenggelam dalam pembuatan sajak di bawah mentari laut tengah dan mengutak-atik matematika.

Kita hidup di tengah putaran waktu yang cepat. Segala sesuatu berlalu. Tak seorang pun mampu menangkap semua itu. Sebagian bisa dipetik hikmahnya. Sebagian lagi tidak. Sebagian kita sadari, selebihnya tidak. Seperti itulah kita menjalani hidup. Mungkin, karena itu juga saya menulis.

Saya bukan pensil yang bisa menulis kebahagiaan orang lain. Juga bukan penghapus yang bisa menghapus kesedihan orang lain. Tetapi Ali bin Abi Thalib pernah berkata, tulislah sesuatu yang akan membahagiakanmu di akhirat. Saya sadar, tulisan saya kebanyakan hal-hal yang tidak penting. Yang tidak berarti di antara ribuan tulisan lain yang memberi manfaat bagi orang-orang. Saya juga tidak berjanji akan selalu menulis hal-hal yang berguna. Tapi saya berharap, kata-kata Ali bin Abi Thalib itu selalu menjadi pengingat yang baik di kala terlupa.
02 January 2014

Setumpuk Ulang


Seperti rutinitas hari yang terus berulang. Secangkir teh, buku, kuliah, tugas, jurnal, begadang, deadline

Seperti jalanan kampus yang dilewati berulang. Samanea saman, lapangan, hutan, danau, masjid kampus,

Seperti hujan yang datang berulang. Basah, dingin, harum

Seperti rindu yang hadir berulang. Dermaga, angin, seragam putih abu-abu, rumah, masakan ibu

Seperti cerita yang dikisahkan berulang. Rembulan, jendela, bola mata dan ruang jingga

Untukmu,
Selalu ada lembar kosong bagi kata, yang ditulis berulang :
Selamat tidur, semoga angin memelukmu dalam sejuk dan harum di awal pagi


Nb : Hei, satu dekade sudah berlalu. Menurutmu, ombak itu masih sendirian ?

Ketika Buku Menjadi Petaka

Menuntut ilmu membutuhkan kesabaran. Semangat generasi salaf dalam mencari ilmu tak jarang mengundang decak kagum. Seorang Ibnu Abbas pernah tidur berbantal kain hingga tertutup pasir di depan pintu rumah salah satu shahabat Nabi demi mendengar hadits Rasulullah. Seorang Abdullah bin Hamud Az Zubaidi pernah tidur di kandang ternak gurunya agar bisa mendahului murid-murid lain dan bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Seorang Ibnu Jandal Al Qurthubi pernah terkelupas daging punggungnya karena melewati terowongan bawah tanah yang sempit demi mengikuti sebuah majelis ilmu.

Seorang Imam Asy-Syafi’i yang yatim harus menulis ilmu di atas tulang putih sebab ibunya tak mampu membeli kertas. Seorang Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi yang faqir menulis pelajaran dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan sebab tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Ada pula ulama yang menempuh perjalanan satu bulan hanya demi memperbaiki satu hadits yang didengarnya. Betapa kita berhutang pada generasi tersebut atas hadits-hadits shahih yang sampai kepada kita saat ini. Mereka yang paham bahwa meski seluruh hidupnya digadaikan untuk ilmu, sang ilmu hanya memberikan sebagian dari dirinya. Maka bila semangat menekuni ilmu itu hanya setengah-setengah, ilmu pun akan memberikan dirinya lebih sedikit lagi.

Tidak hanya menjaga semangat, ulama salaf juga senantiasa menjaga kelurusan niat. Sebab sebagaimana adab pertama menuntut ilmu harus dengan niat ikhlas, maka hal pertama yang menghalangi masuknya ilmu adalah niat yang rusak. Niat bisa rusak karena adanya kecintaan akan popularitas. Ingin didengar, ingin terkenal dan ingin mendapat pujian dari manusia. Karenanya, popularitas menjadi sesuatu yang paling dijauhi para ulama. Sofyan ats-Tsauri pernah berkata bahwa tidak ada perkara yang lebih berat dan senantiasa beliau perbaiki selain niat. Beliau adalah seorang imam hadits yang bila bepergian, tidak ingin dikawal oleh murid-muridya. Yang bila melewati keramaian, akan mencari jalanan sepi karena takut orang-orang akan menyambutnya. Keikhlasan semacam inilah yang membuat mereka semakin tawadhu setiap kali keluar dari majelis ilmu.

Membaca dan menelaah banyak buku adalah salah satu cara menimba ilmu. Kitab-kitab warisan para ulama telah banyak diterjemahkan hingga akhirnya sampai ke tangan kita. Tetapi buku, akan menjadi sumber petaka bila yang dominan hanya mengumpulkan atau sebatas membaca untuk menambah pengetahuan, dan tidak dibarengi dengan amalan. Buku menjadi petaka ketika pemilik hanya menjadi kolektor demi memenuhi ruang-ruang kosong dalam lemari. Buku menjadi petaka ketika semangat baru muncul bila ada diskon buku, tetapi minus dalam penerapan. Ulama terdahulu menuntut ilmu bukan dengan mengoleksi buku. Mereka mencari ilmu dengan melakukan perjalanan mendatangi ratusan guru. Ilmu yang diperoleh itu kemudian dicatat dalam kitab-kitab. Begitulah seharusnya seorang penuntut ilmu.

(Kumpulan nasihat murabbiyah di akhir pekan). Nasihat yang dalam, kak…
 
;