28 January 2013

Segigih Arai, Setragis Ikal


“Di dunia ini, ada hal-hal yang tidak bisa diubah”

Berita yang baru saja sampai ke telinga saya rasanya seperti mendengar berita bahwa nenek berhasil memasukkan benang ke lubang jarum tanpa bantuan kacamata. Tidak mungkin. Tapi demikianlah adanya berita, yang kata teman saya, paling cetarrr membahana badai di awal tahun 2013 ini. Sebuah berita yang membahagiakan bagi sebagian orang sekaligus menyedihkan bagi sebagian yang lain. Penggemar novel Andrea Hirata pasti tahu bagaimana Arai bertahan menunggu satu perempuan, Zakiah Nurmala, sejak kelas satu SMA dalam novel Sang Pemimpi, yang kisahnya kemudian berakhir manis di novel Maryamah Karpov.

Kisah Ikal juga tidak kalah seru dibanding Arai. Dia melintasi separuh bumi, menjelajah berbagai negeri sampai menyeberang ke benua tandus Afrika demi mencari A Ling, perempuan dengan senyum dan paras kuku yang telah membuatnya senewen menderita berbagai macam penyakit gila. Kisah itu dituangkan dalam novel Edensor, yang berbeda dengan Arai-Zakiah, kisah Ikal berakhir menyedihkan di Maryamah Karpov. Di belahan bumi lain, sebuah perpaduan kisah Arai-Ikal, yang tidak pernah dibukukan, juga terjadi hal serupa. Kisah itu seperti dongeng pengantar tidur, tapi dongeng yang belum berakhir karena tak ada kalimat penutup “Hidup bahagia selamanya”. Kisah itu masih menggantung seperti kabut dengan akhir yang tak tertebak, sampai berita itu tiba.

Pada zaman dahulu, tidak dulu-dulu amat, terkumpullah sekitar 30 pelajar pilihan dari berbagai negeri dan dari berbagai tingkat status sosial ekonomi. Mereka akan belajar bersama-sama selama setahun. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari dan hari yang lama berganti dengan hari yang baru. Tanpa terasa keakraban di antara puluhan pelajar itu terjalin semakin erat. Dan seperti layaknya kehidupan remaja umumnya, selalu ada romansa yang mengintip di balik tawa dan hangat kebersamaan. Tersebutlah seorang pemuda jelata yang sangat cerdas di bidang matematika dan bahasa asing tapi amat benci dengan biologi, terkena anak panah yang tanpa sengaja terlepas dari busur seorang perempuan anggun kalangan kelas atas. Tapi kisah ini bukan kisah klasik  Romeo dan Juliet atau Siti Nurbaya yang bertema “perbedaan yang tidak dapat disatukan” atau “cinta yang dibawa mati”. Tidak, sama sekali bukan itu. Temanya, seperti kata Andrea Hirata dalam Sang Pemimpi, adalah tentang indifferent love. Seseorang yang bertahun-tahun menyukai satu orang dan selama itu pula ia ditampik berkali-kali. Arai bahkan sukses menuai penolakan sebanyak delapan puluh tujuh kali.

Pemuda Cerdas itu, kisahnya sangat mirip Arai. Belasan tahun bertahan hanya untuk menunggu seseorang. Menurutku ini adalah hal yang, entah bagaimana menyebutnya, luar biasa hebat sekaligus luar biasa bodoh. Si Pemuda, walau sudah berkali-kali dijodohkan dengan perempuan lain, tak ada yang berhasil. Sampai habis akal teman-teman terdekatnya menarik dia keluar dari bayang-bayang Perempuan itu. Si Pemuda tetap pada pendiriannya. Dia lebih memilih mundur duluan dari perjodohan itu. Berhenti di titik yang sama dan menunggu. Selalu begitu.

Menunggu. Kata ini melelahkan, sangat melelahkan. Tak perlu bilangan tahun, menunggu dosen yang tak kunjung datang, meski telah ada janji sebelumnya, membosankan bukan main. Apalagi belasan tahun menunggu satu orang yang tak pernah ada janji apapun sebelumnya. Itu sunggguh melelahkan. Tapi tidak bagi Pemuda itu. Dia seoptimis dan serasional Arai. Selama belum ada kabar bahagia datang dari Perempuan itu, dia tidak akan menyerah. Yang jelas, katanya, dia tidak akan pernah memulai “kabar bahagia” sebelum Perempuan itu yang memulainya. Jika suatu saat nanti, kabar bahagia itu harus datang dari si Perempuan dan si Pemuda ternyata bukanlah bagian di dalamnya, maka saat itulah dia akan menghapus kata menunggu yang sudah melekati hampir separuh hidupnya.

Sebenarnya saya agak heran dengan kisah ini. Kalau tidak salah, ini kalau tidak salah ya, teori mengatakan bahwa menunggu adalah hal yang paling tidak bisa dilakukan oleh makhluk Mars. Kenyataan yang saya lihat di kehidupan orang-orang sekitar saya juga membenarkan teori itu. Sangat jarang, walau juga tak bisa dikatakan tidak ada, mendapati spesies ini melakukan pekerjaan yang disebut menunggu. Kata teman saya, mereka adalah makhluk yang bebas. Tidak membiarkan diri hidup dengan mengejar bayang satu orang saja. Namun bila ada yang mampu melakukannya, maka orang itu termasuk jenis manusia langka, seperti spesies burung dodo yang diberitakan hampir punah dari muka bumi.

Kisah Pemuda yang kegigihannya seperti Arai ini harus berakhir semenyedihkan Ikal. Berita yang disebut-sebut cetar membahana badai di awal tahun 2013, tak lain adalah “Kabar bahagia” yang datang dari si Perempuan. Undangan telah disebar. Dan Si Pemuda bukanlah bagian di dalamnya. Si Pemuda sendiri sedang tidak berada di bawah naungan burung garuda. Dia sedang dalam perjalanan memenuhi obsesinya berkeliling dunia. Setelah menjelajahi Turki, Cina, Rusia dan negeri-negeri Timur Tengah, kini dia terdampar di Jepang. Semoga ketika mendengar berita cetar membahana badai itu, dia tidak nekat melakukan harakiri di sana. Semoga tidak ada adegan konyol ala film India yang saya temui nanti. Walau beberapa hal tidak akan lagi sama, semoga semuanya baik-baik saja.
21 January 2013

Mata


Bola mata yang jauh
Di sana ada ruang tanpa tepi
Ada dialog bernama sunyi
Ada tirai bersampul tanya
Ada lakon tanpa jeda

Betapa ingin menembus pandangan itu
Dan menatap tanpa berpaling ragu

Di matanya,
Ada diam yang terpekur
Ada malam yang tertidur
Pun suatu ketika
Bulan separuh pernah terperangkap di sana
19 January 2013

Random (4)


Beberapa waktu belakangan ini saya kerap bertemu dengan satu istilah : Deja vu. Saya bisa mengalaminya ketika sedang kuliah, ketika makan, membaca, mendengarkan orang lain bercerita, mencuci, mengendarai motor, sampai saat mengetik di depan laptop. Setahu saya, fenomena psikologis ini berkaitan dengan usia, semacam penyakit ingatan seperti Alzheimer. Yah, saya tahu saya memang tambah tua. Tapi semoga kepala dan ingatan saya baik-baik saja.
*** 
Suatu sore saya melanggar peraturan lalu lintas dengan membonceng teman tanpa memakai helm. Sejak awal teman yang saya bonceng sudah khawatir tapi saya bilang santai saja. Beberapa menit kemudian kekhawatirannya terbukti. Beberapa meter sebelum memasuki pintu 1 kampus, terdengar deru motor lain diiringi teguran berat suara laki-laki. Saya melirik spion dan menjerit dalam hati begitu melihat motor besar warna putih yang dikendarai seorang polisi lalu lintas sudah mengekor di belakang saya. Tilang, tilang, tilang, hanya kata itu yang terus berputar di kepala saya. Saya sudah bersiap-siap menepi dan menguat-nguatkan diri kalau sampai dimarahi di depan umum. Anehnya, selesai menegur pak polisi itu malah langsung pergi. Tidak ada marah-marah, tidak ada tilang-tilangan. Saya melongo sebentar lalu menutup mata dan menghembuskan napas kuat-kuat. Lega. Saya tahu saya salah, tapi terima kasih atas kebaikannya, Pak Polisi.
***
Awal tahun selalu menjadi momen tebak-tebakan buat saya. Saya lupa sejak kapan ayah mulai rutin memberi hadiah setiap tahun. Kadang diberi di awal tahun, kadang juga di tengah atau akhir tahun. Hadiahnya bermacam-macam mulai dari jam tangan, hp, sandal, sepatu, jilbab, dompet dan lain-lain. Lucunya, beberapa di antara hadiah itu adalah benda-benda yang bergaya khas laki-laki. Jam tangan dan sandal misalnya, yang bila dilihat dari penampakan dan warnanya, siapapun tahu itu dibuat untuk laki-laki. Kecuali untuk jilbab dan hp. Ibu sering meminta saya memakai jilbab warna pink, ungu muda atau warna cerah lainnya yang selalu saya tolak. Bagi saya, biru gelap, hitam, abu-abu dan cokelat tua sudah cukup untuk warna jilbab sehari-hari. Beberapa tahun belakangan ini, kebanyakan hadiah dari ayah berupa buku. Saya paling suka diberi hadiah buku, asal bukan buku gambar. Terakhir ayah menghadiahkan bukunya Dr. ‘Aidh al-Qarni yang berjudul Menjadi Wanita Paling Bahagia. Tahun ini apa ya kira-kira ? :)
***
Selepas ujian semester kemarin, saya menghabiskan waktu mendekam di kamar. Hujan terus turun sepanjang hari. Kebiasaan yang sering saya lakukan dalam suasana seperti ini adalah membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin meniup-niup kain gorden, lalu menyeduh segelas milo, duduk bersandar menghadap jendela dan larut dalam bacaan. Sore harinya saya kelaparan karena seharian belum makan. Di luar masih hujan tapi rasa lapar mendorong saya mengambil kunci motor dan keliling mencari makan. Sepulangnya saya menggigil kedinginan. Tapi ada sebungkus nasi goreng yang cukup untuk menghangatkan diri. Hidup itu kadang sederhana saja, seperti hari ini.
17 January 2013

Janji Yang Aneh

Jari telunjukku mengetuk-ngetuk meja. Kubaca tulisan itu dari awal sampai akhir. Begini mungkin sudah cukup, pikirku. Lebih dari cukup. Kulirik gelas plastik kosong yang sebelumnya berisi es teler Tanah Abang dan teringat percakapan dengan seseorang di dunia maya beberapa bulan lalu. 
“Kau tahu aku tidak bisa melakukannya” 
“Tentu saja kau bisa” 
“Ya, dan membuatku terlihat konyol” 
“Mungkin, tapi tidak bagiku” 
“Lalu setelah itu ?” 
“Tidak ada. Aku hanya ingin membacanya” 
“Membaca kekonyolan ?” 
“Anggap itu tidak nyata, dan kau tidak akan terbebani apapun.” 
“Justru karena itu” 
“Aku tidak ingin berdebat, kawan. Aku hanya menagih janji. Kau tidak lupa, kan?” 
“Aku bercanda saat itu.” 
“Sayangnya aku tidak. Aku orang yang serius. Dan kaku. Seperti katamu.” 
“Tapi...” 
“Tidak ada tapi. Tulis apa yang ada di kepalamu. Yang paling menggelikan sekalipun.”
***  
Perutku mulas mengingat percakapan hari itu. Kurasa aku butuh teh Poci dengan tiga sendok susu kental manis dan kekuatan yang berlipat-lipat untuk memulainya. Tapi sudahlah, akan kubuat singkat saja. Toh, tidak ada aturan mengenai jumlah halaman. Begitu menyelesaikan kalimat terakhir, aku menghela napas panjang. Entah lega atau malah tambah terbebani. Aku memang buruk untuk hal-hal seperti yang dia katakan. Kubaca tulisan menggelikan itu sekali lagi. Dan perutku dilanda mulas kembali. Sekarang dia mungkin sedang terguling-guling di seberang sana membaca tulisan ini.
16 January 2013

Kisah Lain Sang Penakluk Konstantinopel


Hari sabtu kemarin, di mesjid kampus diadakan Tabligh Akbar bertema Penaklukan Konstantinopel. Tema sejarah, tema yang saya suka. Sayangnya saya tidak bisa duduk tenang mendengar materi seperti peserta lainnya karena bertugas di pos panitia. Beberapa hari sebelumnya, saat membolak-balik majalah Qiblati saya menemukan kisah tentang vonis potong tangan untuk Sultan Muhammad al-Fatih,  Sang Penakluk Konstantinopel (Istambul), di salah satu rubriknya. Karena tidak punya catatan materi Tabligh Akbar, jadi saya bagikan saja kisah yang ditulis oleh Syekh Mamduh Farhan al Buhairi dalam majalah itu. Selamat membaca. 

Dalam kitab Rawai’ min at-Tarikkh al-‘Usmani diriwayatkan sebuah kisah yang menggambarkan keadilan kaum muslim meskipun terhadap pemeluk agama lain. Kisahnya berawal ketika Sultan Muhammad al-Fatih memerintahkan untuk membangun sebuah Masjid di Kota Istambul. Sultan menunjuk seorang arsitek berkebangsaan Romawi, Abslante yang terkenal hebat saat itu, menjadi konsultan pembangunan Masjid tersebut. 

Di antara perintah Sultan ialah pilar-pilar Masjid harus terbuat dari batu pualam dan dibuat tinggi agar Masjid terlihat megah. Sultan sendiri yang menentukan ukuran tinggi pilar-pilar tersebut. Namun karena beberapa hal, sang arsitek memerintahkan pelaksana pembangunan untuk mengurangi ketinggian yang ditetapkan Sultan tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dengan beliau. Begitu mendengar hal itu, Sultan sangat marah, karena menurutnya pilar-pilar yang dibawa dari tempat yang jauh jadi tidak bermanfaat sama sekali. Saking marahnya, dia perintahkan untuk memotong tangan arsitek tersebut. 

Penyesalan arsitek tidak berguna karena tangannya terlanjur dieksekusi. Tetapi dia tidak tinggal diam menerima keputusan itu, ia pun memperkarakan Sultan kepada qadi Istambul, Syekh Sari Khadr Jalbi yang kesohor adil di seantero imperium Turki Usmani. Arsitektur tersebut mengadukan perintah zalim Sultan. Qadi Sari Khadr ternyata tidak bimbang sedikit pun dalam menerima dan memproses pengaduannya, bahkan beliau langsung mengutus seseorang memanggil Sultan supaya datang ke pengadilan karena ada gugatan yang diterimanya dari salah satu rakyat. 

Sultan juga tidak segan memenuhi panggilan qadi, karena Sultan paham lebih berkewajiban untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Hadirlah Sultan pada hari yang telah ditentukan. Setelah masuk ruang sidang ia memilih kursi untuk duduk, maka sang qadi berkata padanya, “Anda tidak diperkenkan duduk di sini, tapi anda harus berdiri di sebelah orang yang berperkara dengan anda!” 

Sultan Muhammad Fatih pun berdiri di sisi orang Romawi itu, yang kemudian menjelaskan pada qadi duduk perkara yang menimpanya. Pada gilirannya sang Sultan membenarkan apa yang diadukan orang Romawi tersebut, kemudian diam menunggu keputusan sang qadi. Sejenak kemudia qadi Sari Khadr memandang Sultan dan berkata, “Sesuai dengan hukum syar’i, maka anda dihukum potong tangan berdasarkan qisas!” 

Arsitek Romawi itu tidak percaya mendengar vonis ini, seluruh tubuhnya bergetar mendengar, tidak pernah terpikir dan terbayang olehnya bahwa qadi berani memberi sanksi seberat itu. Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel yang menggentarkan seluruh Eropa dihukum potong tangan oleh hakimnya sendiri karena tuntutan seorang Romawi yang Nasrani. Menurut perkiraannya qadi tidak lebih berani daripada memerintahkan Sultan untuk memberi ganti rugi saja. Dia terpana, lalu dengan gugup dia menyatakan mencabut tuntutannya, dia hanya berharap diberi ganti rugi, karena hukuman potong tangan untuk Sultan tidak memberi manfaat apa-apa kepadanya. Qadi Sari akhirnya memutuskan Sultan berkewajiban membayar ganti rugi sebesar sepuluh koin setiap hari seumur hidupnya, sebagi ganti rugi atas kerugian yang begitu besar yang dideritanya. Tapi Sultan Muhammad al-Fatih memberikan dua puluh koin setiap harinya sebagai ungkapan gembiranya telah selamat dari hukuman qisas potong tangan, dan penyesalan atas perbuatannya. 

Sungguh indah sejarah Islam kita ketika berbicara tentang para khilafah dan sultan yang adil.
15 January 2013

Sepotong Puzzle


Pada rentang waktu entah kapan, ketika ucapan selamat harus terlisan, seseorang hanya perlu menambahkan kata “tinggal”. Mungkin dengan tangan terkepal atau senyum yang tak lekang. Kemudian langkah-langkah akan saling menjauh. Memberi ruang di tengah kisah dan mengizinkannya terisi hal lain sebagai pemenuh kekosongan.

Hingga saat itu tiba,

Huruf-huruf mulai terangkai dari tangan-tangan gemetar. Seumpama anak kecil menyusun puzzle. Dan pengelana mengumpulkan mozaik. Ketika huruf terangkai dalam bingkai kata. Ketika kata menyatu membentuk makna. Segalanya menjadi berbeda, tak lagi sama. Hujan takkan kembali mampir. Musim mungkin akan berakhir.

Hingga saat itu tiba,

Mereka belajar memahami arti singgah atau memahami makna pulang dengan cara masing-masing. Di titik manapun ia berpulang, di belahan manapun ia pernah singgah, tak jadi soal. Di ujung waktu mereka mungkin tak menyadari. Dari mana awalnya atau sejak kapan mulanya.

Hingga saat itu tiba,

Titik akan mendekam. Terganti dengan koma. Ia akan menanti waktu untuk mengakhiri. Mengakhiri apa yang pernah termulai. Tak perlu sebaris penutup seperti dalam dongeng pengantar tidur. Mereka tidak nyata. Mereka terlahir dari lisan manusia, sebagai angan hidup yang terlampau singkat dan ingin yang tak pernah mufakat. Mereka adalah tempat manusia menembus realita dan merebahkan mimpi  pada jendela utopia.

Hingga saat itu tiba,

Pemilik langkah akan menarik garis. Menutup kotak teka teki yang belum selesai. Menatap dari jauh. Lalu terlelap bersama sepotong puzzle terakhir dalam genggaman.
14 January 2013

Rurouni


Ingatan manusia terkadang seperti laci yang kuncinya tercecer di suatu tempat. Ada hal-hal yang tersimpan rapi di dalamnya tapi seperti terlupakan. Untuk itu dibutuhkan sesuatu, entah waktu atau suasana yang tepat, atau apa saja yang memungkinkan untuk mengeluarkan fragmen itu dari sana.

Ketika sedang khusyuk menyaksikan Samurai X live action, tiba-tiba tetangga bawah memutar musik keras-keras. Musiknya bermacam-macam mulai dari yang ribut sampai yang melow. Sepertinya si tetangga punya koleksi lagu yang lengkap. Saya berusaha mengabaikan dengan menutup telinga pakai bantal. Tepat adegan Kenshin bertarung melawan ratusan samurai di kediaman Kanryu, tetangga bawah mengganti lagu lain yang membuat saya tertegun sejenak. Dia memutar Wherever You Will Go-nya The Calling. Entah kapan terakhir kali mendengar lagu ini. Tiba-tiba saja saya seperti terlempar ke suatu sore, di sebuah ruang tamu dengan layar TV yang menayangkan serial Smallville. Lalu, perlahan sebuah fragmen mendesak keluar dari laci ingatan. Fragmen dengan Rurouni di dalamnya. Oh bukan, ini bukan Rurouni Kenshin Samurai X, tapi seorang penulis misterius.

Sewaktu SMA, mading (majalah dinding) sedang mengalami kebangkitan. Tim redaksi menerima tulisan dari para siswa tanpa mempermasalahkan apakah siswa tersebut menggunakan nama asli atau menyembunyikan identitasnya. Di antara siswa yang tulisannya dimuat, ada satu nama yang menarik perhatian saya. Namanya Rurouni, Sang Pengembara. Saat siswa lain memakai nama-nama bernuansa barat seperti Phantom Shadow atau semacamnya, dia malah mengambil nama dari karakter anime. Besar kemungkinan orang itu adalah penggemar Samurai X. Kehadiran Rurouni di dunia mading sebenarnya tidak berlangsung lama, seingat saya tulisannya hanya mengisi sampai tiga edisi. Dia juga tidak begitu menonjol dibanding penulis lain. Tapi tulisannya menarik, cenderung ilmiah dan membuka wawasan, kecuali tulisan terakhir.

Tulisan terakhir itu menarik perhatian beberapa pembaca. Saya lupa apa judulnya tapi tulisan itu berisi pesan untuk seseorang, entah untuk siapa. Saat membaca, saya bisa merasakan kesan hening dalam tulisannya. Dia menyisipkan potongan lirik Wherever You Will Go di beberapa bagian. Mau tidak mau saya jadi teringat pada serial Smallville. Rasa penasaran kemudian mendorong saya menanyakan identitas Rurouni pada salah seorang senior yang menjadi tim redaksi mading. Tapi dia menggeleng tidak tahu karena tulisan-tulisannya hanya dititipkan dalam amplop sehingga tak seorang pun tahu seperti apa rupa si Rurouni. Beberapa orang menduga bahwa Rurouni adalah salah satu siswa angkatan saya. Entah benar atau tidak. Tak pernah ada yang membuktikannya.

Setelah itu saya selalu menunggu tulisan Rurouni selanjutnya. Tapi tulisan berisi potongan lirik itu adalah yang terakhir darinya. Rurouni tidak pernah lagi menghiasi mading sampai hari kelulusan. Entah siapa Rurouni itu dan entah di mana dia saat ini. Sesuai namanya, mungkin dia sedang dalam pengembaraan. Sampai sekarang saya masih penasaran akan identitas dirinya. Tapi saya teringat bahwa dalam hidup ada hal-hal yang sebaiknya tetap menjadi rahasia. Yah, sebaiknya memang begitu. Dan, misalkan saja, entah angin dari mana, si Rurouni kesasar dan membaca tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa saya menyukai tulisan-tulisannya.
06 January 2013

Serendipity

“Some people feel the rain. Others just get wet” 
~Bob Marley~ 

6 Januari 2013. Yup, tanggal hari ini. Masih tentang hujan. Hujan membuat kebanyakan tulisan para blogger tidak jauh-jauh dari tema itu. Setidaknya begitulah judul postingan para tetangga yang tertera di daftar dasbor blog saya. All about rain. 


Hari ini saya kembali berkeliaran di jalan raya. Niat hati ingin ke Aesculapius membeli buku statistik, sayangnya hujan mendamparkan saya di depan Grahamedia Mart. Banyak hal yang saya temui selama perjalanan tadi. Jalan raya memang panggung nonstop 24 jam. Kau bisa menemukan apa saja di sana. 

Sewaktu keluar rumah, cuaca masih terik. Masih ada sedikit keramahan matahari yang sampai ke bumi. Sempat dilema antara langsung menuju Aesculapius atau berbelok dulu ke toko kue yang ada di pintu 2 Unhas. Sudah beberapa hari ini bayangan donat terus menari-nari di kepala saya. Apalagi kalau hujan turun, ingin rasanya meminjam Pintu Ke Mana Saja-nya Doraemon agar menghubungkan kamar saya dan toko kue itu. 

Karena awan hitam sudah menggantung di langit, jadi saya putuskan langsung ke Aesculapius saja. Ternyata jalan raya depan Pintu 1 sedang macet. Ada kampanye calon gubernur, kata supir angkot yang mendadak ganti profesi jadi pengatur lalu lintas. Angkotnya sendiri dititip di SPBU dekat situ. Dengan kondisi jalan yang semacet itu saya jadi ragu bisa sampai ke Aesculapius sebelum hujan turun. Tapi kadang otak saya sering tidak nyambung dengan reaksi gerakan yang muncul. Otak saya bilang, “Sudah, pulang sana. Beli bukunya lain kali saja.” Yang ada tangan saya malah tancap gas. Saat sadar, saya sudah terjebak di antara puluhan mobil yang bergerak dengan kecepatan siput. 

Bumi meremang, hawa dingin berhembus, matahari sudah kalah. Sambil nyelip kiri kanan saya merutuki diri, “Harusnya kau pulang saja tadi.” Tapi semua sudah terlanjur. Saya sudah berada di tengah kemacetan. Tidak bisa mundur lagi. Jadi jika ada yang bertanya, apa kau pernah berada dalam situasi di mana tidak ada pilihan selain maju terus ? Maka macet adalah situasi yang dimaksud. 

Saat masih sibuk nyelip-nyelip di tengah kerumunan mobil, hujan turun dengan kalemnya. Saya celingak-celinguk mencari tempat berteduh kalau-kalau kekaleman si hujan berubah jadi beringas. Dan benar saja, lima menit kemudian air seperti tumpah dari langit. Saya buru-buru memarkir motor dan berteduh di salah satu toko penjual pulsa. Saat mengibas-ngibas jaket, saya baru sadar kalau orang-orang yang berteduh di sana kebanyakan laki-laki berambut gondrong. Saya melirik helm yang mereka pegang bertuliskan “MAHASISWA TEKNIK”. Saya jadi kikuk dan pelan-pelan menggeser kaki ke tepi jalan dengan risiko terkena hujan. Untunglah salah satu dari mereka memilih pindah sehingga memberi saya ruang yang lebih leluasa. 

Beberapa menit kemudian hujan mereda. Saya tancap gas lagi. Aesculapius sudah dekat. Tapi baru sampai depan STIMIK Dipanegara, hujan turun kembali. Saya memilih berteduh di depan Grahamedia, toko buku yang punya halaman parkir luas dan berdampingan dengan dua tempat karaoke. Ngomong-ngomong tentang karaoke, saya pernah bertanya ke salah satu teman, apa yang membuatnya rajin datang ke tempat semacam itu. Dia menjawab, selain latihan tarik suara, karaoke membuatnya bebas berteriak bila ada masalah. Oh, begitu ternyata alasannya. Baik, kita kembali. Sampai mana tadi ? Ah, ya sampai Grahamedia. Jalan raya depan Grahamedia sudah berubah jadi kolam susu cokelat. Air setinggi lutut mengisi kedua ruas jalan. Beberapa pengendara motor nekat jalan terus. Di tempat itu terjadi akumulasi kejadian seputar banjir. Mulai dari mesin motor yang mati, mobil yang mogok, pengendara yang jatuh sampai pemancing ikan. Saya menontonnya dari halaman toko. Banyak hal-hal lucu terjadi di sini. 

Tanah kosong yang berubah jadi kolam di samping toko dimanfaatkan oleh seorang bapak untuk mengail ikan. Bapak itu tenang-tenang saja dengan kesibukannya padahal beberapa meter di depannya ratusan pengendara sedang berjuang keluar dari banjir. Saya senyum-senyum melihat pemandangan itu. Beberapa menit kemudian muncul pengendara motor dengan style yang aneh-aneh. Ada yang membungkus dirinya dengan kantong plastik super besar. Mengingatkan saya pada bantal yang biasa dijual dari rumah ke rumah. Yeah, saat ini kita memang harus berhemat. Tak ada jas hujan, kantong plastik pun jadi. Ada pula pengendara yang menghiasai motornya dengan daun-daun dan ranting pohon. Saya tutup mulut menahan tawa. Entah untuk apa daun-daun dan ranting itu. Saya berhipotesa bahwa mungkin itu semacam cara tradisional menangkal hujan. 

Sementara itu pengendara lain sibuk memotret kiri kanan. Ekspresinya mengingatkan saya pada mimik anak SD yang baru pertama kali dibawa ke museum sejarah, excited. Setelah itu mereka pun berseru satu sama lain, “Upload, cepat upload di facebook!!!” Hehehe, susah-senang yang penting upload dulu, begitulah kira-kira prinsipnya. Pokoknya mulai dari yang muda, ibu-ibu sampai kakek-kakek sama-sama asyik memotret banjir. Sepertinya banjir adalah barang yang langka di kota ini. Saya juga sangat ingin memotret fragmen tadi. Sayangnya, saya tidak punya kamera. Kemampuan hp juga hanya berkisar sms, telepon dan penerangan. Orang-orang menyebutnya hp Komunikater, komunikasi dan senter. Beberapa saat kemudian suara sirine bergaung, tim SAR berpakaian oranye-hitam melintas buru-buru. Sepertinya terjadi sesuatu yang tidak baik. Belakangan ini saya dapat sms jarkom tentang bencana banjir yang menimpa beberapa wilayah. Dibutuhkan bantuan berupa makanan dan obat-obatan. Siapa pun yang ingin menyalurkan bantuan bisa menghubungi Unit Sosial Lembaga Muslimah DPD Makassar. 

Akhirnya, adzan pertanda masuk waktu ashar berkumandang. Aesculapius ternyata tutup. Saya basah kuyup. Well, tidak masalah, saya menemukan hal lain yang lebih penting. Anggap saja semacam serendipity. Dalam perjalanan pulang saya berpapasan dengan seorang teman yang memakai jas hujan dan terlihat sedang buru-buru. Melihat saya, dia langsung turun dari motornya dan menyodorkan kantong plastik. 
“Donat buat kamu,” katanya 
Saya bengong. Sedetik kemudian saya tersenyum. God always gives us what we need, in time. Alhamdulillah, setelah beberapa hari bayangan kue itu hanya menari-nari di kepala, kini sosoknya benar-benar nyata di hadapan saya. Segala puji bagi Allah atas semua nikmat yang tak mungkin bisa dihitung. Untuk si Pembawa Donat, terima kasih ya. Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik. Aamiin. 

Selamat menikmati hujan hari ini. Jangan lupa langitkan doa-doa, doa agar mendapat kebaikan dan agar terhindar dari keburukan Dan jangan lupa pula uluran tangan untuk saudara-saudara kita yang terkena banjir.
05 January 2013

Kompromi dan Aturan Jalan-jalan

Sepupu saya mengabarkan dalam waktu dekat ini dia akan mengikuti sebuah tur ke beberapa negara. Saya orang pertama yang diberitahu. Sementara yang lainnya belum, tunggu waktu yang tepat, katanya. Bepergian mengunjungi banyak tempat dan bertemu orang-orang baru adalah salah satu obsesi kami. Kami adalah penggila novel-novel Andrea Hirata, terlebih cerita perjalanan keliling dunianya menjadi backpacker yang dituangkan dalam novel Edensor. Mendengar kata backpacker sering membuat saya berharap jadi laki-laki saja. Laki-laki itu bebas bepergian ke mana pun sesuka hatinya tanpa harus terbebani aturan safar. Mereka bebas mendaki gunung atau melintasi benua sendirian. Lain halnya dengan perempuan.

Aturan bepergian dengan mahram selalu menjadi hal yang sulit bagi saya dan sepupu saya kompromikan. Orangtua kami bukan tipe orang yang selalu siap mengantar pulang pergi anaknya ke tempat yang jauh. Mereka punya definisi sendiri dalam mengartikan kata “jauh”. Mereka kadang bisa sangat keras. Bagi mereka, mengizinkan kami ikut kajian dan berpakaian lebar sudah merupakan kebijaksanaan yang lebih dari cukup. Adapun aturan-aturan yang berlaku di dalamnya adalah urusan kami sendiri. Mereka tidak ingin ikut terlibat. Sebenarnya ayah saya sedikit memahami hal itu, tetapi beliau yang sekarang bukan lagi beliau yang kuat menempuh jarak ratusan kilo seperti yang belasan tahun lalu sering dia lakukan. Duduk berjam-jam dalam bus apalagi kalau hanya naik motor sering membuatnya kelelahan. Saya pernah beberapa kali memintanya mengantar dan rasa sakit di lututnya semakin sering muncul. Setelah itu saya tidak pernah lagi minta diantar. Saya tidak tega melihatnya kesusahan, belum lagi jumlah uban di kepalanya yang terus bertambah beberapa helai setiap kali saya pulang.

Keadaan itu membuat saya dan sepupu saya terbiasa bepergian sendiri. Walau dengan begitu, mau tidak mau kami dihadapkan kembali pada aturan safar. Saya menulis ini bukan untuk pembenaran. Saya tahu, aturan tetaplah aturan dan dalam hal safar tidak ada kelonggaran bagi perempuan. Bagimanapun keadaannya, mereka harus ditemani mahram saat bepergian. Beberapa orang memberi solusi dengan cara lain. Tapi kami lebih banyak tertawa sebagai jawabannya.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, saya teringat solusi tadi dan melemparnya sebagai gurauan,
“Kalau begitu kudoakan dikaruniai mahram secepatnya,  biar ada yang bisa mengantar ke mana-mana”
Sepupu saya tertawa menggeleng,
“Itu tak selalu menjadi solusi, kawan.”
Sepakat.
02 January 2013

Genta Angin

Labirin

Alasan

“Berhenti tidak sulit. Memutuskan untuk berhentilah yang sulit” 

Beberapa teman mulai menanyakan alasan mengapa saya menghapus akun facebook. Desember lalu, bertepatan dengan pergantian usia, saya memutuskan keluar dari jejaring sosial itu. Tahap-tahap penghapusannya cukup menguras waktu dan tenaga. Ada sekitar lima jam waktu yang saya butuhkan sebelum berhasil menyelesaikan seluruh prosedurnya. Sebuah artikel menyebutkan bahwa menghapus akun saja belum tentu membuat akun kita terhapus permanen. Ada beberapa tahap yang harus diikuti. Pertama-tama, kita harus menghapus semua teman, menghapus semua status dan komentar, menghapus semua catatan, keluar dari semua group yang pernah dimasuki, dan menghapus semua foto yang pernah di upload serta menghapus semua tag-tag foto. Setelah itu kirimkan email permintaan penghapusan akun ke facebook. Kemudian tunggu sampai 14 hari lalu coba login kembali. Jika tidak bisa masuk, berarti akun tersebut benar-benar sudah terhapus. 

Seorang teman langsung protes mengetahui hal ini. Wajar karena saya adalah informan terdekatnya yang bertugas meneruskan info-info kuliah yang beredar di group. Akhirnya kami memutuskan membuat akun bersama, yang hanya digunakan untuk keperluan group dan tidak menerima pertemanan dalam bentuk apapun (memang ada berapa macam bentuk pertemanan ?). Beberapa orang sempat mengira penyebab keluarnya saya dari facebook karena ada pengganggu semacam stalker. Tapi saya tidak pernah bermasalah dengan stalker. Lagipula kalau hanya karena itu, saya tinggal mengaktifkan fasilitas blokir yang sudah disediakan. Kehidupan di facebook terkendali sepenuhnya, bahkan kadang sampai pada taraf membosankan. Lalu apa alasan tepatnya ? 

Ehm, sebenarnya saya juga bingung. Hari itu saya masih membuka fb seperti biasa, melihat apa ada info terbaru seputar jadwal kuliah atau tugas-tugas di group. Tapi saat membaca status-status yang berhamburan di timeline, saya dihinggapi rasa sesak. Ketika membuka kembali status-status yang pernah saya update, foto-foto yang pernah di-tag, sesaknya tambah parah. Baiklah, sebut saya aneh. Saya hanya merasa sesak dan itu sebenarnya sudah berlangsung lama tapi saya abaikan. Setelah itu, entah dari mana tiba-tiba saja kepikiran untuk menghapus akun. Padahal bagaimanapun sibuknya, saya tidak pernah menonaktifkan akun. Bagimanapun membosankan dan bagaimanapun kecanduannya, tidak pernah terpikir sampai harus menghapus akun secara permanen. Mungkin ini yang disebut dengan sampai pada ambang batas. 

Saya tahu saya butuh untuk didengarkan dan facebook cukup membantu akan hal itu. Tapi lama-kelamaan saya merasa “sakit” di sana. Beberapa waktu kemudian, datang sebuah pesan dari seorang teman yang mengabarkan keluar dari facebook dan alasannya dia kemukakan lewat blog pribadinya. Saya membaca alasan-alasannya dan menemukan kata “sakit” di sana. Oh well, sepertinya kami punya persamaan di sini. 

Dunia facebook, seperti yang kita ketahui, membuka kesempatan sebebas-bebasnya bagi siapapun untuk buka-bukaan. Kau bebas menangis, marah, tertawa, memaki dan mengeluh di facebook. Kau bebas meng-upload ratusan foto mulai dari yang sopan sampai yang tidak sopan serta share ini itu. Kau bahkan bebas membongkar timeline orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Di sisi lain kau juga bisa menggunakan facebook sebagai sarana dakwah dengan membagi nasihat-nasihat positif atau info-info terbaru seputar dunia islam. Intinya kau bebas melakukan apa saja di sana. 

Tetapi jarak di facebook terlalu dekat satu sama lain. Ini salah satu alasan yang membuat saya sesak di sana. Berbeda dengan twitter, yang tampilannya simpel dengan ruang privasi yang lebih berjarak. Sebelumnya, sudah tidak terhitung jumlah akun jejaring sosial yang saya buat mulai dari YM, fb, twitter, netlog, quepasha, dan entah apa lagi. Beberapa di antaranya sudah dihapus dan menjadi reruntuhan di dunia maya. Yang bertahan sampai sekarang hanya twitter dan blog ini. Baru-baru ini salah seorang teman mengundurkan diri dari twitter. Entah apa alasannya. Saya pun tidak tahu sampai akan bertahan di twitter. Tapi untuk sementara saya merasa nyaman di sana. Dan selama tidak merasa sesak dan “sakit”, saya mungkin bisa menetap. 

Dunia facebook sebenarnya cukup menyenangkan tapi saya sudah terlalu lama tinggal di sana. Ada banyak hal yang tidak perlu terlalu kita ketahui dari hidup orang lain. Dan ada banyak hal yang orang lain tidak perlu terlalu ketahui dari hidup kita. Jadi beruntunglah orang-orang yang bisa bertahan di facebook tanpa harus menderita “sakit” di dunia itu.
01 January 2013

Where She Went

 “Ada beberapa hal yang tidak bisa kau kendalikan, 
tidak peduli seberapa keras kau mencoba” 
~Gayle Forman~ 

Where She Went (Setelah Dia Pergi) adalah lajutan dari If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini). Sebenarnya, tanpa dilanjutkan pun saya sudah puas dengan If I Stay. Pertama, yang membuat saya suka If I Stay adalah penggambaran Mia tentang orangtuanya Denny dan Kat, kakek neneknya, Kim sahabatnya serta Teddy, adik satu-satunya. Sementara orangtua dan adiknya meninggal akibat kecelakaan. Berarti dalam sekuel mereka sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada porsinya sangat sedikit. Kedua, saya sering menemukan sekuel dari sebuah buku tidak sebagus buku pertama. Tapi ketika berkeliaran di Gramedia, tanpa sengaja saya menemukan buku ini. Dan dilihat dari segi harga juga cukup terjangkau. Jadi kubeli saja.

Where She Went menceritakan tiga tahun setelah Mia bangun dari koma. Jika dalam If I Stay, sudut pandang orang pertama adalah Mia, maka dalam Where She Went, yang menjadi narator adalah Adam. Adam dan bandnya, Shooting Star, telah menjadi bintang rock terkenal. Lagu-lagu mereka menduduki puncak tangga lagu selama berminggu-minggu. Sementara itu, Mia juga menjadi bintang di kalangan musisi klasik. Dia menyelesaikan kuliahnya hanya dalam waktu tiga tahun dan telah ditawari pekerjaan di berbagai orkestra. Keduanya tidak pernah bertemu sejak Mia masuk sekolah musik Juilliard. Suatu malam, sehari sebelum Adam berangkat tur ke berbagai negara dan sebelum Mia meninggalkan New York untuk konser di Jepang dan Korea, mereka bertemu kembali. Ada waktu sekitar 24 jam yang mereka gunakan untuk menjelajahi kota dan mengunjungi masa lalu. 

Alur yang dipakai novel ini masih sama seperti sebelumnya, maju mundur. Temponya juga tetap cepat. Hanya saja kesan saya tidak seperti ketika membaca buku pertama. Ini mungkin karena Adam. Berbeda dengan Mia yang banyak bercerita tentang keluarga dan sahabatnya, Adam lebih banyak bercerita tentang band dan pergulatan hidupnya menjadi bintang. Dan berbeda dengan Mia yang kuat dan tegar, sikap Adam yang rapuh di novel ini tidak membuat saya sedih, malah bikin emosi. Baiklah, saya cukup simpati mengingat posisinya sebagai orang yang ditinggalkan. Yang membuatnya menulis lagu, menjadi bintang, menarik diri dari orang-orang dan lari ke alkohol dan obat-obatan. Tapi sikapnya yang selalu terpuruk karena ditinggal Mia benar-benar membuat saya kesal. Kupikir laki-laki tidak seharusnya seperti itu. 

Endingnya juga tidak sulit ditebak. Di buku pertama, sampai beberapa halaman sebelum terakhir, saya masih berpikir Mia akan memilih mati. Ternyata tebakan saya meleset. Sementara di novel ini saya sudah yakin endingnya sejak mereka bertemu di konser Mia. Dari segi sampul, saya lebih suka sampul novel pertama. Saya lebih suka gambar kursi kosong yang tertutup salju dibanding gambar gitar. Suasana sepinya lebih terasa. 

Sisi lain yang menarik dari novel ini adalah lirik-lirik lagu. Ada dua yang cukup berkesan yaitu yang berjudul Animate dan Roulette. Oh ya, tambahan, entah kenapa penggambaran Adam mengingatkan saya pada Alex Band, vokalisnya The Calling.

First you inspect me
Then you dissect me 
Then you reject me 
I wait for the day 
That you’ll resurrect me 
~Animate~

Barrel of the gun, rounds one two three 
She says I have to pick; choose you, or choose me 
Metal to the temple, the explosion is deafening 
Lick the blood that covers me 
She’s the last one standing 
~Roulette~
 
;