Kami biasanya
melakukan umrah dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari ayah, ibu,
om
tante dan saya, tanpa berpatok pada jadwal yang diberikan pihak travel.
Berdasarkan jadwal tersebut, umrah dilakukan hanya dua kali. Padahal
jika
mampu, umrah bisa dilakukan setiap hari. Terutama bagi saya, belum tentu
ada
kesempatan besar seperti ini lagi di esok hari. Tidak seperti ibadah
lain yang bisa dilakukan di mana saja, umrah hanya bisa dilakukan di
Masjidil Haram. Thawaf hanya bisa dilakukan di Ka’bah. Di sanalah
pusat kiblat
kaum muslimin. Jadi mumpung berada di sana, waktu harus dimanfaatkan
semaksimal
mungkin.
Om dan tante
yang sudah berpengalaman biasanya mengajak kami memulai umrah jam 3 pagi
atau jam 3 sore. Bila start di siang hari, sebelum jam 3 sore kami berlima
sudah naik bus besar menuju Tan’im untuk mengambil miqat. Laki-laki sudah
memakai pakaian ihram sejak dari hotel. Jam 3 sore dipilih sebab diperkirakan ketika
kembali dari Tan’im waktu sudah memasuki shalat ashar. Atau setidaknya bisa
melakukan tahwaf dulu sekitar 3 atau 4 putaran sebelum masuk ashar. Ba’da
shalat, tinggal menyempurnakan jumlah putaran lalu dilanjutkan sa’I dari
Safa-Marwah dan terakhir tahallul. Jadi sebelum masuk maghrib atau isya, umrah
sudah selesai. Begitu pun jika start jam 3 pagi diperkirakan umrah bisa selesai
pada jam 7, bertepatan dengan waktu sarapan di hotel.
Ada lima
titik tempat mengambil miqat yaitu Yalamlam, Qarnul Manazil, Dzatu Irq, Dzul
Hulaifah (Bir Ali) dan Juhfa. Untuk jamaah asal Indonesia, bila start dari
Madinah, maka miqatnya di Bir Ali. Bila langsung menuju Makkah, maka miqatnya
adalah Yalamlam atau Qarnul Manazil (di atas pesawat). Bila sudah berada di
Tanah Haram, maka harus keluar dari Tanah Haram dulu dan mengambil miqat di
Tan’im, Ji’ronah atau Syumaisyi (perbatasan Tanah Haram dari arah Jeddah).
Tempat kami biasa mengambil miqat selama di Tanah Haram adalah Tan’im.
Ada beberapa
jenis kendaraan yang dapat dipilih untuk mencapai Tan’im. Pertama, Bus Besar,
saya lupa istilahnya tapi bus itu berwarna merah atau biru. Kendaraan ini
memang khusus digunakan bagi mereka yang ingin mengambil miqat di luar Makkah.
Harganya pun paling murah di antara yang lain, hanya 2 SR atau Rp. 6.660/orang
(1 SR = Rp. 3.330,-). Jadi pulang pergi per orang hanya diperlukan 4 SR. Bus
besar mulai beroperasi nanti setelah shalat shubuh. Bagi yang ingin
mengambil miqat sebelum waktu itu dapat memilih kendaraan lain. Kedua, bus
kecil, lebih tepat di sebut mobil dibanding bus. tetapi dalam satu mobil bisa
memuat 13 orang. Kendaraan jenis ini beroperasi setiap waktu. Harganya pun lebih
mahal yaitu 5 SR per orang. Jadi pulang pergi dibutuhkan 10 SR per orang.
Pilihan terakhir adalah taksi. Tapi demi penghematan, sebaiknya tidak memakai kendaraan ini sebab ongkosnya mahal, bisa mencapai ratusan SR.
Biaya hidup
di kota Makkah memang tergolong mahal. Harga barang yang
dijual paling rendah 3 SR. Malah ada sajadah yang per lembarnya mencapai tiga
juta rupiah. Banyak orang dari negara tetangga Arab Saudi yang berumrah
sendiri-sendiri tanpa memakai jasa travel. Mereka tidak tinggal di hotel. Jadi
biaya lebih murah. Banyak pula yang ber-umrah ala backpacker. Biayanya tentu
lebih kecil tapi yang jelas harus punya nyali. Siap tidur di pelataran masjid
atau pinggir jalan, siap mandi di mana saja atau malah tidak mandi seharian,
beli makan sendiri dan yang penting siap berhadapan dengan cuaca. Bila dini
hari berjalan melewati masjid, sering saya dapati orang-orang yang tidur
berselimut di pelataran masjid dengan ransel dan kotak makanan di sampingnya.
Teman suami
sepupu yang kuliah di Sudan ber-umrah dengan cara seperti itu. Saat diajak,
suami sepupu saya hanya menggeleng. Umrah dengan cara seperti itu memang bisa
dilakukan laki-laki yang masih hidup sendiri. Berbeda kondisinya bila sudah
berkeluarga, sebab mereka punya kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Mengingat
hal ini, saya bersyukur Allah mengizinkan saya umrah saat kondisi saya masih
sendiri dan usia yang belum seperempat abad. Saya tidak tahu bagaimana rasanya
umrah bersama pasangan seperti yang dilakukan beberapa jamaah dalam rombongan.
Tapi jujur, saya sangat menikmati perjalanan itu dengan kondisi saat ini,
sendiri. Kupikir memang ada hal-hal yang sebaiknya dinikmati selagi sendirian. Semoga
nanti bisa kembali lagi ke sana, mungkin bersama adik atau dengan ayah-ibu. Entah
kenapa, pulang dari sana saya merasa seperti, ketinggalan dompet. Rasanya selalu
ingin kembali dan kembali. Apa ya tepatnya…seperti ada yang belum selesai,
sesuatu yang membuat saya ingin melihat lagi tempat itu, dan dengan orang-orang
yang saya temui selama perjalanan.
Oh ya,
ngomong-ngomong di sana saya kerap menyaksikan kebiasaan kaum laki-laki yang
ketika bertemu kawannya berjabat tangan dan saling menepelkan pipi kiri dan
kanan. Selama ini yang saya lihat laki-laki hanya berjabat tangan dengan
saudaranya tanpa menempelkan pipi. Di tempat ini juga saya mendengar langsung
lantunan ayat-ayat Al Qur’an para imam Masjidil Haram yang sebelumnya hanya
saya dengar lewat laptop atau ponsel. Shalat di masjid itu ribuan kali lebih
baik dibanding shalat di masjid manapun.
Di kota ini
kau akan menemukan seluruh perempuan menutup auratnya. Di kota ini kau tidak
akan menemui papan iklan memadati jalan raya. Di kota ini setiap kendaraan umum
memutar murattal bukan musik yang mengganggu. Di kota ini orang-orang begitu
semangat beribadah sehingga lafadz talbiyah dapat terdengar sampai keluar bus.
Di kota ini kau akan mendapati petugas bandara atau polisi lalu lintas memegang
tasbih di tangan yang satu, siwak di mulut dan tangan yang lain menertibkan
kerumunan. Di tempat ini kau bisa melihat pemuda-pemuda berjalan dengan siwak
di mulut, bukan selipan rokok seperti yang biasa ditemui sehari-hari. Yah,
walaupun pernah sekali saya dapati seorang pemuda merokok, itu pun dilakukan
sembunyi-sembunyi di dalam gang sempit. Bila perempuan naik bus, kau tidak
perlu khawatir tidak dapat tempat duduk sebab kalaupun kursi penuh, para lelaki
tidak akan segan berdiri dan mempersilakanmu menduduki kursinya. Pun di dalam
bus, kau tidak perlu khawatir berdesakan dengan laki-laki sebab mereka
sangat paham sehingga akan pindah kursi dengan sendirinya atau lebih memilih
berdiri daripada duduk di dekat perempuan yag bukan mahramnya. Untuk semua
alasan itu, saya sempat berpikir tidak ingin kembali ke tanah air.
Detik
berganti menit, menit berganti jam. Setelah berhari-hari berada di Makkah, tiba
saatnya untuk pulang. Setelah Thawaf Wada’ selesai hampir tengah malam, kami
pulang ke hotel beristirahat sebentar, sebab bus akan berangkat pukul 3 pagi
menuju Jeddah. Menjelang subuh kami tiba di Jeddah dan singgah shalat di Masjid
yang dibangun di tepi Laut Merah. Orang-orag menyebutnya masjid Terapung.
Setelah itu bus melaju ke bandara internasional King Abdul Aziz. Selama
perjalanan menuju bandara, saya melihat matahari berbeda dengan yang biasa saya
lihat sehari-hari. Matahari pagi di Jeddah tampak seperti bulan, menggantung
bulat dan berwarna kemerahan. Selama ini saya tidak bisa menatap matahari
karena cahayanya yang menyilaukan. Tapi saat itu matahari dapat ditatap seperti
menatap bulan. Indah sekali. Lewat pukul tujuh pagi, barulah cahaya menyilaukan
itu muncul. Itu hal terakhir yang yang saya temui sebelum pulang ke Indonesia.
Masjid Terapung Jeddah |
gambar diambil dari sini |