24 July 2014

Minal 'Aidin Wal Faizin

Minal Aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin, rasanya tidak ada yang lebih popular dari kalimat ini saat momen idul fitri datang hingga habisnya bulan Syawal. Ada yang menarik untuk dikritisi dari kalimat ini. Tentang susunan kalimatnya, makna yang terkandung di dalamnya, begitu pun tentang kebiasaan orang dalam melafalkan dan menuliskannya. Dan termasuk asal usul kalimat ini, sekaligus hukum melafalkannya sebagai ucapan saat datang idul fithri. 

Tentang lafal dan tulisan, kita sering dapatkan ada beberapa versi ungkapan yang terpajang di spanduk, kartu lebaran dan media cetak, begitupun dalam pelafalan. Seperti; minal aidzin wal faizin, minal aizin wal faidzin, atau minal aizin wal faizin. Tak semua memahami asal dari kalimat tersebut, atau sekadar tulisannya dalam versi Arab juga jarang didapatkan. Yang ada biasanya versi tulisan latin dengan pilihan font yang seperti huruf arab. Sebagian lagi mendapatkan hanya dari mulut ke mulut, sehingga ada sisi kesalahan ucap secara bahasa. Supaya lebih jelas, jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia sekurang-kurangnya berbunyi “Minal ‘aidin wal Faizin”.

Yang kedua, dari susunan kalimatnya. Dhahir kalimat tersebut sepertinya tidak menunjukkan sebagai jumlah mufiidah (kalimat sempurna) yang setidaknya memenuhi unsur Mubtada’ dan Khabar jika jumlah ismiyah (kalimat yang diawali dengan kata benda), atau fi’il dan fa’il jika berupa jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja).

Mungkin benar apa yang dikatakan Qaris Tajudin dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama islam maupun Kristen.

Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata. 

Ungkapan tersebut seperti penggalan dari sebuah kalimat, atau ada yang tersembunyi di bagian awalnya. Mungkin dengan mengucapkan penggalan kalimat tersebut, yang diajak bicara sudah dianggap paham maksud dan arti secara keseluruhan. Dan sayangnya, kebanyakan kaum muslimin di Indonesia tidak banyak yang mengetahui penggalan awalnya. Karena memang baasa Arab bukan menjadi bahasa yang dipahami kebanyakan kita. Sekurang-kurangnya penggalan awal dari kalimat tersebut berbunyi :

"Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin"

Poin ketiga yang menarik untuk dikritisi adalah sisi makna. Dalam survey kecil-kecilan yang penulis lakukan, masyarakat mengartikan kalimat “minal ‘aidin wal faizin” dengan mohon maaf lahir dan batin”. Mungkin karena kedua kalimat itu sering disandingkan, maka banyak yang mengira keduanya bermakna sama. Padahal, antara keduanya memiliki makna yang jauh.

Adapun secara harafiah, makna penggalan kalimat tersebut adalah ‘min’ artinya dari (termasuk dari), ‘aidin artinya orang-orang yang kembali (kepada Allah), wa artinya dan, sedangkan al-faizin maknanya golongan orang-orang yang sukses atau memperoleh kemenangan. 

Jika digabung dengan penggalan kalimat pertama, maka makna “Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin” adalah, “Semoga Allah menjadikan kami dan juga Anda termasuk golongan orang-orang yang kembali kepada Allah dan sukses (dalam mengisi Ramadhan).”

Jadi kalimat tersebut secara makna tidak ada kaitannya dengan saling meminta maaf dan memaafkan, tapi berupa ungkapan untuk saling mendoakan. 

Ungkapan minal ‘aidin wal faizin sama sekali tidak dikenal di zaman salaf dan tak ada sama sekali riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan hal itu. Ungkapan tahniah (ucapan selamat) yang disebutkan atsarnya dari para shahabat adalah, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” semoga Allah menerima amal kami dan juga amal kalian.
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, “Dahulu para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan  “Taqabbalallahu minna wa minka” ketika saling bertemu di hari Idul Fitri”. Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini, “sanadnya hasan”. Syeikh al-Albani dalam Tamaamul Minnah mengomentari bahwa sanad dari riwayat ini shahih. 

Tentang ucapan selamat dengan versi yang lain, di antara ulama seperti Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin membolehkan ucapan selamat dengan ungkapan ‘ied Mubarak dan semisalnya. Hanya saja, apa yang menjadi kebiasaan para shahabat tentu lebih baik. Wallahu a’lam 

*Ditulis oleh Abu Umar Abdillah di salah satu edisi majalah ar-risalah terbitan tahun lalu
02 July 2014

Basa-Basi

Saat seseorang bertanya, “Bagaimana kabarmu ?” atau “Apa kabar ?”, orang itu belum tentu ingin mendengar jawaban yang sesungguhnya. Tapi sudah paten bahwa kalimat itu adalah kunci untuk membuka percakapan. Pun kita, tak selalu jujur ketika menjawab, sebab jika dilakukan, dapat memutus percakapan yang baru akan dimulai. Jujur itu baik, tapi bukan berarti kita harus mengatakan segala hal. Jika kita menjawab, “Oh, kabarku buruk. Sakitku kambuh lagi. Tagihan listrik nunggak dua bulan. Biaya kontrakan naik. Anakku bermasalah di sekolah. Dan blablabla”, bisa dipastikan percakapan akan terhenti saat itu juga. Jadi kita pun memasang senyum dan menjawab, “Kabarku baik”. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa memberi dan menerima kebohongan semacam itu. 

Kata orang basa-basi itu menyebalkan. Tentu saja, jika dilakuan secara berlebihan dan di waktu yang tidak tepat. Tapi sesungguhnya ada manfaat di balik basa-basi itu. Kita dapat kenalan baru setelah berbasa-basi. Kita dapat informasi baru dari basa-basi. Usaha seseorang untuk mengambil hati orang lain pun lewat basa-basi. Di jurusan sepupu saya, Heiji, ada seorang dosen yang dikenal sebagai penjelmaaan Hitler. Jika sudah bilang A, walau semua manusia berubah jadi zombie tidak akan berubah jadi B. Saking sulitnya mengubah keputusan beliau, beberapa mahasiswa memberinya julukan “yang maha kuasa”. Malangnya nasib Heiji dan beberapa temannya, dosen tersebut terpilih jadi pembimbing mereka saat menyusun tesis.

Setelah konsultasi judul, semua mahasiswa bimbingan beliau mengeluhkan hal yang sama. Dosen itu memerintahkan -bukan mengusulkan- judul yang menurut mereka menyulitkan. Bukannya mereka tidak bisa, tapi waktu yang dibutuhkan untuk penelitian jadi lebih lama. Layaknya mahasiswa, mereka mengejar target wisuda beberapa bulan ke depan agar tidak lagi membayar uang semester. Akhirnya setiap mahasiswa melakukan berbagai usaha agar sang dosen berkenan mengganti judul mereka. Dari level memelas hingga berdebat. Dan belum ada yang berhasil. Suatu ketika, giliran Heiji tiba. 

Heiji yang saya kenal punya keterampilan komunikasi yang cemerlang. Saya menonton aksinya menyelesaikan persoalan di berbagai kesempatan. Peristiwa yang paling teringat terjadi sekitar dua tahun lalu. Suatu malam semua saudara ibu berkumpul di rumah Heiji. Dalam dunia persilatan, Ibu Heiji adalah kakak pertama, sementara ibu saya adik kedua (halah). Sudah menjadi kebiasaan keluarga besar kami ketika ada masalah akan dimusyawarahkan bersama. Tempat musyawarah disesuaikan dengan siapa yang bermasalah. Malam itu musyawarah dilakukan di rumah Heiji. Ada masalah pelik yang dialami keluarga kakak laki-laki Heiji.

Biasanya, musyawarah hanya melibatkan para tetua dan orang yang bermasalah. Sementara sisanya, berkumpul di kamar atau ruang tengah. Tapi malam itu sedikit berbeda dari biasanya. Ayah, ibu, om dan tante serta para sepupu berkumpul dalam lingkaran besar di ruang tengah. Sebagian ponakan diungsikan ke tempat lain. Dua orang sepupu ditugaskan menjaga mereka. Atmosfir di ruang tengah mulai tidak nyaman. Pertanda ketegangan makin meningkat. Baru beberapa menit musyawarah berjalan, suara-suara mulai meninggi. Kakak Heiji sebagai “terdakwa” yang awalnya diam saja mendengar kritik tajam ayah dan saudaranya, mulai menunjukkan penolakan. Suasana tegang. Ibu yang biasanya tak tahan kalau tak bicara, kini memilih diam. Hanya sesekali menghela napas panjang. Ayah juga bersikap sama, diam dan mendengarkan. 

Ketegangan mencapai puncaknya ketika tak ada pihak yang mau menurunkan tekanan suara antara kakak dan ayah Heiji. Teriakan berhamburan di udara. Kulihat salah satu sepupu mengatupkan tangan di kedua telinga anaknya. Di saat genting itu, Heiji yang sedari awal diam saja, akhirnya masuk ke arena sambil merentangkan tangannya, seperti wasit yang berusaha memisahkan dua petinju. Betapa sulit menemukan titik temu di antara keduanya, hingga kemudian Heiji turun tangan. Kemampuan diplomasinya langsung bekerja. Terlihat dari menurunnya intonasi suara di kedua belah pihak. Heiji pun menyampaikan pendapatnya. Mengusulkan dua solusi serta menjabarkan konsekuensi masing-masing pilihan. Menurutku inilah yang membedakan antara Heiji dan ayahnya. Ayahnya memaksakan keinginan, Heiji menyodorkan pilihan. Usulan Heiji diterima baik oleh kakaknya dan semua orang. Malam itu masalah ditutup dengan sempurna berkat bantuan Heiji.

Konflik muncul karena perbedaan. Karena satu pihak tidak memahami perbedaan situasi di pihak lain. Diplomasi ada untuk memahamkan keduanya bahwa mereka berbeda. Mereka punya pikiran yang berbeda. Mereka berada dalam situasi yang berbeda. Karena itu dalam diplomasi penting untuk mencari kata-kata yang tepat agar apa yang dirasakan setiap pihak sampai kepada pihak lainnya. Jika hal itu tercapai, maka setiap pihak akan memecahkan masalah dengan mempertimbangan kondisi pihak lain. 

Dalam sistem hirarki keluarga, anak-anak tetaplah anak-anak, yang pendapatnya belum layak didengarkan. Ketika anak mampu membuat orangtuanya menyimak pendapat mereka dengan cara yang baik, itu bisa disebut prestasi. Sebab menjadi langkah awal orangtua mulai memperhitungkan pandangan kita akan suatu masalah. Bukan gelar akademik yang dibutuhkan, tetapi kemampuan komunikasi kita dengan orang-orang terdekat, terlebih bila mereka memiliki sifat yang keras. Saya pernah mengalami transisi semacam itu.

Suatu malam ayah dan ibu bersiap-siap menghadiri resepsi pernikahan. Tapi karena suatu hal, ayah terlibat silang pendapat dengan adik saya. Adik saya adalah remaja yang baru tumbuh. Remaja di usia itu penuh dengan pemberontakan dan penolakan. Tidak ada yang membuat pikiran lebih keriting bagi orangtua selain anak di usia remaja. Tapi dalam masalah itu, jelas adik saya salah. Masalahnya adalah bagaimana dia mengakui kesalahannya tanpa merasa terpaksa. Saya berusaha tidak memihak salah satunya. 

Saat itu mereka duduk berdampingan di ruang tamu. Sementara saya duduk dua meter di depan mereka berdua dan bicara tanpa henti. Menyampaikan pendapat saya, mengkritik keduanya dan mengusulkan solusi. Selepas bicara, ada jeda yang panjang. Di keheningan yang cukup lama itu, saya tersadar, astaga, saya baru saja memarahi ayah. Saat mengangkat wajah, betapa terkejutnya saya melihat mata ayah berkaca-kaca. Oh nooo…bagaimana ini ??? Tapi detik berikutnya membuat saya bernapas lega, ayah tersenyum. Senyum yang sulit digambarkan. Khas orang yang baru menyadari sesuatu yang penting. Tepat di momen itu ibu keluar dari kamar dan memberi isyarat untuk segera berangkat. Saya masih mematung di tempat duduk. Sebelum melangkah keluar, di ambang pintu ayah berbalik,

“Ayah-ibu berangkat dulu”, katanya tersenyum 

Ada yang berubah sejak saat itu. Ayah mulai mendengarkan pendapat saya. Bila ingin membeli peralatan baru, beliau meminta pendapat saya. Bila membahas keadaan dua adik saya di sekolah, beliau meminta pendapat saya. Sampai berita politik di TV, ayah rutin bertanya, “Bagaimana menurutmu ?”

Ehm, ngomong-ngomong tadi saya mau nulis apa ya? *gagal fokus. 

Oke, kembali ke Heiji. Tiba gilirannya bergerilya membujuk sang dosen. Alasannya cuma satu, dia tidak tertarik dengan tema yang diberikan. Ada masalah lain yang menurutnya lebih menarik untuk diteliti. Beruntungnya, dosen itu pernah mengulas tema tersebut dalam bukunya. Suatu pagi yang cerah, Heiji siap menemui sang dosen dengan membawa setumpuk buku. Beberapa di antara buku itu adalah buku yang ditulis oleh beliau.

Saat bertemu, Heiji tidak langsung membahas inti masalah. Ia mengawali dengan menanyakan kabar –dosen itu baru saja menjalani operasi-. Lalu perlahan percakapan berpindah membahas penyakit dan pengobatan yang dijalani sang dosen. Lalu berpindah ke anaknya yang kuliah di luar negeri. Lalu masuk ke soal buku-buku yang pernah beliau tulis. Heiji menyimak setiap cerita dosennya dengan penuh perhatian. Perlahan-lahan ia menggiring dosen tersebut untuk membahas satu tema di salah satu bab bukunya. Tepat ketika sampai pada titik yang dimaksud, Heiji pun mengutarakan pendapatnya terkait masalah itu. Menit-menit berikutnya dihabiskan hanya untuk membahas satu tema. Terakhir, Heiji menyatakan ketertarikannya dan meminta pertimbangan sang dosen untuk mengganti judul awal. Usulan itu langsung disetujui. 

Heiji pun pamit pulang sambil melayang. Maksudnya, langkah kakinya lebih ringan begitu keluar dari ruangan sang dosen. Katanya, seperti ada batu besar yang baru saja terangkat dari kepalanya. Dari sekian mahasiswa bimbingan sang dosen, hanya Heiji yang berhasil mengubah keputusan si “yang maha kuasa”. Itulah pentingnya berbasa-basi dan menyimak orang lain. Bagi orangtua, tidak ada yang lebih menyenangkan dari perhatian orang lain akan cerita mereka. Mereka senang didengarkan. Setiap orang memang senang didengarkan, tapi bagi orang tua, itu adalah perhatian yang sangat berharga. Jika Heiji menemui dosennya dan langsung to the point : “Permisi prof, maaf saya mau ganti judul. Judul ini tidak menarik buat saya”, besar kemungkinan nasibnya akan berakhir sama seperti teman-temannya yang lain.

Bertahun-tahun saya hidup berdua dengan nenek. Selama masa itu saya menyadari bahwa yang membuat nenek merasa lebih baik meski sakit-sakitan ada dua : bila ada yang menanyakan kabarnya dan mendengar keluhannya. 

Pada situasi yang berbeda, ibu punya cara basa-basi yang cukup merepotkan. Ibu aktif ikut berbagai arisan. Bermacam-macam kategori arisan mulai dari arisan rekan seprofesi, arisan donator masjid, arisan sesama pengajian, arisan sesama alumni sekolah dan kategori lain yang entah apa lagi namanya. Dalam sebulan ibu bisa menghadiri enam sampai delapan acara arisan. Hidangan yang disajikan dalam arisan umumnya berupa kue basah, kue jajanan atau yang manis-manis dan dilengkapi dengan minuman seperti teh atau sirup. Setiap kali dapat giliran, bukannya menyiapkan hidangan yang simple semacam itu, ibu malah rutin memasak menu utama.

Hidangannya berganti-ganti mulai dari coto, sop konro, mie ayam, sampai makanan khas lebaran yang lengkap seperti ketupat, buras, ayam goreng, ayam kari, perkedel, acar, sayur sup dan kawanannya. Lalu ditambah lagi hidangan penutup seperti pudding atau makanan yang manis-manis. Menu arisan inilah yang membuat saya sering melayangkan protes ke ibu. “Oh ibuuu, bisakah kita membuat hidangan yang simple saja ? Hidangan semacam ini butuh tenaga ekstra. Jangan menyusahkan diri sendiri.”, Begitu selalu protes saya, yang juga selalu tidak diindahkan. 

Kebiasaan ibu juga setiap kali mengadakan arisan di rumah adalah rutin memanggil kerabat untuk datang membantu menyiapkan makanan. Kerabat juga tidak datang sendirian, mereka membawa kurcacinya masing-masing. Pasukan Ponakan yang tidak bisa diam di tempat. Seketika rumah yang biasanya tenang, damai dan membosankan berubah menjadi ribut, ceria dan berantakan. Malamnya saya langsung tepar begitu piring terakhir selesai dicuci. Andai hidangannya simple kita tak perlu secapek ini, tidak perlu manggil orang untuk bantu masak, begitu pikir saya. Tapi jawaban ibu kemudian membuat saya berhenti komentar.

“Hanya dengan cara ini keluarga besar kita bisa ngumpul lagi”, kata ibu 

Kupikir-pikir, memang sih, saat arisan keluarga ibu yang lain akan terpusat di rumah. Biasanya arisan dihadiri rekan kerja ibu yang tidak lebih dari sepuluh orang, sebelas ditambah ustad yang mengisi ceramah. Anggota arisannya cuma segitu tapi kerabat yang datang bantu masak jauh lebih banyak, apalagi kalau ditambah rombongan kurcaci yang jumlahnya mencapai belasan ekor. Selain lebaran atau pesta pernikahan, memang hanya arisan yang mengumpulkan kembali keluarga besar kami. Rupanya ibu bersusah payah membuat menu yang bikin repot demi agar keluarganya bisa sering-sering kumpul bersama.

Saat memasak, para tante berkumpul di dapur. Mereka bertukar cerita sambil memotong daging dan sayur. Saya dan sepupu ngumpul di ruang makan membuat pudding. Di ruang tengah para kurcaci bermain dengan sesamanya. Sementara di teras, para lelaki larut dalam perbincangan santai sambil minum teh. Tidak berhenti sampai di situ. Setelah para tamu pulang, ibu akan menelpon kerabat yang belum hadir untuk makan malam di rumah. Selepas shalat maghrib, rumah sudah penuh oleh kerabat. Mereka yang sudah pisah pun duduk bersama dalam lingkaran, makan bersama dan tertawa bersama. Basa-basi ibu memang merepotkan, tapi itu dilakukan demi menyambung silaturahmi antar keluarga. 

Basa-basi untuk menarik perhatian orang bukan keahlian saya. Itu keahlian yang dimiliki orang-orang ekstrover. Tapi kupikir, jika kita sedikit berusaha, mungkin kita bisa menjadi pribadi yang lebih menyenangkan bagi orang lain.
 
;