22 January 2016

Attachments


Lincoln masih belum percaya bahwa pekerjaannya sekarang adalah membaca E-mail orang lain. Saat melamar pekerjaan sebagai petugas keamanan internet, pemuda itu mengira ia akan membangun firewall dan melawan hacker, bukannya memberi peringatan pada karyawan yang mengirim E-mail berisi lelucon jorok seperti sekarang.

Beth dan Jennifer tahu bahwa ada seseorang di kantor yang memonitor E-mail mereka. hal itu adalah kebijakan kantor. Namun, mereka tidak menganggapnya serius. mereka bertukar E-mail tentang hal-hal paling pribadi.

Saat Lincoln menemukan E-mail Beth dan Jennifer, pemuda itu tahu ia harus melaporkan mereka berdua. Namun ia tidak bisa. E-mail mereka terlalu menarik untuk dilewatkan. Hanya saja, saat Lincoln sadar ia mulai jatuh hati pada salah satunya, sudah terlalu terlambat untuk memulai perkenalan. Lagipula, apa yang bisa ia katakan ? 

Pengalaman membaca Eleanor & Park membuat saya mencari lagi novel Rainbow Rowell yang lain. Suka cara bertuturnya, karakter tokoh-tokohnya dan juga humornya. Attachments adalah novel pertama yang ia tulis dan lagi-lagi mengambil latar 90-an, masa sebelum smartphone melipat jarak. Tapi masa Attachments sudah lebih canggih dibanding Eleanor & Park karena internet sudah eksis dan orang-orang mulai berkirim pesan lewat E-mail. 

“Kalau seorang cowok berani menikah, berarti dia adalah orang dewasa.” 
(Beth, hal. 15)

Novel ini bercerita tentang dua sahabat, Beth dan Jennifer, yang rutin berkirim E-mail di sela-sela jam kerja mereka. Keduanya bekerja di surat kabar The Courier  dan ditempatkan di bagian yang berbeda. Beth di bagian redaksi yang bekerja meresensi film sementara Jennifer adalah copy editor yang ditempatkan di bagian feature. Adapun Lincoln masih terbilang pegawai baru yang ditempatkan sebagai petugas keamanan internet. Awalnya ia berpikir akan melindungi surat kabar itu dari serangan hacker. Nyatanya, pekerjaannya hanya memantau E-mail para karyawan dan mengirimkan memo pada mereka yang kedapatan melanggar aturan.

Pelaggarannya macam-macam mulai dari E-mail yang berisi lelucon jorok, pegawai yang berjudi online atau pegawai yang menghabiskan jam kerja mengisi kuis kepribadian online. Jadi ada semacam program bernawa WebShark yang dibangun untuk mengawasi apapun yang dilakukan oleh pegawai di internet dan jaringan internet. Semuanya, setiap E-mail, setiap website dan setiap kata. Jika ada E-mail yang bermuatan kasar, rasis atau kata yang dicurigai, maka WebShark akan memberi tanda bendera merah dan menyimpan E-mail tersebut. Pekerjaan Lincoln-lah membaca semua E-mail berbendera merah itu dan melaporkannya jika dianggap sudah keterlaluan. Kedengarannya membosankan yah. Lincoln pun berpikir begitu. 

“Masalahnya, digaji untuk tidak melakukan apa-apa terus-menerus mengingatkanku bahwa aku tidak melakukan apa pun.” 
(Lincoln, hal. 42)

Nah, suatu ketika Lincoln membaca E-mail Beth dan Jennifer yang bertanda bendera merah. Kedua wanita itu sepertinya tidak peduli bahwa ada seseorang di suatu tempat dalam kantor yang terus memantau E-mail mereka. Mereka membahas banyak hal, termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Lincoln tahu ia harus mengirim peringatan, tapi setelah membaca sekitar setengah lusin E-mail yang bertanda merah, peringatan tak kunjung dilakukan. Boleh dibilang, Lincoln penasaran untuk terus membaca E-mail tersebut. Ia menyukai keduanya, terutama Beth.

Melalui rangkaian E-mail itu, Rainbow Rowell menceritakan kehidupan Beth dan Jennifer. Ceritnya selang-seling tiap bab antara kisah Beth dan Jennifer dalam E-mail, dengan kisah Lincoln. Jennifer dan suaminya, Mitch, terlihat seperti pasangan suami istri lainnya. Kecuali bahwa Jennifer tidak menginginkan anak. Ia punya semacam ketakutan mempunyai anak. Mungkin trauma masa lalu. Ayahnya pergi saat ia masih kecil. Jennifer dan ibunya kemudian hidup menumpang dari satu rumah ke rumah lain. 

“Ibuku tidak berjuang untuk persamaan hak. Dia bahkan tidak tahu peristiwa itu pernah terjadi. Ayahku pergi dua puluh tahun yang lalu, dan ibuku masih terus-menerus mengatakan bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga.” 
(Jennifer, hal. 147)

Sementara Beth tinggal bersama Chris, seorang gitaris band. Mereka sudah bersama selama tujuh tahun (kalau tidak salah). Dan hal yang paling diimpikan Beth adalah suatu saat Chris akan melamarnya. Suatu saat yang entah kapan karena Chris, seperti gitaris pada umumnya, adalah tipe orang yang tidak mau terikat komitmen. Chris ini menimbulkan banyak tanya bagi saya. Mungkin karena porsinya terlalu sedikit. Tapi saya sedikit paham, bahwa ada orang-orang yang tidak ingin memenuhi kepalanya akan seseorang, tidak ingin perasaannya terlalu besar dan tidak mau membuat dirinya bergantung pada orang itu. Kesannya tokoh ini seperti menyimpan banyak rahasia. Pembaca tidak tahu asalnya dari mana, masa lalunya bagaimana, apa yang ia suka dan tidak suka, atau apa yang bisa membuatnya bahagia. 

“Kurasa kadang memang dia seperti itu. Merasa perlu menarik diri. Aku menganggapnya seperti musim dingin. Selama musim dingin, bukannya matahari menghilang. Kau masih bisa melihatnya di langit. Tapi matahari terlihat lebih jauh di musim dingin.” 
(Beth, hal. 174)

Kehidupan Lincoln lain lagi. Setelah lulus kuliah dan kembali bekerja di kota kelahirannya, Lincoln memilih tetap tinggal bersama ibunya. Lincoln punya kakak perempuan yang jarang akur dengan ibunya. Kakaknya sering mendesak Lincoln untuk tinggal sendiri, agar ia punya kehidupan sendiri seperti orang-orang normal seharusnya. Rutinitas harian Lincoln agak monoton, pekerjaannya hanya membaca E-mail sepanjang hari kerja. Akhir pekan dihabiskan dengan main game bersama teman-teman semasa SMAnya atau menyewa film dan menonton sendirian. Tokoh ini kikuk dan pemalu. Tapi jujur, ramah dan selalu siap membantu. Benar-benar baik hati. Dia senang berbasa-basi dengan orang yang lebih tua. Saya suka bagian persahabatannya dengan Doris. Sewaktu SMA, Lincoln pernah lama bersama Sam, gadis yang pertama baginya dan yang dia anggap sempurna. Lincoln berniat kuliah di mana pun Sam Kuliah. Dia malah berencana menikahi Sam. Tapi di tahun kedua perkuliahan, Sam mencampakkannya demi seorang yang menjadi lawan mainnya di teater kampus. Lincoln pun hancur. 

“Cinta pertama selalu berakhir. Semua cinta pertama selalu berakhir. Tidak ada yang menikah dengan cinta pertama mereka. Cinta pertama hanya sebatas itu. Yang pertama. Itu artinya akan ada yang lain setelah itu.” 
(Sam, hal. 190)

Awalnya karakter Lincoln biasa saja. Polos dan cenderung naïf. Saya tertawa waktu sampai di bagian Lincoln yang menangis seperti anak kecil ketika dicampakkan Sam. Antara lucu dan merasa kasihan. Lebih cenderung ke Chris sebenarnya. Biasalah pemirsa, pembaca tuh penasaran sama yang misteriyuz-misteriyuz begitu. Yang setiap masuk bagiannya seolah-olah suhu turun ke titik nol derajat celcius. Dingin. Pertanyaanku selalu untuk Chris adalah, akankah ia berubah ? Apakah ia mau komitmen dengan Beth di akhir cerita? Chris langsung menjawab, 

“Aku selalu mencintaimu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menikahimu.”
 (Chris, hal. 359)

Aigoo…sungguh teganya dirimu..teganya…teganya…teganya…
Ini kalimat paling melegenda dalam novel. Kata-katanya ibarat tendangan seribu bayangan (halah). Tapi demikian akhir kisah Chris, dia walkout dari kehidupan Beth. Benar-benar karakter yang tidak tertolong.

Btw, yang membuat pembaca gregetan adalah kapan Lincoln dan Beth akan bertemu. Sebab selama membaca rangkaian E-mail itu, Lincoln belum pernah melihat sosok Beth. Sebenarnya boleh dibilang dia sengaja tidak ingin melihatnya. Ini jadi pertanyaan juga, bisakah seseorang jatuh hati pada orang lain karena tulisannya, padahal belum pernah melihat orangnya secara langsung ? 

“Ada sesuatu yang sangat romantis tentang hal itu. Semua wanita menginginkan seorang pria yang jatuh cinta pada jiwanya, selain juga penampilannya.” 
(Christine, hal. 238)

Yang paling terasa adalah kemampuan Rainbow Rowell membuat karakter Lincoln yang dari biasa saja, pelan-pelan berubah menjadi karakter yang disukai. Pembaca akan menyadari betapa manisnya tokoh ini. Satu lagi yang saya suka -dan itulah kenapa cenderung memilih novel terjemahan- karena banyaknya karakter yang diceritakan dalam satu novel. Kekurangan dari novel-novel romance yang pernah saya baca adalah minimnya eksplorasi berbagai karakter. Seolah-olah dunia hanya milik dua tokoh utama saja. Yang lain cuma nempel. Padahal banyak hal yang bisa diceritakan, tentang ayah-ibu tokoh utama, tentang adik-kakak tokoh utama, tentang sahabat-sahabat tokoh utama, tetangga, guru, atasan, rekan kerja, tentang buku, tentang sains, seni, macam-macamlah. Jadi pembaca tidak melulu terpaku pada dua tokoh saja sementara tokoh lain sekadar numpang lewat. Banyaknya karakter membuat pembaca lebih bisa memilih tokoh mana yang akan ia sukai. 
05 January 2016

Catatan Awal Tahun

Banyak yang lupa bagaimana rasanya berumur 19 ketika beranjak 20, atau 25 ketika beranjak 26. Tahun 2015 menjadi tahun tercepat yang pernah saya alami. Seperti ada sesuatu yang melintas dengan kecepatan tinggi. Atau seperti semburan air yang deras. Kau mengulurkan tanganmu, berharap bisa menangkap banyak hal di dalamnya. Tapi hanya sedikit yang masuk dalam genggaman.

Tulisan ini tidak akan membahas tentang resolusi awal tahun. Sejujurnya saya jarang memikirkan hal-hal semacam itu. Seperti saya ingin begini tahun ini. Atau saya ingin begini sebelum umur segini. Atau dalam sekian tahun saya sudah akan begini. Tidak, saya jarang seperti itu. Tapi bukan berarti tidak ada rencana atau tujuan sama sekali. Hanya saja, untuk beberapa hal saya lebih suka let it flow. Hidup ini tak tertebak. Terkadang hal-hal di luar rencana memberi kejutan yang lebih menyenangkan.

Salah satu hal yang saya pikirkan adalah, apa yang akan saya lakukan terhadap blog ini. Pernah kepikiran untuk menutup blog. Ada banyak alasan sih, sebenarnya. Pertama, setelah diperhatikan secara seksama dan dalam tempo seimut-imutnya, bisa disimpulkan kalau blog ini, seperti latarnya, begitu suram. Atau hanya saya yang berpikir begitu ? Kedua, tulisan di dalamnya kebanyakan curcol tidak penting (sebenarnya lebih tepat disebut tidak berguna, tapi saya tidak tega menggunakan kata ini. Hehehe). Kalimat-kalimatnya pekat, saya sendiri sesak membacanya. Ketiga, saya tidak ingin ada “kerumitan” yang lain lagi. Kadang saya pikir, jangan-jangan penyebabnya tak lain adalah blog ini. Pernah disinggung sebelumnya bahwa menulis adalah cara untuk menolong diri saya sendiri. Semacam upaya penyembuhan. Tapi menulis itu paradoks. Melegakan di satu sisi, dan menyakitkan di saat yang sama. Memang bukan hal buruk memiliki wadah menuangkan pikiran yang terbatas dilakukan di media lain. Tetapi lama-kelamaan ada hal lain yang mengikut. Hal-hal di luar dugaan, dan itu memperumit keadaan.

Pertama kali punya blog, umurnya lebih pendek dari umur jagung. Walaupun saya suka namanya. Sementara blog yang kedua ini bisa bertahan empat tahun lamanya dengan sedikitnya dua peraturan : Kolom komentar ditutup dan identitas anonim. Tidak menyebutkan nama, walaupun nampaknya beberapa orang sudah tahu. Toh blog ini tidak dirahasiakan. Pun orang-orang yang saya ceritakan lebih banyak menggunakan julukan. Awalnya, saya hanya berbagi blog dengan dua orang teman. Kedua teman saya ini lebih parah. Blognya tidak dibuka untuk umum. Untuk masuk pun mesti minta izin dulu. Tapi lama-lama keduanya tidak aktif lagi karena kesibukan masing-masing. Tinggallah blog saya yang lanjut ngalor-ngidul.

Belakangan, blog ini lebih banyak berisi tentang buku-buku yang saya baca. Dan itu lebih menyenangkan dibanding membahas yang lain. Membaca buku kemudian menuliskan kesanmu sebenarnya mirip dengan membahas diri sendiri secara tidak langsung. Seperti seni, membaca buku lebih menyangkut bagaimana melihat dirimu dibanding apa yang tertulis di atas kertas. Books are for people who wish to be somewhere else. Buku juga menjadi alternatif untuk berkunjung ke berbagai tempat, berbagai karakter dan budaya ketika di saat yang sama saya tidak beranjak kemana-mana. Kemampuan saya terbatas. Tapi buku punya kemampuan semacam itu.

Saya paling suka baca buku cerita, entah itu fiksi atau kisah nyata. Karena cerita membuat saya bebas mengambil hikmah apa saja. Kesan nasihatnya lebih dalam dan kuat dibanding jika harus dijejali teori bahwa saya harusnya begini atau idealnya harus begitu. Selain itu, kebiasaan ini juga bawaan dari SMP yang gemar baca komik. Duh, ngomongin komik jadi kangen koleksi komik jadul yang sudah hilang. Jadi ceritanya pernah ada koleksi komik yang lumayanlah, sekitar dua kardus berisi serial Rose of Versailles, Aurora, Harlem Beat, Sailor Moon, Lady Oscar, Detective Conan, Q.E.D, Pengantin Demos, komik-komiknya Yu Asagiri, Kyoko Hikawa dan beberapa lagi yang saya lupa. Terakhir kali komik-komik ini terlihat tahun 2009. Dan karena memang tidak dijaga dengan baik, sewaktu pulang kampung kardus-kardusnya sudah raib entah kemana.

Setelah komik, lanjut ke novel-novel lama yang ada di perpus sekolah, kemudian beralih ke novel remaja ketika Teenlit booming kala itu. Saya bukan kutu buku, tapi saya suka membaca genre apa saja; suspense, thriller/kriminal, drama, romance, sains fiksi, fantasi, dystopian, metropop, komedi, chicklit atau sastra (saya tidak terlalu paham pembagian genre). Pilihannya tergantung mood dan situasi. Sebenarnya kadang kepikiran juga, apa saya tidak buang-buang waktu membaca novel-novel ini ? Pernah saya tanya ke teman, dia bilang, pekerjaanmu bukan baca novel to’ saja, kan ? Jadi tidak masalah, katanya. Saya membaca untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas, kata saya. Ya bagus itu, katanya lebih lanjut, saya sendiri  baca novel untuk mengusir sepi.

Ada blog teman yang sering dia sebut si Ijo. Teman saya ini sangat suka warna hijau. Tema blognya hijau. Tulisannya pun hijau-hijau. Hehehe. Maksudnya, Kalau kau membaca tulisannya, kau seperti memasuki padang rumput yang sejuk. Pemilihan diksinya filosofis dan dalam. Tapi menenangkan.

Ada juga blog milik teman yang lain. Yang satu ini tipe orang yang to the point, idealis dan perfeksionis. Kritikannya tajam dan pedas. Kalau orang pertama kali terlibat kegiatan bersamanya, dan belum mengenal karakternya, mungkin akan terkaget-kaget dengan sikapnya yang sangat to the point dalam menyampaikan pendapat. Yang saya suka darinya adalah, bahwa dia jujur menilai diri sendiri di hadapan orang lain. Dia tidak menutupi kekurangannya. Dia ingin orang melihatnya apa adanya. Dalam arti mengetahui letak kekurangannya. Hal yang jarang dijumpai. Saya sendiri tidak yakin ketika ada yang mengatakan “terimalah dirimu apa adanya” atau “jadilah dirimu apa adanya”. Kupikir jarang ada orang yang benar-benar ingin menerima dirinya apa adanya. Terutama jika bagian dari “apa adanya” itu adalah sesuatu yang buruk. Tak ada orang yang senang dalam keburukan. Maka yang sering kita lakukan adalah berusaha untuk memperbaiki sisi yang buruk itu, minimal menutupinya dari mata orang lain. Alih-alih berharap mereka memakluminya.

Saya mengenal teman saya ini sebagai orang yang pekerja keras, perfeksionis, penuh semangat dan percaya diri. Kritikannya terhadap orang lain memang pedas, tapi kritikannya terhadap diri sendiri jauh lebih pedas. Dia menyebut dirinya sebagai orang yang brengsek. Yah, itu istilah yang dia pakai. Padahal setahu saya, dia orang yang selalu berusaha tetap berada dalam koridor, berusaha keras untuk tidak melenceng keluar dari lingkaran. Tapi dia menganggap ada bagian dari dirinya yang brengsek. Terutama caranya menilai orang lain. Bahwa ia bisa menjadi sangat picik karena menjudge orang lain bahkan sebelum orang itu memperkenalkan diri. Saya tersenyum membacanya. Kalau begitu aturannya, maka ada banyak orang brengsek di dunia ini.

Sejauh ini belum ada keputusan final (halah) mengenai masa depan blog ini. Bagaimana pun “rumah” ini sudah dibangun selama empat tahun. Sesuatu tidak otomatis berubah hanya karena dihilangkan atau dihentikan begitu saja.
 
;