18 December 2014

Menuju Seperempat Abad

Sebaliknya bagi kita yang masih hidup, setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, umur akan terus bertambah. Terkadang aku bahkan merasa bahwa umurku terus bertambah setiap jam. Yang menakutkan adalah bahwa hal itu memang demikian adanya.” 
~Haruki Murakami, Kaze No Uta O Kike~ 

Derek Heartfield, salah satu pengarang yang sezaman dengan Hemingway dan Fitzgerald, katanya hanya menyukai tiga hal. Senapan, kucing, dan kue yang dipanggang ibunya. Kesukaannya pada senjata menjadikannya kolektor yang nyaris sempurna di seluruh Amerika. Dari sejumlah senjata miliknya, yang paling dia banggakan adalah revolver 38 mm, yang gagangnya berhiaskan mutiara. Dia sering berkata bahwa suatu saat nanti akan menembak dirinya sendiri dengan benda itu. Tapi kemudian Heartfield memilih mati dengan cara lain. Ketika ibunya meninggal, dia naik ke puncak Empire State Building dan meloncat sambil memeluk lukisan Hitler di tangan kanan dan payung terbuka di tangan kirinya. Saya tidak tahu apa-apa tentang Heartfield. Dan tidak pernah membaca satu pun karangannya yang dipenuhi makhluk fantasi dari planet Mars itu. Murakami-lah yang memberitahu saya semua informasi tadi. 

Kematian, adalah tema yang paling jarang dibicarakan. Kita lebih memilih mengalihkan atau menghindari pembicaraan semacam itu. Tapi di kepala saya sudah lama muncul gagasan ini : mati muda. Sejak kecil, mungkin SD atau SMP, dengan segala keterbatasan pemahaman, selalu kepikiran bahwa sepertinya saya akan cepat mati. Tidak seperti nenek yang meninggal di usia renta 70 atau 80 tahun, saya merasa akan lebih cepat dari itu. Tak tahu juga kenapa begitu. Saya hidup sebagaimana layaknya anak-anak biasa,  belajar di sekolah dan bermain di luar rumah. Tapi pikiran tentang mati muda sering muncul di sela-sela waktu itu. Muncul begitu saja. Saya jadi sering menegur diri, kamu anak sekolahan, kenapa memikirkan hal seberat itu. Tapi hingga kini pun, pikiran itu tak pernah hilang. 

Suatu waktu saya berbincang dengan teman tentang bunuh diri. Teman saya berkata bahwa apapun alasannya, menghilangkan nyawa yang hanya satu-satunya adalah kenaifan. “Sayangnya”, dia melanjutkan, “Aku pun pernah berpikir senaif itu.” Jika Heartfield punya segudang koleksi senjata yang bisa kapan saja dia pakai untuk menembak dirinya, maka di dalam rumah ada berbagai macam benda semisal silet, pisau, gunting, tali jemuran atau cairan pembersih. Seorang teman dengan wajah datar pernah memamerkan bekas sayatan di pergelangan tangannya. Tapi saya tidak memikirkan tindakan semacam itu. Saya haya merasa bahwa waktu untuk pergi akan tiba lebih cepat. Entah dengan cara apa. 

Anak-anak dianugerahi rasa ingin tahu yang besar, dan kadang kelewat liar. Ingin tahu rasanya hujan-hujanan, ingin tahu rasanya panjat pohon, ingin tahu rasanya mahir naik sepeda  dan juga, ingin tahu seperti apa rasa sakit itu. Sewaktu kecil, saya pernah memasukkan biji jangung ke dalam hidung, menghirupnya kuat-kuat hingga tersangkut dan menutup aliran udara. Ketika mulai kesulitan bernapas, saya tergopoh-gopoh mendatangi ibu yang saat itu sedang menanak nasi. Sendok nasi yang dipegang ibu jatuh ke lantai. Berikutnya yang saya ingat, ibu berlari menggendong saya ke rumah dokter yang jaraknya ratusan meter dari rumah. Bodohnya, saya mengulang kasus yang sama di lain waktu. 

Saya juga pernah menyayat jempol tangan kiri. Saat itu sedang penasaran dengan benda bernama silet. Begitu kecil dan tipis. Ketipisannya mampu memotong kuku jari yang keras dan panjang. Saya tidak berpikir apa-apa ketika tahu-tahu sudah mulai menyayat dari ujung jempol lurus ke bawah hingga garis tengah. Ada rasa menyengat di sepanjang kulit yang tersayat. Awalnya hanya berupa garis merah kecil, lalu pelan-pelan garis kecil itu melebar, meluap seperti sungai. Darahnya jatuh menetes ke tanah. Melihat itu saya pun dilanda panik dan berlari kesana kemari mencari kapas dan plester. Sampai sekarang, jika melihat silet saya selalu teringat peristiwa itu. 

Pikiran tentang mati muda tak pernah saya ungkapkan kecuali sekali. Baiklah, dua kali dengan tulisan ini. Hasilnya adalah ekspresi yang sulit digambarkan. Seolah-olah orang itu baru saja melihat bentuk kue yang tidak lazim. Padahal saya berharap bisa menemukan sesuatu yang berbeda. Tapi hanya itulah yang saya tangkap. 

Bila kematian menjadi tema yang jarang dibicarakan, pernikahan sebaliknya. Tema terpopuler, terutama di kalangan usia 20an ke atas. Untuk ini pun saya punya firasat yang aneh. Beberapa bulan terakhir, salah satu teman SMA sering datang berkunjung. Seperti biasa bila cerita tentang masa SMA, ujung-ujungnya membahas teman mana saja yang sudah atau belum menikah. Di tengah percakapan, tiba-tiba ada jeda yang cukup lama. Teman saya memutuskan memecah keheningan, “Hei, tak tahu kenapa ya, tapi sepertinya masih lama baru saya bisa nikah”. Masa sih, tanya saya. “Yup, dan kalau kuperhatikan, kau juga akan mengalami nasib serupa”  Saya tertawa mendengarnya. Saya malah berpikir akan mati sebelum sempat menikah. Pernah suatu hari di musim hujan, saya pulang membawa kaos kaki baru yang rencananya akan dipakai untuk upacara sekolah. Saat hari senin tiba, baru sadar kalau ternyata kaos kaki itu tidak lengkap. Hanya ada bagian kanan. Kaos kaki itu mirip dengan nenek, yang tetap sendiri hingga akhir hayat. Yang tetap menjadi bagian yang tidak lengkap. Entah kenapa, saya punya firasat akan menjadi seperti kaos kaki itu. Jika untuk hidup saja sepertinya tak lama lagi, bagaimana bisa memikirkan hal lain bernama pernikahan ? 

Baiklah, saya tidak berharap yang demikian itu benar-benar terjadi. Tapi semakin lama pikiran itu semakin menguat. Hanya doa satu-satunya senjata agar dijauhkan dari firasat buruk. Berharap apa yang terus kepikiran itu tidak benar adanya. Banyak bekal yang lebih wajib saya cari. Banyak hal yang lebih mendesak untuk saya benahi. Dan banyak dosa yang lebih patut saya renungi.
16 December 2014

Tokyo Tower : Antara Aku, Ibu dan Terkadang Ayah


“Ketika hidup, kau rela mati demi anakmu. Ketika mati, kau ingin hidup untuk menjaga anakmu”
~Tokyo Tower~

Awalnya saya pikir orang barat yang nulis, namanya saja Lily Franky. Kan banyak tuh novel bernuansa jepang tapi ternyata penulisnya bukan orang Jepang. Jadi ragu mau beli atau tidak ? Beli tidak ? Tapi berhubung di cover ada kalimat bertulis “telah terjual lebih dari 2 juta kopi di Jepang”, serta “telah diangkat ke layar lebar dan serial TV”, akhirnya dibeli juga. Ngomong-ngomong, Lily Franky terdengar seperti nama perempuan kan ? Yup, saya tidak ragu, penulisnya pasti perempuan. Tapi setelah beberapa halaman, kok kayaknya bukan perempuan yang nulis. Tokoh utamanya laki-laki. Gaya bertuturnya pun beda dari penulis perempuan. Saat tanya ke salah satu teman kesannya akan buku ini, dia bilang dia tidak yakin kalau penulisnya perempuan. Tuh kan ? Jadi untuk lebih jelasnya kita pun meminta bantuan Daeng Google.

Daeng Google yang dimintai tolong malah mengarahkan kita ke halaman Dramawiki. Lho, penulis kok larinya ke dramawiki. Pas lihat fotonya, eh ini kok kayak kenal ya ? Maksudnya saya yang kenal dia, kalau dia sih mustahil kenal saya. Ternyata pemirsa, si Lliy Franky ini adalah aktor yang berperan sebagai bapaknya dr. Aizawa di dorama Code Blue, yang nyaris terlupakan karena saya lebih fokus ke dr. Aizawa sepanjang dorama. Menunggu momen kapan kira-kira si dokter ini akan tersenyum. Nama asli Lily Franky adalah Masaya Nakagawa, seorang aktor, illustrator, desainer, fotografer, penulis lagu, novelis dan vokalis band. Whoaaa…ini baru namanya multitalenta. Tokyo Tower bukan sekadar novel, tapi otobiografi dari Masaya Nakagawa.

Tak ada keluarga yang sempurna. Begitupun keluarga Masaya. Sejak kecil ia terbiasa hidup hanya berdua dengan ibunya. Orangtuanya tidak bercerai tetapi mereka memilih hidup terpisah. Bagi Masaya, ibunya ibarat pesawat Thunderbird 2 dalam serial TV Thunderbirds, yang membawanya sebagai muatan dan keberadaannya begitu dekat. Sementara ayahnya, ibarat pesawat Thunderbird 5 yang melayang di angkasa dan tidak pasti ada di mana. Muncul di saat tertentu dan menghilang saat disadari. 

Ibu Masaya adalah tipikal perempuan yang menyenangkan, suka tertawa dan menyukai pekerjaan rumah tangga. Ia sangat peduli pada hal-hal yang berhubungan dengan makanan dan pakaian Masaya. Setiap makan, ibunya rutin menyediakan berbagai macam lauk di atas meja. Sementara untuk pakaian, ibunya rajin membelikan Masaya baju baru untuk berbagai acara atau perayaan. Tapi sang ibu sendiri selalu memakai pakaian yang sama selama bertahun-tahun. Hal itu membuat Masaya tak pernah merasa miskin meski mereka tidak punya rumah sendiri.

Ayah Masaya adalah tipikal laki-laki kasar, peminum berat dan suka ngamuk saat mabuk. Jenis manusia yang kaku dan tak peduli dengan sekitar. Saat Masaya lahir atau saat masuk rumah sakit, ayahnya sedang menghabiskan waktu di bar. Ayahnya tidak ikut membesarkan Masaya, tapi tetap mengurusnya. Ia peduli dengan pendidikan Masaya, menempuh berbagai cara agar anaknya diterima di sekolah seni dan membantunya mencari pekerjaan sewaktu kuliah di Tokyo. Ia selalu mendorong Masaya untuk hidup mandiri. Pekerjaannya sering berganti-ganti karena memang tipe manusia yang setengah-setengah menekuni sesuatu. Walau begitu, ia tetap menyisihkan penghasilan untuk istri dan anaknya. Jiwa seni yang mengalir dalam diri Masaya pun diturunkan oleh ayahnya. Sejujurnya, ayah Masaya tetap menjadi misteri bagi saya hingga akhir cerita. Tak bisa disebut baik, tapi juga tak bisa disebut jahat.

Memasuki masa SMA, Masaya keluar dari sarangnya, hidup sendiri dan bersekolah di Beppu. Di masa ini kehidupannya mulai tak teratur. Tak ada lagi ibu yang membangunkannya di pagi hari. waktunya dihabiskan di game center dan pachinko. Semangatnya akan sekolah dan seni pun perlahan-lahan surut. Tapi dengan susah payah Masaya berhasil masuk institut seni di Musashino, Tokyo bagian barat. Di Tokyo, tempat kebebasan dapat diperoleh dengan mudah, hidupnya makin tak teratur, digerus oleh kehidupan kota. Kondisinya sedikit demi sedikit membaik setelah ibunya ikut tinggal bersamanya.

Masaya banyak menyorot kehidupan hedonis orang-orang Tokyo. Ia menyindir definisi kaya dan miskin ala orang kota. Memiliki uang koin seratus yen di kantong tak dapat dikatakan miskin. Justru satu-satunya kekayaan berupa uang seribu yen dalam dompet Louis Vuitton yang dibeli secara kredit malah lebih tergolong miskin. 

Pun keluarga bagi Masaya adalah sesuatu yang rumit. Dan sesuatu yang rumit itu dimulai dari pernikahan. Ia mengutip dialog dalam opera The Marriage of Figaro bahwa “Di antara hal-hal yang serius, pernikahan adalah yang paling bodoh”. Ya, dua manusia bodoh melalui proses menjadi suami-istri, lalu menjadi orangtua, dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tahu-tahu sudah terbelit dalam hubungan keluarga. Masaya beruntung memiliki ibu yang begitu dekat dan menyayanginya serta ayah yang tetap mengurus kebutuhannya. Tapi pengalaman dengan keluarganya tidak bisa disebut bahagia. Mungkin itulah mengapa sampai akhir hayat sang ibu, bahkan sampai sekarang pun Masaya memilih untuk tidak berkeluarga.

Saya kira wajar kalau novel ini laku keras. Ada sisi kehidupan yang nyaris hilang pada diri orang kota, yang muncul dalam novel ini. Tak banyak orang dewasa, apalagi di Tokyo, yang tetap berbakti pada orangtua hingga akhir hayat seperti halnya Masaya. Di negara maju, saat orangtua sudah tidak lagi mampu merawat dirinya, mereka cukup didaftarkan ke panti jompo. Sang anak hanya perlu sesekali menjenguk orangtua mereka. Tapi membawa serta ibu tinggal bersama di kota, merawatnya di saat sakit, memenuhi keinginan-keinginannya dan menemaninya di saat-saat terahir seperti yang dilakukan oleh Masaya adalah sesuatu yang tak bisa dilakukan kebanyakan anak yang sudah mandiri.

Novel ini dibaca di sela-sela penelitian di bulan April. Untungnya saat itu saya berada di tengah-tengah keluarga bersama ibu, ayah dan kedua adik. Apa jadinya jika dibaca saat jauh dari rumah, di kos misalnya. Mungkin saya sudah meraung-raung di kamar memanggil nama ibu (lebay). Jadi, hati-hatilah membaca novel ini ketika jauh dari rumah.

“Ada begitu banyak perasaan di dunia ini, namun tidak ada yang menyerupai perasaan orangtua pada anak. Saat masih anak-anak, kita belum memahami hal itu. Tapi saat sudah berada pada posisi orangtua, kita pun akan memahami apa yang dipikirkan orangtua tentang anaknya”
~Lily Franky~
10 December 2014

Zankyou no Terror

 

“Itulah sebabnya kau menerima kasus ini. Karena kau tidak bisa memaafkan penjahat yang bermain-main dengan senjata nuklir”
~Kurahashi, Zankyou no Terror~

Terorisme tanpa korban jiwa, adakah ? Ada. Tapi hanya di dunia anime. Lagi-lagi, hal-hal bagus sering ditemukan secara tak sengaja. Saat berkunjung ke rumah teman untuk suatu urusan, tetangganya yang ternyata penggemar anime bercerita sekilas tentang anime ini. Kedengarannya menarik, lagipula kalau hanya 11 episode berdurasi 23 menit, kenapa tidak ?

Umumnya anime bercerita dari sudut pandang sang pahlawan. Tapi anime ini sebaliknya, bercerita dari sudut pandang si teroris. Berawal dari pencurian Plutonium di Aomori yang dilakukan oleh dua remaja bernama Nine (Kokonoe Arata) dan Twelve (Hisami Touji). Enam bulan sejak peristiwa itu, rangkaian teror bom mulai bermuculan di berbagai tempat di wilayah Tokyo. Sehari-harinya, kedua remaja ini menyamar sebagai siswa di sebuah sekolah tinggi. Selain mereka, ada pula tokoh lain bernama Mishima Lisa, gadis yang punya banyak masalah terutama menyangkut ibunya. Lisa menggambarkan senyum Twelve seperti matahari di musim panas dan mata Nine yang dingin seperti es.

Dalam setiap aksinya, mereka rutin mengunggah video ke internet sebagai teka-teki yang mengarah ke lokasi target bom. Dalam rekaman video, mereka memakai topeng Spinx, sejenis monster yang muncul dalam kisah mitologi Yunani, Oedipus Rex. Tragedi Oedipus dimulai ketika ayah Oedipus diberitahu oleh peramal bahwa ia akan dibunuh oleh putranya sendiri. Oleh karena itu sang ayah membuang Oedipus ke hutan tepat setelah kelahirannya. Namun Oedipus berhasil bertahan hidup dan tumbuh dewasa. Entah bagaimana ceritanya Oedipus memang akhirnya membunuh sang ayah tanpa tahu bahwa orang itu adalah ayahnya. Ia lalu berkunjung ke negeri ayahnya dan menikah dengan ibunya sendiri. Setelah tahu bahwa ia membunuh ayah dan menikah dengan ibu kandungnya, Oedipus pun mencongkel matanya dan menjadi buta.

Aksi Nine dan Twelve bukan sekadar remaja yang cari perhatian. Atau remaja yang bosan lalu membom berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Aksi teror yang mengadopsi mitologi Oedipus Rex itu adalah sejenis pesan terkait apa yang mereka alami bertahun-tahun sebelumnya. Pesan yang berhubungan dengan proyek penelitian rahasia yang dilakukan oleh pemerintah terhadap 26 anak panti asuhan. Pesan yang tidak dapat mereka sampaikan hanya dengan melapor langsung ke polisi. Ibaratnya seperti teriakan kecil di tengah keributan, teriakan itu akan hilang sebelum sempat didengar oleh siapapun. Uniknya, aksi mereka direncanakan sedemikian matang hingga tak sampai menimbulkan korban jiwa.

Episode terakhir mengingatkan kita pada masa perang dunia kedua ketika bom atom menelan ribuan korban. Tapi bagi dua remaja ini, ada cara meledakkan bom nuklir tanpa melukai siapapun. Endingnya betul-betul menguras emosi. Lagi-lagi dibuat menangis oleh tokoh fiktif dan cerita rekaan. Perasaan mengambang menggantung lama bahkan setelah anime berakhir. Dari segi gambar, empat jempol untuk anime ini *angkat `jempol kaki*. Grafisnya mendetail, mirip dengan yang asli. Tata kota, pohon, jalan raya, kereta, hujan dan langitnya mirip dengan yang nyata. Seperti grafis anime Kotonoha no Niwa. Oleh karena itu dengan mantap saya nobatkan anime ini sebagai anime terbaik yang saya tonton sepanjang tahun 2014.

"Ingatlah jika kami pernah hidup” 
~Nine~
 
;