30 April 2013

Mereka Pun Sedang Berproses


Dalam hal keteladanan, terkadang kita lebih senang mengambil panutan dari orang-orang yang sering kita temui atau berinteraksi dengannya dibanding pada sosok yang digambarkan lewat tinta sejarah dan telah dijamin oleh Allah. Mungkin karena orang-orang ini nyata di hadapan kita, sehingga bisa berguru langsung padanya mulai dari ilmu, tutur kata, sikap hingga hal-hal kecil lain. Tak jarang hal ini membuat kita merasa bahwa orang-orang tersebut adalah sosok yang ideal. Dan seringkali tanpa disadari, kita memposisikan mereka pada tempat yang terlalu tinggi. Sehingga apabila mereka melakukan kesalahan, sesedikit apapun kesalahan itu, maka kita akan kecewa. Kekecewaan yang menutupi seribu kebaikan yang mereka lakukan. Berapa banyak orang-orang yang akhirnya memilih mundur karena kecewa pada sosok yang pernah mereka kagumi ? Berapa banyak orang-orang yang memilih berhenti menuntut ilmu karena melihat orang yang selama ini jadi panutan ternyata tak se-ideal yang mereka pikirkan ? 

Memakai pakaian yang sesuai syari’at bukanlah segala-galanya. Itu hanyalah salah satu bentuk keimanan atas perintah yang tercantum jelas dalam surah An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Memakai pakaian syar’i tidak lantas membuat seseorang bisa disebut sebagai sosok ideal. Tidak otomatis membuat seseorang paham sepenuhnya ilmu agama. Tidak. Mereka baru saja membuka gerbang dari sebuah proses panjang dan mungkin tak berujung. Mereka baru saja memasuki tahap awal dari rentetan konsekuensi sebuah pilihan. Di dunia ini ada banyak pilihan. Kita selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Dan setiap pilihan selalu menanam konsekuensi di baliknya. Ada banyak orang yang ingin berubah menjadi lebih baik. Yang membedakannya adalah bahwa ada yang siap dan ada yang tidak siap berubah. 

Seseorang yang memilih untuk menutup aurat sesuai syariat harus siap dengan sederet konsekuensinya. Siap untuk istiqomah dengan pakaiannya. Siap untuk menambah ilmunya. Siap untuk tidak berjabat tangan dengan bukan mahramnya. Siap untuk memperbaiki tingkah lakunya. Siap untuk menata hatinya. Dan siap untuk memperjuangkan pilihannya itu. Yang membedakan dari orang kebanyakan adalah kesiapan ini. Banyak orang yang ingin berubah namun ditunda-tunda atau bahkan dilupakan karena berbagai pertimbangan tadi.

Tapi sekali lagi, bahwa memakai pakaian syar’i tidaklah berarti segala-galanya. Ia hanyalah salah satu aspek keimanan. Manusia selalu berada di antara dua hal, amal dan dosa, baik dan buruk, taat dan tidak taat. Manusia adalah manusia, bukan malaikat. Manusia punya akal, tapi juga punya hawa nafsu. Keimanan-lah yang menengahinya. Namun bahkan iman pun selalu berfluktuasi. Ia tidak statis sebagaimana malaikat. Ia bisa meroket dengan kebaikan dan bisa pula terjun bebas karena kemaksiatan. Sehingga wajarlah bila manusia disebut sebagai tempatnya salah. Manusia adalah tempatnya salah, bahkan pada mereka yang diberi kelebihan ilmu dibanding yang lain. Bahkan pada mereka yang telah lebih dulu menjemput hidayah. Bahkan pada mereka yang bergelar murabbi atau murabbiyah. 

Kekeliruan kita hanyalah bahwa kita menempatkan orang-orang ini pada posisi yang melebihi kapasitasnya. Mungkin kita terlalu menganggap mereka sebagai sosok yang sempurna. Yang harus anggun, lemah lembut dan paham berbagai ilmu. Yang tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun di depan mata kita. Dan bila itu terjadi, maka yang tersisa hanya kekecewaan. Yang tersisa hanyalah sakit hati. Kita lupa bawa mereka pun masih berproses. Kita lupa bahwa kita yang saat ini sangat jauh dari sosok seorang Khadijah, Fatimah, Aisyah atau Sumayyah. Maka tempatkanlah mereka sesuai kapasitasnya. 

Kekeliruan yang lain di luar hal tadi adalah penarikan kesimpulan dari suatu kasus sebagai bukti pembenaran. Sebagai contoh, syariat telah mengatur bagaimana cara bergaul laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, sehingga pacaran termasuk hal yang dilarang. Namun pada kenyataannya kita mendapati ada yang berilmu dan menutup aurat dengan baik, namun mengejutkan karena ternyata ia berpacaran. Sehingga muncullah pernyataan-pernyataan seperti, : “Siapa bilang pacaran dilarang ? Tuh, si A jilbaber tapi bisa kok pacaran”. Jika syariat sudah melarang, lalu ada orang yang paham namun melanggarnya maka yang bermasalah bukan aturannya, tapi pelakunya. Dan itu bukan alasan untuk mencari-cari pembenaran. Pun kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk membahasnya. Yang perlu kita lakukan adalah menaati aturan yang telah ditetapkan, mendoakan orang tersebut dan berdoa pula untuk diri sendiri agar bisa istiqomah dan tidak terjatuh pada kesalahan yang sama. 

Manusia akan diuji dengan perkataannya. Dari kalimat-kalimat yang meluncur di lisannya. Atau dari rangkaian huruf yang ia tuliskan lewat jemari tangannya. Kalimat itu akan kembali pada pemiliknya sebagai sebuah ujian. Untuk melihat apakah ia mampu mengaplikasikan atau hanya semata ucapan. Kita semua sedang berproses, di titik manapun itu. Sebagai orang awam maupun sebagai orang paham. Kita masih berproses.   

Ya Allah, aku memohon keteguhan hati dalam tiap urusan. Aku memohon kepada-Mu kemauan kuat untuk mendapat petunjuk-Mu. Aku memohon kepada-Mu agar dapat bersyukur atas nikmat-Mu dan agar dapat beribadah dengan baik kepada-Mu. Aku mohon agar diberi lisan yang jujur dan hati yang sehat. Aku berlindung dari segala kejahatan yang Engkau ketahui. Dan memohon segala kebaikan yang Engkau ketahui. Aku memohon ampun kepada-Mu dari (kesalahan) yang Engkau ketahui, karena Engkau Mahatahu hal-hal ghaib
~HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai~
27 April 2013

Episode Gramedia

Dua hari yang lalu, teman ngajak jalan ke Gramedia. Awalnya saya tidak berniat membeli buku. Hanya mutar-mutar dan baca sekilas. Tapi ternyata godaan barang yang satu ini cukup berat (halah).

Buku-buku berserakan

Oh, Conan-kun, sepertinya perjalananmu masih panjang

Buat pecandu kopi, nih

Si konyol Hanamichi masih eksis rupanya
 
Bahkan bulan pun punya baju

Akhirnya, pilihan jatuh pada...jreng jreng jreng :



21 April 2013

Secangkir Mochaccino


Hey, Ndoro Nitya, terima kasih untuk secangkir mochaccino, donat dan sekelumit cerita hari ini.

20 April 2013

Gado-gado Kebiasaan Buruk

“Belajarlah sedikit demi sedikit mengurangi intensitas kecuekanmu”

Saya terdiam mendengar kalimatnya. Entah sudah yang keberapa kali kalimat semacam ini dilemparkan pada saya. Di antara sekian jumlah manusia, dia termasuk dari sedikit yang bertahan berteman dengan saya. Sore itu dia kembali menegur saya yang melewatkan beberapa hal penting. Kadang saya bingung juga, kenapa orang lain dengan mudahnya bisa memperhatikan berbagai hal sementara saya, nanti setelah berkali-kali lihat baru menyadari ada perubahan di sekitar saya. Sepertinya saraf kepekaan saya kurang sensitif menanggapi situasi. Bahkan meski itu ada kaitannya dengan saya sendiri. 

Yoru pernah bilang bahwa seringkali masalah dalam pertemanan muncul karena di satu pihak terlalu banyak rasa “tidak enak” sementara pada saat yang sama, sensitivitas di pihak lain terlalu rendah. Sebelumnya saya tidak begitu mempermasalahkan apa-apa yang saya kenakan. Selama tidak membuat sesak napas dan tidak mengganggu mata orang lain, saya akan memakainya. Kekurangan yang lain adalah jika menyukai sesuatu, saya tidak akan mengganti-gantinya. 

Pernah suatu hari seorang sahabat memberi hadiah selembar jilbab hitam. Saking sukanya, saya memakai jilbab itu ke kampus hampir setiap hari. Mulai dari senin sampai jumat. Begitu pulang langsung dicuci, dijemur, disetrika dan dipakai lagi keesokan harinya. Karena terlalu sering dipakai, lama kelamaan menjadi identitas. Sampai-sampai bila ada yang bertanya tentang saya, yang lain akan menimpali dengan kalimat : “Yang selalu pakai jilbab hitam kan ?”

Tanpa saya sadari, ternyata beberapa teman menyusun rencana yang secara halus menyuruh saya mengganti jilbab warna lain. Tapi tidak berhasil. Saya tidak peka dengan maksud mereka. Belakangan saya baru tahu bahwa jilbab hitam itu mereka yang sering sembunyikan, bukan karena saya yang lupa menaruhnya. Masalah sepele ini sampai harus membawa-bawa “kepala suku”. Dalam suatu musyawarah kecil, di bagian pembuka majelis entah mengapa diangkat tema zuhud. Ketika beliau sampai pada kalimat bahwa sikap zuhud bukan berarti tidak pernah ganti jilbab, saya mulai menangkap bahwa sayalah yang dimaksud. Kemudian hari saya diberi tahu bahwa mereka tidak enak hati bila harus mengatakannya secara langsung. Sementara sinyal kepekaan saya juga tidak cukup untuk menangkap maksud yang sehalus itu. 

Pada dasarnya, saya memang tidak begitu memperhatikan pendapat orang lain. Saya tidak ambil pusing bagaimana orang lain memandang saya, dari mana saya berasal, cara berpikir saya, sifat saya dan semacamnya. Orang-orang melihat, lalu menyimpulkan, kemudian ditutup dengan penilaian. Bisa benar, seringkali pula salah. Bukankah umumnya manusia seperti itu ? Tanpa disadari bahwa kemampuan menilai tergantung dari sejauh mana kemampuan mengamati, dan kemampuan mengamati jelas dibatasi oleh jarak pandang. Sehingga memberi penilaian yang hanya berdasar jarak pandang terlebih jika hanya dilihat dari jauh tidak akan sampai pada kesimpulan yang sebenarnya. Ah, tapi kenapa pula saya membahas tentang ini. Kita kembali. 

Sikap buruk lainnya  adalah kebiasaan “membangun tembok”. Latar belakang keluarga yang memang tidak dibiasakan mengungkapkan perasaan secara langsung. Baik ibu maupun ayah bukanlah tipe manusia yang bisa terus terang mengutarakan isi hati. Pun terhadap anak-anaknya. Selain itu, sejak kecil saya sudah tinggal bersama nenek, terpisah dari orangtua dan kedua adik saya. Saya sering berada dalam kondisi memegang setumpuk masalah dan keresahan di tangan, lalu berjalan membawanya mencari orang-orang yang sekiranya bisa saya percayakan apa yang sedang saya pegang, namun pada akhirnya saya tidak menemukan satu pun. Tidak nenek, tidak teman-teman, tidak juga sepupu, terlebih pada ayah dan ibu. Itu akan membuat saya tampak cengeng di depan mereka. Dan lagi, bukankah setiap manusia juga punya masalah masing-masing yang belum tentu dapat mereka selesaikan ? Jadi kupikir tidak perlu menambah beban pikiran mereka dengan masalah baru. Sehingga tempat terakhir menampung semua itu, apalagi kalau bukan, dengan menuliskannya. 

Perlahan-lahan kemudian saya membangun pembatas dengan orang-orang sekitar. Rasanya saya lebih aman dengan kondisi seperti itu. Bukan hanya saya yang aman dari perlakuan orang lain, tapi dengan begitu, orang lain juga tidak akan tersakiti oleh saya. Makanya dalam berteman saya tidak terlalu dekat dengan orang lain. Pun sebaliknya, saya tidak pernah membiarkan orang lain bergantung pada saya. Saya tidak ingin orang lain jauh memasuki kehidupan saya. 

Dengan sikap seperti ini, tidak heran bila saya sering ditinggalkan. Teman sebangku saya pernah minta tukar tempat duduk karena tidak bisa lagi kompromi dengan saya. Dia sering jalan ke mana-mana, makan di tempat ini, makan di tempat itu. Sementara saya lebih suka masakan nenek (penghalusan dari kere. Hehehe). Dia gaul, saya kuper. Dia sering ikut acara ngumpul-ngumpul, saya lebih suka nongkrong depan TV nonton Extravaganza atau jalan-jalan ke perpus. Bila diajak ikut, saya lebih banyak menolak. 

Kelemahan saya yang lain adalah tidak berusaha menahan orang yang ingin pergi atau menjauh dari saya. Bila dengan begitu orang lain akan merasa lebih baik, silakan. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, itulah cara terbaik. Dengan sifat ini, saya tidak akan menjadi tipe manusia yang dirindukan bila jauh. *Sesenggukan di balik pintu*

Terlepas dari semua itu, saya bersyukur sampai saat ini dianugerahi segelintir teman yang berbanding terbalik dengan saya. Yang bertahan dengan segala kekurangan saya. Mereka yang selalu menyeimbangkan kehidupan saya yang terlalu miring ke kiri. Terlalu kaku. Terlalu cuek. Dari mereka saya belajar bagaimana memperlakukan orang lain. Bagaimana menekan ego dan melatih kesabaran. Mereka ada untuk mengingatkan saya ketika lalai. Mereka ada untuk menarik dan menahan saya di saat yang tepat.
17 April 2013

Meliuk-liuk di Jalan Raya

Jalan raya adalah area yang menyelipkan bahaya di setiap jengkalnya. Baik karena kondisi jalan yang rusak atau pengendara yang tidak mematuhi aturan lalu lintas. Di jalan raya, seorang pengendara kadang hanya berjarak 3 inchi dari malapetaka. UGD rumah sakit pun tidak pernah absen dari pasien kecelakaan. Fakta ini membuat ayah dan ibu menerapkan peraturan yang aneh, yaitu saya dibebaskan mengendarai motor selama di kampung tapi tidak di Makassar. Jangankan mengendarai, hanya diantar pakai motor pun tidak boleh. Karenanya setiap kali pulang ke rumah, saya selalu membawa misi yang sama : diizinkan bawa motor sendiri. Dan butuh waktu setahun lebih sebelum berhasil membujuk mereka.

Angkot dan motor masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Angkot melindungi penumpang dari hujan dan matahari, bisa membaca buku, bisa lebih leluasa memperhatikan sekitar dan bahkan bisa tidur. Kekurangannya adalah terlalu lama menunggu, terlebih bila sedang macet. Perjalanan yang normalnya hanya satu jam bisa menjadi lebih lama dua kali lipat. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan supir untuk menunggu penumpang sampai angkot penuh. Sementara mengendarai motor membuat kita lebih efisien dengan waktu. Lebih cepat sampai di tujuan dibanding angkot. Namun tidak memungkinkan untuk membaca dan beristirahat. Kalau hujan turun, harus menepi dulu dan menunggu hingga reda. Saya tidak suka pakai jas hujan. Pun kalau jalan kaki tidak suka pakai payung.

Setelah beberapa waktu malang melintang sebagai pengendara amatir, ada satu hal yang menyita perhatian saya. Padatnya jalan raya membuat pengendara motor terbiasa menyelip di antara deretan mobil. Kebiasaan nyelip-nyelip itu mengharuskan pengendara seteliti mungkin melewati celah tanpa menyentuh apalagi meninggalkan goresan di badan mobil. Sering saya dapati pengendara motor berusaha menyalip di antara dua mobil. Dalam pandangan saya, jarak antara dua mobil itu tidak memungkinkan untuk dilewati motor. Kalau pun bisa, akan menabrak kaca spion mobil. Tapi ternyata saya salah, pengendara itu dengan santainya melajukan motornya. Sesaat sebelum menyentuh spion mobil, dia menginjak rem. Momentum ketika motor direm, yang hanya memakan waktu dua detik itulah dia meliukkan badannya ke kiri dan ke kanan untuk menghindar kaca spion mobil yang berada di ke dua sisinya.

Saya terkagum-kagum melihat kejadian dua detik itu. Sering saya berpikir untuk nekat mencobanya. Tapi kekhawatiran saya ternyata lebih besar. Bisa runyam masalahnya kalau sampai ada mobil yang tergores. Saya sudah pernah menyerempet mobil orang. Saat itu sepupu yang bawa motor. Beruntungnya, orang itu tidak marah dan memaafkan kecerobohan kami.
 
;