21 October 2013

Menghambur

“Bila kau tak bisa mengekspresikan sesuatu, berarti sesuatu itu tak pernah ada” 

Sepekan terakhir ini saya menamatkan dua novel terjemahan yang ditulis tahun 1979. Setelahnya, selama beberapa hari, saya kembali seperti mengambang. Satu hal yang saya syukuri adalah bahwa saya baru membacanya sekarang, bukan tujuh atau delapan tahun lalu. Saat saya tak tahu apa-apa, tak punya apa-apa. Seperti melangkah menyusuri jalan lengang di malam hari dan di sekeliling dipenuhi rumah-rumah kosong dengan pintu tertutup rapat.

Novel itu bercerita mengenai masa muda yang penuh konflik dan tak punya bayangan tentang masa depan. Konflik yang berakar dari dalam diri manusia sendiri. Kekosongan yang bersumber dari kebingungan akan makna hidup. Walau latar budayanya jauh berbeda, tapi konflik dan kebingungan yang muncul dalam diri kurang lebih mirip.

Selama membaca penuturan penulis, beberapa kali saya harus mengambil jeda karena satu per satu kepingan ingatan bermunculan seperti slide presentasi di permukaan layar. Kadang, kalimat-kalimatnya membuat saya harus keluar mencuci muka karena mata mulai kabur oleh kabut. Sama seperti ketika membaca serial Pengantin Demos, cerita yang banyak memperlihatkan warna hati dan sisi gelap manusia. Sayangnya serial itu menggantung di jilid 17. Sudah lebih dari satu dekade namun si penulis belum juga menyelesaikan ceritanya.

Saya tidak tahu bagaimana mengekspresikannya dengan baik. Tapi seperti ada sesuatu yang ditarik dengan cara yang menyakitkan. Seperti ada yang baru saja menyibak ruang-ruang kosong yang saya sadari namun tak ingin diakui. Ruang kosong yang berusaha ditutupi dari dunia luar. Sunyi dan tak tersentuh. Dari ruang itu keluar bermacam-macam kesedihan, rasa sakit –dan kadang-kadang, rindu- akan sesuatu yang tak terdeteksi dari mana dan harus kemana. Kekosongan yang mengingatkan pada rawa-rawa gelap tempat Demos sering menyendiri. Kekosongan yang membuat saya mulai menjadikan langit sebagai pelarian. Bermonolog dalam hati di depan bulan. 

Ada fase dimana saya ingin pergi ke suatu tempat yang tak seorang pun saya kenal. Memulai segalanya dari awal. Inilah sedikit yang membuat saya cukup menikmati perjalanan enam hari. Setiap ada kesempatan, saya akan memisahkan diri dari rombongan. Berjalan sendiri dengan kamera di tangan. Bebas. Tak ada rasa canggung. Langkah kaki juga lebih ringan. Bebas di tengah keterasingan, kira-kira begitulah. Jika nanti bisa lagi bepergian jauh, saya akan melakukannya bertiga atau berempat saja. Tak perlu dalam rombongan berjumlah banyak.

Universitas dan jurusan yang saya pilih enam tahun lalu pun, selain karena minat, juga karena sedikit teman sekolah yang masuk jurusan itu. Memulai segalanya dari awal, adalah keputusan yang saya eksekusi jauh sebelum ujian nasional. Terdengar konyol. Tapi justru di tempat inilah saya menemukan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang memberi saya ketenangan sejati dalam lingkaran kecil. Bukan kesenangan semu seperti masa sebelumnya yang sepulang menghabiskan waktu di luar justru tak bisa memejamkan mata hingga fajar tiba. Mungkin nanti, saya akan pergi lagi ke suatu tempat yang asing dan memulai semuanya dari awal lagi. Entah akan berakhir di mana, tak ada yang tahu. Seorang teman pernah berkunjung ke kamar dan berkomentar bahwa kamar saya terlalu simple. Seakan-akan suatu hari kau bisa pulang sebentar, mengambil tas lalu pergi dan tak kembali lagi. Saya tersenyum dan membenarkan dalam hati. 

Saya tetaplah saya, yang punya mistar kecil untuk mengukur jarak. Dengan siapapun. Dalam hal apapun. Ada hal-hal yang mungkin tak bisa berubah. Terkadang saya menulis tentang masa ketika masih berusia belasan. Sekadar berkunjung dan menyapa diri sendiri di masa itu. Seperti menonton tingkah anak kecil yang sibuk dengan dunianya.

Terakhir, tulisan ini tidak punya fokus ke satu tema. Malah tampak menghambur ke mana-mana. Hanya berusaha mengekspresikan apa yang saya rasa. Di dalam sudah terlalu sesak. Sungguh. Dan sepertinya saya harus mengurangi kebiasaan menulis di malam hari. Malam seperti punya kekuatan menghasilkan kalimat-kalimat yang pekat dalam tulisan.
18 October 2013

Idul Adha 1434 H

Alhamdulillah, lagi-lagi lebaran idul adha tahun ini bisa saya rayakan bersama keluarga di kampung. Ada lima hari waktu libur yang diberikan tapi kalau dihitung bersih hanya tiga hari karena hari pertama dan terakhir sebagian besar habis diperjalanan. Belakangan ini saya sulit menulis. Tak tahu kenapa. Padahal di kepala sudah bertumpuk berbagai hal yang ingin saya tuliskan. Tapi begitu membuka laptop, tiba-tiba tumpukan itu hilang begitu saja. Seperti tulisan di atas pasir yang dihapus air laut. Jejak samar-samarnya memang masih ada, tapi itu tidak cukup untuk membuat saya lanjut menulis. Kalau sudah begitu saya memilih beralih membaca atau melakukan hal lain.

Lebaran Idul adha tidak begitu ramai seperti halnya idul fitri, karena beberapa orang tak punya waktu libur tambahan jadi tidak bisa kembali ke kampung halaman. Barisan jamaah laki-laki yang biasanya memenuhi setengah lapangan saat idul fitri kini berkurang beberapa shaf. Beberapa anggota sepupu juga tidak pulang sehingga silaturahim tidak seheboh biasanya. Untunglah ada para keponakan yang cerewet jadi suasana sepi tidak terlalu terasa.



Selepas shalat ied di lapangan, saya ikut orangtua ke rumah tante, tempat para hewan kurban menunggu giliran eksekusi. Setelahnya saya diserahi tugas berkeliling mengantar daging tersebut sesuai alamat rumah yang diberikan. Lewat tengah hari tugas saya sudah selesai. Siang hari cuaca di kampung panas. Duduk diam saja tanpa melakukan apa-apa keringat tetap bercucuran. Rasanya ingin nyemplung ke kolam berisi air dingin.

Menjelang maghrib sekitar pukul lima lewat saya pergi berburu matahari sore di pinggir pantai, karena keesokan harinya sudah harus kembali lagi ke Makassar. Pantai yang di hari-hari biasa ramai oleh penjual ikan mendadak sepi. Hanya dua tiga orang terlihat berjalan sambil memotret senja. Beberapa anak terlihat sibuk bermain perahu dan berenang di laut. Di pantai saya bertemu teman yang juga melakukan hal yang sama : berburu matahari sore karena besok pagi harus kembali lagi ke kota. Sunset di Selayar memang yang paling keren, kata teman saya. Tentu ada banyak tempat di dunia yang menjadi spot melihat matahari terbenam. Ada banyak tempat di dunia yang lebih bagus dibanding kampung saya. Tapi dibandingkan tempat-tempat yang sudah dikunjungi, saya setuju dengan pendapat teman saya. Saya belum mendapati tempat di mana matahari terbenam begitu indah selain di tempat itu. Yah, mungkin saya harus lebih sering bepergian mencarinya. Tapi untuk sementara, tempat itulah yang terbaik.



Ngomong-ngomong, tak tahu kenapa tapi sepertinya langit di kota saya terlihat lebih dekat dari bumi. Sudah lama saya perhatikan begitu. Seolah-olah bila naik ke atas pohon kelapa dan mengangkat tangan, kau sudah bisa menyentuh gumpalan awan. Sementara langit di kota daeng berwarna pucat kelabu dan terlihat sangat jauh. Mungkin karena kampung saya dikelilingi bukit sehingga bila matahari atau bulan muncul dari baliknya, langit jadi kelihatan lebih dekat. Sementara di kota ada banyak gedung tinggi, jadinya langit terlihat sangat jauh.

Sore ini saya sempat memotret langit di belakang rumah kos. Membara seperti api.

 
;