29 August 2014

Metafora

Kususun selaksa kepingan
Begitu lama dan melelahkan
Pada keping terakhir kukatakan :
“Ini akan menggenapkan”
Hingga kuperhatikan,
Bentuk itu tak pernah utuh
Sejak awal,
Aku telah menyusun sesuatu yang tak pernah lengkap

Kubangun sebuah rumah 
Yang ingin kusebut rumah impian
Tak lama berselang
Bangunan itu runtuh berserakan
Kubangun kembali
Dan hancur kembali
Pelan kusadari,
Aku telah membangun rumah
Di atas pasir yang bergeser

Bertemu,
Lalu kehilangan pada suatu waktu,
Menemukannya kembali
Dan kehilangan lagi

Berapa banyak waktu harus berlalu,
Dalam keadaan yang terbatas ini ?
Kita terus berjalan,
Dan apa yang kita temukan?
25 August 2014

Lemari Ingatan

All of my memories keep you near
In silent moments
Imagine you'd be here
All of my memories keep you near
The silent whispers, silent tears
 ~Memories, Within Temptation~ 

Kubuka pintu berkarat, di sebuah ruang bernama ingatan. Deritnya mengingatkan, betapa sunyi tempat itu. Kutatap sekeliling, dua puluh lima rak berukuran besar berbaris sejajar. Beragam warna buku mengisi setiap baris. Jika hidup masih berjalan, lemari itu akan terus bertambah. Tak ada yang tahu kapan jumlahnya akan terhenti. Nenekku tutup usia di umur 73 tahun. Tapi lemari ingatannya berhenti di bilangan 71. Dalam rentang dua tahun itu, apa yang mengisi memorinya adalah misteri.

Buku yang awalnya terusun rapi di dalam menjadi acak-acakan. Saat kusuapkan makanan, ia berkata akan menjahitkan pakaian baru untukku. Yang punya pita merah di bagian pinggang. Dalam ingatannya yang terperangkap, aku masih seorang bocah tujuh tahun yang rutin dijahitkan pakaian dan dibawa ke pesta pernikahan. Suatu sore, saat masih berseragam abu-abu, ia pernah berkata bahwa mungkin hidupnya tidak akan sampai pada waktu ketika topi wisuda menudungi kepalaku. Ucapannya terbukti bertahun kemudian. Kini, topi kedua akan kembali menaungi kepalaku.

Dalam ruang bernama ingatan, kita mengambil buku tertentu, membawanya ke ruang terbuka, membacakannya pada manusia selain kita. Tapi, buku yang tak kita perlihatkan, buku yang tetap kita simpan, jauh lebih banyak. Kita tak pernah tahu, jumlah buku yang disimpan seseorang dalam ingatannya.

Dalam buku ingatan, ada lembar bercetak jelas, ada lembar yang samar, nyaris tak terbaca, dan ada yang kosong, seolah tak pernah ada tulisan di sana. Ingatan yang hilang. Sifat alamiah manusia. Mungkin itu patut disyukuri. Sebab, ada situasi ketika lupa membuat hidup lebih mudah dijalani. Dalam kesendiriannya, dalam ingatan yang terperangkap, kurasa nenekku pun begitu. Hidup bersamanya kulewati lebih dari separuh umurku. Ia menempati ruang tersendiri dalam hati dan ingatanku. Kuharap, lembar yang menulis tentangnya akan tercetak jelas hingga waktu berhenti di garis batas.
03 August 2014

Rekreasi Ke Tamammelong

Jika rekreasi tahun lalu kami jauh-jauh menyeberang ke Liang Kareta, maka selepas lebaran tahun ini kami memilih tempat yang dekat dari kota. Namanya Tamammelong. Awalnya saya kira “Taman Melon” yang terpengaruh dialek sehingga menjadi Tamammelong. Tapi kata teman, namanya memang Tamammelong. Jangan tanya artinya, saya tidak tahu. Tapi jadi lebih cocok bila dibanding “Taman Melon”, karena di pantai tidak ada pohon melon. Selayar bukan penghasil melon. Yang ada cuma pohon kelapa sejauh mata memandang. 

Tamammelong dapat dicapai dengan berkendara 20 menit ke arah selatan. Letaknya berdekatan dengan pantai Baloiya. Resort Baloiya dulunya dikelola orang Jepang yang sekarang sudah berpindah tangan. Pengunjung wajib bayar tiket kalau mau masuk. Kalau tidak salah seratus ribu per orang. Sementara kami cari yang gretongan. Bisa habis gaji satu bulan kalau setiap orang bayar seratus ribu. Biar begitu pemandangan sunset dari pantai Baloiya memang sangat indah. Tamammelong sendiri adalah pantai biasa. Seperti pantai lain di selayar, semuanya biasa, pasir putih, air laut yang jernih dan barisan pohon kelapa yang bila ditiup angin buahnya berjatuhan ke tanah.

Tugas dibagi sebelum hari H. Ada yang membeli ikan, udang dan cumi-cumi, ada yang mengumpulkan sabut kelapa, ada yang menyiapkan tenda, ada yang menanak nasi santan, ada yang membawa buah-buahan dan ada yang membeli air mineral. Ibu sendiri kebagian tugas membuat sambal. 

Kami berangkat dengan tiga mobil dan beberapa motor. Semua keponakan dimasukkan ke mobil biar tidak bikin repot. Saya dan beberapa sepupu memilih naik motor. Sesampai di sana, tidak ada orang lain selain kami. Bagus. Kami menguasai pantai ini. hehehe. Turun dari mobil, yang bapak-bapak langsung mencari pelepah kelapa untuk tempat bakar ikan. Ibu-ibu cekatan membersihkan dan mengeluarkan isi perut ikan. Para suami sepupu menggelar tenda untuk alas duduk. Para kurcaci alias ponakan langsung menyerbu laut. Sepupu dan saya sibuk motret kiri kanan sebelum turun ke laut. Yang penting jepret dulu, berenang urusan nanti.

Ngomong-ngomong, bagaimana suasana lebaran kalian ? Dapat angpau tidak ?? Di sebelah kiri mana suaranya ?? Apa ?? Ditanya terus kapan nikah ?? Ignore.  Saya sarankan beli cotton buds banyak-banyak untuk korek kuping kalau nanti ditanya lagi. Atau sumbat telinga pakai kapas dan menulilah seharian. Atau pura-pura amnesia sekalian, saya siapa ? Kamu siapa ? Ini dimana ? Nikah itu apa ?


Ada sepupu saya yang rutin kasih angpau ke saudara, sepupu dan ponakannya tiap Idul Fitri. Sementara para orangtua biasanya dihadiahi kemeja, gamis dan mukena. Dia dan istrinya hanya setahun sekali pulang kampung. Istrinya bekerja di Depok sementara dia berlayar ke berbagai tempat. Jadi sekali pulang, barang bawaannya bisa sangat banyak. 

Ternyata untuk bersenang-senang pun butuh perjuangan, terlebih bagi orang yang tak tahu berenang. Saya dan sepupu harus “perang” dulu sama ponakan memperebutkan pelampung baru bisa berenang jauh ke tengah laut. Setelah beberapa jam berenang, aroma ikan, udang dan cumi bakar memanggil-manggil dari kejauhan. Kami pun mengikuti asal aroma itu, seperti upin-ipin mencium bau ayam goreng. Ah, sedapnya bau… 

Perut sudah berdemo minta diisi. Nasi santan masih hangat. Ikan, udang dan cumi-cumi baru diangkat dari pemanggang. Dilengkapi sambal buatan ibu. Bila dimakan bersamaan, rasanya…uhm…sadeesss!! *iklan


Acara makan diiringi dengan humor sepupu yang terkenal gokilnya. Sakit perut yang saya rasa entah karena kekenyangan atau karena kebanyakan tawa. Campur aduk sudah. Selesai makan, berenang sesi kedua dilanjutkan. Saya menonton ponakan dan sepupu berenang sambil bersandar di bawah pohon kelapa. Semoga tidak ada kelapa yang jatuh. Angin bertiup kencang. Menerbangkan debu dan abu pembakaran. Gemersik dedaunan seolah sedang berbisik satu sama lain. Rasanya seperti dipanggil seseorang dari seberang laut.

Cuaca cerah. Langit berwarna biru cerah. Gumpalan awan dengan berbagai bentuk menggantung di langit seperti kapas raksasa, juga dengan warna putih cerah. Lalu pandangan saya arahkan ke kumpulan ponakan yang sedang belajar berenang. Warna anak-anak adalah warna cerah. Merah, kuning, hijau, biru, jingga, semuanya cerah. Ketika beranjak dewasa, warna itu tetap ada, tapi tak lagi cerah, bercampur dengan kelabu. Ada warna merah, merah kelabu. Ada warna hijau, hijau kelabu. Ada biru, biru kelabu. Warna orang dewasa adalah warna yang kelabu. Anak-anak tertawa. Tawa yang manis dan ringan. Orang dewasa tertawa. Tawa yang tawar dan berat. 

Seorang dosen pernah memotong doa mahasiswa yang mendoakan umurnya panjang. Katanya buat apa umur panjang bila raga sudah tak mampu. Baginya, umur 60-65 tahun sudah cukup. Dosen itu mungkin tak tahu bahwa ada orang yang ingin mati sebelum umur 27 tahun. Ada orang yang tak berniat melewati umur 30, 40 atau 50 tahun. Di saat yang sama, ada pula yang berharap bisa hidup ribuan tahun. Betapa beragamnya keinginan manusia, termasuk untuk hidup dan mati.

Siklus kehidupan berputar tanpa henti. Orang-orang lahir dan mati. Orang-orang datang dan pergi. Dulu mereka adalah anak-anak yang dimarahi orangtua bila tak mengaji atau berbuat onar saat shalat berjamaah di masjid. Kini mereka menjadi orangtua yang memarahi anak-anaknya yang berbuat sama. Dulu mereka berusaha lepas dari kekangan ayah dan ibu yang selalu khawatir akan keselamatan dan masa depan mereka. Sekarang mereka menjadi ayah dan ibu yang mengusahakan segala cara untuk menjaga anaknya. Dulu mereka anak-anak yang keinginannya harus dituruti. Sekarang mereka orang dewasa yang banting tulang memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dulu mereka anak-anak yang menganggap betapa menyebalkannya orang dewasa. Sekarang mereka orang dewasa yang menyadari betapa menyusahkannya anak-anak. 


Hari beranjak petang. Sebentar lagi akan terbenam dan mati. Mimpi-mimpi menarik selimut di balik kelopak malam. Sebagian tetap utuh hingga esok. Sebagian lagi hancur dan tenggelam bersama gelap. Lalu hari baru datang. Membawa rencana dan harapan baru. Siklus hidup berputar kembali. Meninggalkan sesuatu yang berharga di masa lalu. Dan membawa sesuatu yang sama berharganya untuk menyongsong hari esok.
 
;