09 September 2014

Pidato Kelulusan

Dan, sekarang pekerjaan dimulai 
Dan sekarang kebahagiaan dimulai
Sekarang tahun-tahun persiapan 
Pelajaran yang membosankan
Dan pembelajaran yang menarik dijelaskan

Kumpulan kata-kata dan
Lilitan ide-ide besar dan kecil 
Mulai tersusun
Dan pagi ini kau bisa melihat 
Sebagian kecil dari
Rencana besar masa depanmu

Jam-jam lamaran pekerjaanmu,
Harapan-harapan orangtuamu, 
Dan tugas-tugas dari gurumu
Membawa saat ini 
Ke dalam tanganmu

Hari ini, kalian adalah putri-putri dan pangeran-pangeran
Pagi hari 
Nyonya-nyonya dan tuan-tuan musim panas
Kalian telah memperlihatkan 
Nilai-nilai kebaikan yang paling mengagumkan
Karena hari ini saat kalian duduk 
Terbalut dalam jubah-jubah kerja keras
Secara harafiah ataupun kiasan, 
Aku melihat kalian dipenuhi keberanian
Karena meskipun kalian semua 
Menjadi cemerlang, cerdik secara intelektual,
Kalian harus menggunakan keberanian 
Untuk sampai pada saat ini

Kalian mungkin saja,
Seperti yang digambarkan tentang kalian,
Istimewa, yang tentu saja berarti 
Kaya, atau terlahir dengan perjuangan memenuhi kebutuhan
Dalam kedua kasus, kalian harus menumbuhkan 
Keberanian luar biasa
Untuk menemukan saat ini

Dari semua perlengkapanmu, usia muda,
Kecantikan, kecerdasan, kebaikan hati, 
Belas kasih,
Keberanian adalah pencapaian terbesarmu

Karena kau, tanpa itu, tidak bisa melakukan
kebaikan lain dengan konsistensi. 
Sekarang kau telah menunjukkan
Bahwa kau mampu untuk membuat 
Kebaikan yang paling menakjubkan itu  

Kau harus tanyakan pada diri sendiri,

Apa yang akan kau lakukan dengan itu.
Yakinlah bahwa pertanyaan itu 
Ada di dalam pikiran,
Leluhurmu, orangtuamu dan orang asing 
Yang tak mengenal namamu,
Teman muridmu yang lain yang 
Tahun depan, atau tahun-tahun yang akan datang
Akan duduk, berjubah dan bertopi wisuda 
Di tempat kau duduk sekarang.
Dan akan bertanya 
Apa yang akan kau lakukan ?
Ada satu pepatah afrika 
Yang sesuai dengan situasimu.
Yaitu, “masalah bagi pencuri adalah 
bukan bagaimana mencuri terompet kepala suku,
Tapi di mana bisa memainkannya.”

Apakah kau dipersiapkan untuk bekerja
Untuk menjadikan Negara ini, Negara kita 
Lebih dari hari ini ?

Karena itulah pekerjaan yang harus dilakukan
Itulah alasan kau sudah 
Bekerja keras, pengorbanan
Energi dan waktumu, 
Uang orangtuamu
Atau pemerintah yang telah membayarimu 
Agar kau bisa mengubah
Negara dan duniamu.

Lihatlah di luar topimu yang bertali
Dan kalian akan melihat ketidakadilan 
Di ujung jari-jarimu
Kau akan menemukan kekejaman 
Kebencian irasional, kepedihan sekeras batu
Dan kesepian yang menakutkan. 
Itulah pekerjaanmu.
Membuat suatu perbedaan 
Menggunakan gelar yang
Telah kau dapatkan untuk meningkatkan 
Kebaikan di duniamu

Kalian, semua orang,
Berharap agar kalian 
adalah orang-orang yang melakukan hal itu

Tugas ini begitu besar,
Kebutuhannya luar biasa besar, 
namun kalian bisa berlega hati
karena kalian tahu bahwa kalian telah menunjukkan 
keberanian.
Dan simpanlah dalam pikiran 
Satu orang, dengan tujuan baik,
Bisa, mengangkat mayoritas. 
Karena hidup adalah anugerah kita yang paling berharga
Dan karena kita hanya diberi hidup sekali, 
Maka marilah jalani hidup yang tak akan kita sesali
Tahun-tahun kesia-siaan dan tanpa perubahan

Kau akan terkejut bahwa pada waktunya
Hari-hari penelitian yang berpikiran tunggal 
Dan malam-malam kelumpuhan dan kebuntuan
Akan terlupakan.

Kau akan terkejut bahwa tahun-tahun
Dengan malam-malam tanpa tidur dan bulan-bulan 
Dengan hari-hari yang tidak mudah
Akan bergulir menuju 
Suatu kejadian yang disebut “masa lalu yang indah”,
dan kau tidak akan bisa 
mengunjungi hari-hari itu lagi 
bahkan dengan sebuah undangan 
Karena seperti itulah kau harus menghadapi masa sekarang 
Kalian telah disiapkan
Keluarlah dan ubahlah dunia kalian

Selamat datang di hari kelulusan

Selamat…. 

*Tulisan Maya Angelou dalam buku “Letter to My Daughter”
08 September 2014

Memungut Semangat

Take me away upon a plateau
Far, far away from fears and shadow
Strengthen my heart in times of sorrow
Light the way to bright tomorrows
 
 ~Take Me Away, Globus~

Kata mahasiswa semester akhir, momen paling bahagia ada dua, saat kaki melangkah keluar dari ruang ujian, dan kedua, saat topi wisuda menaungi kepala. Entah yang lain sepakat atau tidak, tapi menurutku, apa yang terasa selepas ujian meja lebih tepat disebut lega ketimbang bahagia. Pun momen wisuda, bagi saya, tak lebih dari sekadar formalitas kelulusan. Pakai toga, datang ke Baruga, duduk berjam-jam, naik ke panggung, foto-foto, salam-salaman dan selesai. 

Saat masih skripsi, selepas ujian meja, saya berdiri di lantai tiga depan jurusan. Cukup lama sampai membuat kaki pegal. Sedang menunggu momen bahagia kata orang. Tapi momen itu tak kunjung datang. Mungkin nanti di Baruga, begitu pikir saya, yang ternyata juga keliru. Duduk di Baruga justru menjadi saat yang paling menekan. Saya duduk di sana, tapi pikiran entah kemana. Setelah ini bagaimana ?, tanya saya pada diri sediri. Setelah ini harus kemana ?

Baruga dipenuhi lautan manusia berpakaian sama. Saling bertukar cerita dengan senyum yang tak henti menghiasi sudut bibir mereka. Mars Universitas Hasanuddin mengalun pelan dari sebelah kiri. Saya menunduk menatap lantai, menyembunyikan kerut di wajah yang sekuat tenaga menahan tangis. Sesosok manusia yang ikut menumpang di planet bumi bersama milyaran manusia lain, berjibaku di tengah kota menjadi yang diperhitungkan. Rasanya seperti terseret arus ke dasar laut yang dalam. Ke tempat yang tak dicapai matahari. Sesak dan gelap. Dalam kegelapan itu, tangan terulur menggapai ke segala arah. Mencari pegangan. Lambat-laut, ada yang datang menyambut. Sesosok makhluk bernama sunyi. Di kedalaman yang kosong itu, kesunyian adalah satu-satunya suara yang dapat kau dengar. Perasaan semacam ini sangat jarang muncul. Tapi sekali muncul, saya tahu tidak akan mampu mengatasinya. 

Dibanding dulu, sekarang sedikit lebih baik. Tekanan lebih berat, kejutan muncul silih berganti, tapi sebanding dengan kekuatan yang ada. Kekuatan yang sepertinya dapat dipungut bahkan di tepi jalan. Suatu pagi, saya memacu motor dengan isi kepala yang didominasi berbagai rencana penelitian. Teman yang lain sudah berlomba mengajukan judul ke pembimbing. Sementara saya masih diliputi kebimbangan. Hitung sana hitung sini. Mikir ini mikir itu. Setelah berbelok di perempatan jalan, saya melewati barisan baliho berisi iklan rokok. Iklan rokok, biar begitu, sering memuat kutipan keren. “Berhenti mengukur masalah, mulailah membangun langkah”, begitu tertulis di sana. Kalimat yang biasa. Tapi saya tertegun. Rasanya baliho itu sedang mengajak bicara. Andai orang lain, siapa pun dia, yang mengucapkan kata-kata itu, efeknya tidak akan seberapa.  Kupikir, kata-kata itu hanya bisa masuk jika berbentuk tulisan, bukan ucapan. Ia harus dibaca, bukan didengar.

Jika membaca buku, saya sering berlama-lama di kalimat tertentu. Mungkin semua orang juga begitu. Menyerap dan memaknainya dengan cara sendiri. Hingga sampai pada apakah saya setuju atau tidak dengan kalimat itu. Menerima atau menolaknya. Cara semacam ini akan menuntun pada sebuah kesadaran. Lalu berujung pada pembentukan pola pikir dan sikap yang akan saya ambil. Ada lima baliho berdiri sejajar dan semuanya menuliskan hal yang sama. Saya sadar, inti masalah sebenarnya bukan di luar, tapi ada dalam diri sendiri. Tak peduli sesederhana atau serumit apapun suatu masalah, semuanya ditentukan oleh langkah yang kita bangun. Terlalu banyak pertimbangan atau perhitungan hanya membuat kita jalan di tempat. Tentu saja berpikir atau menimbang tetap diperlukan. Tapi harus ada keberanian untuk memulai sesuatu. Klasik bukan ? Para motivator juga sudah ribuan kali mengatakan hal serupa. Tapi ternyata, kalimat dari iklan rokoklah yang mampu menembus kesadaran itu. Jadi, lakukan saja, kata saya pada diri sendiri. Pelan-pelan kebimbangan itu memudar. Pelan-pelan ada kekuatan yang menyusup masuk lewat sebaris iklan rokok di pinggir jalan. Pulang ke rumah, kalimat itu saya pindahkan ke white board kamar dan masih tertulis hingga kini. 

Suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka tujuh, saya berempat dengan teman masih mondar-mandir di kampus mengurus administrasi. Saat mengetik pesan di ponsel, saya perhatikan jari-jari tangan pucat dan gemetaran. Ada apa ini ? Tiba-tiba terdengar bunyi perut keroncongan. Membahana di tengah lego-lego yang sepi. Oops, ternyata bunyi itu berasal dari perut saya. Baru ingat kalau sejak pagi yang masuk ke lambung hanya cairan. Pagi teh hangat, siang es teh manis dan sore lagi-lagi es teh manis. Saya belum menyentuh nasi sejak semalam, eh bukan, sejak kemarin. Iya, sejak kemarin belum ada sebutir nasi yang mengisi perut. Emergency, saya benar-benar butuh makan secepatnya. Tapi bagaimana bisa makan sambil mondar-mandir ? Dan lagi pukul tujuh malam kantin kampus sudah tutup semua. Selesai mengetik pesan, ponsel saya taruh di atas map lalu menunduk dengan dahi menempel di meja. Menunggu balasan dan menahan lapar. Malam itu salah satu teman tersangkut urusan tanda tangan. Hal yang sepele sebenarnya, tapi entah kenapa selalu jadi momok di saat-saat genting. Dia bermaksud mendatangi rumah sang dosen tapi takut diusir karena sudah lewat jam tujuh. Dosen juga butuh istirahat. Dia bingung. Buntu. Di tengah kebuntuan itu, tiba-tiba teman yang duduk di samping saya berkata begini,

“Rin, yang wajib kamu lakukan hanya datang ke rumah beliau. Diterima atau tidak, bukan lagi urusanmu. Kita berusaha, itu saja” 

Kata-kata emas. Saya lelah dan kelaparan. Lutut gemetar tak karuan karena seharian naik turun tangga. Perut berdemo tanpa henti. Tapi kata-katanya barusan membuat saya tersenyum. Rasanya seperti dapat asupan dalam bentuk lain. Dengan kepala masih bertumpu di meja, pelan saya meraih dan menepuk pundaknya. Kamu luar biasa!!

Sumber kekuatan bisa berasal dari mana saja. Lewat kitab, lewat tulisan, kata-kata seseorang, atau apa saja. Ada kalimat tertentu, yang dapat menembus hati jika berbentuk tulisan. Masuk lewat mata. Begitupun, ada kalimat yang menembus jiwa jika berbentuk ucapan. Masuk lewat telinga. Saya berharap bisa sering menemukan hal semacam ini nantinya. Sebab setelah ini, dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk menghadapi hari-hari baru. 

Ada yang bilang, kehidupan sebenarnya dimulai saat kau lulus kuliah. Ada yang bilang, hidup sebenarnya adalah saat kau mulai bekerja. Ada yang bilang kehidupan sebenarnya adalah saat kau sudah menikah. Ada pula yang menambahkan, nanti, setelah kau punya anak. Kenapa harus menunggu punya anak lalu dikatakan hidup yang sebenarnya. Manusia sudah hidup sejak jantungnya berdetak, sejak ruh ditiup ke dalam raganya. Mereka hanya berpindah zona seiring berjalannya waktu. Tapi segala yang ia lalui dalam rentang waktu itu adalah sesuatu yang juga akan dihitung. Sekian lama hidup di kampus, sekarang waktunya pindah zona. Waktunya turun gunung. Welcome to the jungle.
 
;