20 December 2015

Menjadi Dewasa ?

Aku pikir, semakin tua akan mengubahku menjadi dewasa

Aku pikir, aku cukup mencari kerja dan menikah,
dan menjadi dewasa 

Tapi, tidak satu pun dari hal-hal itu terjadi 

Biar pun aku sudah tumbuh semakin dewasa, 

Aku merasa tidak ada yang berubah 

Aku masih tidak benar-benar merasakan, 

Bagaimana menjadi dewasa itu

(Kimi to Boku season 2 chapter 3)
14 December 2015

Epilog

Matanya pernah, menatap lama ke mataku, yang selalu menatap jauh ke luar jendela. Itu menyesakkan baginya. Dan menyakitkan bagiku.

Lalu suatu ketika, matanya beralih ke sesuatu yang lain. Sesuatu yang membalas tatapannya. Dan dia pun, tersenyum lepas.

Prolog

Ada beberapa hal yang ingin kukatakan. Tapi biar kuceritakan dulu sesuatu yang lain. Aku punya sepupu. Dan sepupuku ini sering mengistilahkan “tak tertolong” untuk hal-hal yang menurutnya tidak bisa atau sulit diperbaiki. Ponselnya pernah pecah berkeping-keping karena jatuh dari lantai tiga. Dia bilang, “Hpku sudah tak tertolong.” Adiknya pernah salah pakai shampoo yang membuat rambutnya kaku semua. Melihat itu ia tertawa, ”Wow, rambutmu benar-benar tak tertolong.” Begitu pun saat menonton berita konyol di TV, biasanya dia akan berkomentar, “Negeri ini tak tertolong.” 

Ketika bertemu, kami lebih sering bercanda, jarang membicarakan hal-hal serius. Kalaupun ada, ujung-ujungnya dibawa bercanda juga. Selera humornya cocok denganku. Saat libur semester aku menginap di rumahnya. Awalnya kami hanya membahas suasana kota tempatku bekerja. Lalu membahas tentang keluarga. Lalu ke novel. Lalu ke film. Lalu hal-hal lain yang tidak penting seperti betapa konyolnya Lee Kwang Soo dalam Running Man. Dan tiba-tiba tema berubah haluan ke…kau tahulah. Pandangan tentang masa depan. 

Saat tiba giliranku, kuceritakan momen ketika suatu hari aku mengantar ibu menjenguk temannya yang sakit. Teman ibu bercerita panjang lebar dan melompat-lompat tentang anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan baru-baru ini lahir cucunya yang kesekian. Di momen itu, tiba-tiba ibu menatapku agak lama. Lalu ia menoleh ke temannya dan menunjuk ke arahku sambil berkata, “Mungkin anakku ini akan selalu sendiri. Seperti mendiang neneknya”. Aku yang saat itu tengah mencicipi teh dan kue sajian tuan rumah nyaris tersedak mendengarnya. Saat kuceritakan, kedua sepupuku tertawa terbahak-bahak. 

“Sepertinya mulai sekarang aku harus ikut asuransi jaminan masa tua. Kalau-kalau itu terbukti benar”, kataku. Mereka tertawa lagi. 

Dalam hal ini kami sebenarnya sama saja. Hanya alasannya yang sedikit berbeda. Mereka siap, sementara aku tidak. 

“Aku masih nyaman seperti ini, kak”, kataku 

Sepupu menggeleng, “Itu yang bahaya,” 

“Kau benar-benar tak tertolong,” timpal sepupu yang lain 

Di waktu yang berbeda, tepatnya saat diskusi dengan rekan kerja di ruang rapat. Salah seorang di antara mereka adalah senior yang sudah lama berkerja di kampus ini. Dan juga senior semasa kuliah dulu. Pembahasan tidak jauh-jauh dari situ. Dia menanyakan pandanganku dan pendapatku masih sama seperti sebelumnya. Kukemukakan juga alasan lain yang selalu kupakai untuk mengakhiri diskusi semacam ini. Dia menggeleng mendengarnya. 

“Cara pandangmu perlu diperbaiki.” katanya, “Ada yang keliru di situ” 

Tak tertolong. Aku pun tidak begitu paham. Hanya saja sering kulihat keburukan dan kekecewaan sebelum cukup mampu memahaminya. Cenderung kulihat kehidupan dari sudut pandang yang gelap. Kadang kupikir, sepertinya ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba berhenti entah sejak kapan. Membuatku tak bisa bergerak, baik untuk maju ataupun mundur. Membuatku jadi sinis akan masa depan. Happy ending seperti menjadi dongeng yang hanya ada dalam cerita Walt Disney. Bukan dalam realita yang kita jalani. Seperti membuka pintu yang kau tidak tahu ada apa di baliknya. Jika bukan sesuatu yang menyenangkan, bagiku lebih baik tak perlu membukanya sama sekali. Kau lihat kan, betapa melelahkan menghadapi orang sepertiku. 

Tak banyak orang yang mau mendengarkan cerita orang lain. Karena masing-masing punya cerita yang ingin diperdengarkan. Kau adalah pendengar yang baik. Tak pernah kutemui ada yang mendengar ceritaku dari awal sampai akhir. Yang meluangkan waktu untuk membaca semua tulisan di sini. Sepertinya memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk datang sekelebat, mengajarkan sesuatu, lalu lenyap sama sekali. 

“Silence is the most powerful scream 

Aku membaca ceritamu. Semuanya. Dan aku memilih diam. Bukan karena tidak peduli. Atau mendiamkan pertanyaan. Tapi lebih karena kupikir itulah jawaban terbaik. Jawaban terbaik memang belum tentu jawaban sebenarnya. Dan jawaban sebenarnya mungkin bukan jawaban yang menyenangkan.  Jadi jangan membenciku. Sebab kuharap ada hikmah yang bisa diambil dari semua kerumitan ini.
09 December 2015

Under The Blue Moon


Kuharap aku tidak terlambat. Semoga aku bertemu Shadow. Semoga aku bertemu Poet juga, tapi terutama Shadow. Cowok yang melukis dalam kegelapan. Melukis burung-burung yang terperangkap di tembok bata dan orang-orang yang tersesat di hutan hantu. 
Malam ini aku harus bertemu dengannya. 
Apapun yang terjadi. 

Graffiti Moon adalah judul asli novel ini, yang entah kenapa dalam versi terjemahan diganti menjadi Under The Blue Moon. Padahal dilihat dari isinya, Graffiti Moon adalah judul yang benar-benar pas. Covernya juga keren binggo (lihat gambar di bawah). Sementara Blue Moon, setahu saya, adalah istilah untuk fenomena alam ketika purnama muncul dua kali dalam sebulan. Seingatku, di tahun ini pernah terjadi Blue Moon,  tapi lupa bulan berapa. 


“Kata Mom, ketika keinginan bertabrakan dengan pemenuhan, itulah momen kebenaran.(Lucy) 

Sebenarnya saya tidak tahu kenapa tiba-tiba beli novel ini. Tapi mungkin saja karena graffiti mengingatkan pada tembok di sepanjang jalan Pettarani di Makassar. Dulu lukisannya bagus-bagus, tapi kemudian dihapus dan diganti dengan lukisan baru yang lebih payah (sorry). 

“Itulah yang kusukai dari seni, yaitu apa yang kau lihat terkadang lebih menyangkut siapa dirimu daripada apa yang terpampang di tembok. Aku memandang lukisan ini dan memikirkan betapa semua orang menyimpan rahasia.” (Lucy) 

Edward Phil(omena) Skye dan Leopold Green bersahabat sejak kecil. Ed menyukai seni tapi memiliki masalah dalam baca-tulis. Sementar Leo suka puisi dan tulisan tangannya sangat bagus. Leo selalu membantu menuliskan tugas-tugas Ed. Mereka berdua menyamar menjadi Shadow dan Poet yang melukis dinding-dinding kota. Shadow yang melukis dan Poet membubuhkan kata-kata dalam lukisan itu. Saya suka bagian ini karena apa dilukis Shadow tidak harus sesuai dengan kata-kata Poet. Artinya lukisan dan kata-kata dalam adalah dua persepsi yang berbeda. Seperti ketika Shadow melukis seekor burung yang telentang menghadap langit, Poet membubuhkan kata Damai dalam lukisan itu. Tapi Shadow tak merasa demikian dalam lukisannya. 

Lucu rasanya, dua orang bisa menatap hal yang sama tapi melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku tidak menemukan kedamaian ketika melihat burung itu. Aku melihat masa depanku, dan kuharap masa depanku cuma sedang tidur.  (Ed/Shadow) 

Sementara Lucy yang menghabiskan waktunya di studio pengrajin kaca, terobsesi oleh sosok Shadow dan Poet. Terutama Shadow. Ia sangat ingin bertemu dengannya. Hingga suatu malam menjelang akhir kelas 12, Lucy mengajak dua sahabatnya, Jazz dan Daisy serta tiga lainnya yaitu Ed, Leo dan Dylan untuk mencari sosok Shadow. Di sini masalahnya, karena Ed dan Leo harus berpura-pura ikut mencari sosok misterius yang tak lain adalah diri mereka sendiri. Ed dan Lucy kenal satu sama lain, tapi ada pengalaman tak menyenangkan dua tahun sebelumnya yang membuat Lucy mematahkan hidung Ed.

“Namun, itu tidak kulakukan, karena definisi gila adalah melakukan sesuatu yang hampir sama dua kali dan mengharapkan akhir yang berbeda” (Ed/Shadow) 

Novel ini mengambil sudut pandang yang berganti-ganti antara Lucy Ed, dan kadang-kadang Leo. Tapi bagian Leo semuanya diisi oleh bait-bait puisi. Saya suka karakter tokoh-tokohnya. Tidak ada kesan karakter laki-laki ditulis oleh perempuan. Selain itu pemilihan kata-kata penulisnya keren. Untuk menggambarkan malam saja penulisnya membuat seolah-olah malam itu bola raksasa yang gelap. Sisanya, saya begong saja, karena bukan anak seni jadi banyak yang tidak saya pahami. Tentang proses pembuatan kaca, tentang pemilihan warna cat atau tokoh-tokoh seni yang tidak saya kenal. 

“Jika terlalu dingin, ia akan pecah. Terlalu panas, bentuknya akan berubah. Ketahuilah sifat-sifat kaca, dan kau bisa membentuknya menjadi apa pun yang kau inginkan.” (Al) 

Satu-satunya kekurangan (jika bisa disebut kekurangan), adalah tidak ada visualisasi yang mendukung. Saya penasaran seperti apa lukisan-lukisan Shadow yang dideskripsikan dalam novel. Atau seperti apa model huruf buatan Poet yang beri nama empty itu. Tidak adanya visualisasi membuat saya sulit konsentrasi. Sepertinya kata-kata yang saya baca berhamburan keluar sebelum sempat saya cerna. 

“Mimpi adalah satu-satunya cara pergi ke tempat mana pun.”  (Ed/Shadow) 

Terakhir, ada dua puisi Poet yang yang saya suka berjudul Mungkin  dan Detak di Dalam. Puisi Mungkin sebenarnya datar-datar saja, tapi entah kenapa seperti tidak asing kubaca.  

Mungkin 
Mungkin kau dan aku 
Mungkin kau dan aku 
Mungkin kau dan aku 
Tapi mungkin tidak 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Mungkin aku akan melupakan dia 
Tapi mungkin tidak

Detak di Dalam 
Di dalam tubuhnya ada pagar kawat 
Dan di balik pagar kawat itu ada anjing 
Dan di balik anjing itu ada pencuri-pencuri 
Dan di balik pencuri-pencuri itu 
Ada segerombolan mimpi buruk 
Dan di balik mimpi-mimpi itu 
Jika kau bisa melewati mimpi-mmpi itu 
Ada hal-hal yang membuatnya berdetak
Tak, tak, tak
 
;