29 February 2012

Dua Kata dan Selembar Waktu

Orang itu seperti angin musim dingin. 
Meninggalkan warna kesedihan dan menghilang dalam sekejap” 
~Miwako Sato~


Ia seperti angin subuh yang mengembun di pucuk dedaunan. Menyesap pelan dan menyisakan aroma pagi. Aroma yang begitu cepat hilang, terganti oleh terik siang. Ia seperti tanah yang lelah menanti butiran air, pada hujan pertama di awal musim. Dan ia seperti sore yang selalu menyiramkan semburat jingga pada riak laut. Mengukir siluet di pasir yang terpekur. Kemudian menghilang dalam belantara malam. Menunggu purnama yang tak kunjung datang. Aku mengenalnya, tak lebih dari dua kata dan selembar waktu. 

“Stay where you belong... in my memories”
“I will... never be a memory” 

Di antara gelombang sunyi dan riak-riak keriuhan, kita hanyalah kasus waktu yang menambah porsi dalam ruang kenangan. Kenangan yang mungkin indah atau hanya akan mengendap seperti kuburan fosil jutaan tahun silam. Menunggu untuk ditemukan, entah di lapisan ke berapa atau mungkin malah tidak sama sekali. Dan membiarkannya hilang bersama tiupan sangkakala. Aku mulai lelah dengan hipotesa yang semakin rumit diuraikan. Hipotesa yang mau tak mau memasukkan variabel waktu ke dalamnya. Meski aku tak ingin. Meski tak ingin. Karena seterang matahari di puncak musim panas, sepasti itulah waktu. Waktu yang tak pernah melambat. Tak pernah mundur. Tak pernah menunggu. Dan kita tak bisa menahan laju atau pun memutarbalikkannya. Sesederhana itulah ajaran detak jatung kita. Kita, seperti juga manusia lainnya, adalah orang-orang yang saban hari bersaing dengan waktu. Seperti nelayan yang menakar-nakar cuaca, seperti laki-laki berpakaian rapi di belakang kemudi, seperti sales yang tak lelah menawarkan dagangan, dan seperti rombongan siswa putih abu-abu pontang-panting menggapai gerbang sekolah yang hampir tertutup.

Aku tak begitu paham di titik mana kau berdiri dengan waktu karena kau selalu menutupinya seperti awan. Tapi serumit apapun kau ingin mendefinisikannya, seperti poster-poster yang tertempel di ruang jingga, ia tidak akan lebih dari yang seharusnya. Siang tak akan mengembalikan malam yang berlalu meski kau memaki sekuat tenaga. Meski kau menghujat. Ia hanya akan terganti oleh malam-malam baru yang membuat kita terjebak dalam pusaran kisah. Terjebak dalam rentetan peristiwa. Jika ada yang hilang dari rentetan itu, semua takkan sama. Kita tidak akan bertemu dan cerita menjadi berbeda. Seseorang pernah berkata bahwa manusia terhubung oleh benang-benang rumit yang tak terlihat. Benang yang menghubungkan satu dengan lainnya. Kau, aku, mereka. Lalu, di antaranya ada yang memperpendek dan ada pula yang memperpanjang jarak benang itu. Kau memilih yang kedua.

Tidak ada yang salah jika kau menyisakan ruang di hati untuk bertanya. Mengawalinya dengan keraguan dan mengakhirinya dengan kepastian. Karena kita bukanlah langit yang tak memerlukan tiang penyangga. Tapi kau lupa bahwa akan ada yang kehilangan. Akan ada yang merindukan. Atau kau sadari, tapi itu tak cukup untuk menahanmu pergi. Aku hanya berharap kau tak membanting pintu, karena kau harus kembali suatu saat. Bila nanti kau mengetuk lagi pintu itu, mungkin aku tidak berada di sana. Tapi itu tidak penting karena akan ada yang selalu yang membukanya untukmu. Kau datang, bagiku itu sudah cukup.

Dan biarkan yang tersembunyi awan, tetap bersinar tanpa harus sampai ke bumi...
 
;