24 November 2011

Percakapan Konyol

Lokasi : Kompleks Kos Mahasiswa
Waktu : Maghrib
Pemeran Utama : Dua mahasiswi
Figuran : Seorang lelaki, seekor kucing dan saya

Ceritanya, dua orang mahasiswi sedang bercakap-cakap dari dua rumah yang berdekatan. Figuran lelaki sedang duduk di sebuah tanah kosong sambil memetik gitar dan minum kopi. Saya sedang membaca dan menyaksikan dialog tersebut lewat jendela kamar.

Mahasiswi 1    : (berteriak pada mahasiswi 2 yang berada di sebelah rumah kosnya) 
                             Bagaimana caranya ini obat diminum ?
Mahasiswi 2    : Dua kali sehari
Mahasiswi 1    : Oh, maksudnya satu hari saya makan dua biji ?
Mahasiswi 2    : Iya, kau makan begitu sudah
Mahasiswi 1    : Yayaya, nanti saya tulis di bungkusannya 1 x 2
Mahasiswi 2    : Salah kau, bukan 1 x 2, tapi 2 x 1
Mahasiswi 1    : Sama saja, hasilnya 2
Seorang lelaki : (merasa terganggu) Woooiiiiiii....
Saya                : (sambil guling-guling)  Hmmmpppppuahahahahahahahaha...
Kucing             : Miawww..miaw....
23 November 2011

Memori Pertarungan Terakhir

Baru saja Closing Ceremony Sea Games XXVI berakhir dengan pesta kembang api yang mengagumkan. Meski hanya melihatnya lewat sekotak TV 14 inchi, tapi saya bisa merasakan kemeriahan dan kebanggaan di dalamnya. Setelah penantian empat belas tahun tahun, akhirnya gelar juara umum dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan begini, selesai sudah hari-hari nonton bersama kawan-kawan. Selesai sudah hari-hari dimana teriakan macam orang kesetanan sambil menunjuk-nunjuk TV, dianggap biasa. Selesai sudah masa-masa mendebarkan, detik-detik ketika gemuruh jantung penonton berpacu dengan peluh para atlet Indonesia yang mati-matian menumbangkan lawan lewat pertarungan sengit. Sea Games kali ini sukses menyalakan sumbu nasionalisme dalam diri saya yang hampir kolaps diisi berita-berita yang menggambarkan carut marutnya negeri ini setiap hari.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali bergairah menonton pertandingan olahraga yang melibatkan Indonesia di dalamnya. Saat Indonesia berlaga melawan Malaysia dalam pertandingan sepakbola beberapa tahun lalu, ketika rakyat Indonesia marah karena kasus laser, saya tidak begitu peduli. Bahkan setelah beberapa hari Sea Games berlangsung pun saya masih malas-malasan mengikutinya. Hingga suatu malam saya menyaksikan Indonesia bertarung melawan Thailand dalam pertandingan sepakbola. 

Saat itulah saya langsung jatuh cinta pada tim Indonesia, terlebih pada permainan dan semangatnya. Beberapa kali tim Indonesia jatuh bangun menghadapi permainan keras dari Thailand hingga kemudian peluit panjang ditiup, tanda permainan selesai dengan skor memihak kepada tim Garuda Muda. Saya jadi teringat kata-kata Andrea Hirata, bahwa mencintai sepak bola, adalah 10 % mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air. Karena dalam sepak bola kita membawa sebuah nama.

Setelah malam itu, saya jadi bersemangat menyaksikan pertandingan lain yang disiarkan di TV seperti bulutangkis dan bola voli, dua jenis olahraga yang saya gemari. Saking semangatnya, saya sering menolak ajakan teman untuk jalan-jalan atau hunting buku dan lebih senang duduk sendirian di depan TV menyaksikan pertarungan para atlet. Terkadang saya lebih senang nonton sendiri agar bisa bebas berekspresi seperti guling-guling di kasur atau menggigit bantal menahan teriakan.  

Akhirnya, setelah menyatakan “Goodbye Vietnam” pada pertarungan memperebutkan tiket final, Indonesia akan bertatap muka kembali dengan tetangga sekaligus –yang orang-orang sebut- musuh bebuyutannya, Malaysia. Dari hasil baca-baca di Yahoo, FB dan Twitter, pertandingan ini disebut-sebut sebagai sebuah pembalasan dendam sekaligus pertarungan berdarah demi mengulang sejarah 20 tahun yang lalu, ketika Indonesia meraih medali emas setelah mengenyahkan Malaysia tahun 1991. 

Selanjutnya, tidak perlu berpanjang lebar menggambarkan 120 menit yang melelahkan. Pertarungan mati-matian, menguras tenaga dan emosi, jatuh bangun menyerang dan mempertahankan bola, membuat wasit berkali-kali mengeluarkan kartu kuning bagi kedua tim. Menegangkan. Berkali kali saya memegang dada, mencoba meredakan detak jantung yang bergemuruh. Dan hanya bisa tersenyum pahit melihat dua gol dari Indonesia tidak sah karena perangkap offside. Jari-jari tangan saya hampir kaku karena tidak sadar dikepal dalam waktu yang lama. 

Setelah skor imbang 1-1 dan setelah babak tambahan 2 kali 15 menit habis, akhirnya tim Indonesia benar-benar dihadapkan pada pertarungan dramatis, mengulang kejadian 20 tahun silam, adu penalti. Selanjutnya yang saya ingat adalah mulut saya tidak henti-hentinya merapal doa kepada yang bersemayan di langit ketujuh, agar kemenangan berlari ke pelukan Indonesia. Beberapa teman memilih keluar dari kamar dan hanya mendengar di balik pintu, mereka tidak mau melihat partarungan terakhir itu. Sehingga yang bertahan memelototi TV hanya saya dan dua orang teman. 

Lalu kemudian, tendangan terakhir, yang akan menjadi penentu apakah skor masih imbang atau akan mengakhiri pertandingan dan menyerahkan medali emas pada Malaysia. Karena dua pemain Indonesia gagal memasukkan bola. Sementara dari pihak malaysia juga mengalami satu kali kegagalan setelah tendangan pemainnya dimentahkan oleh penjaga gawang Indonesia. Satu meter dari tempat saya duduk, lewat TV 14 inci itu saya melihat tendangan terakhir kapten Malaysia sempat membentur kaki penjaga gawang Indonesia, Kurniawan Meiga, lalu kemudian dengan pelan bola itu bergulir melewati garis dan akhirnya dipeluk net gawang. 

Kamar hening, Senayan senyap, puluhan ribu suporter Indonesia terdiam. Lalu sedetik kemudian, tim Malaysia meneriakkan kemenangan sambil berlari ke arah pendukungnya. Bersamaan dengan itu, rasa sesak dan gemuruh yang melanda jantung dan paru-paru saya serta merta terlepas dan menghilang entah kemana. Saya tidak tahu itu kelegaan atau apa tapi seperti ada beban yang terangkat seiring dengan berakhirnya pertandingan yang memukau dan berakhir menyakitkan tadi. Saya menyaksikan para penonton menangis sambil tetap melambaikan bendera merah putih, saya menoleh ke arah dua teman saya yang bersandar di dinding dan memandang kosong ke arah TV. Tidak ada air mata, tapi saya tahu sebenarnya kami pun ikut menangis. Menangis dengan cara berbeda. 

Sebelum berangkat tidur, saya masih sempat keluar kamar menatap langit yang tengah dilukis kilat dan membuat beberapa area terang benderang selama beberapa detik. Cahaya putih itu muncul berganti-gantian, timbul tenggelam di angkasa. Layar TV menayangkan sisa-sisa pertandingan, masih terlihat satu per satu raut wajah para pemain sebelum akhirnya saya mematikan TV. 

"Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya."
~Ayah Andrea Hirata, Sebelas Patriot~
21 November 2011

Postulat Pertama

Dunia ini penuh dengan orang-orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat (Andrea Hirata)

Laut, Langit, Bulan

Malam itu adalah malam terakhir di kota kecilku. Sudah sepekan lebih aku menghabiskan waktu bersama keluarga untuk merayakan Id Adha. Sepulang dari acara syukuran kelulusan seorang teman, kularikan motor ke arah barat, melewati toko milik orang-orang Tionghoa, berbelok di pertigaan lapangan, melintasi patung pejuang yang telah puluhan tahun berdiri dan terakhir belok kanan, masuk ke gerbang dermaga. Area sekitar dermaga dibatasi pagar besi. Sejak awal, aku memang sudah berencana mengunjungi dermaga itu sebelum kembali lagi ke kota ini.

Dermaga itu gelap dan sepi, hanya satu dua orang berlalu lalang. Setelah melewati pos jaga, aku meninggalkan motor di sisi kanan jalan. Jauh di seberang laut, pulau Gusung berkelap-kelip oleh cahaya lampu. Pulau itu terlihat indah di malam hari. Lalu apa yang kucari di sana ? Hanya menemui kawan lama. Sebuah benda bulat yang mengambang di angkasa. Yang mengisi kekosongan ketika langit dirantai gelap. Tergantung sempurna ribuan mil dari tempatku berdiri. Samar seperti dilapisi kabut. Bulan.

Dermaga itu adalah tempat yang paling tepat menikmati bulan saat fase purnama penuh, terutama ketika baru muncul di atas cakrawala. Laut seperti dicelup tinta hitam, kemudian menjelma menjadi cermin saat disiram rembulan. Laut dan langit malam adalah perpaduan lukisan yang menakjubkan. Indah, magis dan dingin. Berada di antara lukisan alam itu, membuatku seperti tersedot ke tempat yang jauh. Seperti dihisap sebuah Black Hole, melesat meninggalkan bima sakti dan terdampar di galaksi lain. Meski kenyataannya, aku masih terparkir di antara nelayan yang bersiap mengarungi laut bersama dinginnya malam. Kenyataannya, kakiku tak pernah beranjak dari tempat itu. Masih di antara orang-orang memandang langit dari geledak kapal, meraba-raba cuaca. Jauh di langit utara, petir menyemburkan cabang-cabang listrik ribuan volt, melukis angkasa dengan cahaya putih berkilau.

Aku berdiri di bibir dermaga, memandang laut yang pekat. Dua meter di bawah sana, karang-karang dibelai lembut riak laut. Tak ada gemuruh ombak, semuanya tenang, dan dingin. Bahkan orang-orang yang melintas pun tak bersuara. Aku menengadah menatap langit. Lalu, sebuah percakapan yang ditinggalkan waktu, muncul di antara riak-riak air. Sebuah enigma.

Enigma

Between sun and moon, i’m the moon
Moon ?
The Moon!

Kutatap tajam ke arah langit, melewati troposfer, menembus lapisan ozon, mesosfer dan berakhir di hadapan bulan, meminta pembenaran. Tapi tiba-tiba, bulan itu retak. Retakan yang membentuk garis bercabang ke semua sisi lengkungnya. Sedetik kemudian, kepingannya pecah berhamburan, saling menjauh, memenuhi angkasa raya.

Angin membisu
Aku membeku

Murid Bukan Sasak Tinju

Belakangan ini berita-berita nasional sering menyangkan berita kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Di antara siswa-siswa yang menjadi korban, ada yang sampai lumpuh akibat pukulan dan tendangan gurunya. Saya juga sempat melihat sebuah rekaman yang yang memperlihatkan seorang guru memukul wajah muridnya sampai terbanting ke tanah. Tidak sampai di situ, sang guru bahkan menambahkan tendangan ke murid tersebut. Kasus lain juga menyebutkan bahwa seorang kepala sekolah menghukum muridnya yang tidak mengerjakan PR dengan mendudukkannya di tengah lingkaran api yang diberi bensin. Hal itu membuat siswa tersebut trauma. Ada juga seorang murid yang tidak berani lagi keluar rumah dan hanya mengurung diri di kamar setelah dihukum berdiri oleh gurunya.

Guru adalah titik pusat perhatian murid di lingkungan sekolah. Setiap tindak tanduknya kelak besar kemungkinan ditiru oleh para murid. Karena itulah seorang guru selalu dituntut untuk menjadi teladan. Tapi sayangnya, tidak semua guru adalah seorang pendidik. Guru yang gemar menjadikan murid-muridnya sebagai sasak tinju tidak pantas mendapat gelar itu. Menjadi seorang guru tidaklah semudah yang terlihat. Meski telah menempuh pendidikan di perguruan tiggi selama kurang lebih empat tahun dan telah menjalani magang di berbagai sekolah serta telah diberi keterampilan mengajar, tidak langsung membuat seseorang bisa menjadi guru yang sebenar-benarnya.

Saya sempat beberapa kali terlibat diskusi dengan teman-teman yang mengambil jurusan keguruan atau yang sudah menjalani magang di beberapa sekolah atau teman yang sudah menjadi guru di sebuah sekolah. Mereka semua mengaku bahwa menjadi guru itu sangat berat. Selain harus menguasai materi, menjaga sikap dan wibawa, mereka juga harus senantiasa melatih kesabaran. Dan inilah yang paling sulit yaitu menjaga kestabilan emosi terutama jika menghadapi siswa yang nakal. Dari semua tingkatan, mereka mengatakan bahwa yang paling sulit adalah mengajar murid SD. Tentu saja, mengajarkan puluhan anak hal-hal dasar seperti mengeja huruf, menulis, dan berhitung memang menuntut keahlian dan kesabaran yang luar biasa.

Saya pernah bertanya, apa yang mereka lakukan jika berada di puncak emosi menghadapi menghadapi kenakalan siswanya ? Beberapa mengatakan hanya menggebrak meja, atau memukulkan sapu ke meja sampai sapu itu patah. Tapi pantang baginya melakukan kekerasan fisik pada murid sehingga yang menjadi korban kemarahannya adalah sapu dan meja. Hal yang menurutnya paling fatal yang pernah dia lakukan adalah mencubit seorang murid dan memarahinya di depan kelas. Katanya murid itu sampai menangis tapi teman saya bilang bahwa tangisan itu bukan karena sakitnya cubitan, tapi hatinya yang sakit karena dipermalukan di depan umum. Lihat, betapa kesabaran adalah sebuah harga yang sangat mahal bagi seorang guru.

Sejak sekolah dari SD sampai SMA, hukuman yang bersifat kekerasan yang pernah saya saksikan hanya sebatas tamparan di wajah. Tidak pernah lebih dari itu. Tapi itu tetap membuat hati saya miris dan sejujurnya, wibawa seorang guru berkurang di mata saya jika dia sudah berani memukul. Saya tidak lagi hormat atau segan padanya tapi turun tingkat menjadi takut padanya. Beberapa kali saya melihat teman-teman saya ditampar karena hal-hal yang sebenarnya sangat sepele. Hati saya ikut sakit.
Guru adalah contoh, teladan bagi siswanya. Mungkinkah siswa bisa taat aturan untuk tidak merokok dalam sekolah jika gurunya saja bebas merokok dalam kelas dengan alasan tidak bisa berpikir tanpa rokok ? Mungkinkah menjadikan seorang siswa gemar membaca jika gurunya saja hanya membaca satu buku pegangan untuk satu mata pelajaran ? Mungkinkah menumbuhkan siswa yang bermoral dengan guru yang kerap menjadikan muridnya sebagai sasak tinju ?

Bisakah kekerasan mengubah seorang murid ?
Mungkin ya, mungkin tidak. Entahlah. Seorang teman pernah mengatakan bahwa andaikan dulu dia tidak ditampar oleh gurunya mungkin dia tidak akan berubah. Tapi saya pribadi tidak sepakat. Meski itu ‘hanya’ sebuah tamparan. Karena saya pun pernah mengalaminya sewaktu masih SD. Bukan sebuah tamparan, tapi pukulan penggaris kayu satu meter di kaki karena tidak bisa menjawab soal matematika di papan tulis. Hasilnya, saya semakin membenci matematika dan juga guru saya. Untunglah, hubungan saya dan matematika berubah tepat di awal masa SMA oleh seorang guru yang agak nyentrik, senang bercanda dan tegas. Dia tidak pernah memukul saya dengan penggaris satu meter tapi memancing rasa penasaran saya bagaimana memecahkan soal. Jika saya tertarik saya pasti akan berusaha keras mencari tahu. Sejak saat itu saya menyukai matematika bahkan berencana masuk jurusan matematika saat kuliah walaupun karena sebuah alasan ‘konyol’, akhirnya saya memutuskan masuk jurusan lain. Saya tidak akan melupakan jasa guru itu. Satu-satunya guru yang membuat saya menyukai matematika.

Mendidik siswa dengan cara menjadikannya sebagai sasak tinju tidak akan mengubah generasi bangsa ini menjadi lebih baik. Justru akan melahirkan predator-predator baru yang mungkin saja lebih sadis dari sebelumnya.
04 November 2011

'Iedul Adha

Cuma mau ngucapin Taqabballallahu Minna Wa Minkum, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Selamat hari raya ‘Iedul Adha 1432 H. ^_^

Yang Tidak Bertarget

Baru saja saya selesai sms-an dengan seorang senior yang beberapa hari lagi akan menyempurnakan separuh diennya. Bulan ini undangan menikah datang beruntun dari teman dan senior-senior saya. Sekarang saja sudah ada tiga undangan. Bulan depan akan menyusul dua teman. Entah siapa lagi bulan berikutnya. Undangan pernikahan adalah berkah tersendiri bagi saya. Bisa menjadi ajang silaturahim sekalian wisata kuliner dari makanan berat sampai pencuci mulut. Selain itu juga bisa dibungkus untuk dibawa pulang. :D

Menikah adalah sunnah Rasulullah, sepertinya semua orang juga tahu. Tapi ternyata ada segelintir manusia yang lebih memilih hidup sendiri. Saya pernah membaca kisah seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak menikah. Saya juga dibesarkan oleh seseorang yang memilih hidup sendiri. Sejak kecil saya diasuh oleh nenek yang merupakan tante ayah saya. Ibu pernah bercerita bahwa dulu banyak pemuda yang datang melamar nenek tapi tak satupun yang diterimanya. Saya tidak pernah menyakan alasannya karena kupikir itu adalah urusan pribadi. Tapi apapun alasannya itu adalah pilihan nenek. Dan lagi nenek sendiri tidak pernah mempermasalahkan kesendiriannya. Bedanya dengan para ulama, adalah mereka tidak menikah karena terlalu sibuk menuntut ilmu. Jangankan menikah, untuk makan saja mereka tidak ingat. Kalau yang lain mungkin punya alasan sendiri kenapa memilih untuk tidak menikah.

Belakangan ini saya juga sering terjebak pembicaraan atau diskusi seputar pernikahan. Mungkin karena pengaruh undangan-undangan tadi, jadi kalau sedang ngumpul dengan teman-teman tanpa disadari topiknya berubah haluan. Yang awalnya membahas masalah rencana lanjut studi, atau tentang buku yang baru dibeli, atau tentang rencana jalan-jalan tiba-tiba berpindah ke area pernikahan. Kalau sudah begitu saya cuma nyengir dengar mereka bercerita. Kadang saya salut dengan beberapa teman saya yang sudah punya rencana atau setidaknya bayangan akan kehidupan pribadinya. Bahkan ada seorang teman yang menargetkankan menikah paling lambat dua tahun ke depan. Persoalan dengan siapa dia menikah itu tidak penting, yang difokuskan adalah dia berani menargetkan akan membangun rumah tangga dua tahun lagi. Bahkan dia sudah berencana mempersiapkan diri menjadi seorang ibu di usianya yang masih muda itu. Wow...

Sementara saya, jangankan mempersiapkan diri menjadi ibu, menikah saja adalah hal yang belum pernah saya masukkan dalam target rencana hidup. Saya bukannya tidak ingin menikah tapi belum ada keinginan untuk itu. Entah kenapa tapi rasanya itu adalah hal yang sangat...sangat...jauh. Lebih jauh dari target jangka panjang. Pertama, saya baru dua putaran di usia kepala dua, bagi saya itu terlalu cepat. Terserah orang mau bilang saya tidak punya persiapan atau bagaimana. Terserah, itu benar. Kedua, saya masih menyukai kesendirian saya. Saya masih ingin belajar dan bepergian. Saya tidak mengatakan bahwa menikah membuat orang terkekang tapi tak bisa dipungkiri bahwa setelahnya, semua tidak akan lagi sama.

Ada yang bilang, nikmatilah hidupmu saat ini karena akan datang masa ketika kau menginginkan waktu berputar kembali. Jadi mari nikmati masa ini. Nikmati saja kesendirian ini.

Bensin...oh...bensin

Setelah sehari di kampung untuk idul adha dengan keluarga, kehidupan mulai terasa ‘sulit’. Halah lebay.....maksudnya begini, kampung saya itu cukup terpencil karena dikelilingi oleh laut. Transportasi ke sana juga cukup sulit karena harus menggunakan kapal laut. Barang-barang di sini juga kebanyakan didatangkan dari kabupaten lain. Hasil utama kampung saya adalah dari laut. Di sini mudah mendapatkan ikan. Beda dengan kota Daeng apalagi kompleks tempat saya kos, sangat sulit makan hasil laut. Kalaupun ada sudah tidak segar karena kelamaan dalam peti es.

 Eh, tapi bukan itu yang membuat hidup jadi ‘sulit’. Ini lebih dikarenakan kelangkaan BBM. Kebanyakan kendaraan penduduk adalah motor . kemana-mana naik motor. Sementara di sini bensin hanya dijual eceran oleh msyarakat. Tidak ada SPBU yang di kota Daeng seperti jamur di musim hujan. Dimana-mana bisa ketemu SPBU jadi tidak perlu khawatir kehabisan bensin. Sementara di sini, bensin menjadi the most wanted. Semalam saja antrian begitu panjang di salah satu rumah penjual bensin. Dan saya adalah salah satu antrian di sana. Tapi setelah beberapa lama menunggu tiba-tiba si penjual mengumumkan bahwa bensin telah habis. Bagooosss....

Setelah itu saya keliling lagi cari bensin, tapi setelah mutar-mutar di beberapa tempat, hasilnya sama. Jadi pulanglah saya dengan motor yang sudah sekarat. Kalau begini terus, bagaimana caranya silaturahim kalau id adha nanti. Masa jalan kaki ???

Telepon di Sore Hari

Sore ini, di luar hujan turun satu-satu, gerimis. Saat mata saya beberapa detik kemudian sudah akan terpejam, tiba-tiba hp berdering dengan ringtone bunyi tembakan beruntun seperti dalam film-film perang. Sontak saja mata saya langsung melek. Dan yang paling tidak enak kalau sudah hampir tertidur tiba-tiba dikagetkan oleh sesuatu adalah kepala langsung nyeri. Saya meraba-raba mencari ponsel sambil menahan nyeri di kepala. Aha, ketemu. Di layar ponsel tertera sebuah nama, teman lama. Kami pertama kali berteman saat kelas dua SMA sekitar lima tahun yang lalu. Setelah lulus SMA karena beberapa hal kami saling menjauh. Kami menempuh pendidikan di universitas yang berbeda. Kami juga wisuda di bulan yang sama walau berbeda hari.

Kami sangat jarang bertemu. Komunikasi pun hanya sesekali lewat sms. Setelah beberapa menit terlibat dalam percakapan kaku, tiba-tiba kebiasaan lima tahun lalu muncul. Dulu kami sering saling mengejek lewat telepon, saya selalu mengejeknya begini, “hey, hati-hati kalo jalan nanti dikira tiang listrik”. Dan dia selalu mengejek saya begini, “jangan lupa minum susu sebelum tidur biar kamu lebih tinggi sedikit” . Kami sama-sama tertawa di telepon. Percakapan ditutup dengan pesan darinya agar saya pergi cuci muka dan tidak tidur sore. Kebiasaan buruk, katanya. Dari mana pula dia tahu saya sedang tidur sore. Oh, mungkin dari suara, orang kalau baru bangun suaranya terdengar berat. Setelah telepon ditutup saya duduk dan merenung sebentar. Dia adalah seorang teman. Tidak akan kurang dan juga tidak akan lebih dari yang seharusnya. Banyak hal yang menyenangkan di masa lalu. Dan beberapa di antaranya, saya tak berharap itu kembali. Kemudian saya bangun dan pergi mencuci muka.

Golok Seliwa

Pagi ini, saat menonton TV,  saya takjub menyaksikan salah satu jenis beladiri yang menggunakan golok. Namanya Golok Seliwa. Saat itu ada seorang bapak yang merupakan guru dari seni bela diri ini. Kalau tidak salah namanya Babe Husein. Saat diwawancarai dia menyebutkan bahwa awalnya dia tidak berniat untuk mengajarkan golok seliwa pada orang di luar garis keturunannya karena Golok Seliwa adalah seni beladiri yang sudah  turun temurun. Tapi karena anak-anak dan saudaranya tidak ada yang tertarik mempelajari seni beladiri tersebut sehingga demi menjaga agar tidak punah, dia pun mulai mengajarkan golok seliwa pada orang lain.
Selama ini saya tidak pernah tertarik pada golok karena bagi saya pedang samurai jauh lebih keren. Tapi setelah menyaksikan bagaimana kemampuan babe husain dan para muridnya melakukan gerakan-gerakan golok seliwa, saya benar-benar kagum. Keren sekali. Gerakannya cepat dan luwes seakan-akan menyembunyikan golok. Awalnya golok itu masih dalam sarung, eh tiba-tiba setelah beberapa gerakan, goloknya sudah keluar dari sarungnya. Yang awalnya di tangan kiri entah kenapa beberapa detik kemudian sudah pindah ke tangan kanan. Saya tidak melihat kapan golok itu pindah saking cepatnya gerakan mereka. Yang paling mengagumkan adalah gerakan menyembunyikan golok. Hanya dalam beberapa detik, golok yang sebelumnya masih dalam sarung kemudian sudah berada di leher lawan. Benar-benar membuat konsentrasi lawan pecah. Pokoknya keren. Saya tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Intinya...keren. Beberapa dari murid bapak itu adalah anak-anak perempuan. Mereka melakukan gerakan silat ini seperti orang yang menari dan memakai golok. Luwes dan cepat. Pokoknya keren...keren...

Terakhir, saya sepakat sama presenternya bahwa seni beladiri ini harus dilestarikan. Jangan mengaku anak bangsa kalau tidak bisa mencintai budaya sendiri.
 
;