“Maka, untuk sementara kita kembali ke kota. Kembali
ke peradaban.”
~Haruki Murakami, Kafka on the Shore~
Peradaban, kata Jean-Jacques Rousseau, sama seperti ketika manusia membangun pagar. Semua peradaban merupakan produk dari kurangnya kebebasan akibat kungkungan. Suku Aborigin di Australia adalah pengecualian. Mereka berhasil mempertahankan peradaban yang tidak terpagar hingga abad ketujuh belas. Benar-benar bebas. Pergi kemana saja mereka mau, melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Sewaktu bangsa Inggris tiba serta membangun pagar untuk melindungi ternak mereka, suku Aborigin tidak dapat memahaminya. Dan kerena tidak tahu prinsip-prinsip yang digunakan bangsa Inggris, mereka dianggap berbahaya sekaligus anti-sosial sehingga diusir ke daerah terpencil. Karena itu, orang-orang yang membangun pagar paling tinggi dan kuat adalah mereka yang paling mampu bertahan. Kenyataan itu dapat disangkal hanya bila seseorang membiarkan dirinya masuk ke dalam hutan belantara.
Kembali ke peradaban bagi saya adalah saat ketika kaki menapaki tanah kota Daeng. Dengan gedung tingginya, pusat perbelanjaannya, cuaca panasnya, bunyi klaksonnya, keributan jalanannya, dan debu-debunya yang menyumbat paru-paru. Dan tentu saja, macetnya. Macet adalah lambang peradaban negeri ini. Dihiasi wajah pengendara dan pengemudi yang keras dan tegang. Wajah yang kata Ahmad Tohari, mengusung semua lambang kekotaan ; keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Jalan raya menyadarkan kita bahwa berjalan kaki adalah pekerjaan yang berbahaya. Tak ada tempat bagi golongan ini. Trotoar yang selayaknya diperuntukkan bagi pejalan kaki lebih sering dipakai pengendara motor. Demi mengatasai macet, pemerintah memperlebar jalan raya. Jalan raya diperlebar, trotoar dihilangkan. Trotoar hilang, pejalan kaki gigit jari. Pun saat menyeberang jalan, bersiap-siap dibentak klakson mobil dan motor. Melihat ada yang mau menyeberang jalan, semakin cepat pula pengendara memacu kendaraannya. Ketika lampu merah menyala, ada-ada saja yang nekat menerobos. Mereka seperti dikejar sesuatu yang tak nampak. Entah apa.
Orang-orang yang muak hidup di kota memilih mengasingkan diri. Kembali ke alam, pergi ke Bhutan, atau kemana saja asal menjauh dari kota. Tidak mudah hidup seperti itu walaupun beberapa dapat melakukannya. Mengasingkan diri di tempat yang tenang, damai dan tidak melakukan apa-apa sejatinya adalah istirahat panjang. Tapi istirahat dapat menjadi suatu ancaman.
Saat ini, pulang kampung adalah satu-satunya cara bagi saya untuk mengasingkan diri. Menetralisir diri dari pengaruh kota. Setidaknya di sana tidak ada gedung tinggi, tidak ada macet, bunyi klakson jarang terdengar serta kepedulian yang masih kental. Kota itu berjalan lambat. Seperti orang tua. Datar, nyaris tanpa riak. Hiruk-pikuk baru ditemui di sekitar pantai di sore hari ketika matahari mulai terbenam. Di sana tidak ada mall, tidak ada bioskop. Jadi pantai adalah satu-satunya pilihan melepas penat. Ada yang sekadar duduk-duduk, ada yang bersepeda, main bola, berenang, lomba dayung dan ada yang bersiap melaut. Duduklah di sana menghadap matahari, tutup mata, lalu dengarkan angin. Lima detik saja. Sangat drama kedengaran. Tapi itu membuat saya sedikit lebih baik. Hehehe
Berada di sana membuat saya menggunakan kembali bahasa daerah, bersosialisasi dengan orang-orang tua, dan makan makanan sehat. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan lomba gerak jalan dalam rangka memperingati hari jadi Sulsel yang ke-345.
Tempat itu menenangkan. Tempat semua kenangan masa kecil hingga remaja tersimpan. Berada di sana membuat saya santai, tak perlu memikirkan apapun selain mengenang. Suatu kondisi yang perlahan-lahan membuat saya membusuk. Mungkin itu sebabnya mengapa istirahat disebut sebagai ancaman. Jadi, untuk sementara saya harus kembali ke kota. Kembali ke peradaban.