28 December 2012

Mesin Waktu

Menurutku, konsep mesin waktu dan time traveler adalah salah satu imajinasi terhebat yang pernah singgah di kepala manusia. Meskipun merupakan hal yang mustahil, saya suka cerita semacam ini. Pernah nonton film Time Machine ? Film itu bercerita tentang seorang ilmuwan fisika yang menghabiskan hidupnya menciptakan mesin waktu untuk mengembalikan tunangannya yang tewas terbunuh oleh seorang pencuri pada suatu malam bersalju. Setelah mesin itu selesai, ia pun kembali ke masa lalu, ke malam sebelum tunangannya terbunuh. Di masa itu, usaha penyelamatannya memang berhasil, tapi hanya selang beberapa saat, tiba-tiba sebuah kereta melintas dengan kecepatan tinggi dan menyambar tubuh tunangannya yang membuatnya meninggal seketika. 

Ilmuwan itu kemudian mengulangi usahanya. Ia kembali lagi ke masa lalu. Dan hasilnya tetap sama. Berapa kali pun ia kembali dan bagaimana pun usahanya, selalu ada cara lain yang membuat tunangannya tetap berakhir mati. Ilmuwan itu akhirnya kembali ke masanya dalam keadaan frustasi. Melihat kondisi putranya yang memprihatinkan, ibu sang ilmuwan berkata bahwa manusia tidak akan mampu mengubah apa yang telah berlalu tetapi ia masih bisa memperbaiki keadaan di masa mendatang. Ilmuwan itu tersadar dan memutuskan untuk mencoba melakukan perjalanan ke masa depan. 

Masa depan yang ia kunjungi mempunyai kondisi yang beragam. Ada masa ketika buku-buku tidak lagi dalam bentuk lembaran kertas tetapi hanya dibuka melalui sebuah layar. Ada masa ketika terjadi lagi peperangan besar, semacam perang dunia ketiga. Dan ada masa ketika kondisi bumi semakin kacau karena bulan terpecah. Masa terakhir tempat imuwan itu mendarat sekitar tahun 30.000-an. Di masa itu bulan tidak lagi berbentuk lingkaran di langit, tapi separuhnya sudah berupa pecahan-pecanan kecil. Kehidupan manusia masa itu seperti kembali ke zaman primitif. Mereka membangun rumah di dinding-dinding jurang. Setiap hari mereka berjuang bertahan hidup dari predator mutan yang bersembunyi di bawah tanah. Di akhir cerita, sang ilmuwan memilih tinggal di masa depan. 

Terkait dengan waktu, Imam Al Ghazali pernah memberikan 6 pertanyaan pada muridnya. Salah satu dari pertanyaan itu berbunyi, “Apa yang paling jauh dari diri kita ?”. Murid-muridnya menjawab negeri Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang. Imam Al Ghazali membenarkan tetapi yang paling benar, kata beliau, adalah “Masa Lalu”. Karena walau dengan cara apapun, manusia tidak akan bisa kembali ke masa lalu. 

Banyak hikmah yang bisa dipetik mengapa Allah membuat waktu tidak bisa diputar, tidak bisa diundur, tidak bisa dipercepat dan juga tidak bisa dilipat. Di antaranya agar manusia belajar menjaga hari-harinya dengan kebaikan. Waktu adalah makhluk yang mulia, Allah bahkan bersumpah dengan waktu dalam surah Al Ashr, bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling nasihat menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Hasan Al Basri berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.” Detak jantung kita bahkan lebih gamblang mengajarkan bahwa hidup manusia itu bukanlah bilangan tahun, bulan, atau hari. Tetapi ia terdiri dari detik-detik yang bila Allah menghendaki, bisa berhenti kapan saja. 

Hikmah lainnya adalah agar manusia belajar tentang penyesalan. Penyesalan selalu menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hidup di masa mendatang. Andaikan waktu bisa terputar kembali, maka dunia akan kacau. Andaikan waktu bisa terputar kembali, maka kamus manusia tidak akan mengenal kata sesal dan manusia tidak akan pernah belajar apapun. Dan tanpa belajar, maka hidup menjadi tak berarti apa-apa. 

Setiap manusia punya catatan masa lalu yang berbeda-beda satu sama lain. Ada yang biasa-biasa, ada yang cerah menyenangkan dan ada pula yang kelam. Bagaimana pun kondisi kita di masa lalu, selama nafas belum terhenti, maka tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Masa depan pun adalah hal yang tidak pasti. Kita tak pernah tahu kondisi seperti apa akhir hidup kita nanti. Hari ini mungkin kita masih semangat menuntut ilmu, masih semangat beribadah, masih memperhatikan koridor-koridor yang telah ditetapkan, masih konsisten dengan pakaian yang dipakai. Tapi tak ada yang menjamin kebaikan dan nikmat hidayah yang Allah berikan saat ini akan terus bertahan sampai akhir.

Hati manusia berada di antara jari-jari Allah. Ketika Allah tidak lagi menginginkan kebaikan pada seseorang, DIA bisa dengan mudah membalikkannya. Kita tak pernah tahu ujian macam apa yang menunggu kita dan sekuat apa kita bertahan menghadapinya. Kita hanya bisa terus belajar, terus berusaha, terus berdoa agar kebaikan menyertai kita di akhir masa. Semoga Allah selalu meninggalkan keimanan dan keistiqamahan dalam hati-hati kita. Dan semoga Allah tak pernah membiarkan kita mengurus diri kita sendirian. Aamiin.

Ruang Yang terlupakan


Bila sedang membaca novel atau menonton film berlatar sejarah, saya sering membayangkan mesin waktu. Saya sudah pernah katakan sebelumnya, saya sering dilanda perasaan aneh setiap kali mengakhiri bacaan atau tontonan begenre sejarah. Rasanya seperti sulit untuk keluar dari sana. Membuat saya seperti mengambang selama beberapa hari. Rasa itu sama ketika saya melihat kumpulan foto hitam putih peninggalan kakek dan nenek yang ayah simpan dalam peti “harta karun”-nya, atau yang terpasang di dinding rumah peninggalan kakek. 

Saya sering lama-lama memandang foto hitam putih itu sambil menerka-nerka seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Dalam foto itu mereka masih muda. Beberapa di antaranya sudah meninggal dunia dan saya belum sempat bertemu mereka. Yang paling sering saya perhatikan adalah bagian mata. Entah bagaimana menjelaskannya, saya melihat sinar mata dalam foto-foto itu sangat berbeda dengan mata orang-orang yang saya temui di masa sekarang. Seperti ada yang hilang dari mata orang-orang masa kini yang dimiliki orang-orang di masa lalu. Tapi tentu ini hanya pendapat subjektif saya saja. Tidak usah terlalu dipikirkan. 

Rumah tua peninggalan kakek terletak paling ujung di sebuah desa jauh di pedalaman. Saya sering punya keinginan egois agar desa itu tidak berubah sampai kapanpun. Tetap seperti itu selamanya. Mungkin karena hanya di tempat ini saya merasa bisa “kembali ke masa lalu”. Suasana malam di sana seakan terjebak waktu. Berapa kali pun kembali, rasanya masih sama dengan malam belasan tahun sebelumnya. 

Penerangan di sana juga masih memakai petromax atau lampu minyak. Sepupu saya sering bercanda bahwa memasuki desa itu membuat siapapun seperti pulang ke zaman kolonial. Bila purnama muncul, desa itu jadi lebih terang, mirip suasana subuh. Kalau ditambah lolongan serigala, desa itu benar-benar terlihat magis. Tapi selalu ada kegelapan yang menenangkan di sana. Yang tidak akan saya temukan di tempat lain apalagi di kota. Di sana ada bukit padang rumput yang luas. Pepohonan rimbun dan gelap membentang di depannya. Makhluk nocturnal sering mengintai dari sana. Bulan biasanya muncul dari balik pepohonan tadi. Pemandangan jadi kontras antara sinar bulan, bayangan hitam hutan dan suara hewan malam. Kalau bulan tidak muncul, langit di sana sesak oleh bintang yang berserakan seperti kaca pecah. Saya suka menghabiskan malam dengan berbaring telentang menatap langit sambil menggigit-gigit sebatang rumput. 

Mungkin mesin waktu itu memang ada. Foto-foto hitam putih, desa yang terlupakan dan langit yang ditinggalkan zaman. Ketiganya adalah “mesin waktu” yang selalu bisa memulangkan saya ke masa lalu.
19 December 2012

If I Stay

“Kadang-kadang kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang 
pilihanlah yang memilihmu” 
~Gayle Forman~ 

If I Stay bercerita tentang seorang remaja bernama Mia yang dihadapkan pada dua pilihan, tetap tinggal dan bertahan hidup atau memilih pergi. Mia adalah pemain cello berbakat yang memilih aliran klasik sebagai jalur musiknya. Dia mewarisi bakat musik dari ayahnya yang mantan drummer sekaligus penulis lagu. Mia mempunyai keluarga yang menyayanginya dan masa depan cerah setelah diterima di sekolah musik terkenal dengan beasiswa penuh. 

Tapi hidupnya berubah hanya dalam hitungan menit ketika mobil yang membawa mereka sekeluarga mengalami kecelakaan. Ayah, ibu dan adiknya tewas sementara ia berada dalam keadaan koma akibat tulang-tulang yang patah. Entah bagaimana menyebutnya, tapi saat koma, Mia mendapati dirinya masih seperti manusia normal. Hanya saja, ia tidak berada di dalam jasadnya. Disebut hantu juga bukan, karena dia belum mati, tidak bisa menembus dinding tapi juga tak terlihat orang lain. Saat koma, Mia menceritakan kehidupannya dimulai sejak ayah dan ibunya belum menikah sampai sebelum mereka mengalami kecelakaan. Dari situlah Mia dihadapkan pada pilihan antara menyusul ayah, ibu dan adiknya yang telah mendahului atau tetap tinggal bersama orang-orang yang masih menyayanginya. Novel ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan keluarga dan persahabatan. 

Saya terkesan karena tidak menemukan kesan cengeng di dalamnya. Karakter-karakternya juga realistis. Kita tidak disajikan diksi yang indah atau hal-hal klise. Kita malah bisa menemukan kebrutalan yang terselip dalam suatu pilihan. Bahasa yang dipakai juga sederhana tapi dalam dan menyentuh. Terima kasih kepada si pengalih bahasa, Poppy D. Chusfani yang membuat buku ini nyaman dibaca dalam bahasa Indonesia. Latar waktu dalam novel ini hanya sekitar 24 jam. Pagi hari, tepatnya pukul 07.16, Mia memutuskan pilihannya. 

Pilihan yang dipilih Mia di akhir cerita sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan saya karena dalam beberapa hal, *spoiler alert*, saya suka bila ceritanya berakhir mati. Novel ini sangat menghibur di tengah antrian tugas yang mendekam dalam folder (-_-“). Ada kesan ajakan dalam novel ini untuk memiliki keluarga normal dibanding gaya hidup bersama tanpa ikatan yang banyak diadopsi orang-orang barat. Saya suka penggambaran Mia tentang keluarganya. Membaca novel ini mengingatkan saya pada ayah. Bagaimana seorang laki-laki harus melepaskan banyak hal dalam hidupnya, mengekang kebebasannya dan meninggalkan hobinya ketika mereka memutuskan untuk berkeluarga. 

Aku tidak memilih
Tapi aku sudah letih 
Dan keputusan ini kuambil sejak dulu
Semalam, yang telah lalu
(Waiting for Vengeance)
16 December 2012

Semacam Uneg-uneg

Saat membaca status-status yang berhamburan di timeline, ada sebuah gambar yang diupload salah seorang teman. Di gambar itu terdapat 9 gambar yang berbeda satu sama lain. Ternyata gambar itu semacam tes kepribadian. Peraturannya, kita disuruh memilih gambar mana yang paling disukai. Hasil tesnya akan diberitahukan lewat inbox untuk menghindari ada yang tidak jujur dalam memilih. Tes kepribadian, bagaimana pun bentuknya, boleh dipercaya boleh tidak. Toh, tidak ada yang menjamin keakuratan hasilnya. Terlebih karena objeknya adalah manusia. 

Di antara sembilan gambar tersebut, saya memilih gambar nomor 2. Gambar itu berbentuk segi empat berwarna hitam. Di atasnya terdapat semacam pulpen berwarna merah dan sebuah garis berwarna putih di sampingnya. Beberapa menit kemudian, hasilnya muncul lewat inbox sebagai berikut : 

Gambar Nomor 2. Mandiri, Tidak Biasa (tidak konvensional).
Anda menginginkan kebebasan dan ketidakterikatan hidup yang membiarkan anda menentukan jalan anda sendiri. Anda memiliki bakat artistik dalam kerjaan anda dan aktifitas luang. Desakan untuk bebas kadang menyebabkan anda melakukan perbuatan yang sangat berlawanan dengan apa yang anda inginkan. Gaya hidup anda sangat individual. Anda tidak akan meniru secara buta apa yang sedang “in”, di sisi lain anda mencari kehidupan yang sesuai dengan cita-cita dan dan pendirianmu, bahkan bila harus berenang melawan pasang. 

Baiklah, saya akan analisis satu per satu.
  
Mandiri. Jika parameter mandiri adalah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orangtua, maka dengan sangat menyesal saya mengatakan, saya belum termasuk tipe ini. 

Tidak biasa (Tidak konvensional). Ah tidak juga, saya ini orang biasa. Tidak konvensional ? Ada kemungkinan begitu. Saya sering tidak sepakat dengan beberapa kelaziman yang diaminkan orang-orang. Dalam hal selera, saya bisa lebih tradisional dibanding zaman saat itu. Tapi kesemuanya itu masih dalam taraf yang biasa. 

Menginginkan kebebasan dan ketidakterikatan dalam hidup. Ini dia. Saya tidak suka terikat. Saya mencintai kebebasan. Kebebasan di sini bukan kebebasan yang tanpa kendali. Tidak ada kebebasan semacam itu. Pengecualian bagi orang yang gila. Manusia, seaneh apapun ia, setidakbiasa bagaimana pun ia, selama belum gila, ia masih terikat norma dan nilai terlebih jika ia beragama. Manusia punya rasa malu dan setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang mengikutinya. Selain itu, ada koridor-koridor yang telah saya tentukan sendiri sebagai pembatas. 

Kebebasan dan ketidakterikatan yang saya maksud adalah sejenis belenggu lain yang entah orang lain sepakat dengan saya atau tidak. Dan karena itu pula, saya sering merasa aneh dengan diri sendiri. Intinya, saya tidak suka terikat dan tidak suka mengikat orang lain. Jika seseorang memilih pergi, saya tidak akan menahannya. Meskipun setelah itu, saya akan setengah mati merindukannya. Begitu pula sebaliknya, bila saya benar-benar ingin pergi, saya tidak suka ditahan-tahan. 

Anda memiliki bakat artistik dalam kerjaan anda dan aktifitas luang. Bakat artistik ? Bakat artistik apa maksudnya ? Saya paling lemah di bidang seni. Saya tidak bisa menari, tidak bisa menyanyi, tidak bisa bersyair, diksi saya buruk, tidak pintar berakting dan tidak bisa melukis. Kali ini tebakan Anda benar-benar salah. 

Desakan untuk bebas kadang menyebabkan anda melakukan perbuatan yang sangat berlawanan dengan apa yang anda inginkan. Saya bisa sangat menikmati kesendirian. Kesendirian saat bepergian, saat jalan-jalan, saat makan, saat hunting buku, saat di kamar. Dalam banyak hal, saya lebih senang melakukan segalanya sendiri. Dan inilah yang membuat saya sering berjarak dengan orang-orang terdekat saya. Saya merasa sesak bila terlalu dekat dengan orang-orang yang saya cintai. Adanya jarak membuat saya bisa bernapas lega. Di rumah pun seperti itu. Ibu dan nenek sudah ratusan kali menegur saya yang tidak suka ngumpul saat makan malam. Untuk waktu-waktu tertentu, saya masih bisa berkompromi. Tapi selebihnya, saya lebih suka mengambil tempat di teras belakang, dan makan sendirian di sana sambil memandang bintang berserakan di langit. Entah ini terdengar sentimentil atau malah bodoh, tapi seperti itulah. Saya bisa tenggelam dalam dimensi sendiri dan lupa pada orang-orang di sekitar. 

Yang cukup memahami hal semacam ini biasanya hanya ayah. Ia selalu membebaskan saya untuk hidup dengan cara saya sendiri, berpikir dan mengambil keputusan sendiri. Tak jarang keputusan-keputusan yang saya ambil ditentang oleh ibu, tetapi selalu didukung oleh ayah. Salah satunya adalah saat saya memutuskan untuk serius memakai jilbab. Ibu mati-matian menentangnya bahkan sampai terlontar beberapa ancaman. Ayah hanya diam menunggui ibu marah-marah. Selepas itu, baru ayah angkat bicara dan dengan tegas mendukung keputusan saya. Saya jadi tersadar bagaimana posisinya sebagai seorang ayah. Ia lelaki muslim, yang punya anak perempuan muslim. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mendukung keputusan itu. 

Kembali ke topik, saya tidak menyukai kesepian, tak ada satu pun manusia yang suka hidup dalam kesepian. Tapi saya selalu butuh sendirian. Dan kesendirian memerlukan jarak. Sikap saya yang mengambil jarak sering menyakiti hati orang-orang di dekat saya. Saya pernah benar-benar berada dalam keadaan “sesak napas” karena terlalu sering bersama seseorang. Saya sudah berulang kali berusaha untuk lepas tapi tidak bisa. Akhirnya, saya mengatakannya secara jujur. Hasilnya bisa ditebak, ia sangat kecewa dan sakit hati. Ia memilih pergi. Saya menyesal. Menangisinya. Saya benar-benar merasa jadi orang paling jahat sedunia. Tapi sungguh, saya pun butuh kesendirian. Saya tersiksa tanpa itu. Karenanya, adalah sebuah berkah jika kau punya seseorang yang bisa mendampingimu namun bisa pula dengan mudah memberimu ruang untuk bernapas, kemudian dekat kembali tanpa harus ada yang tersakiti. 

Gaya hidup anda sangat individual. Tolong dihapus kata “sangat”nya. Saya tidak separah itu. 

Anda tidak akan meniru secara buta apa yang sedang “in”. Memang. Karena apa yang sedang “in”, demi langit dan bumi, bisa terlihat begitu konyol di mata saya. 

Di sisi lain anda mencari kehidupan yang sesuai dengan cita-cita dan dan pendirianmu, bahkan bila harus berenang melawan pasang. Terima kasih, saya sedang menjalani tahap itu. Doakan agar semuanya dimudahkan dan agar saya kuat mempertahankan apa yang saya yakini. Aamiin...
15 December 2012

(Bukan) Butterfly Effect

Katanya, kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil bisa menghasilkan tornado di Texas.
Kepakan sayap camar di Kirgiztan bisa menghasilkan angin ribut di Pantura. 
Sementara kamu, hanya perlu mengedipkan mata untuk menciptakan badai di hatiku
#eeaaa

*Hasil gombal battle dengan teman*

Ketidaktahuan ; Sebentuk Pertahanan Diri Manusia

Manusia melihat apa yang ingin dilihatnya. Manusia mendengar apa yang ingin didengarnya. Begitulah bentuk pertahanan diri manusia secara pikiran. Sebagai makhluk yang diciptakan sempurna dibanding jenis lain, manusia didesain dengan kemampuan adaptasi yang tinggi. Manusia tidak mungkin dilepas ke dunia tanpa diberi kemampuan apa-apa. Jellyfish menghasilkan racun mematikan keluar dari tubuhnya untuk bertahan dari musuh-musuhnya. Cecak akan memutuskan ekor jika berada dalam keadaan bahaya. Daun-daun putri malu akan mengatup bila mendapat sentuhan. 

Pada manusia, pertahanan diri bukan hanya dari segi fisik, tapi juga melalui pikiran. Salah satu medianya adalah ketidaktahuan. “Pengetahuan bisa menghambat. Ketidaktahuan justru membebaskan. Tahu kapan untuk tahu dan kapan untuk tak tahu, sama pentingnya dengan pedang yang tajam”, Kata Takashi Matsuoka dalam novel Samurai : Kastel Awan Burung Gereja. Pengetahuan bisa menjadi pedang tajam yang mampu ‘membunuh’ seseorang. Karena itulah dikatakan bahwa manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin ia dengar dan hanya melihat apa yang ingin dia lihat. Bila ia melihat atau mendengar sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang ia harap lihat atau dengar, atau bila ia mengetahui realita yang ternyata tak berpihak padanya, maka hal itu akan berakhir pada rasa sakit dan kecewa. Dengan ketidaktahuan, ia akan terbebas dari luka. Ia mungkin akan baik-baik saja. 

Ketidaktahuan membuat manusia pandai memanipulasi perasaan sekaligus menjadikannya takut untuk bertanya. Takut pada jawaban yang tidak seperti harapannya. Ia kemudian menciptakan ilusi yang telah ia tentukan sendiri akhirnya. Tak jarang ia membentak bisikan hati yang mencoba bersikap jujur. Ah, manusia, betapa kuat dan begitu rapuhnya mereka.

Biarkan Saja

Seorang teman pernah bercerita bahwa dia sulit meminta bantuan orang lain karena takut akan penolakan. Sehingga ia memilih mengerjakan semuanya sendiri dibanding permintaannya ditolak, yang akan meninggalkan rasa kecewa. Begitulah caranya mempertahankan diri.

Teman yang lain bercerita bahwa bila menyukai seseorang, ia tidak akan mengatakannya secara lugas. Jika ternyata akhirnya ia menemukan isyarat penolakan, ia akan membangun sendiri anggapan bahwa itu kerena orang tersebut tidak cukup pantas untuknya. Sedikit angkuh kedengaran. Tapi seperti itulah caranya bertahan dari rasa sakit dan kecewa. Kadang saya juga tidak bisa menahan mulut untuk berkomentar bahwa penolakan itu lebih baik baginya dibanding bila ada penerimaan yang akan mendorongnya melakukan hal-hal di luar koridor. Tapi sudahlah, dia tidak begitu peduli dengan koridor yang saya maksud.

Dan, sembunyi-sembunyi membaca buku yang isinya sama sekali tidak berhubungan dengan materi yang diajarkan dosen adalah salah satu cara saya bertahan melawan kantuk di tengah kuliah yang kadang bisa sangat membosankan. Memang bukan sikap yang baik, tapi akan lebih tidak sopan lagi jika saya tidur di depan dosen yang sedang memberi ceramah. Ya ya, saya tahu cara bertahan di sini memang tidak nyambung dengan dua cerita sebelumnya. Sudahlah, biarkan saja.
09 December 2012

Lirihan Hujan


Suatu waktu di saat hujan turun satu-satu. Dua manusia berdiri berdampingan di sisi kaca jendela yang berembun. Keduanya membuang pandangan jauh ke luar, tak ingin menatap satu sama lain. Keheningan berkuasa hingga hujan reda. Dan, entah siapa yang memulai, reuni sunyi itu harus ditutup dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya tak ia tanyakan.
“Apa yang kau pandangi di tengah hujan tadi ?”
...
Ia menunggu
...
Namun tak ada jawaban. Selalu begitu.
Ia menyerah dan memilih beranjak dari sana. Meninggalkan seorang yang sejak tadi membisu di sampingnya.
Sesaat sebelum mencapai pintu, dari balik punggungnya, samar terdengar bisikan ;
“Kenangan...”

Random (3)

Kalau sedang kerja tugas, saya bisa duduk sampai membusuk di satu titik kamar tanpa berpindah-pindah. Selalu saja ada sudut-sudut yang jarang bahkan tidak pernah disentuh. Maksudnya, dalam kamar yang berbentuk kotak dan punya empat sisi sebagai dinding, biasanya saya hanya bersandar pada dua sisi saja, sementara dua sisi lainnya hanya disentuh untuk dibersihkan. Padahal, saya bisa bebas untuk duduk, tidur dan bersandar di sudut atau di sisi manapun yang saya mau. Tapi entah kenapa, sudah menjadi kebiasaan hanya memilih beberapa bagian saja dan membiarkan yang lainnya tidak tersentuh. Begitu juga jalan yang sehari-hari selalu dilewati sampai tempat makan yang sering dikunjungi. Selalu ada bagian darinya yang saya pisahkan, tak ingin menyentuhnya. Dan dalam skala hidup yang lebih luas, ternyata saya pun seperti itu. Ah, rumit juga.

*****
Jika ingin menitipkan barang berharga, kepada siapa kita menjatuhkan pilihan ? Kerabat, saudara, atau sahabat ? Kejadian sederhana belakangan ini mengingatkan saya akan satu hal penting yang sedikit terlupakan. Beberapa waktu lalu saya sempat uring-uringan setiap kali akan keluar rumah karena mendapati motor telah dihiasi tiga kotoran ayam. Mau tidak mau saya harus mencucinya dulu dan menunggu sampai kering baru kemudian dipakai. Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Saking jengkelnya, saya sampai mengancam ayam-ayam yang berkeliaran di sekitar situ. Tapi sepertinya mereka tidak paham bahasa manusia. Dan saya juga tidak tahu bahasa ayam. Selepas shalat maghrib, saya membuka-buka sebuah majalah islam edisi terbaru. Ada sebuah kisah yang menyentuh di salah satu rubriknya. Kisahnya tidaklah terlalu nyambung dengan kejadian yang saya alami, tapi itu cukup untuk menjadi pengingat.

Ada banyak penjelasan masuk akal mengapa kotoran ayam tadi hanya nangkring di atas motor saya padahal ada beberapa motor lain yang juga terparkir di sana. Entah karena posisi motor yang diparkir, entah jumlah dan kebiasaan ayam atau pun alasan lainnya. Tapi saya lupa bahwa segala hal, sampai pada sehelai daun yang gugur pun, tidak akan lepas dari pengawasan dan kehendak Allah. Kehendak ciptaan tidak akan mengalahkan kehendak Penciptanya. Allah adalah sebaik-baik Pelindung, sebaik-baik tempat menitipkan. Saya lupa bahwa jika ingin menitipkan atau meminta sesuatu, Allah-lah yang pertama kali harus saya hubungi, bukan yang terakhir. Keesokan harinya sepulang kuliah, setelah memarkir motor, ada doa yang tertitip. Dan memang benar, Allah adalah sebaik-baik pelindung. Alhamdulillah, motor saya juga baik-baik saja. 

*****
Belakangan ini saya juga menyadari bertambahnya jumlah dosen yang menghentikan sejenak perkuliahan karena menjawab adzan. Seingat saya, sebelumnya hanya sekitar satu atau dua orang yang seperti itu. Dan kini jumlahnya bertambah. Lagi-lagi ini mungkin terdengar sederhana. Tapi untuk ukuran sebuah kampus, terlebih di zaman ini, berapa persen orang yang mengamalkannya ? Berapa banyak orang yang tahu bahwa salah satu sunnah yang diajarkan Rasulullah saat adzan berkumandang adalah menjawabnya ? Karena itulah, rasanya senang sekali jika dosen memerintahkan untuk diam dan menjawab saat terdengar panggilan adzan. Seperti saling mengingatkan satu sama lain.

*****
Suatu sore setelah gerimis mereda, tepat di penghujung garis horizon, matahari berhasil meloloskan diri dari awan. Bumi pun berubah warna menjadi jingga. Menyilaukan dan hangat.

Buya Hamka ; Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme

“Yang saya ingat  dari lisan almarhum papa saya dahulu adalah : ‘Jalanan di Jakarta hanya bisa sepi karena dua hal : Muhammad Ali bertanding, atau Hamka berpidato.’”
~Akmal Sjafril~ 


Buku berjudul Buya Hamka, Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme ini merupakan adaptasi tesis karya Akmal Sjafril. Sebelumnya, ia juga menulis buku berjudul Islam Liberal 101. Keduanya merupakan buku-buku bertema pemikiran yang berupaya membendung gerakan liberalisasi islam. Buya Hamka dikenal sebagai ulama besar asli Indonesia yang sangat produktif menulis. Buku-buku beliau jika dikumpulkan bisa mencapai seratus jilid. Di antara seluruh karyanya, 30 jilid Tafsir Al Azhar merupakan karya paling monumental yang beliau rampungkan dalam tahanan penjara Orde Lama. Sayangnya, saat ini karya-karya beliau sudah banyak yang tidak diterbitkan lagi. Tujuan umum buku ini adalah untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahan dari klaim pluralis yang sering dialamatkan pada Buya Hamka.

Bab pertama dibuka dengan menjabarkan bagaimana islam mendudukkan toleransi beragama serta menguraikan konsep ekslusif, inklusif dan pluralis. Bab kedua membahas biografi Buya Hamka mulai dari lahir, latar belakang keluarga, pendidikan yang ditempuhnya sampai menjadi ulama multitalenta. Bab ketiga khusus membahas tentang pluralisme agama yang digali sampai ke akar-akar sejarahnya, termasuk definisinya sendiri yang masih dianggap problematis. Bagian ini dilengkapi dengan penguraian tren-tren pluralisme seperti humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi dan teosofi-freemasonry. Bab keempat membahas ayat-ayat yang sering dikutip pengusung pluralisme untuk mendukung pendapat mereka. Secara sederhana, argumen pluralisme yang menggunakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai sandaran pemikirannya dikelompokkan ke dalam lima tema pokok, yaitu : (1) pluralitas sebagai kehendak tuhan, (2) keselamatan dapat ditemukan di semua agama, (3) adanya kesatuan risalah para nabi, (4) tidak ada paksaan dalam beragama dan (5) manusia tak berhak mengadili agama siapa yang benar. Bab ini diakhiri dengan kritik cendekiawan muslim terhadap kelima pemikiran tadi.

Bab kelima membahas konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka. Bab ini menelusuri secara rinci pandangan Hamka tentang definisi konsep agama, bagaimana Hamka menempatkan islam di antara agama-agama lainnya, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran yang telah dinyatakan menyimpang dari Islam, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran kepercayaan sinkretisme dan aliran yang lahir akibat kultus individu, bagaimana Hamka memandang komunisme, sekularisme dan pancasila serta bagaimana Hamka mengejawantahkan toleransi beragama. Bab keenam menguji klaim pluralisme dengan merinci bagaimana Hamka semasa hidupnya telah berhadapan langsung dengan konsep-konsep kunci pembentuk pluralisme seperti antroposentrisme atau relativisme. Bab terakhir membahas kekeliruan artikel atau makalah yang pernah ditulis oleh para pengusung liberalisme seperti Ahmad Syafii Maarif, Ayang Utriza NWAY dan Hamka Haq.

Buku ini berhasil menggambarkan keteguhan dan kelurusan ‘aqidah Buya Hamka serta membuktikan kekeliruan metode kaum liberalisme dalam mengambil kesimpulan penafsiran beliau, termasuk kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan ayat Al Qur’an. Namun karena diadaptasi dari tesis, bahasa dalam buku ini agak ‘kaku’ bila dibandingkan karya sebelumnya (Islam Liberal 101). Banyak istilah-istilah ilmiah yang membuat saya harus mencari definisinya dari literatur lain. Tetapi bagi yang tertarik dengan tema ghawzul fikr (perang pemikiran), buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca.
 
;