02 March 2014

Jejak Kaki di Tanah Suci (4)


Kami biasanya melakukan umrah dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari ayah, ibu, om tante dan saya, tanpa berpatok pada jadwal yang diberikan pihak travel. Berdasarkan jadwal tersebut, umrah dilakukan hanya dua kali. Padahal jika mampu, umrah bisa dilakukan setiap hari. Terutama bagi saya, belum tentu ada kesempatan besar seperti ini lagi di esok hari. Tidak seperti ibadah lain yang bisa dilakukan di mana saja, umrah hanya bisa dilakukan di Masjidil Haram. Thawaf hanya bisa dilakukan di Ka’bah. Di sanalah pusat kiblat kaum muslimin. Jadi mumpung berada di sana, waktu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Om dan tante yang sudah berpengalaman biasanya mengajak kami memulai umrah jam 3 pagi atau jam 3 sore. Bila start di siang hari, sebelum jam 3 sore kami berlima sudah naik bus besar menuju Tan’im untuk mengambil miqat. Laki-laki sudah memakai pakaian ihram sejak dari hotel. Jam 3 sore dipilih sebab diperkirakan ketika kembali dari Tan’im waktu sudah memasuki shalat ashar. Atau setidaknya bisa melakukan tahwaf dulu sekitar 3 atau 4 putaran sebelum masuk ashar. Ba’da shalat, tinggal menyempurnakan jumlah putaran lalu dilanjutkan sa’I dari Safa-Marwah dan terakhir tahallul. Jadi sebelum masuk maghrib atau isya, umrah sudah selesai. Begitu pun jika start jam 3 pagi diperkirakan umrah bisa selesai pada jam 7, bertepatan dengan waktu sarapan di hotel.

Ada lima titik tempat mengambil miqat yaitu Yalamlam, Qarnul Manazil, Dzatu Irq, Dzul Hulaifah (Bir Ali) dan Juhfa. Untuk jamaah asal Indonesia, bila start dari Madinah, maka miqatnya di Bir Ali. Bila langsung menuju Makkah, maka miqatnya adalah Yalamlam atau Qarnul Manazil (di atas pesawat). Bila sudah berada di Tanah Haram, maka harus keluar dari Tanah Haram dulu dan mengambil miqat di Tan’im, Ji’ronah atau Syumaisyi (perbatasan Tanah Haram dari arah Jeddah). Tempat kami biasa mengambil miqat selama di Tanah Haram adalah Tan’im.
 
Tan'im
Ada beberapa jenis kendaraan yang dapat dipilih untuk mencapai Tan’im. Pertama, Bus Besar, saya lupa istilahnya tapi bus itu berwarna merah atau biru. Kendaraan ini memang khusus digunakan bagi mereka yang ingin mengambil miqat di luar Makkah. Harganya pun paling murah di antara yang lain, hanya 2 SR atau Rp. 6.660/orang (1 SR = Rp. 3.330,-). Jadi pulang pergi per orang hanya diperlukan 4 SR. Bus besar mulai beroperasi nanti setelah shalat shubuh. Bagi yang ingin mengambil miqat sebelum waktu itu dapat memilih kendaraan lain. Kedua, bus kecil, lebih tepat di sebut mobil dibanding bus. tetapi dalam satu mobil bisa memuat 13 orang. Kendaraan jenis ini beroperasi setiap waktu. Harganya pun lebih mahal yaitu 5 SR per orang. Jadi pulang pergi dibutuhkan 10 SR per orang. Pilihan terakhir adalah taksi. Tapi demi penghematan, sebaiknya tidak memakai kendaraan ini sebab ongkosnya mahal, bisa mencapai ratusan SR.

Biaya hidup di kota Makkah memang tergolong mahal. Harga barang yang dijual paling rendah 3 SR. Malah ada sajadah yang per lembarnya mencapai tiga juta rupiah. Banyak orang dari negara tetangga Arab Saudi yang berumrah sendiri-sendiri tanpa memakai jasa travel. Mereka tidak tinggal di hotel. Jadi biaya lebih murah. Banyak pula yang ber-umrah ala backpacker. Biayanya tentu lebih kecil tapi yang jelas harus punya nyali. Siap tidur di pelataran masjid atau pinggir jalan, siap mandi di mana saja atau malah tidak mandi seharian, beli makan sendiri dan yang penting siap berhadapan dengan cuaca. Bila dini hari berjalan melewati masjid, sering saya dapati orang-orang yang tidur berselimut di pelataran masjid dengan ransel dan kotak makanan di sampingnya.

Teman suami sepupu yang kuliah di Sudan ber-umrah dengan cara seperti itu. Saat diajak, suami sepupu saya hanya menggeleng. Umrah dengan cara seperti itu memang bisa dilakukan laki-laki yang masih hidup sendiri. Berbeda kondisinya bila sudah berkeluarga, sebab mereka punya kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Mengingat hal ini, saya bersyukur Allah mengizinkan saya umrah saat kondisi saya masih sendiri dan usia yang belum seperempat abad. Saya tidak tahu bagaimana rasanya umrah bersama pasangan seperti yang dilakukan beberapa jamaah dalam rombongan. Tapi jujur, saya sangat menikmati perjalanan itu dengan kondisi saat ini, sendiri. Kupikir memang ada hal-hal yang sebaiknya dinikmati selagi sendirian. Semoga nanti bisa kembali lagi ke sana, mungkin bersama adik atau dengan ayah-ibu. Entah kenapa, pulang dari sana saya merasa seperti, ketinggalan dompet. Rasanya selalu ingin kembali dan kembali. Apa ya tepatnya…seperti ada yang belum selesai, sesuatu yang membuat saya ingin melihat lagi tempat itu, dan dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan.

Oh ya, ngomong-ngomong di sana saya kerap menyaksikan kebiasaan kaum laki-laki yang ketika bertemu kawannya berjabat tangan dan saling menepelkan pipi kiri dan kanan. Selama ini yang saya lihat laki-laki hanya berjabat tangan dengan saudaranya tanpa menempelkan pipi. Di tempat ini juga saya mendengar langsung lantunan ayat-ayat Al Qur’an para imam Masjidil Haram yang sebelumnya hanya saya dengar lewat laptop atau ponsel. Shalat di masjid itu ribuan kali lebih baik dibanding shalat di masjid manapun.

Di kota ini kau akan menemukan seluruh perempuan menutup auratnya. Di kota ini kau tidak akan menemui papan iklan memadati jalan raya. Di kota ini setiap kendaraan umum memutar murattal bukan musik yang mengganggu. Di kota ini orang-orang begitu semangat beribadah sehingga lafadz talbiyah dapat terdengar sampai keluar bus. Di kota ini kau akan mendapati petugas bandara atau polisi lalu lintas memegang tasbih di tangan yang satu, siwak di mulut dan tangan yang lain menertibkan kerumunan. Di tempat ini kau bisa melihat pemuda-pemuda berjalan dengan siwak di mulut, bukan selipan rokok seperti yang biasa ditemui sehari-hari. Yah, walaupun pernah sekali saya dapati seorang pemuda merokok, itu pun dilakukan sembunyi-sembunyi di dalam gang sempit. Bila perempuan naik bus, kau tidak perlu khawatir tidak dapat tempat duduk sebab kalaupun kursi penuh, para lelaki tidak akan segan berdiri dan mempersilakanmu menduduki kursinya. Pun di dalam bus, kau tidak perlu khawatir berdesakan dengan laki-laki sebab mereka sangat paham sehingga akan pindah kursi dengan sendirinya atau lebih memilih berdiri daripada duduk di dekat perempuan yag bukan mahramnya. Untuk semua alasan itu, saya sempat berpikir tidak ingin kembali ke tanah air. 

Detik berganti menit, menit berganti jam. Setelah berhari-hari berada di Makkah, tiba saatnya untuk pulang. Setelah Thawaf Wada’ selesai hampir tengah malam, kami pulang ke hotel beristirahat sebentar, sebab bus akan berangkat pukul 3 pagi menuju Jeddah. Menjelang subuh kami tiba di Jeddah dan singgah shalat di Masjid yang dibangun di tepi Laut Merah. Orang-orag menyebutnya masjid Terapung. Setelah itu bus melaju ke bandara internasional King Abdul Aziz. Selama perjalanan menuju bandara, saya melihat matahari berbeda dengan yang biasa saya lihat sehari-hari. Matahari pagi di Jeddah tampak seperti bulan, menggantung bulat dan berwarna kemerahan. Selama ini saya tidak bisa menatap matahari karena cahayanya yang menyilaukan. Tapi saat itu matahari dapat ditatap seperti menatap bulan. Indah sekali. Lewat pukul tujuh pagi, barulah cahaya menyilaukan itu muncul. Itu hal terakhir yang yang saya temui sebelum pulang ke Indonesia.

Masjid Terapung Jeddah
gambar diambil dari sini
 
;