23 March 2013

Nokturno

Semesta bergerak perlahan

Segala yang membungkus luka, tiada
Segala yang mengurai duka, percuma
Merah senja pun mengendap
Matahari berangkat dan lengkap

Semesta bergerak perlahan

Angin mati dalam suntuk rahasia
Ketika itu ada yang kembali
Mengindera bintang-bintang
Mengindera pijar-pijar suara

Mengindera engkau yang gaib
Antara langit
Puisi
Dan rasa sakit


*Salah satu puisi  karya Muhary Wahyu Nurba dalam Sekuntum Cahaya

11 March 2013

Menggulung

Apabila matahari digulung
Dan apabila bintang-bintang berjatuhan
Dan apabila gunung-gunung dihancurkan
Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan
Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan
Dan apabila lautan dipanaskan
Dan apabila ruh-ruh dipertemukan
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
Karena dosa apa dia dibunuh ?
Dan apabila lembaran-lembaran telah dibuka lebar-lebar
Dan apabila langit dilenyapkan
Dan apabila neraka Jahim dinyalakan
Dan apabila surga didekatkan,
Setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya

*Surah At-Takwir : 1-14

Cerita Kemarin

Kemarin, langit sore berwarna kelabu, tidak jingga seperti selalu. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya masih tertinggal di sebuah ruang pertemuan berdinding putih pucat. Sehari sebelumnya saya berkeliaran di Grahamedia mencari buku yang dipesan adik. Tanpa sengaja mata saya tertumbuk pada salah satu buku yang duduk berdampingan dengan novel Dewi Lestari. Sebuah buku renungan. Tak perlu berpikir lama untuk membawa buku itu ke meja kasir. 24 jam berikutnya, siapa sangka, penulisnya sudah duduk di depan saya. Selama pertemuan berlangsung saya lebih banyak diam. Sesekali menjawab jika ditanya. Dan lebih sering garuk kepala yang tidak gatal.

Sepulangnya saya mengambil rute yang berbeda dari biasa. Berjalan pelan. Terlalu pelan malah, sambil menendang kerikil yang berserakan. Rasanya ingin lebih lama berada di jalan. Dari jauh segerombolan anak berkerumun di dekat perempatan. Salah satu di antaranya, anak laki-laki dengan tinggi tak sampai sepinggang dan usia berkisar 5 atau 6 tahun tiba-tiba berlari mengampiri. Dia mengelus-elus ujung jilbab yang sudah kusut saya pakai. Mungkin dia ingin bertanya atau mengatakan sesuatu, ternyata tidak. Setelah itu dia malah berbalik menuju kawanannya sambil tersipu-sipu. Saya kembali garuk kepala yang tidak gatal.
05 March 2013

Yang Galau Yang Mengigau

“Kudooo, galau ka. Mau ka peluk Inuyasha. Mau ka tarik-tarik kupingnya.”

Belakangan ini frekuensi galau mahasiswa tingkat akhir mencapai puncaknya, terlebih menjelang ujian skripsi. Seperti yang terjadi pada teman saya. Namanya Yoru, sebut saja begitu, karena dia sangat suka malam. Entah ada apa dengan malam sampai dia bisa sesuka itu. Pernah suatu ketika saat PLN memutuskan arus listrik, dia menelpon hanya untuk mengabarkan berita paling tidak penting sedunia.

Yoru : “Oii, tahu nggak saya ada di mana sekarang?”
Saya : “Hmm, planet Mars ?”
Yoru : “Di lapangan PKM. Hahaha. Tidak ada siapa-siapa di sini”
Saya : “Oh”
Yoru : “Tahu nggak saya lagi ngapain ?”
Saya : “Gantung diri ?”
Yoru : “Berbaring”
Saya : “Oh”
Yoru : “Tahu nggak apa yang saya lihat ?”
Saya : “Penampakan ?”
Yoru : “Malam. Hahaha. Gila, kereeen.”
Saya : “Oh”

Telepon ditutup. Obsesi seseorang pada sesuatu memang bisa membuatnya melakukan berbagai keanehan. Hanya karena malam dan bertepatan dengan listrik padam, dia nekat ke lapangan PKM bahkan tidur-tiduran di sana. Kalau ada satpam yang lewat saat itu mungkin dia sudah masuk headline koran kampus. Tapi saya memaklumi keanehannya. Sama seperti dia memaklumi keanehan saya kalau ketemu sama bulan.

Belakangan ini si Yoru uring-uringan gegara skripsi. Sebentar berbaring, sebentar mengetik dan sebentar-sebentar berteriak. Jangan sekali-sekali melontarkan pertanyaan “Kapan” kepada penderita galau tipe ini. Berani tanya-tanya bisa kena semprot. Kegalauan yang diakibatkan skripsi bahkan bisa meningkat stadiumnya menjadi kegilaan. Terlihat dari obsesinya memeluk tokoh anime yang mustahil eksistensinya di dunia nyata. Sebelum berita ini diturunkan, dia masih sempat mengigau tentang makhluk setengah siluman itu. Akhir-akhir ini dia punya obsesi baru yang tak kalah anehnya : menjadi dubber anime. Sempurna.

Tapi walaupun kelihatan galau dan seekspresif itu, pada dasarnya dia pintar menyembunyikan perasaan dan termasuk tipe manusia yang kuat menanggung beban. Dia pernah melewati hari-hari berat menahan rasa sakit yang sangat, bahkan terlihat seperti hampir mati tetapi bersikeras untuk tidak memberitahu keluarganya. Dalam hal finansial pun cukup mandiri. Dia sering bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup. Dari hasil kerjanya dia mampu membeli sebuah kamera. Sayangnya, baru-baru ini kamera itu hilang di bandara. Ah, mahasiswa kalau menjelang ujian akhir memang banyak cobaannya.

Dalam hal penampilan juga dia tidak banyak tingkah, simpel dan tidak feminim sama sekali. Jilbab, baju lengan panjang, rok, kaos kaki dan sandal gunung. Begitu saja. Kalau hanya mendengar suaranya, orang sering salah mengira dia laki-laki. Semoga ujian skripsinya dimudahkan. Tidak ada yang tahu bagaimana hidup selanjutnya. Selepas wisuda mungkin dia akan kembali ke rumah, atau malah semakin menjauh dari rumah. Tak ada yang tahu.
01 March 2013

Perpustakaan, Rei, Hingga Lorong-lorong Abstrak

Teh Rasa Sabun

Ah, bukan...bukan. Mungkin kepalaku saja yang penuh gelembung. Tak tahulah.
 
;