23 July 2015

Random (8)

Waktu Samurai X pertama tayang di stasiun TV nasional, nyaris tak pernah absen kuikuti serialnya tiap minggu. Di salah satu episodenya, entah yang keberapa, ada instrumen yang jadi latar ketika Misao dan Kenshin berjalan di atas jembatan. Ceritanya mereka baru saja mengembalikan sekantong uang yang dicuri Misao. Keduanya tengah dalam perjalanan kemudian bertemu untuk pertama kali. Kenshin menuju Kyoto untuk menghentikan Shishio sementara Misao sedang mencari Aoshi. Setelah mengembalikan uang, mereka berjalan melewati jembatan kayu di atas sungai. Instrumen itu muncul sejak keduanya masuk jembatan, diiringi riak air yang mengalir di bawahnya. Bunyi yang hanya beberapa detik itu ternyata terekam jelas di kepala. Aku baru menyadarinya kemudian hari.

***

Suatu malam terjadi pemadaman listrik di seluruh kota Benteng. Padahal posisiku sudah siaga satu depan TV, menunggu Extravaganza yang jadwal tayangnya tiap malam minggu. Kau tahulah, tidak ada yang lebih membosankan dibanding listrik mati di malam minggu ketika perpustakaan umum tutup, dan teknologi media belum seperti sekarang. Tak ada tontonan, tak ada obrolan dan tak ada bacaan. Jadi kuputuskan jalan-jalan sebentar ke tepi pantai. Melihat kapal mungkin, atau membeli sesuatu untuk dimakan. Kuraih jaket yang tergantung di dinding dan memeriksa sejumlah uang di sakunya, kuambil walkman di laci, kupasang earphone di telinga, kukenakan sandal, kuputar kenop pintu dan melangkah keluar.

Angin timur berhembus kencang. Jenis angin yang membuat kulit kering dan pecah-pecah. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku dan menggenggamnya erat-erat untuk menahan hawa dingin. Kota dikepung gelap. Rumah-rumah diterangi satu atau dua batang lilin yang meliuk kesana kemari. Kadang lilin itu harus menyerah kalah karena angin bisa tiba-tiba menyambar lalu kembali tenang dalam sekejap. Jalanan juga lengang, sesekali ada kendaraan yang lewat. Sinar lampunya timbul tenggelam di sisi kiri dan kanan jalan. Di malam minggu semacam itu, beberapa orang memilih mendarat di pinggir lapangan, ngobrol panjang lebar sambil mengunyah bakso. Sebagian lagi memilih tepi pantai, ditemani gelas-gelas sara’ba dan sepiring pisang goreng. Seingatku, dulu salah satu tetanggaku kerap memboncengku ke pinggir pantai sekadar makan gorengan dan minum sara’ba. Tapi kebiasaan itu terhenti sejak dia menikah dan pindah ke rumah baru.

Jika tidak sedang buru-buru, biasanya kuambil jalan memutar, menjauh dari tempat tujuan. Salah satu kesenanganku adalah suka lama-lama di jalan. Tapi hanya di malam hari. Suka melihat kerlip lampu yang menerangi kota. Suka menatap cahaya dari tempat yang gelap. Pandangan yang awalnya lurus ke depan kualihkan ke langit, ada yang tidak biasa di atas sana. Malam itu bulan mati, tapi langit penuh bintang. Bukan penuh, sesak malah, seperti pasir yang dihamburkan. Ribuan bintang membentuk aliran seperti sungai yang memanjang ke selatan. Sampai takjub dibuatnya. Saking takjubnya aku nyaris teriak, tapi suaraku malah tercekat. Gabungan antara ingin mengekspresikan rasa kagum dan desakan untuk menahannya. Andai sendirian, sepertinya tak masalah mengucapkan “wow” yang panjang, atau merentangkan tangan dan telentang menghadap langit. Tapi itu jalan raya. Dan malam hari. Walau cukup sunyi, tak boleh macam-macam kalau tak ingin jadi bahan tertawaan. Gagasan bahwa ketika listrik mati seorang gadis tidur-tiduran di tengah jalan sepertinya bukan gagasan yang bagus. Jadi atas nama sikap, kutahan keinginan konyol itu. Kuteruskan langkah seperti biasa tapi lebih lambat dari sebelumnya. Setengah berharap waktu terhenti detik itu juga, pagi jangan datang dulu dan jalanan yang kulalui tidak punya ujung. Bukankah menyenangkan bisa terus berjalan di bawah langit seperti itu ? Bila tiba di tujuan, rasanya seperti ada sesuatu yang akan berakhir. Bagaimana pun, jika terus melangkah, lambat laun kita akan tiba di suatu tempat. Seperti langkah kakiku yang terhenti di depan penjual martabak manis. Selain gorengan, pantai juga ramai oleh gerobak martabak. Jadi kupesan satu lalu berbalik pulang, lagi-lagi mengambil jalan memutar.

***

Di malam yang lain, lama setelahnya, aku sedang membeli pesanan teman di salah satu kedai makan di jalan Hertasning. Sekotak TV yang sedang menyiarkan berita di balik punggungku mengirim sinyal ke telinga, membuatku tidak tahan untuk tidak berbalik. Yang menarik bukan beritanya, aku bahkan tidak tahu itu berita apa, tapi di ujungnya diselipkan sepotong instrumen yang sama persis dengan yang di Samurai X. Dan baru-baru ini, ada acara talkshow yang menampilkan salah satu publik figur yang menceritakan kehidupannya sejak kecil. Jelasnya bagaimana aku tidak tahu, tapi yang penting adalah instrumennya. Gara-gara itu, aku yang tengah membaca di beranda melesat masuk ke ruang tengah untuk memastikan. Benar saja, itu nada yang sama dengan yang di Samurai X.

Latar bunyi dan sungai bintang. Secara teknis, tidak ada kaitan antara keduanya. Tapi jika tiba-tiba mendengarnya entah di mana, yang langsung teringat adalah pemandangan langit waktu itu. Hingga kini, belum pernah lagi kulihat sungai bintang sebanyak malam itu.

Coba dengarkan bunyi yang kumaksud, kalau kau kurang kerjaan tentunya. Hehe. Abaikan!

The Hunter (Kogoeru Kiba)


Detektif Takako Otomichi adalah mantan polisi patroli sepeda-motor, salah satu dari sedikit perempuan di departemennya. Ia dihadapkan pada kasus pembunuhan berantai yang pelakunya tampaknya bukan manusia. Untuk memecahkan kasus ini, Takako dipasangkan dengan Takizawa, detektif senior yang sinis dan tak senang mendapat partner detektif perempuan. Penyelidikan mereka mengarah pada penemuan yang mengejutkan. 

The Hunter adalah karya Asa Nonami, penulis Jepang bestseller pemenang penghargaan Japanese Mystery and Suspense Award. The Hunter memenangkan penghargaan Naoki yang bergengsi pada tahun 1996. Novel ini sudah diadaptasi dalam tiga film. Dua film Jepang dan satu film Korea. Tapi baik film Jepang maupun Korea belum ada satu pun yang saya nonton. Tahunya juga baru belakangan, lepas baca novel ini. Nah, berbeda dari kisah detektif yang biasa saya baca dimana pelaku kejahatan adalah tokoh yang sudah muncul sejak awal cerita dan pembaca diajak menebak-nebak di antara sederet nama, hal semacam itu tidak ditemukan dalam The Hunter. Kita ikut arus saja menelusuri keseharian Takako dan partnernya, Takizawa dalam melacak si pembunuh berantai.

“Beginilah cara orang-orang hidup. Bahkan setelah dikhianati suami atau istri atau anak mereka, bahkan setelah diperdaya, mereka terus melanjutkan hidup. Mereka mungkin hidup dengan penuh kesedihan dan mengalami kepedihan, namun mereka terus melanjutkan hidup.” (Takako, hal. 418)

Cerita dibuka dengan pembunuhan di sebuah restoran keluarga. Korban dibunuh dengan cara keji, dibakar hidup-hidup di tengah keramaian. Pelaku menggunakan sabuk berpengatur waktu yang sudah dirancang khusus dengan memasukkan bubuk peroksida benzoyl ke dalamnya (anak kimia akan menyukai novel ini). Kemudian lanjut ke pembunuhan lain yang sepertinya dilakukan hewan bertaring. Sesekali cerita berpindah ke kehidupan pribadi kedua tokoh. Takako yang dikhianati suaminya dan Takizawa yang ditinggal istrinya serta dibuat pusing oleh kelakuan anak laki-lakinya. Betul-betul partner yang sempurna, satu pembenci laki-laki dan satu lagi pembenci wanita. Tapi jangan harap ada drama romantis macam di film-film, karena mereka berkerja secara profesional. Begitu kasus selesai, mereka kembali ke departemen masing-masing. Ini poin penting yang membuat novel ini tidak keluar dari jalur mystery and suspense.

“Bahkan bagi seorang wanita, pernikahan bukan satu-satunya hal penting dalam hidup” (Takako, hal. 535)

Dalam serial Detektif Conan, masalah selesai kalau Shinichi sudah turun tangan. Yang lain cuma jadi figuran. Satu kasus bisa selesai satu, dua atau tiga hari. Nyatanya, satu kasus bisa memakan waktu berbulan-bulan menguras pikiran dan tenaga. Mulai dari otopsi tubuh korban, wawancara saksi mata, investigasi TKP, penelusuran kaitan satu kasus dengan kasus lain dan bantuan para ahli untuk menguak cara pelaku membunuh. Ditambah lagi rutinitas menulis laporan tiap ada penemuan baru. Pekerjaan berat macam itu tidak bisa dikerjakan oleh satu orang saja, tapi melibatkan kerja sama berbagai departemen kepolisian. Ini poin lain yang membuat novel ini tampak realistis jika terjadi dalam dunia nyata.

Sayangnya, saya tidak begitu nge-klik ketika masuk bagian “pelaku yang tampaknya bukan manusia”. Maksudku, okelah anjing serigala bisa dilatih untuk mengenali dan membunuh korban tertentu tanpa repot-repot mengotori tangan tuannya. Okelah anjing serigala bisa percaya pada orang tertentu yang baru pertama kali ditemuinya. Okelah anjing serigala jauh lebih cerdas dibanding anjing biasa. Okelah anjing serigala bisa melacak satu orang selama berhari-hari tanpa ditemani tuannya. Okelah si Topan (nama Hayate diterjemahkan menjadi Topan) digambarkan sebagai anjing serigala yang besar dan gagah dengan bulu perak yang indah. Tapi apa iya Topan bisa semanusiawi itu ? Apa iya anjing serigala bisa punya inisiatif sendiri ? Setahu saya, yang namanya hewan terlatih selalu didahului perintah tuannya semisal “berdiri”, “duduk”, “kejar” atau “ambil”. Dan apa iya anjing serigala bisa memutuskan untuk harakiri ketika misinya telah selesai ? Well, sepertinya saya gagal paham menangkap ikatan emosi antara manusia dan anjing. Penyebabnya tentu saja karena saya tidak punya pengalaman apa pun tentang hewan yang katanya paling setia itu. Jadi hal-hal semacam itu menjadi tanda tanya bagi saya sebagai pembaca.

“Sialan, tidak ada laki-laki pantas di mana pun, tak peduli ke arah mana kau mencari.” (Takako, hal. 536)
10 July 2015

Burial Rites


“Aku paling kejam kepada dia yang paling kucintai”
~Laxdǽla Saga~

Tahun 1829, di sebuah kota kecil di Islandia Utara, Agnes Magnusdottir menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Karena tak ada penjara untuk menampungnya, Agnes ditempatkan di rumah keluarga Petugas Wilayah Jon Jonsson. Merasa tak nyaman ada pembunuh di tengah mereka, keluarga itu memperlakukan Agnes dengan dingin. Yang mau berusaha memahaminya hanya Asisten Pendeta Thorvarur “Toti” Jonsson yang ditugaskan untuk mempersiapkan Agnes menjemput maut.

Sejak kecil, Agnes hidup dari belas kasihan orang lain dan berkerja berpindah-pindah sebagai pelayan. Kecerdasannya, cara bicaranya yang dianggap asing, dan pengetahuannya tentang kisah-kisah dari buku, membuat orang-orang menjauhinya; nyaris tak seorang pun tahu seperti apa dia sesungguhnya. Agnes jatuh cinta pada Natan Katilsson, orang pertama yang melihat dia sebagaimana adanya, dan dia pun pindah ke pertanian Natan di tepi laut, tempat sunyi yang hanya dihuni segelintir orang. Namun impiannya akan kehidupan yang lebih baik musnah. Natan Katilsson tewas dibunuh, dan Agnes menjadi salah satu tertuduhnya.

Sambil menunggu ajal, Agnes menjalani hidup di tengah keluarga Jonsson, membantu pekerjaan sehari-hari dan meringankan beban mereka. lambat laun sikap keluarga Jonsson mulai mencair. Mereka ikut mendengarkan ketika Agnes menuturkan kisah hidupnya kepada Toti. Hari-hari bergulir tanpa terasa, dan tanggal pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.

Burial Rites adalah karya fiksi yang didasarkan pada kisah nyata. Agnes Magnusdottir, orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia menjadi terpidana atas peran sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Katilsson dan Petur Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara. Tertarik beli novel ini karena memenangkan tiga penghargaan di tahun 2014. Berlatar di Islandia, daratan dingin yang mengingatkan pada Kokonoe Arata (Nine) dalam Zankyou no Terror.

Sempat berpikir kayaknya saya salah beli buku karena lambang yang tertera di halaman pembuka. Tapi setelah beberapa halaman, jadi penasaran dan akhirnya terus membaca sampai selesai. Kisahnya mengalir seperti sungai kecil, tak banyak riak, tak ada ketegangan dan tidak ada twist. Tapi setelah selesai, kisahnya masih tertinggal dan bermain-main di kepala. Penuturan Hannah Kent yang mengalir begitu saja membuat yang baca ikut hanyut dalam cerita. Suka deskripsinya yang detil tentang masyarakat pedesaan Islandia mulai dari cara menyabit rumput, memanen padi, memerah susu, memotong daging, membuat keju, dan menyajikan kopi. Kopi pada zaman itu dikategorikan minuman mewah karena harganya yang mahal.

Tokoh-tokohnya didasarkan pada hasil riset sejarah dan penafsiran penulis. Agnes Magnusdottir punya kemampuan membaca yang sangat tinggi. Tapi pengetahuan ilmiah yang dia dapat dari buku membuatnya ditakuti masyarakat dan sering disebut penyihir. Pada masa itu perempuan barat dilarang banyak membaca atau tahu banyak hal karena sistem menuntut laki-laki harus lebih pintar dari perempuan.

Karakter kedua tokoh abu-abu, Ages maupun Natan. Agnes memang cerdas, tapi tak banyak pilihan bagi pelayan yang hidup di daratan dingin dan bergantung pada hasil pertanian. Hanya Natan yang memahami dirinya dan mengajarinya banyak hal. Di sisi lain, cinta juga bisa membuat perempuan cerdas jadi bodoh. Natan pun tak lebih baik, dijuluki keturunan penyihir karena dia jenius yang ahli meramu obat, mengobati penyakit dan menolong banyak orang. Dia dibutuhkan sekaligus dibenci orang-orang. Tapi seperti kata Agnes, Natan adalah lelaki brengsek. Di awal-awal saya suka karakternya yang digambarkan sebagai pahlawan oleh Agnes. Macam pangeran yang akan menyelamatkan Cinderella dari kubang penderitaan. Tapi lama kelamaan mulai kelihatan brengseknya. Di akhir cerita dipaparkan kronologis pembunuhan dan alasan yang melatarinya. Mungkin itulah mengapa dikatakan, “Aku paling kejam kepada dia yang paling kucintai.”

Kenalan dengan John Green

Paper Towns 
Saat Margo Roth Spiegelman mengajak Quentin Jacobsen pergi tengah malam –berpakaian seperti ninja dan punya daftar panjang rencana pembalasan– cowok itu mengikutinya. Margo memang suka menyusun rencana rumit dan sampai sekarang selalu beraksi sendirian. Sedangkan Q, Q senang akhirnya bisa berdekatan dengan gadis yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari jauh. Hingga pagi datang dan Margo menghilang lagi. Ada beberapa petunjuk yang ditinggalkan Margo dan semuanya untuk Q. Q sadar bahwa semakin ia dekat dengan Margo, semakin ia tidak mengenal gadis itu. 

An Abundance of Katherines 
Tipe cewek yang disukai Colin Singelton adalah cewek-cewek bernama Katherine. Dan kalau soal Katherine, Colin selalu jadi yang tercampak. Setelah diputuskan oleh Katherine XIX, cowok genius yang hobi mengutak-atik anagram ini mengadakan perjalanan panjang bersama sahabatnya, Hassan. Collin ingin membuktikan teori matematika karyanya supaya dapat memprediksi hubungan, menolong para Tercampak dan akhirnya mendapatkan sang gadis. 

Looking for Alaska 
Miles “Pudge” Halter sangat suka kata-kata terakhir yang terkenal—dan bosan dengan kehidupannya yang biasa saja. Ia masuk sekolah berasrama bernama Culver Creek untuk mencari apa yang disebut “Kemungkinan Besar”. Hidupnya jungkir balik di sekolah itu, yang kadang gila, tidak stabil dan tak pernah membosankan. Sebab di sana ada Alaska Young, yang menawan, pintar, lucu, kacau dan sangat memikat. Alaska menarik Pudge memasuki dunianya, melontarkannya ke dalam “Kemugkinan Besar”. Dan hidupnya tak pernah sama lagi.

Mulai baca novel-novel John Green setelah nonton film rekomendasi teman berjudul The Fault in Our Stars. Novel pertamanya yang saya baca adalah Paper Towns, dicomot dari Gramed karena suka dengan judul, desain cover dan sinopsisnya yang unik. Setelah itu lanjut ke An Abundance of Katherines kemudian Looking for Alaska. Looking for Alaska sengaja ditaruh di akhir karena banyak yang bilang bagus. Ibarat makanan, katanya bagian paling enak dimakan belakangan. Sayangnya tidak selalu seperti itu, terlebih untuk jenis makanan yang baru pertama kali kau makan. Tapi berbicara soal makanan, jangan biasakan menyimpan bagian yang paling kau suka di akhir, karena bisa jadi ada orang lain yang akan memakannya (pengalaman, hihihi). Ada lagi dua novel John Green yang lain berjudul Let It Snow dan Will Grayson. Tapi tidak minat beli yang terakhir karena nampaknya bertema “pelangi”.

Ketiga novel masuk kategori teenlit atau remaja dan romance yang bercampur petualangan (padahal yang baca bukan remaja lagi, hikz!). Tokoh utama punya karakter yang mirip-mirip; cerdas, jenius dan kutu buku. Kemudian karena sesuatu hal, si kutu buku harus melakukan perjalanan ditemani sahabatnya demi mencari atau membuktikan sesuatu. Di Paper Towns, Quentin menyabotase van milik orangtuanya bersama Ben dan Radar untuk melacak keberadaan Margo. Sementara Colin ditemani Hassan mengadakan perjalanan panjang, lagi-lagi mengendarai mobil, untuk membuktikan teori matematikanya dan mengobati patah hatinya dicampakkan Katherine XIX.

Terus terang, saya lebih menyukai bagian komedi dan cerita selama perjalanan dibanding tujuan akhir tokoh utama. Tak masalah apakah Q berhasil menemukan Margo dalam keadaan hidup atau mati, tak ambil pusing bagaimana nasib model matematika Colin dengan Katherine-Katherine-nya, atau apakah Pudge menemukan “Kemungkinan Besar”nya, kisah Q dan Colin menghibur karena kehadiran Ben, Radar dan Hassan sebagai karakter pendukung. Dialog lucu yang disertai kekonyolan selama perjalanan membuat saya senyam-senyum selama membaca. Saya suka cerita lucu, tapi tidak melucu terus seperti novel komedi. Suka drama, tapi bukan drama melulu dari awal sampai akhir. Dan suka nuansa kelam tapi tidak sampai membuat depresi. Nah, John Green pandai merangkum semua itu dalam Paper Towns. Saya puas dengan akhir ceritanya. Puas dengan keputusan yang diambil oleh Q maupun Margo. Berbeda dengan Looking for Alaska.

Tokoh kutu buku dalam Looking for Alaska masih ada, tapi tidak ada lagi perjalanan panjang mengendarai mobil. Diganti dengan kejahilan-kejahilan remaja di sekolah berasrama. Pun, persahabatan antara Pudge dan Kolonel terasa hambar, tidak sekuat Colin dan Hassan atau Q dengan Ben dan Radar. Selain itu, Miles “Pudge” Halter adalah karakter yang brengsek. Tak masalah baginya meminta satu cewek jadi pacarnya sementara ia mencintai cewek lain. Sulit menahan diri untuk tidak memutar bola mata selama membaca pikiran Pudge yang terus-terusan didominasi asumsi akan perasaan Alaska padanya. Alaska juga lebih tepat disebut menjengkelkan dibanding memikat. Kacau, iya. Di Paper Towns saya simpati dan kasihan pada sosok Margo yang berpendirian teguh, cerdas, punya orangtua lengkap tapi terpental dari keluarganya sendiri. Berbeda dengan Alaska yang sepertinya sengaja membuat dirinya rumit dan tak bisa dipahami. Jika diurutkan, saya paling suka Paper Towns kemudian An Abundance of Katherines dan terakhir Looking for Alaska.

Her Sunny Side (Hidamari no Kanojo)

 
Setelah sepuluh tahun, aku bertemu kembali dengan teman masa kecilku. Berbeda dengan dirinya dulu yang dijuluki ‘Anak Paling Bodoh di Sekolah’ dan sering ditindas, kini ia bertransformasi menjadi seorang gadis yang serba bisa, sekaligus sukses dalam pekerjaan. Tapi ternyata gadis itu menyimpan sebuah rahasia masa lalu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit rahasia itu terbongkar.

Novel Koshigaya Osamu ini muncul pertama kali pertengahan 2013, tapi waktu itu tidak minat beli karena sinopsisnya yang ala drama komik jaman SMP. Hingga kemudian ketemu Bonus Track yang boleh dibilang tidak mengecewakan. Mulailah googling novel-novelnya yang lain dan dapat info tentang Her Sunny Side. Katanya novel ini terjual satu juta copy di Jepang dan sudah diangkat ke layar lebar. Matsumoto Jun dan Ueno Juri berperan sebagai tokoh utama. Sayangnya, setelah beberapa hari keluar masuk toko buku, stoknya selalu kosong. Akhirnya ditempuh jalur ask the audience dan phone a friend :P. Maksudnya pesan online di salah satu situs di internet. Nah, apakah novel ini mampu menghibur layaknya Bonus Track ? Sayangnya tidak.

Bonus Track menghibur karena persahabatan antara Tetsuya dan Ryota serta usaha mereka menemukan pelaku tabrak lari. Karakter Ryota yang lucu dan polos sering memancing tawa. Sedikit sekali porsi romantis di dalamnya. Sementara Her Sunny Side adalah romance yang dibumbui fantasi. Paruh pertama diawali dengan baik dan bikin penasaran. Tapi pertengahan hingga akhir mulai bertele-tele dan sering mengulur waktu. Ibarat mie yang dimasak terlalu lama; mengembang dan tidak enak dimakan. Awalnya saya kira “rahasia masa lalu” yang dimaksud adalah sesuatu yang kelam, menyakitkan dan tak bisa dimaafkan. Sejenis itulah. Ternyata sama sekali berbeda dari perkiraan. Jadi sedikit kecewa mengingat perjuangan untuk mendapatkan buku ini.
 
;