16 December 2016

Buku-buku Yang Pernah Saya Baca, dan Saya Menyukainya

Singkatnya, buku-buku favorit versi saya. Tentu saja tergantung seberapa banyak buku yang sudah dibaca. Favorit itu kadang subjektif. Bisa jadi kita suka tapi orang lain tidak, dan sebaliknya. Buku favorit versi saya mungkin bisa diibaratkan kemudi. Saya menyukai bacaan yang mampu mengubah sesuatu dalam diri saya atau minimal menggerakkan kemudi itu. Membuat saya tidak lagi sama seperti sebelum membacanya. Kadang ada buku yang tidak begitu dikenal atau tidak laku di pasaran sampai-sampai harganya dibanting semurah mungkin, tapi ternyata saya menyukainya. Dan kadang ada buku yang terjual jutaan copy bahkan sudah difilmkan tapi saya merasa biasa saja. Dalam arti tidak juga suka, dan tidak juga tidak suka.

Jika membaca bagi para kutu buku adalah passion mereka, saya membaca hanya saat mood. Jika kutu buku mampu menamatkan puluhan bahkan ratusan buku dalam setahun, saya hanya membaca buku dalam hitungan jari. Jadi buku yang saya baca sangatlah sedikit. Meski begitu, inilah 27 daftar bacaan favorit versi saya :

Kategori Fiksi

Semua novel karangan Andrea Hirata
Pertama kali baca Laskar Pelangi waktu baru lulus SMA. Waktu itu belum ada label best seller-nya. Belum dilirik orang. Novel ini menjadi titik awal perubahan selera baca saya yang perlahan-lahan mulai meninggalkan teenlit. Setelah itu berturut-turut muncul Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Sebelas Patriot, Dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas serta Ayah

Novel karangan Haruki Murakami
Dengarlah Nyanyian Angin, Norwegian Wood, IQ84 jilid 1 sampai 3, dan Dunia Kafka. Saya berharap tuan-tuan penerbit akan menerjemahkan novel Murakami yang lain. Murakami identik dengan keterasingan. Jika diminta merekomendasikan novel, saya tidak akan memasukkan Murakami dalam daftar. Saya sangat suka tulisannya. Hanya saja, mungkin saya akan lebih bahagia jika tidak pernah membaca novelnya. Mirip dengan paradoks terhadap kampung halaman. Ingin selamanya tinggal di sana, sekaligus ingin pergi sejauh-jauhnya dari sana.

Novel komedi hitam yang banyak memparodikan tokoh politik dunia. Berawal ketika seorang kakek memutuskan kabur dari panti jompo menjelang ulang tahunnya yang ke-100. Karya penulis asal Swedia ini masuk kategori best seller dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Novelnya yang kedua berjudul The Girl Who Saved The King of Sweden. Tapi saya lebih suka yang pertama.

Burial Rites karangan Hannah Kent
Karya fiksi yang didasarkan pada kisah nyata Agnes Magnusdottir, orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati atas peran sertanya dalam pembunuhan Natan Katilsson dan Petur Jonsson pada tahun 1828 di Illugastadir, Islandia Utara.

If I Stay karangan Gayle Forman
If I Stay, Where She Went, Just One Day, Just One Year, dan I Was Here adalah novel mbak Forman yang sudah diterjemahkan. Saya suka semuanya. Tapi paling suka If I Stay karena banyak bercerita tentang kehangatan keluarga.

Hector And The Search For Happiness karangan Francois Lelord 
Perjalanan seorang psikiater yang berkeliling dunia mencari arti kebahagiaan. Selama ini ia melihat banyak pasien yang tidak puas atau tidak bahagia dengan hidup mereka. Perjalanannya itu menghasilkan sederet daftar tentang kebahagiaan.

Kesetiaan Mr. X karangan Keigo Higashino
Salah satu seri Detektif Galileo. Dalam novel ini, detektif Yukawa sang pakar fisika beradu kecerdasan dengan teman semasa kuliahnya, Ishigami, sang genius matematika. Ishigami berjuang melindungi Yasuko, tetangga kamarnya yang menjadi tersangka pembunuhan mantan suaminya sendiri. 

Paper Towns karangan John Green
Secara umum, saya suka semua novel John Green. Khas remaja. Hidup, penuh petualangan dan lucu. Tapi Paper Towns adalah yang terbaik. Sayangnya, adaptasi filmnya mengecewakan. So, don’t judge a book by its movie.

Dwilogi Samurai (Kastel Awan Burung Gereja dan Jembatan Musim Gugur) karangan Takashi Matsuoka
Novel yang kurang terkenal tapi bikin saya book hangover berhari-hari.

The Catcher in The Rye karangan JD. Salinger
Disebut sebagai 100 buku terbaik sepanjang masa. Sikap kenak-kanakan Holden memang menjengkelkan (umurnya baru 16 tahun), tapi caranya memandang hubungan antar manusia membuatnya seperti sudah hidup puluhan tahun. Bagian yang paling menyentuh adalah saat adiknya terseok-seok membawa koper karena ingin ikut kemana pun Holden pergi. 

The Rosie Project karangan Graeme Simsion
Tentang ahli genetika yang membuat proyek istri untuk mencari pendamping hidup ideal. Manis, ringan, menjengkelkan dan lucu.

Klub Film karangan David Gilmour
Diangkat dari kisah nyata sang penulis yang mengizinkan putranya berhenti sekolah dengan syarat mereka menonton 3 film setiap pekan.

Alex karya Pierre Lemaitre
Novel kriminal asal Perancis. Berbeda dengan The Girl on The Train-nya Paula Hawkins dan Gone Girl-nya Gillian Flynn, novel ini tidak mengandalkan twist yang memukau. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat saya tersentuh. Sesuatu yang biasanya tidak disajikan oleh genre semacam ini.

Aurora karangan Machito Satonaka
Apa komik bisa digolongkan sebagai buku ?
Sebenarnya ada banyak komik yang membekas dalam ingatan kanak-kanak saya, yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Sebut saja Rose of Versailles, Harlem Beat, Slam Dunk, Pengantin Demos, One Thousand Years of Love Song, Samurai Kyo, Samurai X, Yasha, Detective Conan, Detective Q, dll. Tapi di antara semua itu, Aurora yang paling kuat jejaknya. Entah cerita dalam komik itu yang terus teringat, atau kenangan ketika membaca komik itu yang tidak mau hilang. 

Kategori Non Fiksi 

Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
Kisah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari lahir hingga wafat. Buku ini saya tamatkan setelah lulus SMA, minjam punya sepupu. Buku ini mendapat predikat sirah terbaik yang diselenggarakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islami.

Knight Templar Knight Of Christ karya Rizki Ridyasmara
Saya masih kelas satu SMA waktu baca buku ini. Dan lagi-lagi minjam dari sepupu. Bacaan sepupu saya memang kece. Mulai tahu sedikit tentang konspirasi, Freemasonsry, zionis, dll lewat buku ini.

Buku-buku karya ustadz Salim A. Fillah
Kalau yang ini sudah tidak diragukan lagi. Karya-karya beliau selalu jadi best seller. Bukunya yang pertama kali saya baca kalau tidak salah adalah Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku-buku karya Akmal Sjafril
Bagi yang tertarik dengan tema perang pemikiran tanpa membuat jidat berkerut, buku-buku karya beliau patut jadi bacaan. Seperti Islam Liberal 101 dan Islam Liberal Ideologi Delusional.

Taman Orang Jatuh Cinta karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Membahas seputar cinta tidak akan ada habisnya. Ada ribuan bahkan jutaan buku yang membahas tema ini dari berbagai sudut pandang. Tapi dari sudut pandang agama sepertinya tidak banyak. Salah satunya buku ini. Serba-serbi cinta dalam padangan islam dibahas lengkap oleh Imam Ibnu Qayyim al-Juziyah. 

Lost Islamic History karya Firas Alkhateeb
Buku ini mencoba menyambungkan benang sejarah Islam dari masa kenabian sampai ke masa kini. Dan sesuai dengan judulnya, banyak kejadian penting dalam sejarah islam yang mungkin saja tidak diketahui kebanyakan muslim. Penulis juga meluruskan bias sejarah yang sering ditemukan dalam tulisan para orientalis. Serta tidak lupa menghidupkan kembali kontribusi besar para pemikir dan ilmuwan muslim yang kerap diabaikan buku-buku sejarah.

Enjoy Your Life karya Dr. Muhammad al-'Areifi
Pada dasarnya buku ini mirip dengan buku-bukunya Dale Carniege yang berisi seni berinteraksi dengan sesama manusia. Bedanya, penulis memasukkan kisah-kisah inspiratif dari kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai contoh. Buku ini banyak menolong saya dalam bersosialisasi dengan orang lain.

Melacak Kekafiran Berfikir karya Muhammad Thalib
Masih tema perang pemikiran. Buku ini bermaksud meluruskan aqidah dan membersihkan pemahaman tauhid generasi muda. Ada sebelas kerangka berpikir yang dikritisi oleh penulis yaitu paham relativisme, paham zaman sebagai ukuran, manusia sebagai penguasa alam, sikap sains, asumsi sebagai aqidah, budaya kilowatt, personifikasi dalam sastra, positivisme, ideologi emansipasi, prinsip pragmatisme dan, paham plurlisme agama.

Waras di Zaman Edan karya Prie GS
Prie GS adalah pengamat dan perangkai kata yang mengesankan. Ada-ada saja hikmah yang dipetik dari setiap kejadian. Tak banyak orang yang bisa seperti itu.

Buku-buku yang ditulis Malcolm Gladwell
Sejauh ini bukunya yang saya baca baru tiga : Blink, The Outliers dan What The Dog Saw. Dan sejauh ini saya menyukai ketiganya.

Think Like A Freak karya Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner
Dua penulis aneh yang membahas tentang cara berpikir ala orang aneh. Yang menarik bahwa orang aneh itu bukanlah orang yang berpikir rumit atau berpikir besar. Mereka hanya berpikir sederhana, dan terkadang seperti anak-anak.

The Geography of Bliss karya Eric Weiner
Ada 3 buku Eric Weiner yang sudah diterjemahkan : The Geography of Bliss, The Geography of Faith dan The Geography of Genius. The Geography of Faith sedikit mengecewakan. The Geography of Genius lumayan. Dan The Geography of Bliss adalah yang terbaik.

Trilogi Titik Nol karya Agustinus Wibowo
Kisah perjalanan Agustinus Wibowo ke berbagai negara. Selimut Debu menceritakan kisahnya selama beberapa tahun tinggal di Afganistan. Garis Batas bercerita tentang perjalanannya menjelajahi negeri-negeri “Stan” di Asia Tengah. Dibanding Selimut Debu dan Garis Batas, Titik Nol menjadi yang paling nyaman dibaca. Gaya bahasanya berkembang pesat di buku ini. Yang saya suka dari penulis ini adalah bahwa ia bukan pelancong yang hanya tinggal satu atau dua minggu di suatu tempat kemudian menulis kisah perjalanannya. Tapi ia tinggal bertahun-tahun di Afganistan sehingga benar-benar memahami kultur masyarakat di negara itu. Begitulah seharusnya traveler sejati.
01 December 2016

Klub Film


Ketika anak laki-laki David Gilmour yang berusia lima belas tahun, Jesse, mulai keteteran dalam semua mata pelajaran di sekolah, ayah yang satu ini menawarkan perjanjian yang tidak lumrah: Jesse boleh berhenti sekolah –tidak bekerja, tidak membayar sewa rumah–tapi dengan satu syarat. Dalam seminggu, Jesse harus menonton tiga film yang dipilih ayahnya. Maka, minggu demi minggu, ayah dan anak duduk bersebelahan menonton film-film terbaik (dan kadang terburuk) di dunia –serta mengobrol tentang film dan kehidupan. Kemudian, ketika klub film mereka hampir mencapai akhir yang membahagiakan sekaligus menyedihkan, tapi tak terelakkan, Jesse membuat keputusan yang membuat semua orang terkejut, termasuk ayahnya…

Boleh berhenti sekolah asal mau nonton 3 film tiap minggu ? Wow, sungguh Ayah yang anti mainstream. Secara garis besar buku ini berisi memoir sang penulis, David Gilmour, selama tiga tahun membuat klub film sebagai ganti pendidikan anaknya. Semua nilai mata pelajaran Jesse anjlok. Yang lebih parah, ia sudah kehilangan minat terhadap sekolah. Jadi Ayahnya menawarkan kesepakatan : Jesse boleh berhenti sekolah, tidak perlu kerja, tidak perlu bayar uang sewa, tapi ia harus nonton tiga film yang dipilih ayahnya setiap minggu. Selain itu Jesse dilarang memakai obat-obatan. Jika dilanggar maka kesepakatan batal.

Ada buku yang hanya akan dibaca kalau diharuskan. Itu seninya pendidikan formal. Orang dituntut membaca banyak hal yang biasanya tidak pernah mereka gubris. (hal. 32)

Jesse tinggal bersama ayah dan ibu tirinya, Tina. Ini karena Maggie, ibu kandungnya, beranggapan bahwa remaja laki-laki sebaiknya tinggal bersama laki-laki dewasa. David dan Maggie sudah lama berpisah. Meski begitu mereka rutin berkomunikasi terutama jika menyangkut perkembangan Jesse. Bahkan saat David mendapat pekerjaan baru, ia mengajak Maggie dan Jesse liburan ke Kuba. Di sisi lain, Tina, istri David yang sekarang, adalah wanita yang sangat pengertian. Pembaca tidak akan menemukan drama istri-cemburu-pada-mantan istri. Atau ibu tiri jahat ala Cinderella. Tidak ada hal semacam itu. Tina boleh dibilang cukup dekat dengan Jesse. Ketika Jesse terpuruk karena patah hati, Tina mampu menjadi orang yang menyenangkan untuk diajak bicara oleh anak tirinya.

Memilih film bagi orang lain adalah urusan serius. Seperti halnya menulis surat untuk seseorang, hal itu bisa mengungkap jati diri kita. Hal yang menunjukkan pola pikir kita, menunjukkan apa yang menggugah perasaan kita, bahkan terkadang hal itu bisa menunjukkan pendapat kita tentang bagaimana cara dunia memandang kita. (hal 212)

Minggu demi minggu mereka lewati dengan nonton film. Kadang-kadang film terbaik, kadang-kadang film terburuk, kadang-kadang film horror, film sakit jiwa sampai film-film romantis. Mereka membahas banyak hal seperti adegan terbaik di setiap film, aktor dan aktris terbaik menurut pendapat masing-masing, mengapa aktor A begitu melegenda, siapa saja sutradara dan penulis skenario di balik film-film sukses, sampai pada kehidupan pribadi para aktor dan sutradara. Pembaca akan disuguhi daftar panjang film, tahun produksi, penjelasan singkat kehidupan sang aktor atau aktris dan apa saja yang terjadi di balik layar pembuatan film. 

Kebanyakan film-film yang mereka tonton adalah film klasik, produksi tahun 80-an ke bawah. Kadang-kadang disinggung juga beberapa film era 90-an. Di sela-sela pembahasan tentang film itulah David menyisipkan pelajaran untuk anaknya, yang biasanya diambil dari cerita film. Misalnya saat mereka menonton film pertama mereka, The 400 Blows, David pelan-pelan membimbing Jesse untuk mencari persamaan situasi antara tokoh utama dengan kehidupan Jesse sendiri. Film adalah hal yang dikuasai oleh David. Jadi dia mendekati anaknya lewat satu-satunya hal yang ia kuasai. David sudah berpengalaman mewawancarai berbagai selebriti dan public figure di acara TV bahkan menjadi penulis di sebuah majalah atau surat kabar (lupa yang mana) sebagai kritikus film. Tapi hebatnya, ia tidak pernah menggurui jesse atau menguliahinya tentang makna dari film-film yang mereka tonton. David hanya menjelaskan uraian singkat sebagai pengantar dan selebihnya mereka diskusikan bersama.

David menyadari bahwa sekolah bisa membuat seseorang menjadi pembohong dan licik. Ia menemukan berlembar-lembar tugas sekolah yang disembunyikan di kamar anaknya. Jesse takut dimarahi ayahnya, tapi di satu sisi ia juga tidak mampu mengerjakan tugas itu. Jadi ia menyembunyikannya dan berkata bahwa tidak ada tugas sekolah. Licik, bukan ? Tapi buku ini tidak sedang mengajak orangtua untuk menarik anak mereka dari sekolah. Bagaimana pun, David sendiri mengalami pergulatan batin yang hebat. Ia memikirkan bagaimana jika ternyata keputusannya menyuruh Jesse berhenti sekolah adalah kesalahan besar ? Bagaimana jika di masa depan anaknya akan hidup tanpa pekerjaan dan kecanduan obat-obatan. Tapi ia mengenal anaknya. Jesse bukan tipe orang yang bisa dipaksa, menakut-nakutinya hanya akan membuat anak itu membangun kastil yang tidak bisa dimasuki siapapun. Jadi David bersabar. Ia bicara jika perlu dan tidak memperpanjang kata-kata. Ia tidak akan memaksa masuk ketika ada saat Jesse menutup kastilnya. Malah kadang kupikir David ini begitu hati-hati terhadap anaknya. Seolah-olah anaknya terbuat dari kaca yang rapuh, yang jika disentuh sembarangan akan pecah berantakan. Ketika Jesse sedang kacau karena masalahnya, David biasanya memberi nasihat singkat misalnya kurang lebih seperti ini : Jesse, bagaimana pun kacaunya kau saat ini, saranku jangan pakai obat-obatan. Kokain hanya akan membuatmu semakin buruk. Saat ini mungkin tidak, tapi ketika terbangun nanti kau akan merasa seperti di neraka. Nah, berapa banyak orangtua yang bisa sesabar itu menghadapi anaknya ? Berapa banyak orangtua yang tetap diizinkan keluar masuk kastil anaknya ketika pelan-pelan anak-anak itu mulai dewasa dan menarik diri ?

Di satu sisi, Jesse membuat saya sedikit jengkel. Yah, sebenarnya anak ini manis. Sungguh. Lihat saja fotonya di halaman terakhir. Hehehe. Oke maksudnya bukan begitu. Maksudnya adalah dialog antara Jesse dan ayahnya yang heartwarming. Misalnya “Apa Ayah menyayangiku ? Karena aku menyayangi ayah.” atau “Apa Ayah marah ?” atau “Bagaimana, Yah ? Tidak jelek, bukan ?” Ayah-anak bisa saling terbuka dan mengungkapkan cinta satu sama lain itu benar-benar menyentuh. 

Tapiiiii (i-nya sampai lima)…yang lebih mendominasi masalah Jesse ternyata adalah soal pacar. Sebut saja Rebecca Ng atau Chloe Stanton McCabe. Polanya selalu berulang, Jesse naksir si cewek tapi si cewek suka orang lain, dan si orang lain itu malah tidak peduli sama si cewek . Begitu terus sampai negara api menyerang. Yah, sebenarnya tidak persis begitu juga. Rebecca meninggalkan Jesse awalnya karena sibuk mengejar karir, ingat, Jesse tidak sekolah dan pekerjaannya hanya mencuci piring di sebuah resto. Tapi dia kembali lagi dan pelan-pelan mulai tertarik pada Jesse. Ujung-ujungnya malah Jesse yang memutuskan Rebecca. 

Kau tahu apa yang dikatakan Lawrence Durell, Jesse ? Kalau kau ingin melupakan seorang wanita, jadikanlah dia tulisan.” (hal. 181)

Yang paling parah adalah sewaktu putus dengan Chloe, lagi-lagi (kalau tidak salah) Jesse yang memutuskan, tapi malah dia sendiri yang terpuruk. Akhirnya David memberi saran agar Jesse menulis lagu, kebetulan hobi sampingan Jesse adalah rap. Ia dan sahabatnya, Jack, punya group bernama Corrupted Nostalgia. Jesse pun menulis lagu berjudul Angels. Lagu itu itu adalah ungkapan patah hatinya pada Chloe. Mereka bahkan membuat video klip-nya. Dan tebak, siapa perempuan dalam video klip itu ? Yep, Chloe sendiri pemirsahhh… Karena artis yang seharusnya jadi model sedang sakit (atau apalah) sehingga Chloe dipilih jadi pengganti. Ajaib, kan ? Karena penasaran, saya pun melacak video klip itu di Youtube. Hahaha…

“Anak-anak menghabiskan masa kecilnya untuk bersiap-siap meninggalkan kita.”
“Iya, tetapi pernahkah mereka sepenuhnya meninggalkan kita ?” (hal. 258)

Setelah tiga tahun, klub film mereka hampir berakhir. Mereka sudah jarang nonton. Jesse sudah keluar dari rumah, itu hal yang wajar bagi anak usia 19 tahun untuk hidup mandiri dan menghidupi dirinya sendiri. Ini yang saya suka dari pendidikan mereka. Keputusan Jesse di akhir membuktikan bahwa klub film selama tiga tahun tidaklah sia-sia. Setidaknya ia sudah menemukan apa yang ia inginkan. Kupikir inilah yang paling penting. Terkadang kita hanya melaju terus tanpa benar-benar memahami apa yang kita lakukan. Atau untuk apa. Tapi ada orang-orang yang memilih berhenti dan merenungkan semuanya. Merenungkan mengapa mereka harus mengambil jalan itu. Mereka memang akan terlambat dibanding yang lain. Tapi ketika mereka menemukan jawabannya, mereka akan melesat dan tidak lagi bisa dihentikan. 

Ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang, dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda di mana biasanya dia akan mulai mengunci diri dari orangtuanya, sungguh merupakan sebah anugerah tak terduga yang menakjubkan dan langka. (hal. 264)
24 November 2016

Lost Islamic History


“Sebuah buku sejarah peradaban Islam popular yang lincah dan mampu membuka mata kita. Buku ini berusaha ‘memulihkan kelalaian’ buku-buku sejarah tentang kontribusi besar para pemikir Muslim, ilmuwan teolog, para penguasa, negarawan dan tentara. Karya ini juga mencakup potret tokoh-tokoh kunci, penemuan dan bongkahan sejarah yang hanya sedikit diketahui”
-Standbooks.com-

Berawal dari akun Lost Islamic History di twitter, saya pun mengenal buku ini. Dan menjadi urutan teratas buku-buku Islam yang ingin saya koleksi. Yang saya suka dari buku ini adalah karena membacanya serasa nonton film dokumenter. Emosi yang keluar dari gaya bahasanya benar-benar kuat. Terima kasih untuk penerjemah yang membuat buku ini nyaman dibaca.

Penulis mengawali dengan memperkenalkan kondisi bangsa Arab pada zaman pra-islam (era jahiliah). Lanskap yang keras dan iklim kering tak bersahabat membuat bangsa Arab hidup berpindah-pindah. Kata “Arab” sendiri berakar dari bahasa Semit yang berarti “mengembara”. Dalam masyarakat nomaden yang menjunjung tinggi kesukuan, sulit untuk mengungkapkan jiwa artistik sebab mereka tidak punya daya dan waktu menciptakan patung atau lukisan seperti masyarakat Mesir atau Yunani Kuno (jadi ingat kata-kata Dr. Adian Husaini bahwa Islam memang bukan peradaban batu sehingga yang diwariskan bukanlah bangunan batu melainkan ilmu). Sebagai gantinya masyarakat Arab menciptakan seni yang berbeda, yaitu bahasa. Bahasa Arab memiliki struktur kata dan kalimat yang luwes, banyak cara berbeda bagi seseorang untuk mengungkapkan satu gagasan yang sama. Oleh karena itu syair merupakan seni de facto-nya khazanah Arab. Tapi walaupun merupakan masyarakat sastra yang maju, kepenulisan jarang ada di semenanjung Arab. Mereka sudah merasa puas hanya dengan hafalan. Mereka mampu menghafal syair berjumlah ribuan baris di luar kepala. Kemampuan hafalan ini terbukti menjadi kemampuan vital ketika Islam muncul pada tahun 600-an.

Bab kedua membahas seputar kehidupan Rasulullah Shallalhu ‘alaihi wasallam sejak lahir, menerima wahyu pertama, mengalami penindasan, hijrah ke Madinah, peperangan, kemenangan dan akhir kenabian beliau. Bab ini sangat ringkas, hanya 16 halaman. Tapi buku ini memang tidak ditujukan untuk fokus pada kehidupan Nabi tapi lebih kepada menyambungkan benang sejarah Islam dari masa kenabian sampai ke masa kini. Adapun kehidupan Rasulullah secara lengkap dapat dibaca dalam buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Bab ketiga membahas kepemimpinan para Khulafaa’ur Raasyidinin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Radiyallahu ‘anhu. Pada masa ini Islam semakin berkembang pesat lewat penaklukan dan meluas ke berbagai belahan dunia. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Terjadi ledakan besar dalam kegiatan perekonomian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, kekayaan besar datang ke tangan pemerintah muslim.

Bab keempat menguraikan awal pendirian Negara Islam. Akhir Khulafaa’ur Rasyidiin (khalifah yang mendapat petunjuk) ditandai dengan meninggalnya Ali dan diangkatnya Muawiyah sebagai khalifah. Pemerintahan Muawiyah menjadi awal kekhalifahan Umayyah yang juga mengawali jabatan yang bersifat herediter. Artinya pengangkatan khalifah didasarkan pada garis keturunan, sistem yang sangat berbeda dari masa Khulafaa’ur Rasyidiin. Pada masa ini muncul berbagai konflik internal yang terutama dipicu oleh perebutan kekuasaan. Jika di bab 3 pembaca dibuat semangat dan terkagum-kagum pada pribadi dan kepemimpinan Khulafaa’ur Rasyidiin, maka di bab ini pembaca akan banyak merenung betapa silau kekuasaan dan cinta dunia sungguh menjadi faktor utama keretakan dalam tubuh umat Islam. Meski begitu, pada masa ini pula ekspansi Muslim semakin meluas hingga ke benua Eropa. Sementara di bagian Timur, dataran Asia Tengah mulai bergabung dalam peradaban Islam melalui migrasi pada tahun 800-an. Masa ini menjadi akhir era penaklukan militer. Sebagai gantinya, penaklukan intelektual muslim dimulai.

Bab kelima diberi judul Zaman Keemasan Intelektual sebab selain menjadi jembatan antara pengetahuan kuno dan Renaisans Eropa, masa ini juga merupakan dasar bagi dunia ilmiah modern. Beberapa hal menarik dari buku ini adalah trivia yang tersebar di banyak halaman. Salah satunya adalah bahwa Universitas tertua di dunia, Universitas Al-Qarawiyyin ternyata didirikan oleh seorang wanita muslim di Maroko tahun 859. Khalifah Al Makmun mendirikan lembaga pendidikan di Baghdad yang dikenal dengan Bait Al-Hikmah, Rumah Kebijaksanaan. Ruang lingkupnya yang sangat luas benar-benar menyindir instansi pendidikan modern saat ini. Bagaimana tidak, Bait Al-Hikmah merupakan Universitas, perpustakaan, lembaga terjemahan dan sekaligus laboratorium penelitian, semuanya dalam satu kampus. Konon, cendekiawan yang berhasil menerjemahkan buku apa pun ke dalam bahasa Arab akan mendapatkan emas seberat bobot buku tersebut. Bab ini juga membahas kontribusi muslim terhadap berbagai bidang ilmu mulai dari matematika ada Al-Khawarizmi, Omar Khayyam dan Al-battani. Di bidang astronomi ada Al-Biruni dan Al-Majriti. Bidang geografi ada Muhammad Al-Idrisi dan Al-Mas’udi. Bidang kedokteran ada Ar-Razi dan Ibnu Sina, bidang fisika ada Ibnu Haitham, begitu pula di bidang fiqh, hadits dan teologi. Bagian tengah buku dilengkapi foto-foto dengan kertas ekslusif.

Selanjutnya masuk ke pergolakan yang muncul saat terjadi perang salib dan invasi bangsa Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan. Invasi bangsa Mongol mengawali periode kehancuran peradaban Islam di Persia, Irak dan Suriah. Bukhara hancur total. Ribuan naskah dibuang ke sungai Oxus dan lebih dari 3,7 juta jiwa tewas dibantai. Bagian ini benar-benar bikin ngeri membayangkan kebengisan bangsa Mongol.
Bagian berikutnya membahas pendirian Islam di Granada, Spanyol. Terjadi flukutasi kejayaan Islam di masa ini. Namun akhirnya runtuh juga setelah raja Ferdinand dan Ratu Isabella, monarki Katolik yang terkenal menyatukan kekuatan mereka sehingga amir yang menjabat saat itu, Muhammad XII terpaksa menyerahkan kunci kota dan Alhambra kepada para penakluk pagi-pagi buta ketika penduduk masih tidur kemudian meninggalkan kota itu sambil berurai air mata. 

Bab selanjutnya membahas dunia islam yang terabaikan atau yang disebut wilayah tepian seperti Afrika Barat, Afrika Timur, Tiongkok, India dan Asia Tenggara. Umumnya wilayah ini menjadi bagian peradaban islam lewat jalur perdagangan dan asimilasi budaya. Hingga kemudian Islam mengalami kebangkitan kembali dengan berdirinya Khalifah Utsmaniyah di Turki. Khalifah Utsmaniyah sempat melewati masa keemasan, kemudian pelan-pelan mengalami kemunduran terlebih sejak diberlakukannya reformasi liberal. Para wazir dan sultan mereorganisasi pemerintah dengan mengikuti gaya eropa dan mulai menanggalkan identitas islam. Pendidikan disesuaikan dengan standar Eropa, surban dan jubah yang menjadi pakaian pegawai selama berabad-abad diganti dengan celana, jaket dan sepatu bot kulit, pengetahuan ilmiah mulai dipisahkan dari pengetahuan agama, bahasa Arab yang telah berabad-abad menjadi lingua franca diubah ke bahasa Turki. 

Puncaknya terjadi saat khilafah terakhir jatuh pada tahun 1924. Setelah itu diberlakukan pelarangan jilbab, larangan adzan di masjid dan secara resmi mencabut hukum syariah. Umat Islam benar-benar mengalami kemunduran. Di saat yang sama Israel yang baru berdiri menggunakan perang untuk mengusir ratusan ribu muslim Arab dan Kristen keluar dari tanah air mereka, Palestina. Mereka mengungsi ke negara tetangga seperti Yordania, Mesir, Suriah dan Lebanon. Demikianlah akhir buku ini. Bagaimana pun kondisi umat Islam saat ini, penulis tetap optimis bahwa suatu saat Islam akan kembali mencapai masa kejayaannya. Sebab memang kemenangan dan kekalahan itu dipergilirkan. Tergantung pada bagaimana umat ini menghadapi dikotomi sekularisme dan politik Islam yang terjadi di seluruh dunia. Apakah syariat Islam akan kembali memainkan peran utama atau nasionalisme dan sekularisme yang menjadi arus utama? Jawaban itu akan menentukan era baru bagi Dunia Islam di masa yang akan datang.
29 September 2016

Permen dalam Gelas

“Rasanya benar-benar hampa ketika aku tidak tahu apa yang kuinginkan atau apa yang harus kulakukan.”

Satu hal yang kupahami selama mengenal sepupuku ini adalah bahwa ia jarang menunjukkan keresahannya, atau kelemahannya. Dia selalu terlihat ceria. Mungkin karena pengaruh nama panggilannya sejak kecil. Nama yang tidak berhubungan dengan nama lengkapnya. Nama yang memiliki arti “bahagia”. Tapi di momen yang singkat itu, aku bisa mengintip secuil kegelisahannya. Kami sedang membahas rencananya untuk lanjut studi. Membahas berbagai universitas dan beasiswa. Tapi tak tahu kenapa pembicaraan itu jalan di tempat. Seolah-olah tidak ada yang ingin melangkah lebih jauh. Seperti lari di treadmill. Kau berlari tapi tak kemana-mana. Hingga kemudian ia mengatakan ini,

“Aku selalu bermimpi pergi ke luar. Menjelajah tempat baru. Bertemu orang-orang asing. Tapi jika mengingat ibuku yang semakin tua, rasanya impian itu tidak terlalu penting lagi bagiku.”

Pikiranku melayang keluar jendela, terus naik ke angkasa dan terbang menuju pulau kecil yang terletak di ujung paling selatan Pulau Sulawesi. Lalu menukik ke sebuah rumah mungil tempat keluargaku berada. Ibuku mungkin sedang memasak atau memeriksa ujian murid-muridnya, atau sedang nonton sinetron India bersama ayahku. Tetiba aku dihantam rasa rindu. Padahal baru sehari kutinggalkan rumah dan sedang transit di Makassar. Dulu jarak Makassar-kampungku kuanggap sudah cukup jauh. Tapi sejak bekerja di kota ini, baru terasa kalau Makassar dan kampungku sebenarnya sangat dekat. Hukum relativitas nampaknya berlaku di sini.

Aku, seperti kebanyakan orang, punya banyak mimpi. Bertumpuk-tumpuk seperti permen dalam gelas. Permen impian. Begitu banyaknya hingga kadang aku lupa pada permen yang berada di dasar gelas. Seiring bertambahnya pengetahuan, beberapa di antaranya sudah kubuang. Kadang aku tersenyum sendiri mengingat banyaknya hal mustahil yang kuimpikan ketika masih kecil. Beberapa lagi sudah kumakan, Alhamdulillah. Sisanya tetap tersimpan dalam gelas. Menunggu dimakan.

“Bila keinginan kita masih tentang diri kita sendiri, habiskanlah”, kata Kurniawan Gunadi dalam buku Hujan Matahari-nya. Situasiku saat ini, boleh dibilang mendukung berdasarkan anjuran si penulis. Kita ingin ini-itu, mau buat ini-itu, mau bangun ini-itu, mau belajar macam-macam, mau jalan kemana-mana. Poin pentingnya, jika kau masih sendiri, habiskan egomu sebisanya. Dengan begitu, lanjut KG, seseorang akan lebih lapang ketika tiba waktunya membersamai orang lain. Sebab ada tanggung jawab dan prioritas baru yang boleh jadi berbeda dari sebelumnya.

Menghabiskan ego. Sepertinya masuk akal juga. Tetapi saat libur, tepatnya meliburkan diri, selama tiga bulan membuatku punya banyak waktu memikirkan dan menyusun ulang beberapa hal. Terkait “libur panjang” ini beberapa teman kerja meledekku macam-macam. Katanya sudah mirip orang cuti melahirkan. Hahaha. 

Entah kapan mulanya, tapi kurasa ini pemicunya : uban. Uban ibuku tepatnya. Setiap bercermin di lemari, kudapati helai-helai uban menempel di pinggiran kayunya. Rupanya ibuku sesekali mencabuti ubannya dan menempelkannya di bingkai cermin. Gatal katanya. Setahuku, kita dilarang mencabuti uban karena di hari kiamat akan menjadi cahaya bagi orang mukmin. Bagaimanapun, aku terharu melihat helai demi helai rambut putih itu. Aku bukan orang yang cengeng. Tapi segala sesuatu yang menyangkut ibuku bisa membuatku menangis. Dia kekuatan sekaligus kelemahanku.

Ibuku selalu sibuk, dalam arti aku jarang melihatnya duduk-duduk tanpa melakukan sesuatu. Ada-ada saja yang dia kerjakan. Jadi aku membantunya sebisaku, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian dan mengantarnya kemana-mana mulai dari sekolah, pasar, tempat arisan atau ke acara kondangan. Masa libur tiga bulan itu, seingatku, adalah waktu terlama aku tinggal bersama ibu sejak 17 tahun terakhir. Masa libur tiga bulan itu, mengubah sesuatu dalam diriku. "Aku tidak ingin kemana-mana lagi", kalimat ini meluncur begitu saja dari kepalaku. Ditambah kata-kata sepupuku tadi, aku jadi mengerti sepenuhnya.

Kita punya banyak impian. Tapi kita dibatasi pilihan. Yang namanya pilihan, seringkali kau hanya bisa memilih satu. Di samping itu, ada waktu yang memagari impian dan pilihan itu. Kesempatan belum tentu datang dua kali, kata orang. Ini berlaku untuk semua hal. Untuk impian maupun pilihan tadi. Dalam kasus sepupuku, ia ingin belajar dan bekerja di tempat yang kelihatannya lebih menjanjikan. Ia bisa saja mengejar impiannya. Tapi ia juga paham bahwa birul walidain tidak bisa diulang dua kali. Sama seperti mendidik anak yang tidak bisa diulang dari awal. Karena itu, suatu hari sepupuku pernah berkata bahwa ia, mungkin, tidak akan keluar dari Makassar. Karena di sanalah ia bisa menjangkau impian dan pilihannya sekaligus. Bekerja di tempat yang tidak jauh dari rumah. Dengan begitu ia selalu bisa berada di dekat orangtuanya. Bukan berarti ia benar-benar tidak akan ke mana-mana. Bagaimana pun, sepupuku itu tukang jalan. Hanya saja untuk yang sifatnya jangka panjang dia tidak akan pergi jauh. Mungkin ia tidak bisa memakan permen besar dalam gelasnya. Tapi dengan begitu ia tidak akan menjadi anak yang menyesal. Ini hanya masalah pilihan. Bagiku dan bagi sepupuku, ada sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang impian-impian itu. Kesempatan membersamai orangtua. Kesempatan yang mungkin suatu saat seorang anak akan menyesal dan bersedia menukar semua impian itu dengan satu kesempatan tadi. Sepupuku tidak ingin menjadi orang yang menyesal. Aku pun tidak.

Semoga Allah menjaga dan melindungi orangtua kami, menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi anaknya, memberkahi umurnya, menjauhkan mereka dari penderitaan penyakit dan penderitaan masa tua. Dan membahagiakan mereka dunia akhirat.
04 September 2016

Kesetiaan Mr. X (Yõgisha X no Kenshin)


Ketika si mantan suami muncul lagi untuk memeras Yasuko Hanaoka dan putrinya, keadaan menjadi tak terkendali, hingga si mantan suami terbujur kaku di lantai apartemen. Yasuko berniat menghubungi polisi, tetapi mengurungkan niatnya ketika Ishigami, tetangganya, menawarkan bantuan untuk menyembunyikan mayat itu. 

Saat mayat tersebut ditemukan, penyidikan detektif Kusanagi mengarah kepada Yasuko. Namun sekuat apa pun insting detektifnya, alibi wanita itu sulit sekali dipatahkan. Kusanagi berkonsultasi dengan sahabatnya, Dr. Manabu Yukawa sang profesor Galileo, yang ternyata teman kuliah Ishigami. 

Diselingi nostalgia masa-masa kuliah, Yukawa sang pakar fisika beradu kecerdasan dengan Ishigami, sang genius matematika. Ishigami berjuang melindungi Yasuko dengan berusaha mengakali dan memperdaya Yukawa, yang baru kali ini menemukan lawan paling cerdas dan bertekad baja. 

Ini pertama kalinya baca novel detektif karangan Keigo Higashino yang dilihat dari tahun terbit ternyata sudah lama beredar (pertama kali terbit tahun 2005 di Jepang). Novel ini juga sudah diadaptasi ke layar kaca. Beberapa tahun lalu sepupu sempat menyinggung dorama berjudul Galileo. Katanya ratingnya cukup tinggi di Jepang. Tapi cuma sebatas itu. Sampai sekarang belum pernah nonton karena tidak terjangkau radar si Tukang Donlot. Wehehehe… 

“Soal-soal dariku sama sekali tidak sulit. Aku hanya memanfaatkan lubang kelemahan dalam asmumsi mereka.” 

Dalam novel detektif, biasanya penulis menyajikan sederet nama agar pembaca ikut menebak pelaku kejahatan berdasarkan petunjuk yang disediakan. Tapi novel ini mengandalkan trik rahasia yang digunakan. Sebab pelaku pembunuhan sudah jelas di awal cerita yaitu Yasuko Hanoka. Yang kemudian tetangganya, Ishigami menawarkan bantuan untuk menyembunyikan mayat dan menyelamatkan Yasuko dari tuduhan. 

“Mana yang paling sulit : membuat soal yang sulit dipecahkan orang lain atau memecahkan soal itu sendiri ?” 

Yukawa, sang professor Galileo, dan Ishigami adalah teman seangkatan di Universitas Teito. Ishigami mengambil jurusan matematika sementara Yukawa di jurusan fisika. Yukawa meneruskan penelitian hingga menjadi asisten profesor. Sementara Ishigami karena satu dan lain hal, berakhir menjadi guru matematika di SMA swasta. Kasus inilah yang mempertemukan mereka kembali. 

Nah, apa jadinya jika dua orang genius bertemu dengan tujuan yang saling bertolak belakang ? Yang satu ingin mengungkap kejahatan, dan satunya lagi berusaha melindungi pelaku kejahatan. Ishigami mengerahkan seluruh kemampuan dan kecerdasannya untuk membantu Yasuko dan putrinya. Ia mengajarkan mereka hal-hal yang harus dilakukan untuk memperkuat alibi, cara bersikap di depan polisi dan cara menjawab pertanyaan para detektif agar tidak ada kontradiksi. Semua dirancang secara sistematis oleh Ishigami sendiri. 

“Saat orang biasa berusaha menutupi kejahatannya serumit mungkin, justru kerumitan itu yang akan membuatnya menggali lubang kubur sendiri. Tapi orang genius takkan sampai berbuat begitu. Dia akan memilih metode sederhana, tapi tak pernah terpikirkan atau bakal dipilih orang biasa untuk membuat kasus itu menjadi sulit.” 

Poin penting kasus ini adalah trik yang digunakan Ishigami untuk membuat alibi Yasuko sulit dipatahkan. Saya sendiri tidak menyangka ia menggunakan trik semacam itu. Triknya terlihat tidak rumit, tapi tidak akan terlintas di pikiran orang biasa. 

"Mana yang paling mudah : menjawab berdasarkan pemikiran kita sendiri atau memastikan benar-tidaknya jawaban yang berasal dari pihak lain ?” 

Yang menarik, novel ini tidak melulu membahas tentang pemecahan kasus. Tapi juga mengajak pembaca untuk memahami menusia dan jalan pikiran mereka. Terutama manusia jenius yang jatuh cinta pada seorang pelaku pembunuhan. Penyelesaian kasus juga bukan dengan memojokkan pelaku berdasarkan bukti-bukti sehingga ia tak bisa lagi mengelak. Pendekatan yang dipakai sama sekali berbeda. Ending-nya boleh dibilang layak untuk semua tokoh. Saya sampai terharu dibuatnya. Bagaimanpun, ada rasa sedih yang tersisa meski kasus sudah ditutup. 

“Di dunia ini tak ada roga gigi yang tak bermanfaat dan yang bisa menentukan bagaimana dirinya akan digunakan hanya si roda gigi itu sendiri.”
01 September 2016

The Wrath & The Dawn


Khalid Ibnu al-Rashid, Khalif Khorasan adalah seorang monster. Dia menikahi perempuan muda setiap malam dan menjerat pengantin barunya dengan tali sutra saat fajar tiba. Ketika sahabatnya menjadi korban kezaliman Khalid, Shahrzad al-Khayzuran bersumpah akan menuntut balas. Ia mengajukan diri menjadi pengantin Sang Khalif. Shahrzad tak hanya bertekad untuk bertahan hidup, tapi juga bersumpah akan mengakhiri rezim kejam sang raja. 

Malam demi malam, Shahrzad memperdaya Khalid, menceritakan kisah-kisah memikat yang membuatnya terus bertahan, meski tiap fajar bisa jadi merupakan saat terakhirnya melihat matahari terbit. Tetapi sesuatu yang tak terduga mulai terkuak: ternyata Khalid bukanlah sosok yang Shahrzad bayangkan. Sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang pembunuh berdarah dingin. Mata emasnya memancarkan kehangatan. Monster yang ingin dilawan Shahrzad itu tak lebih daripada pemuda dengan jiwa tersiksa. Dan Shahrzad mulai jatuh hati kepadanya… 

Well…well…tentang balas dendam yang berubah jadi jatuh hati, tentang cinta yang tidak direncanakan. Tema semacam ini biasanya selalu menarik minat pembaca romance. Tertarik baca novel ini karena latarnya yang kental nuansa Timur Tengah. Apalagi ceritanya terinspirasi dari novel klasik The Arabian Nights atau yang dikenal dengan Kisah 1001 Malam. Saya sendiri belum pernah baca novel itu tapi tahu sedikit lewat buku-buku lain. Buku Titik Nol-nya Agustinus Wibowo juga meminjam gaya The Arabian Nights. 

Alkisah, ada seorang Sultan yang sangat mencintai istrinya dan melakukan apapun demi sang istri. Sayangnya istri tersebut tidak mencintai sang Sultan, bahkan menipunya. Sultan yang kecewa dan sakit hati pun akhirnya membenci wanita. Baginya semua wanita sama liciknya dengan istrinya. Oleh karena itu jumlah mereka harus dikurangi. Maka setiap malam sang Sultan menikahi seorang perempuan, kemudian saat fajar ia memerintahkan wazir (penasihat)nya untuk membunuh perempuan itu. Begitu seterusnya hingga suatu hari putri sang wazir mengajukan diri untuk diperistri oleh Sultan. Putri tersebut menguasai filsafat, sastra, sains dan seni. Di malam hari sang Putri menceritakan kisah yang menarik minat Sultan. Tapi kisah itu berakhir menggantung ketika fajar tiba. Sultan yang penasaran dengan kelanjutan cerita memutuskan menunda eksekusi sang Putri. Malam demi malam sang Putri terus menceritakan kisah yang berakhir menggantung hingga akhirnya genap 1001 malam. Lewat kisah-kisah sang Putri itulah dikenal Aladin dan lampu ajaibnya, permadani terbang, kisah raja-raja hingga Sinbad si Pelaut Ulung. 

“Seratus kehidupan untuk satu nyawa yang kau ambil. Satu kehidupan untuk satu fajar.” 

The Wrath & The Dawn karya Renee Ahdieh ini adalah re-telling The Arabian Nights. Di kerajaan bernama Khorasan, berhembus rumor bahwa raja mereka, Khalid Ibnu al-Rashid telah berubah menjadi monster. Setiap malam ia menikahi perempuan muda yang dipilih secara acak. Perempuan-perempuan ini tidak ada yang hidup lebih dari satu hari dalam istana karena menjelang fajar leher mereka dijerat tali sutra hingga tewas. Suatu hari, sahabat Shazi bernama Shiva ikut menjadi korban sang Raja. Shazi yang ingin menuntut balas mengajukan diri menjadi istri sang Raja. Ia berniat membunuh Raja dengan tangannya sendiri. Malamnya Shazi menceritakan kisah tentang Agib si pelaut miskin. Kisah itu menggantung ketika fajar tiba sehingga Khalid, sang Raja, bersedia menunda eksekusi Shazi. Begitulah selama beberapa malam Shazi menceritakan kisah bersambung sambil mencari cara untuk membunuh Khalid. 

Tetapi Khalid yang tumbuh di lingkungan istana sejak kecil telah dilatih untuk berperang. Ia ahli menggunakan pedang. Secara fisik dan kemampuan, Khalid adalah lawan yang sulit dikalahkan. Pelan-pelan Shazi menyadari bahwa Khalid tidak seperti rumor yang beredar. Ia pun mulai mencari tahu alasan mengapa Khalid membunuh istri-istrinya. Ada rahasia gelap tersembunyi di dalam istana. 

Bagaimana, cukup menjanjikan bukan ? Hihihi… 

Buat penyuka romance, novel yang satu ini tidak boleh dilewatkan. Tokoh laki-lakinya sedingin es (dingin-dingin minta ditabok) sementara tokoh perempuannya kepala batu. Setelah lebih jauh, ternyata si tokoh laki-laki tidak seperti yang terlihat. Sebenarnya ia hangat dan penuh perhatian (eaaa…). Maka si tokoh perempuan pun jatuh kecebur, eh jatuh hati maksudnya. Karakter semacam Khalid sering dijumpai dalam novel atau film (atau anime), dan biasanya menjadi karakter yang memiliki baaaaanyak sekali fans. Itulah kenapa orang-orang lebih suka Rangga dibanding Mamet, atau Sasuke dibanding Naruto, atau Levi dibanding Eren. Tapi aku tetap padamuuu, Sanji-kun… *mulai gagal fokus* 

“Senyumnya merobek sesuatu yang mengaku sebagai jiwaku”  *ulalaa… 

Ceritanya lebih dititikberatkan pada tokoh Khalid, Shazi, serta konflik perebutan kekuasaan. Adapun kisah-kisah yang diceritakan Shazi hanya muncul di awal perkenalan mereka. Novel ini juga bisa disebut fantasi karena memuat unsur sihir dan semacamnya. 

“Ada perbedaan besar antara bermaksud melakukan sesuatu dan benar-benar melakukannya.” 

Ada banyak tokoh protagonis dalam novel tapi karena ceritanya berlanjut ke jilid dua jadi belum bisa dipastikan siapa yang benar-benar baik. Dibanding dua tokoh utama, saya lebih suka tokoh Jalal, sang Jenderal Al-Khoury, penasihat sekaligus sepupu Khalid. Tapi dalam novel ini karakternya belum banyak dikembangkan. Selain itu saya masih penasaran dengan tokoh Ava. Menurutku dialah yang paling layak dikasihani. Apa yang terjadi pada Ava membuat saya semakin jengkel sama Khalid.

Hal lain yang menarik adalah nuansa timur tengah yang kental (mungkin gabungan budaya India, Arab dan Persia) mulai dari menu makanan, pakaian, arsitektur bangunan, interior istana, model senjata, budaya hingga bahasa. Misalnya saja cara salam ketika bertemu atau berpisah. Kalau dalam budaya lain, salam bisa dilakukan dengan jabat tangan, cipika-cipiki, atau menangkupkan kedua telapak tangan di dada, atau membungkukkan badan. Dalam novel ini, salam dilakukan dengan membungkuk dan tangan menyentuh alis kemudian pindah ke dada, sedikit di atas jantung. Salam ini bermakna penghormatan dan kasih sayang. 

Dari segi bahasa juga banyak menggunakan kosa kata asing seperti effendi dan jan, akhiran yang melekat pada nama. Akhiran “effendi”  menunjukkan rasa hormat sementara akhiran “jan” berarti “sayangku”. Misalnya memanggil Jalal dengan Jalal-effendi  atau Khalid dengan Khalid-jan. Ada juga kata delam (jantung hatiku) dan joonam (segalaku) *mantap ^^. Meski arti kedua kata ini terdengar lebay, tapi ketika masuk dalam dialog dan dibaca dalam bahasa asli, ternyata dapat memicu efek doki-doki bagi pembaca *Hahaha… Kebayang Luffy atau Zoro memanggil dengan sebutan delam atau joonam, aiihh…bisa berbusa mulut penonton. 

“Kalaupun harus ada pilihan di antara kita, kau tidak perlu memilihnya, joonam. Tidak untukku.” 

Novel ini tampaknya lebih cocok untuk pembaca perempuan. Biasalah, perempuan suka cerita yang manis-manis menyakitkan. Kalo laki-laki mungkin akan bosan karena tidak banyak action berdarah-darah dan tidak ada super hero dalam cerita. 

“Ketika memikirkanmu, aku tidak dapat menemukan udara untuk bernapas. Dan sekarang, meskipun kau sudah pergi, tidak ada rasa sakit atau rasa takut. Yang tertinggal hanyalah rasa syukur."

Dongeng-dongeng yang pernah kita dengar semasa kecil, jika dipikirkan, memang merupakan kisah yang menakjubkan. Salah satu pelajaran yang dipetik adalah betapa sulitnya menjadi orang-orang dalam dongeng itu. Yang perempuan harus pandai bercerita agar selamat dari eksekusi. Sementara yang laki-laki harus membangun seribu candi demi mendapatkan seorang istri.

Random (10)

Canggung rasanya memainkan tombol-tombol di keyboard laptop. Sudah empat bulan saya tidak menulis apapun. Padahal setiap hari mengutak-atik laptop, tapi bukan untuk menulis. Kalau pun ada niat buat menulis, itu tidak cukup besar untuk ditindaklanjuti. Beberapa bulan ini dorongan menulis seperti samar-samar. Seperti embun yang menempel di kaca. 

Ada yang bilang menulis itu ibarat minum obat, yang kau butuhkan saat sakit dan berhenti setelah sembuh. Ada pula yang menganggapnya kebutuhan primer. Bagi saya, menulis bukan semacam obat, walau saat “sakit” saya bisa menulis lebih sering dari biasanya. Juga bukan kebutuhan yang setiap hari harus dilakukan layaknya makan dan minum. Jika memang ingin, saya akan menulis. Dan keinginan itu harus cukup kuat untuk menggerakkan. Jika memaksa menulis, biasanya saya tidak suka hasil tulisan yang saya buat. 

Terkadang saya membaca ulang semua tulisan di laptop. Beberapa di antaranya betul-betul saya suka, tapi banyak juga yang tidak. Jika diingat-ingat, tulisan yang saya suka itu adalah tulisan yang saya buat sepenuh hati. Sementara yang tidak mengesankan, sampai kapan pun tidak akan mengesankan. 

Saat membuat blog, saya memasang target untuk diri sendiri : minimal satu tulisan satu bulan. Target itu membuat saya seperti dikejar deadline. Padahal saya bukan penulis. Siapa pula yang menunggu tulisan saya ? Tapi saya tetap berusaha memenuhi target itu. Sayangnya, ada saat saya benar-benar tidak bisa memaksa menulis. Sesuatu yang dipaksakan biasanya tidak berakhir baik. Sama seperti berteman. Memaksa mendapat teman biasanya berakhir kekecewaan. Jika ada titik temu, kau akan berteman. Jika tidak, cukup jadi kenalan. Bukan berarti membatasi diri atau pilih-pilih. Setiap orang boleh berteman dengan siapa saja. Tapi bukankah setiap orang juga selalu membagi pertemanannya dalam lingkaran tertentu ? Di lingkaran pertama, atau yang paling dekat, tentu orang-orang yang ia percaya atau dengannya ia bisa membuka diri. Sementara di lingkaran berikutnya adalah yang di luar dari itu. 

Apa yang membuat kita berteman dengan orang lain ? Maksudku selain sebagai kebutuhan. Terhubung dengan orang-orang memang keniscayaan, tapi berteman adalah pilihan. Jawaban yang paling sering adalah karena cocok. Karena nge-klik secara alami. Kenapa bisa cocok ? Jawabannya bisa mudah atau bahkan tidak memiliki jawaban. Kita jarang bertanya lebih lanjut. Dan nampaknya memang tidak perlu. Kalau sudah cocok, selesai. 

Tapi kadang pertanyaan ini muncul di kepala saya. Apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Mudah menjawabnya andaikan saya memiliki hal-hal yang bisa dijadikan jawaban. Karena cerdas, misalnya. Seperti salah satu teman seangkatan : cerdas dan keahliannya dibutuhkan banyak orang. Sering dimintai bantuan, dia pun senang membantu orang lain. Ramah dan tidak suka pamer. Orang-orang tentu senang berteman dengannya. Beberapa lagi yang kukenal memiliki wajah rupawan. Beberapa lagi pandai menarik perhatian. Membuat orang betah bersamanya karena selalu ada topik menarik dibicarakan. Mereka mampu membuat orang-orang di dekatnya masuk dalam topik itu. Atau sebaliknya, mampu mencari topik yang orang-orang mudah masuk ke dalamnya. Mereka juga berimbang membagi percakapan denganmu dan dengan orang lain. Saya selalu kagum pada orang-orang dengan kemampuan semacam ini. Beberapa lagi adalah orang berkelebihan. Membuatnya seperti cahaya lampu yang dikelilingi banyak laron. 

Tapi saya tidak memiliki satu pun dari semua itu. 

Saya adalah orang kebanyakan. Sangat biasa, bisa kau temui di mana saja. Untuk hal tertentu, beberapa orang memang terlihat lebih dibanding yang lain. Tapi dalam banyak sisi, kebanyakan adalah orang kebanyakan. Yang bila diteropong dalam skala besar semuanya tampak mirip. Jadi kadang saya ingin tahu : apa yang membuat orang mau berteman dengan saya ? Apa yang mereka cari ? Saya tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Tapi mereka tetap mau berteman.

Jika demikian adanya, itu benar-benar sesuatu yang patut disyukuri.
28 April 2016

Random (9)

Gud morning, epribadeeh!! Apa kabar ? Alhamdulillah saya di sini baik-baik saja. *siapa yang nanya ?^^ 

Belakangan ini saya jadi pelupa. Lupa helm di lantai 3 sementara saya sudah di parkiran. Lupa menanyakan pertanyaan yang sama ke orang yang sama selama tiga minggu berturut-turut. Lupa janji ketemu teman, padahal kita mau minum es kelapa muda, hikz! Lupa kembalikan buku-bukunya orang, karena sudah serasa milik sendiri *dilempar sepatu. Dan lupa kalau ada blog yang harus ditunaikan haknya. Untunglah saya tidak lupa nama sendiri. Itu amnesia namanya. 

Well, aktivitas tidak banyak berubah sejak datang ke sini setahun lalu. Wow, sudah setahun rupanya. Tidak terasa, ya. Rutinitas biasanya berputar di 6 K : Kampus, Kamar, Kajian, Kamali, Kota Mara dan Kajili-jili. Yang terakhir itu mungkin hanya orang selatan yang paham. Tapi anggap saja itu rutinitas acak supaya tidak bosan. Kampus-kamar berlangsung selama beberapa hari seminggu. Ikut kajian minimal dua kali sepekan. Insya Allah bulan depan akan ada Tabligh Akbar di masjid raya kota ini. Bertahun-tahun halaqah di Makassar kemudian pindah ke halaqah baru, dengan orang-orang baru, di tempat baru, dengan kultur yang sama sekali berbeda bukanlah proses yang mudah. Sepupu pernah bilang waktu terakhir ketemu, katanya mungkin saya belum dapat chemistry-nya. Tapi pelan-pelan saya mulai merasa nyaman di sini. Kenyamanan juga butuh waktu, nikmati saja. 

Kamali itu area pantai. Kadang-kadang seminggu atau dua minggu sekali makan di salah satu kedai di area ini. Kadang sendiri, kadang sama teman dan kadang sama paman dan bibi. Btw, orang sini kebiasaannya panggil paman dan bibi, bukan om dan tante. Kota Mara juga wilayah pantai, ada Islamic Center di sana. Saya juga belum tahu kenapa disebut kota. Saya suka lewat sini sore-sore karena pemandangan laut dan langitnya. Ingat tidak saya pernah bilang kalo belum ada tempat di mana matahari terbenam begitu indah selain di pantai kota Benteng ? Ingat ? Nampaknya saya harus merevisi kata-kata itu. Karena langit sore di sini cantik betul, apalagi selepas hujan. Kadang-kadang awannya berwarna pink, seperti warna permen kapas. Rembulan juga terlihat lebih terang dan besar. Mungkin karena pengaruh topografinya yang bergunung-gunung. Kadang-kadang selepas makan malam, saya ikut paman dan bibi mutar-mutar keliling kota. Pemandangan paling bagus terlihat dari benteng keraton. Karena kota yang dihiasi lampu-lampu terlihat kecil dari atas situ.   

Oke cukup sekian kabar-kabarinya. Sekarang mau bahas buku dulu. Soalnya belum tahu kapan bisa update tulisan lagi. Semakin hari saya semakin jarang mencoret-coret di blog. Padahal ada banyak yang ingin saya tuliskan. Toko buku jarang dijumpai di kota ini. Kalau pun ada, beberapa di antaranya buku bajakan. Kemarin sempat nemu Bumi Manusia-nya Pram di salah satu toko buku. Tapi harganya hampir setengah harga normal. Setelah saya perhatikan, kualitas kertasnya juga beda. Rasanya berdosa kalau beli buku bajakan, apalagi bukunya Pramoedya. Jadi demi memuaskan hasrat membaca, pesan online jadi satu-satunya pilihan. 

Salah satu jenis buku yang saya suka adalah buku yang membuat pembacanya lebih mengenal diri mereka sendiri. Seperti Think Like A Freak dan Hector And The Search For Happiness yang baru-baru ini saya baca. Yang satu non fiksi dan satunya lagi novel yang sepertinya banyak mengambil kisah pribadi penulis. Selain itu saya juga suka buku yang mengupas karakter manusia seperti karakter menurut golongan darah atau karakter berdasarkan sidik jari. Walau kupikir analisis sidik jari lebih akurat dibanding golongan darah. Salah satu sepupu yang kuliah di jurusan komunikasi sering mengoleksi buku-buku pengembangan diri. Malcolm Gladwell, David J. Lieberman dan Dale Carniege saya tahu lewat dia. 

Selera baca saya banyak dipengaruhi orang lain. Mulai tertarik tema konspirasi waktu SMA setelah baca bukunya Rizki Ridyasmara berjudul Knight Templar Knight of Christ yang dibawa pulang sepupu saat libur semester. Mulai nge-fans sama Andrea Hirata ketika pra kuliah dulu teman sepupu berkunjung dan membawa novel Laskar Pelangi. Waktu itu belum ada label bestseller-nya. Mulai suka novel-novelnya Gayle Forman ketika suatu hari diundang teman makan siang di rumahnya, dan secara tak sengaja melihat If I Stay di salah satu deretan bukunya. Mulai baca trilogy Titik Nol-nya Agustinus Wibowo setelah tak sengaja melihat rombongan perempuan berparas Masyaa Allah di pelataran masjid, dan mereka berasal dari Kazakhstan. Mulai suka buku-bukunya Adian Husaini setelah baca novel Kemi yang secara tak sengaja (ah, kenapa banyak sekali ketaksengajaan dalam hidup saya ?) ditemukan di salah satu stan ketika ikut seminar di LAN. 

Mulai suka Haruki Murakami setelah membaca Norwegian Wood. Yang setelah itu lanjut ke buku-bukunya yang sudah diterjemahkan. Tapi sebenarnya ketertarikan pada novel-novel Jepang dimulai jauh sebelum itu, setelah membaca novel thriller-nya Ryu Murakami berjudul In the Miso Soup dan genre komedi berjudul Tahun 69 yang dipinjam di Snoppy. Dan jika waktu diundur lagi, mungkin setelah membaca dwilogi Samurai-nya Takashi Matsuoka yang dipinjam dari seorang teman. Atau mungkin setelah baca tetralogi Klan Otori yang dipinjam dari temannya teman. Saya sendiri sudah lupa yang mana duluan. 

Hector And The Search For Happiness, Think Like A Freak, Ugly Love, O-nya Eka Kurniawan dan Seribu Bangau (Senbazuru)-nya Yasunari Kawabata adalah buku-buku yang sebulan terakhir saya baca. Ini pertama kalinya baca karya Kawabata atas rekomendasi seorang penikmat sastra. Menurutnya, Kawabata lebih bagus dari Murakami. Wow, penasaran juga. Beberapa tahun lalu pernah lihat Snow Country-nya di gramed, tapi belum minat beli. Setelah itu masih ada antrian Never Let Me Go-nya Kazuo Ishiguro, What I Talk About When I Talk About Running-nya Haruki Murakami dan beberapa buku lagi. The Silmarillion-nya J.R.R Tolkie belum ada sepertiga saya baca. Banyaknya tokoh dan rumitnya sejarah dunia Middle-Earth membuat buku ini harus dibaca dalam mode petapa. Selain itu masih ada buku-buku kuliah yang memang jadi bacaan wajib. Karena pekerjaan yang sekarang membuat saya belajar jauh lebih keras dibanding waktu kuliah. Hehehe…

Yap, sekian cuap-cuapnya. Sudah ada panggilan rapat dari tadi. Sampai ketemu di tulisan berikutnya ^^
 
;