14 December 2015

Prolog

Ada beberapa hal yang ingin kukatakan. Tapi biar kuceritakan dulu sesuatu yang lain. Aku punya sepupu. Dan sepupuku ini sering mengistilahkan “tak tertolong” untuk hal-hal yang menurutnya tidak bisa atau sulit diperbaiki. Ponselnya pernah pecah berkeping-keping karena jatuh dari lantai tiga. Dia bilang, “Hpku sudah tak tertolong.” Adiknya pernah salah pakai shampoo yang membuat rambutnya kaku semua. Melihat itu ia tertawa, ”Wow, rambutmu benar-benar tak tertolong.” Begitu pun saat menonton berita konyol di TV, biasanya dia akan berkomentar, “Negeri ini tak tertolong.” 

Ketika bertemu, kami lebih sering bercanda, jarang membicarakan hal-hal serius. Kalaupun ada, ujung-ujungnya dibawa bercanda juga. Selera humornya cocok denganku. Saat libur semester aku menginap di rumahnya. Awalnya kami hanya membahas suasana kota tempatku bekerja. Lalu membahas tentang keluarga. Lalu ke novel. Lalu ke film. Lalu hal-hal lain yang tidak penting seperti betapa konyolnya Lee Kwang Soo dalam Running Man. Dan tiba-tiba tema berubah haluan ke…kau tahulah. Pandangan tentang masa depan. 

Saat tiba giliranku, kuceritakan momen ketika suatu hari aku mengantar ibu menjenguk temannya yang sakit. Teman ibu bercerita panjang lebar dan melompat-lompat tentang anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan baru-baru ini lahir cucunya yang kesekian. Di momen itu, tiba-tiba ibu menatapku agak lama. Lalu ia menoleh ke temannya dan menunjuk ke arahku sambil berkata, “Mungkin anakku ini akan selalu sendiri. Seperti mendiang neneknya”. Aku yang saat itu tengah mencicipi teh dan kue sajian tuan rumah nyaris tersedak mendengarnya. Saat kuceritakan, kedua sepupuku tertawa terbahak-bahak. 

“Sepertinya mulai sekarang aku harus ikut asuransi jaminan masa tua. Kalau-kalau itu terbukti benar”, kataku. Mereka tertawa lagi. 

Dalam hal ini kami sebenarnya sama saja. Hanya alasannya yang sedikit berbeda. Mereka siap, sementara aku tidak. 

“Aku masih nyaman seperti ini, kak”, kataku 

Sepupu menggeleng, “Itu yang bahaya,” 

“Kau benar-benar tak tertolong,” timpal sepupu yang lain 

Di waktu yang berbeda, tepatnya saat diskusi dengan rekan kerja di ruang rapat. Salah seorang di antara mereka adalah senior yang sudah lama berkerja di kampus ini. Dan juga senior semasa kuliah dulu. Pembahasan tidak jauh-jauh dari situ. Dia menanyakan pandanganku dan pendapatku masih sama seperti sebelumnya. Kukemukakan juga alasan lain yang selalu kupakai untuk mengakhiri diskusi semacam ini. Dia menggeleng mendengarnya. 

“Cara pandangmu perlu diperbaiki.” katanya, “Ada yang keliru di situ” 

Tak tertolong. Aku pun tidak begitu paham. Hanya saja sering kulihat keburukan dan kekecewaan sebelum cukup mampu memahaminya. Cenderung kulihat kehidupan dari sudut pandang yang gelap. Kadang kupikir, sepertinya ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba berhenti entah sejak kapan. Membuatku tak bisa bergerak, baik untuk maju ataupun mundur. Membuatku jadi sinis akan masa depan. Happy ending seperti menjadi dongeng yang hanya ada dalam cerita Walt Disney. Bukan dalam realita yang kita jalani. Seperti membuka pintu yang kau tidak tahu ada apa di baliknya. Jika bukan sesuatu yang menyenangkan, bagiku lebih baik tak perlu membukanya sama sekali. Kau lihat kan, betapa melelahkan menghadapi orang sepertiku. 

Tak banyak orang yang mau mendengarkan cerita orang lain. Karena masing-masing punya cerita yang ingin diperdengarkan. Kau adalah pendengar yang baik. Tak pernah kutemui ada yang mendengar ceritaku dari awal sampai akhir. Yang meluangkan waktu untuk membaca semua tulisan di sini. Sepertinya memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk datang sekelebat, mengajarkan sesuatu, lalu lenyap sama sekali. 

“Silence is the most powerful scream 

Aku membaca ceritamu. Semuanya. Dan aku memilih diam. Bukan karena tidak peduli. Atau mendiamkan pertanyaan. Tapi lebih karena kupikir itulah jawaban terbaik. Jawaban terbaik memang belum tentu jawaban sebenarnya. Dan jawaban sebenarnya mungkin bukan jawaban yang menyenangkan.  Jadi jangan membenciku. Sebab kuharap ada hikmah yang bisa diambil dari semua kerumitan ini.
 
;