There is always first time for everything
Kalimat tersebut
melintas di kepala ketika memasuki badan pesawat. Seumur-umur saya belum pernah
melakukan perjalanan lewat udara. Walaupun di kampung terdapat bandara, tapi bila
pulang saya lebih memilih naik kapal laut. Perjalanan kali ini memang akan
lebih jauh dari biasanya. Dan selama beberapa hari ke depan saya akan sering-sering
bertemu dengan kalimat “Pertama kali”. Setelah menemukan kursi bernomor 25A,
saya berusaha tenang sembari mengatur napas. Berbagai peristiwa naas yang
menimpa pesawat mau tidak mau membuat saya khawatir juga. Beruntungnya, ada doa
berkendaraan ketika safar dalam majalah Ar Risalah terbitan bulan lalu.
Sekitar tiga jam
berikutnya pesawat mendarat di bandara internasional Changi Singapura. Perjalanan
dilanjutkan ke Merlion Park dan Bugis Junction. Kemudian berkeliling sebentar
di Orchard Road. Yang patut diacungi jempol dari negara ini adalah tata kota,
kebersihan dan ketertibannya. Tidak ada kemacetan. Semua berlangsung tertib.
Dan dingin. Yah, jujur saja saya tidak begitu tenang berada di sana.
Rasa-rasanya ingin cepat pergi. Seorang teman seperjalanan sempat berkomentar
begini, “Di mana-mana feel-nya sama ya”.
Begitulah.
Negara ini sejuk, selain karena pengaruh hujan, pohon-pohon juga tertata
rapi di sepanjang jalan. Negara ini bersih, bahkan dalam kondisi hujan pun kaos
kaki putih yang saya pakai bersih dari lumpur. Padahal di
hari hujan saat jalan kaki ke kampus, baru sepuluh langkah berjalan, kaos kaki sudah
tertutupi cipratan lumpur. Tata kotanya bagus, mereka memanfaatkan lahan sempit
untuk membangun rumah susun puluhan tingkat. Sehingga dimana-mana yang nampak
adalah bangunan tinggi. Tapi inilah yang membuat saya sesak. Ke mana pun mata
memandang, yang terlihat hanyalah sentuhan teknologi. Tak ada bukit, tak ada
pegunungan, tak ada hutan. Saya baru sedikit lega saat bus melewati perbatasan
Singapura-Malaysia, ketika perkebunan kelapa sawit, hutan dan
pegunungan mulai terlihat dari kejauhan. Setelah melewati
bagian imigrasi, bus membawa kami singgah di Restaurant Lucky Garden untuk
makan malam kemudian lanjut menuju Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur kami menginap
di Hotel Putri Park.
Keesokan paginya kami mengunjungi Istana Negara. Istana ini dijaga oleh pengawal berkuda berseragam merah. Sikapnya kaku, pandangannya lurus ke depan, tak menghiraukan teman-teman saya yang sibuk mengambil gambar bersamanya. Namun, saya tak bisa menahan senyum saat menemukan dia sedikit gugup ketika salah seorang teman berpose di depannya menyerupai gaya model. Pengawal itu hanya melirik sebentar dan kembali ke sikapnya semula.
Keesokan paginya kami mengunjungi Istana Negara. Istana ini dijaga oleh pengawal berkuda berseragam merah. Sikapnya kaku, pandangannya lurus ke depan, tak menghiraukan teman-teman saya yang sibuk mengambil gambar bersamanya. Namun, saya tak bisa menahan senyum saat menemukan dia sedikit gugup ketika salah seorang teman berpose di depannya menyerupai gaya model. Pengawal itu hanya melirik sebentar dan kembali ke sikapnya semula.
Satu jam
berlalu. Perjalanan dilanjutkan menuju Butik Coklat. Berbagai varian coklat ada
di sana mulai dari coklat rasa mangga, coklat rasa durian, coklat rasa mint,
coklat rasa stroberi, coklat rasa kopi, coklat putih sampai coklat rasa pedas. Rasa
ngiler datang menyerang begitu melihat coklat-coklat tersebut terpajang dalam lemari
kaca. Akhirnya, saya keluar dari toko ini dengan beberapa kotak coklat untuk
oleh-oleh keluarga di rumah.
Selanjutnya kami
dibawa menuju Suria Shopping Complex. Di tempat ini pertama kalinya saya
menyaksikan secara live apa yang disebut “Belanja Gila”. Bermula ketika
sebagian teman mondar-mandir mencari letak toko dengan label brand yang katanya
tidak ada di Makassar. Saya yang tidak paham fashion ngikut saja. Tiba-tiba
salah seorang teman berteriak menunjuk satu toko yang pintunya masih tertutup. Kami mengikuti arah telunjuknya dan menemukan nama brand yang sudah
dicari-cari sejak tadi. Tapi toko itu belum buka. Pegawainya pun terlihat baru
bersiap-siap. Tapi demi melihat puluhan pembeli sudah mengepung toko tersebut,
mereka pun buru-buru membuka pintu.
Pintu yang baru terbuka setengah, langsung
diserbu oleh teman-teman saya. Mereka berdesak-desakan di pintu masuk dan mulai
menjamah berbagai sepatu dan sandal. Salah satu dosen saya bahkan ikut dalam
gerombolan itu demi oleh-oleh sepatu sang istri di rumah. Saya
terbengong-bengong melihatnya. Tapi segera sadar situasi. Saya membuka daftar
pesanan dalam note kecil yang selalu saya bawa. Ada satu barang yang jauh-jauh
hari dipesan ibu. Tas. Ibu penyuka tas. Saya celingak-celinguk mencari toko
tas. Dengan menyeret seorang teman yang paham fashion, kami keluar-masuk berbagai
toko tas. Hingga akhirnya teman saya menunjuk ke rak paling atas, pada sebuah
tas warna merah yang harganya membuat mata saya melotot. Walaupun rada-rada
sakit hati dengan harganya tapi bila terbayang wajah senang ibu, itu tak ada
artinya. Akhirnya melayanglah lembaran-lembaran ringgit dari dompet. Dan entah
kenapa, saya merasa puas. Mungkin kepuasan semacam inilah yang terjadi pada
orang-orang yang suka belanja.
Saat kembali ke toko sebelumnya, ternyata kesibukan di sana belum berkurang. Teman-teman saya masih sibuk memilih sepatu. Saya menunggu mereka selesai sambil mengutak-atik foto-foto di kamera. Satu jam kemudian mereka pun keluar dari toko dengan berkantong-kantong plastik di kedua tangan.
Saat kembali ke toko sebelumnya, ternyata kesibukan di sana belum berkurang. Teman-teman saya masih sibuk memilih sepatu. Saya menunggu mereka selesai sambil mengutak-atik foto-foto di kamera. Satu jam kemudian mereka pun keluar dari toko dengan berkantong-kantong plastik di kedua tangan.
Bus kembali
melaju menuju kawasan wisata Genting Highlands yang terletak cukup jauh dari
Kuala Lumpur. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan untuk sampai ke sana.
Di Genting Highlands, kami naik gondola menuju gedung tinggi yang terletak di
puncak bukit. Di sana terdapat berbagai wahana bermain, toko pakaian dan toko souvenir.
Ngomong-ngomong,
di sana saya bertemu Takeshi Kaneshiro…dalam bentuk gambar. Hehehe…
Sore harinya,
setelah wisata di Genting Highlands berakhir, bus berangkat menuju bandara. Dua
setengah jam berikutnya, kaki saya sudah menginjak kota Bangkok. Beberapa hari
sebelum berangkat, teman dan sepupu sudah memberikan daftar pesanan selama saya
berada di Thailand. Pesanan mereka mulai dari yang wajar-wajar seperti dompet,
baju dan jam tangan, sampai pesanan yang aneh-aneh semisal minta dibawakan Ratchanok
Inthanon, Rattapoom Tokongsub dan Mario Maurer. Silakan cari di Google tentang
ketiga makhluk ini.
Selama dua hari
di Bangkok, pagi-sore kami mengikuti
pelatihan kegawatdaruratan di Mahidol University. Lalu sore hari dipakai untuk
jalan-jalan ke MBK. Di MBK terjadi peristiwa “Belanja Gila” tahap kedua. Saya pun
kembali membuka daftar pesanan dari ayah, adik dan para tante. Perburuan
dimulai lagi.
Malam berikutnya
kami mampir ke Asiatique, tempat nongkrongnya anak muda. Di tempat ini banyak
dijual souvenir dan barang-barang unik buatan tangan. Satu tas ransel handmade bisa
mencapai 6000 baht. Selain itu, ada satu hiasan berbentuk bulan sabit yang membuat saya naksir. Sayangnya, harganya pun secantik barangnya.
Di Asiatique
juga terdapat bianglala. Saya setengah berlari menuju wahana ini karena salah
seorang teman mengatakan bahwa waktu yang tersisa dari jadwal tinggal 30 menit
lagi. Harga tiket bianglala untuk orang dewasa 250 baht dan untuk anak-anak 150
baht.
Keesokan harinya
kami mengunjungi Wat Arun. Kembali terjadi “Belanja Gila” tahap ketiga setelah
si pemandu yang kami panggil Miss M mengaku bahwa baju murah sedunia ada di Wat
Arun. Kali ini saya membuka daftar pesanan para sepupu dan keponakan. Menjelang
sore kami berangkat menuju Pattaya.
Bus tiba di Pattaya pukul setengah tujuh. Sebagian singgah jalan-jalan di pantai. Beberapa yang lain masuk ke salah satu toko berbelanja. Sisanya termasuk saya menunggu dalam bus. Saya tidak berani ikut ke pantai. Banyak “polusi” di sana. Pattaya merupakan kota yang mendapat perlakukan khusus dalam penerapan undang-undang di Thailand. Semakin larut malam, Pattaya terlihat semakin hidup. Kota ini identik dengan pesta dan hura-hura. Tak heran banyak turis mancanegara yang berkunjung ke sana. Ngomong-ngomong tentang turis, kebanyakan turis yang saya temui adalah orang Rusia.
Keesokan harinya
kami mengunjungi Gems Gallery, toko perhiasan yang membuat mata saya bling-bling
dengan berbagai jenis permatanya. Setelah itu kami mengunjungi peternakan lebah
dan lanjut ke Nongnooch Village menonton tarian tradisional dan aksi kawanan
gajah di Thai Cultural Show House. Dari Nongnooch kami mengunjungi Laser Buddha
Mountain dan Silver Lake Grape Farm.
Menjelang
maghrib kami kembali ke Bangkok dan menginap semalam di sana. Malam itu untuk
pertama kalinya selama di Thailand saya mendengar suara adzan dari
corong masjid. Sebelum tidur saya nitip dibelikan satu lembar Jersey pada teman
yang akan pergi belanja, mengingat ada penggila Barcelona yang terparkir di
Makassar. Esok paginya kami kembali ke Makassar setelah terlebih dahulu transit
di bandara Kuala Lumpur.