“Makanya, kapok-kapoklah menyimpan dua soulmate di tempat yang sama”
Berhubung FD itu berukuran kecil dan akan kerepotan mencarinya jika dibutuhkan, maka saya pun menggantungkannya bersama gantungan kupu-kupu tadi. Jadi boleh dibilang itu adalah FD pertama yang bisa dihubungi karena tinggal telepon hp-nya maka FD itu akan ditemukan juga. Tapi qadarallah, mungkin memang sudah waktunya mereka pergi setelah bertahun-tahun menemani dan membantu segala aktivitas yang behubungan dengan komunikasi dan kirim-mengirim data. Terlebih lagi di FD itu tersimpan folder yang berisi semua tulisan saya mulai dari buletin, puisi, dan tulisan lain yang sudah dan tidak pernah diposting. Sayangnya lagi, saya tidak menyimpan salinan datanya di komputer. T_T
Pelajaran untuk angkoters sejati, berhati-hatilah di dalam angkot terutama bila anda satu-satunya penumpang saat itu. Jika ada empat atau lima laki-laki naik dari tempat yang tidak berjauhan satu sama lain dan tidak ada satupun dari mereka yang memilih duduk di dekat sopir padahal kursi itu sedang kosong, maka berhati-hatilah. Jika di antara mereka ada yang bertanya “Jam berapa sekarang ?” padahal sudah jelas kau tidak punya jam tangan, maka berhati-hatilah. Jika salah satu dari mereka tiba-tiba muntah padalah sebelumnya tidak nampak tanda-tanda sakit padanya, jangan simpati dulu. Perhatikan baik-baik orang itu, jika hasil dari sikap muntah-muntah tadi hanya berupa cairan ludah, berhati-hatilah. Kecuali jika seluruh isi lambungnya sudah keluar berarti orang itu memang sedang sakit. Hal itulah yang terlambat saya sadari sehingga berakibat hilangnya si Ungu dan kawan-kawannya. Sebagai seorang detektif Kudo, saya merasa gagal (halah).
Sebenarnya alarm di kepala saya sudah siaga satu pada dua detik pertama saat memperhatikan ke empat orang itu. Alarm itu memberitahu bahwa ada yang tidak pada tempatnya. Ada yang tidak biasa. Ada yang tidak beres. Berdasarkan pengalaman membaca komik Detektif Conan, Kudo Shinichi-kun pernah berpesan bahwa petunjuk pertama untuk memecahkan sebuah kasus adalah lihat apa yang menjadi rutinitas. Jika ada yang hilang atau tidak sesuai dengan sebagaimana ia biasanya, maka dari sanalah kau memulai. Pertama, walaupun mereka naik di tempat yang berbeda dan tidak bicara satu sama lain, insting saya berkata bahwa sebenarnya mereka saling mengenal. Kau bisa membacanya lewat mata. Sekali lagi, teori bahwa mata tidak pernah berbohong adalah benar. Pernah ada seseorang yang menyapa saya, dia mengenal saya, tahu beberapa hal tentang saya. Sayangnya memori di otak saya tidak bisa menemukan bayangan orang itu. Saya pun bersikap seolah-olah mengenalnya karena tak ingin dia tersinggung. Tapi kemudian ia berkata, “Sudahlah, sepertinya kau tidak mengenaliku. Bisa kulihat di matamu”. Gubrak. Saya buru-buru minta maaf.
Oke, balik lagi ke masalah yang tadi. Petunjuk kedua, umumnya penumpang laki-laki akan memilih duduk di kursi samping sopir jika kursi itu masih kosong, tapi keempat orang itu tidak. Ketiga, salah seorang dari mereka menanyakan waktu saat itu padahal jelas-jelas, bahkan nenek-nenek pun tahu bahwa kau tidak memakai jam tangan. Lagipula di era teknologi ini, bahkan tukang becak pun punya hp yang bisa digunakan sebagai penunjuk waktu sehingga kau tidak perlu bertanya ke orang lain. Itu adalah trik basi untuk mengetahui di bagian mana kau menaruh hp di tasmu. Keempat, salah seorang dari mereka pura-pura batuk keras dan seperti akan muntah padahal sebelumnya ia sehat-sehat saja bahkan muntahnya pun hanya cairan ludah. lalu temannya yang lain pura-pura panik untuk mengacaukan situasi. Itu hanya kamuflase agar perhatianmu teralih pada orang yang muntah tadi sementara tanpa sadar seseorang yang duduk di sampingmu dengan cepat dan halus telah menarik resleting tasmu dan mengambil sebuah hp di dalamnya.
Tapi petunjuk-petunjuk itu menjadi tidak berguna karena saya terlalu lamban menganggapi situasi. Penampilan mereka terlihat seperti mahasiswa S2 yang mau berangkat kuliah. Sama sekali tidak ada tampang pencopet seperti yang digambarkan dalam sinetron-sinetron Indonesia. Saya lupa petuah abang Ikal bahwa dalam catatan sejarah, pembunuh berdarah dingin yang membantai musuh-musuhnya dan menjadikan tanah banjir darah adalah orang-orang yang berpenampilan rapi, bersikap santun dan bertutur kata sopan. Alexander Agung dan Cortez adalah contohnya. Sementara mereka yang brewokan, suka pamer tato dan bertampang sangar tak lebih dari begundal kelas teri yang kerjanya hanya mencuri ayam. Mereka bukan tipe orang yang bisa membunuh tanpa melepaskan rokok dari mulutnya.
Begitulah kisah si Ungu dkk yang sudah berpindah tangan. Rasanya sedih juga mengingat ketiga benda itu adalah pemberian. Nilai sebuah pemberian berbeda dengan nominal rupiahnya. Bahkan meski hadiah itu hanya berupa gelang karet hitam yang bisa kau dapatkan sendiri dengan harga lima ribu rupiah. Ini memang terdengar sentimentil, tapi yah begitulah. Malang juga nasib keempat pencuri itu karena mereka hanya mendapatkan hp butut yang tidak akan seberapa jika laku dijual. Beberapa teman sering menyindir untuk meng-upgrade Si Ungu dengan yang baru karena tombol-tombolnya sudah tidak lengkap dan beberapa retakan di badannya. Bahkan jika ada panggilan masuk harus di loudspeaker dulu baru suara si penelpon kedengaran. Dan sepertinya sindiran mereka dikabulkan, meski dengan cara yang tidak menyenangkan. Kalau ada kesempatan bertemu lagi dengan pencurinya, saya ingin bilang begini, “Pak, gak mau sekalian ambil cash hpnya ?”