Ada beberapa hal yang ingin kukatakan. Tapi biar kuceritakan dulu
sesuatu yang lain. Aku punya sepupu. Dan sepupuku ini sering
mengistilahkan “tak tertolong” untuk hal-hal yang menurutnya tidak bisa
atau sulit diperbaiki. Ponselnya pernah pecah berkeping-keping karena
jatuh dari lantai tiga. Dia bilang, “Hpku sudah tak tertolong.” Adiknya
pernah salah pakai shampoo yang membuat rambutnya kaku semua. Melihat
itu ia tertawa, ”Wow, rambutmu benar-benar tak tertolong.” Begitu pun
saat menonton berita konyol di TV, biasanya dia akan berkomentar,
“Negeri ini tak tertolong.”
Ketika bertemu, kami lebih sering bercanda, jarang membicarakan
hal-hal serius. Kalaupun ada, ujung-ujungnya dibawa bercanda juga.
Selera humornya cocok denganku. Saat libur semester aku menginap di
rumahnya. Awalnya kami hanya membahas suasana kota tempatku bekerja.
Lalu membahas tentang keluarga. Lalu ke novel. Lalu ke film. Lalu
hal-hal lain yang tidak penting seperti betapa konyolnya Lee Kwang Soo
dalam Running Man. Dan tiba-tiba tema berubah haluan ke…kau tahulah. Pandangan tentang masa depan.
Saat tiba giliranku, kuceritakan momen ketika suatu hari aku
mengantar ibu menjenguk temannya yang sakit. Teman ibu bercerita panjang
lebar dan melompat-lompat tentang anak-anaknya yang sudah berkeluarga
dan baru-baru ini lahir cucunya yang kesekian. Di momen itu, tiba-tiba
ibu menatapku agak lama. Lalu ia menoleh ke temannya dan menunjuk ke
arahku sambil berkata, “Mungkin anakku ini akan selalu sendiri. Seperti
mendiang neneknya”. Aku yang saat itu tengah mencicipi teh dan kue
sajian tuan rumah nyaris tersedak mendengarnya. Saat kuceritakan, kedua sepupuku
tertawa terbahak-bahak.
“Sepertinya mulai sekarang aku harus ikut asuransi jaminan masa tua.
Kalau-kalau itu terbukti benar”, kataku. Mereka tertawa lagi.
Dalam hal ini kami sebenarnya sama saja. Hanya alasannya yang sedikit berbeda. Mereka siap, sementara aku tidak.
“Aku masih nyaman seperti ini, kak”, kataku
Sepupu menggeleng, “Itu yang bahaya,”
“Kau benar-benar tak tertolong,” timpal sepupu yang lain
Di waktu yang berbeda, tepatnya saat diskusi dengan rekan kerja di
ruang rapat. Salah seorang di antara mereka adalah senior yang sudah
lama berkerja di kampus ini. Dan juga senior semasa kuliah dulu.
Pembahasan tidak jauh-jauh dari situ. Dia menanyakan pandanganku dan
pendapatku masih sama seperti sebelumnya. Kukemukakan juga alasan lain
yang selalu kupakai untuk mengakhiri diskusi semacam ini. Dia menggeleng
mendengarnya.
“Cara pandangmu perlu diperbaiki.” katanya, “Ada yang keliru di situ”
Tak tertolong. Aku pun tidak begitu paham. Hanya saja sering kulihat
keburukan dan kekecewaan sebelum cukup mampu memahaminya. Cenderung
kulihat kehidupan dari sudut pandang yang gelap. Kadang kupikir,
sepertinya ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba berhenti entah sejak
kapan. Membuatku tak bisa bergerak, baik untuk maju ataupun mundur.
Membuatku jadi sinis akan masa depan. Happy ending seperti menjadi
dongeng yang hanya ada dalam cerita Walt Disney. Bukan dalam realita
yang kita jalani. Seperti membuka pintu yang kau tidak tahu ada apa di
baliknya. Jika bukan sesuatu yang menyenangkan, bagiku lebih baik tak
perlu membukanya sama sekali. Kau lihat kan, betapa melelahkan
menghadapi orang sepertiku.
Tak banyak orang yang mau mendengarkan cerita orang lain. Karena
masing-masing punya cerita yang ingin diperdengarkan. Kau adalah
pendengar yang baik. Tak pernah kutemui ada yang mendengar ceritaku dari
awal sampai akhir. Yang meluangkan waktu untuk membaca semua tulisan di
sini. Sepertinya memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk datang
sekelebat, mengajarkan sesuatu, lalu lenyap sama sekali.
“Silence is the most powerful scream”
Aku membaca ceritamu. Semuanya. Dan aku memilih diam. Bukan karena tidak
peduli. Atau mendiamkan pertanyaan. Tapi lebih karena kupikir itulah
jawaban terbaik. Jawaban terbaik memang belum tentu jawaban sebenarnya.
Dan jawaban sebenarnya mungkin bukan jawaban yang menyenangkan. Jadi
jangan membenciku. Sebab kuharap ada hikmah yang bisa diambil dari semua
kerumitan ini.