28 September 2011

Why

Orang-orang datang dan pergi, berlalu lalang melewati ruang dan lembaran waktu
Sementara aku masih di sini, masih belum menemukan alasan untuk pergi atau tetap tinggal.
27 September 2011

Bagaimana Jika...

Jika dalam perjalanan pulang kampung atau kembali ke kota saya selalu berharap bahwa jalan raya menjadi lebih panjang sehingga saya bisa lebih lama menikmati alam. Selama di kampung, jika keluar malam untuk membeli sesuatu di toko, saya sering mengambil jalan yang justru menjauhi toko yang saya tuju dan berkeliling sebentar. Sepulangnya pun saya mengambil jalan memutar dan berlama-lama di jalan raya. 

Kalau mengambil jalan memutar, saya paling suka melewati penjual kacang rebus yang duduk lesehan di pinggir lapangan. Penjualnya kebanyakan nenek-nenek. Saya suka melihat pemandangan ini : suasana malam, nenek-nenek dengan sarung menutupi kepala, kacang rebus dan lampu minyak yang tertiup angin. Kalau mampir beli, saya sering nguping pembicaraan mereka. Topiknya bisa pindah-pindah dalam hitungan menit mulai dari topik tentang cucunya yang baru naik kelas, harga cabai yang naik lagi, naiknya jumlah kasus pencurian, naiknya gaji pegawai negeri, naiknya BBM dan berbagai naik-naik yang lain.

Melihat gurat keriput wajah nenek itu saya selalu mengira-ngira seperti apa perjalanan hidup yang telah ditempuhnya. Tapi kupikir itu tidak penting karena yang terlihat saat itu adalah bahwa mereka bahagia meski hanya berjualan kacang rebus. Begitu pula ketika melihat anak-anak yang berlarian bebas di jalan raya. Saya selalu bertanya, seperti apa kehidupan mereka nanti. Atau ketika melihat kedua adik saya yang sibuk mencuci sepeda, saya selalu bertanya seperti apa kehidupan kami nanti. Apa kami akan selalu bersama seperti saudara-saudara ibu yang sampai setua ini tetap tinggal berdampingan satu sama lain. Apa kami akan tetap sedekat ini jika sudah menempuh hidup masing-masing.

Jika mencari alamat rumah, saya selalu bertanya-tanya apakah takdir akan membawa saya pada pemilik rumah atau justru membuat saya semakin menjauh dan akhirnya menyerah karena waktu yang semakin sempit atau karena saya sudah lelah. Dan bagian yang paling menyenangkan adalah sensasi yang muncul ketika kemudian saya dipertemukan dengan orang yang saya cari.

Atau mungkin suatu hari kau hanya iseng-iseng datang ke toko buku karena suntuk dan sesampainya di sana kau dipertemukan dengan buku yang mampu mengubah beberapa hal penting dalam hidupmu. 

Atau ketika suatu waktu kau sedang mengendarai motor, lalu ada dua jalan bercabang di depan. Kau telah memutuskan akan belok kanan, tapi tepat sepersekian detik di persimpangan itu, entah kenapa kau justru memilih belok kiri. Dan setelahnya kau melihat sosok manusia yang sudah lama tidak bertemu dan sangat kau rindukan. Ternyata takdir mempertemukanmu di antara pilihan yang dibatasi sekat waktu yang sangat tipis. Atau bagaimana jika pada suatu malam kau “keluyuran” di dunia maya dan tanpa sengaja membaca tulisan seseorang yang tidak kau kenal dan belum pernah kau lihat dan kemudian menginspirasimu sampai kau mampu melakukan hal-hal sinting dalam hidupmu. 

 Saya selalu berpikir bagaimana jika saya baru saja dilahirkan hari ini, mungkin saya tidak akan pernah mengenal teman-teman seangkatan saya. Atau jika saya dilahirkan di abad ke-19, saya tidak akan pernah tahu kalau suatu saat nanti manusia hanya perlu duduk di hadapan monitor dan dia akan tersambung ke seluruh dunia. Atau umpamanya ayah saya tidak pernah bertemu dengan ibu, maka postingan ini tidak akan pernah ada.

Oh, pembicaraan ini semakin ngelantur saja, maaf telah mengajak kalian berpikir aneh-aneh. Terakhir, takdir itu sangat menakjubkan. Beruntunglah karena kita tidak pernah tahu pasti nasib macam apa yang menunggu di depan dan dengan siapa kita dipertemukan. Sehingga bodohlah orang-orang yang mencela takdir dan mengutuk waktu.

Rumah Kedua

Rumah Kedua adalah istilah yang disematkan pada suatu tempat yang membuat kita merasa seperti berada di rumah sendiri. Walau tak ada tempat yang lebih baik selain di rumah, tapi mungkin setiap orang punya tempat lain yang membuatnya merasa tenang di sana atau setidaknya senang berlama-lama di sana.

Tempat yang bisa saya anggap sebagai rumah kedua adalah perpustakaan. Lebih tepatnya perpustakaan umum di kampungku. Perpustakaan itu bertingkat dua. Di lantai atas terbagi tiga ruangan, ruangan paling besar berisi buku-buku umum mulai dari agama, pertanian, kesehatan, novel, sastra, dan buku-buku pelajaran SD sampai SMA. Lalu ada ruangan khusus tempat internet-an, biayanya Rp. 4000,- per jam. Kemudian ruangan paling depan adalah ruang anak (sekarang sudah pindah ke lantai satu). Di ruang anak ini berisi komik, buku-buku ensiklopedia, televisi yang cukup besar lengkap dengan DVD dan CD kartun anak.

Perpustakaan ini buka dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore dan jam 7-10 malam. Di tempat inilah saya sering menghabiskan waktu terutama di sore hari. Tempat favorit saya adalah ruang anak. Ini karena tempatnya langsung menghadap lapangan bola yang luas dan setelahnya terhampar laut lepas. Matahari terbenam di laut itu. Ruangan anak dikelilingi jendela kaca jadi kita bebas melihat jalan raya, lapangan dan laut. Saya senang membaca di sisi jendela karena matahari sore masuk dari situ.

Meski sudah empat tahun sejak lulus SMA, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke sana jika pulang kampung. Tapi sekarang suasananya sedikit berbeda karena entah sejak kapan perpustakaan itu jadi alternatif tempat pacaran siswa SMK. Gedung SMK dan perpustakaan letaknya bersebelahan jadi biasanya para pasangan menghabiskan waktu istirahat di sana.

Saya miris melihatnya. Seharusnya tempat ini adalah tempat membaca. Sayangnya minat membaca masih kurang. Murid-murid SD lebih sering menghabiskan waktu dengan main game. Pelajar SMP lebih memilih menghabiskan waktu dan bensin dengan naik motor mutar-mutar di jalan yang sama, entah dimana asyiknya. Sementara anak SMA, menjadikan perpustakaan sebagai tempat pacaran. 

Petugas tidak akan melarang selama mereka tidak menimbulkan keributan. Lagipula meskipun ribut tidak ada yang akan terganggu karena di tempat itu jarang ada yang berlama-lama membaca. Paling-paling datang, pinjam lalu dibawa pulang. Tempat pacarannya pun di salah satu sudut ruangan yang terlindung oleh rak buku. Padahal sudut ruangan itulah tempat favorit kedua saya setelah ruang anak.

Tempat ini juga bagus untuk menghabiskan waktu di malam hari. Berhubung malam minggu tempatnya tetap buka, jadi saya selalu menyempatkan diri ke sana, membaca atau sekedar duduk menikmati malam.
25 September 2011

Hilang

Tak ada rembulan malam ini
Tapi aku selalu di sini, melihatmu
Meski tanpa cahaya bulan

Akhirnya kau menemukannya
Yang tetap menjadi bayang buram
Di antara kesenyapan kata
Aku mematung menatapmu
Udara seakan berhenti bergerak
Aku tak tahu harus menangis atau tertawa

Yah, kau menemukannya
Dan aku kehilangan
Namun...
Pada akhirnya kau pun begitu pada sang bayang
Lalu perlahan, aku mulai menangisimu

Menemukanmu Kembali

Kau lihat ? Kita memang tak pernah, tak pernah sekalipun berjalan di arah yang sama. Saat itu kupahami, inilah yang mengikat kita. Perbedaan inilah yang membuat kita betah saling menebak pikiran. Kau adalah pengembara malam. Melintasi kolong langit pekat. Melayang di atas embun dan diasuh rembulan.

Inilah sisi lain darimu yang tak pernah bisa kupahami. Sisi lain yang tak mampu kugali. Yang tak mampu kumaknai dengan definisi apapun. Kau yang mengupas hatimu lapis demi lapis dan merobeknya menjadi potongan terkecil. Membiarkannya terbawa angin utara. Kau yang terlahir dari barisan kata dan kau pun hampir terbunuh olehnya.

Kau adalah bait puisi yang menyentuh walau dengan rima yang tak beraturan. Kau adalah denting angin yang menyayat. Kau selalu memilih berada di kolong langit malam. Kau memilih rumah di antara sekat-sekat tergelap. Menghabiskan waktumu bermain-main di lorong-lorong labirin. Dan aku tak mampu menarikmu dari liku labirin yang semakin membingungkan. Kita tak pernah berdiri di waktu yang sama. Kita telah memilih masing-masing waktu setengah lingkar bumi.

Tapi di sini aku selalu merindukanmu. Aku bisa mendengar tawamu. Masih mendengar suara nafasmu yang teratur. Seakan ia dekat sekali. Aku selalu membisiki kabut agar membelai gendang telingamu. Aku ingin membeli waktu yang dibuang manusia untuk bertemu denganmu. Aku ingin mencuri syair-syair terindah untuk merayumu kembali. Aku menunggumu, meski pagi tak kunjung menjemput malam. Dan malam semakin dingin, mengubah denting angin menjadi kelengahan yang mematikan.

Kau adalah tembang yang terus terdengar di tengah lolongan jiwa-jiwa liar. Kau adalah teriakan yang berontak dari kedalaman hutan. Kau adalah musafir yang rindu rumah namun memilih pergi menjauh.

Waktu berlalu. Tak pernah lagi kutemukan raut wajah yang sama. Tak pernah lagi kudengar tawa yang sama. Semuanya hilang disedot malam. Tapi aku masih disini, masih percaya bisa menemukanmu kembali.
24 September 2011

Menikmati Kesendirian

Setiap orang, siapapun ia, pasti pernah membutuhkan saat-saat untuk sendiri atau lebih tepatnya menyendiri. Entah karena ada masalah, ingin berpikir atau memang karena senang melakukannya. Namun kadang orang-orang di sekitarnya salah mengartikan sikap ini. Inilah yang terjadi pada saya. Akhir-akhir ini aktivitas saya tidak jauh dari dua hal, membaca dan mencoret-coret microsoft word. Jika sudah larut dalam dua hal tadi, saya bisa lupa makan. Nanti mau tidur baru merasa lapar.

Sebenarnya bukan karena apa, tapi di kamar sudah bertumpuk buku-buku yang pernah saya beli dan beberapa buku pinjaman dari teman yang sampai sekarang belum dikhatamkan. Selama menyusun skripsi, buku-buku ini telah sukses membuat saya ngiler ingin membacanya. Tapi karena saya harus fokus dengan hal yang lebih penting dan mendesak maka buku-buku ini saya sembuyikan dalam lemari agar tidak selalu menggoda saya. Nah, setelah skripsi lewat, akhirnya saya bisa melampiaskan rasa “ngiler” yang dulu saya tahan. Saya membongkar kembali buku-buku itu dan membacanya satu per satu.

Aktivitas itu membuat saya empat hari tidak menginjak serambi dan tangga rumah. Tetangga kamar saya bahkan sempat menyindir ketika suatu pagi saya menyapa dan bertanya dia akan pergi kemana. Dia menjawab mau ke kampus dan mengatakan bahwa sebaiknya saya melanjutkan dunia saya. Kening saya berkerut mendengarnya jadi saya bertanya, 
Maaf, dunia yang mana maksudnya ?” 
Dia menjawab, “Ya duniamu, buku-bukumu dan laptopmu!” 
Ooh, saya mengangguk-angguk paham. Saya kembali bertanya, 
Kenapa dengan ‘duniaku’ ?” 
Dia menjawab sambil mengikat sepatunya, “Entahlah, kau seperti larut dalam duniamu sendiri, saya kadang bertanya apa kau masih hidup atau tidak.” 
Mendengar jawabannya kontan saja saya tertawa. Tapi karena dia menatap saya tanpa ekspresi, saya langsung diam.

Setelah dia pergi saya mulai merenungkan kata-katanya. Dia benar. Saya pun menyadari tengah asyik melakukan sesuatu yang bisa disebut “menyendiri”. Seseorang memang bisa tenggelam jika melakukan sesuatu yang disenanginya. Saya pernah membaca tulisan seseorang bahwa jika di rumahnya sudah ada buku-buku, laboratorium dan komputer yang tersambung dengan internet maka dia bisa tidak keluar rumah selama sebulan karena kesenangan sekaligus pekerjaannya berhubungan dengan membaca dan menulis. Lebih dari itu dia mendapatkan kebebasannya dengan sendirian di rumah. Saya memang bukan seorang penulis dan senang membaca meski tidak sampai taraf kutu buku. Tapi ada kesenangan tertentu ketika menenggelamkan diri dengan membaca dan menulis berbagai hal.

Selain itu menyendiri membuat saya bisa berpikir dan merenungkan banyak hal yang tidak bisa saya dapatkan di tengah orang banyak. Berdiskusi dengan orang lain memang perlu tapi kita pun butuh waktu untuk menyelami dunia kita sendiri. Setiap orang punya dunia yang ia tak ingin orang lain memasukinya. Jadi, kupikir kita memang perlu menikmati kesendirian sama seperti menikmati kebersamaan dengan keluarga ataupun kawan-kawan kita.

Senyum Hari Ini

Saya kembali berkeliaran di pusat perbelanjaan. Tempat paling pertama yang selalu saya datangi adalah toko buku. Setelah itu baru menuju ke tempat lain jika memang masih ada keperluan. Dan seperti biasa pula, saya selalu pergi sendiri. Setelah membeli buku, saya menuju ke hypermart untuk membeli beberapa kebutuhan harian. Saat mendekati eskalator, terlihat seorang ibu yang kebingungan. Sepertinya dia takut naik eskalator itu. Dari arah bawah temannya sudah memanggil-manggil.  

Saya lalu menawarkan bantuan. Awalnya dia takut. Jadi saya membiarkan dia berpegang sepenuhnya pada tangan saya. Lalu saya memberikan instruksi untuk melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu dan jangan melompat. Dia mengikutinya. Kami pun melewati eskalator sambil tertawa karena saling berusaha mempertahankan keseimbangan. Kami sampai ke bawah dengan ‘selamat’. Setelah ibu itu pamit, entah kenapa saya merasa lega, atau mungkin senang.

Sebenarnya saya agak kesal karena beberapa buku yang saya cari-cari stoknya habis. Dan setelah hampir 4 jam keliling mencari, saya tidak juga menemukan buku lain yang bisa jadi pengganti. Tapi setelah menolong ibu tadi rasanya kesal saya hilang. Saya senang melihat kelegaan di wajah ibu itu. Sepertinya, menolong orang lain adalah salah satu hal yang bisa membuatmu tersenyum.
 
;