26 September 2013

Perjalanan Enam Hari

There is always first time for everything 

Kalimat tersebut melintas di kepala ketika memasuki badan pesawat. Seumur-umur saya belum pernah melakukan perjalanan lewat udara. Walaupun di kampung terdapat bandara, tapi bila pulang saya lebih memilih naik kapal laut. Perjalanan kali ini memang akan lebih jauh dari biasanya. Dan selama beberapa hari ke depan saya akan sering-sering bertemu dengan kalimat “Pertama kali”. Setelah menemukan kursi bernomor 25A, saya berusaha tenang sembari mengatur napas. Berbagai peristiwa naas yang menimpa pesawat mau tidak mau membuat saya khawatir juga. Beruntungnya, ada doa berkendaraan ketika safar dalam majalah Ar Risalah terbitan bulan lalu. 



Sekitar tiga jam berikutnya pesawat mendarat di bandara internasional Changi Singapura. Perjalanan dilanjutkan ke Merlion Park dan Bugis Junction. Kemudian berkeliling sebentar di Orchard Road. Yang patut diacungi jempol dari negara ini adalah tata kota, kebersihan dan ketertibannya. Tidak ada kemacetan. Semua berlangsung tertib. Dan dingin. Yah, jujur saja saya tidak begitu tenang berada di sana. Rasa-rasanya ingin cepat pergi. Seorang teman seperjalanan sempat berkomentar begini, “Di mana-mana feel-nya sama ya”. Begitulah.




Negara ini sejuk, selain karena pengaruh hujan, pohon-pohon juga tertata rapi di sepanjang jalan. Negara ini bersih, bahkan dalam kondisi hujan pun kaos kaki putih yang saya pakai bersih dari lumpur. Padahal di hari hujan saat jalan kaki ke kampus, baru sepuluh langkah berjalan, kaos kaki sudah tertutupi cipratan lumpur. Tata kotanya bagus, mereka memanfaatkan lahan sempit untuk membangun rumah susun puluhan tingkat. Sehingga dimana-mana yang nampak adalah bangunan tinggi. Tapi inilah yang membuat saya sesak. Ke mana pun mata memandang, yang terlihat hanyalah sentuhan teknologi. Tak ada bukit, tak ada pegunungan, tak ada hutan. Saya baru sedikit lega saat bus melewati perbatasan Singapura-Malaysia, ketika perkebunan kelapa sawit, hutan dan pegunungan mulai terlihat dari kejauhan. Setelah melewati bagian imigrasi, bus membawa kami singgah di Restaurant Lucky Garden untuk makan malam kemudian lanjut menuju Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur kami menginap di Hotel Putri Park.

Keesokan paginya kami mengunjungi Istana Negara. Istana ini dijaga oleh pengawal berkuda berseragam merah. Sikapnya kaku, pandangannya lurus ke depan, tak menghiraukan teman-teman saya yang sibuk mengambil gambar bersamanya. Namun, saya tak bisa menahan senyum saat menemukan dia sedikit gugup ketika salah seorang teman berpose di depannya menyerupai gaya model. Pengawal itu hanya melirik sebentar dan kembali ke sikapnya semula.



Satu jam berlalu. Perjalanan dilanjutkan menuju Butik Coklat. Berbagai varian coklat ada di sana mulai dari coklat rasa mangga, coklat rasa durian, coklat rasa mint, coklat rasa stroberi, coklat rasa kopi, coklat putih sampai coklat rasa pedas. Rasa ngiler datang menyerang begitu melihat coklat-coklat tersebut terpajang dalam lemari kaca. Akhirnya, saya keluar dari toko ini dengan beberapa kotak coklat untuk oleh-oleh keluarga di rumah.





Selanjutnya kami dibawa menuju Suria Shopping Complex. Di tempat ini pertama kalinya saya menyaksikan secara live apa yang disebut “Belanja Gila”. Bermula ketika sebagian teman mondar-mandir mencari letak toko dengan label brand yang katanya tidak ada di Makassar. Saya yang tidak paham fashion ngikut saja. Tiba-tiba salah seorang teman berteriak menunjuk satu toko yang pintunya masih tertutup. Kami mengikuti arah telunjuknya dan menemukan nama brand yang sudah dicari-cari sejak tadi. Tapi toko itu belum buka. Pegawainya pun terlihat baru bersiap-siap. Tapi demi melihat puluhan pembeli sudah mengepung toko tersebut, mereka pun buru-buru membuka pintu.

Pintu yang baru terbuka setengah, langsung diserbu oleh teman-teman saya. Mereka berdesak-desakan di pintu masuk dan mulai menjamah berbagai sepatu dan sandal. Salah satu dosen saya bahkan ikut dalam gerombolan itu demi oleh-oleh sepatu sang istri di rumah. Saya terbengong-bengong melihatnya. Tapi segera sadar situasi. Saya membuka daftar pesanan dalam note kecil yang selalu saya bawa. Ada satu barang yang jauh-jauh hari dipesan ibu. Tas. Ibu penyuka tas. Saya celingak-celinguk mencari toko tas. Dengan menyeret seorang teman yang paham fashion, kami keluar-masuk berbagai toko tas. Hingga akhirnya teman saya menunjuk ke rak paling atas, pada sebuah tas warna merah yang harganya membuat mata saya melotot. Walaupun rada-rada sakit hati dengan harganya tapi bila terbayang wajah senang ibu, itu tak ada artinya. Akhirnya melayanglah lembaran-lembaran ringgit dari dompet. Dan entah kenapa, saya merasa puas. Mungkin kepuasan semacam inilah yang terjadi pada orang-orang yang suka belanja.

Saat kembali ke toko sebelumnya, ternyata kesibukan di sana belum berkurang. Teman-teman saya masih sibuk memilih sepatu. Saya menunggu mereka selesai sambil mengutak-atik foto-foto di kamera. Satu jam kemudian mereka pun keluar dari toko dengan berkantong-kantong plastik di kedua tangan.

Bus kembali melaju menuju kawasan wisata Genting Highlands yang terletak cukup jauh dari Kuala Lumpur. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan untuk sampai ke sana. Di Genting Highlands, kami naik gondola menuju gedung tinggi yang terletak di puncak bukit. Di sana terdapat berbagai wahana bermain, toko pakaian dan toko souvenir.





Ngomong-ngomong, di sana saya bertemu Takeshi Kaneshiro…dalam bentuk gambar. Hehehe…


Sore harinya, setelah wisata di Genting Highlands berakhir, bus berangkat menuju bandara. Dua setengah jam berikutnya, kaki saya sudah menginjak kota Bangkok. Beberapa hari sebelum berangkat, teman dan sepupu sudah memberikan daftar pesanan selama saya berada di Thailand. Pesanan mereka mulai dari yang wajar-wajar seperti dompet, baju dan jam tangan, sampai pesanan yang aneh-aneh semisal minta dibawakan Ratchanok Inthanon, Rattapoom Tokongsub dan Mario Maurer. Silakan cari di Google tentang ketiga makhluk ini.

Selama dua hari di Bangkok, pagi-sore  kami mengikuti pelatihan kegawatdaruratan di Mahidol University. Lalu sore hari dipakai untuk jalan-jalan ke MBK. Di MBK terjadi peristiwa “Belanja Gila” tahap kedua. Saya pun kembali membuka daftar pesanan dari ayah, adik dan para tante. Perburuan dimulai lagi.

Malam berikutnya kami mampir ke Asiatique, tempat nongkrongnya anak muda. Di tempat ini banyak dijual souvenir dan barang-barang unik buatan tangan. Satu tas ransel handmade bisa mencapai 6000 baht. Selain itu, ada satu hiasan berbentuk bulan sabit yang membuat saya naksir. Sayangnya, harganya pun secantik barangnya.


Di Asiatique juga terdapat bianglala. Saya setengah berlari menuju wahana ini karena salah seorang teman mengatakan bahwa waktu yang tersisa dari jadwal tinggal 30 menit lagi. Harga tiket bianglala untuk orang dewasa 250 baht dan untuk anak-anak 150 baht.





Keesokan harinya kami mengunjungi Wat Arun. Kembali terjadi “Belanja Gila” tahap ketiga setelah si pemandu yang kami panggil Miss M mengaku bahwa baju murah sedunia ada di Wat Arun. Kali ini saya membuka daftar pesanan para sepupu dan keponakan. Menjelang sore kami berangkat menuju Pattaya. 



Bus tiba di Pattaya pukul setengah tujuh. Sebagian singgah jalan-jalan di pantai. Beberapa yang lain masuk ke salah satu toko berbelanja. Sisanya termasuk saya menunggu dalam bus. Saya tidak berani ikut ke pantai. Banyak “polusi” di sana. Pattaya merupakan kota yang mendapat perlakukan khusus dalam penerapan undang-undang di Thailand. Semakin larut malam, Pattaya terlihat semakin hidup. Kota ini identik dengan pesta dan hura-hura. Tak heran banyak turis mancanegara yang berkunjung ke sana. Ngomong-ngomong tentang turis, kebanyakan turis yang saya temui adalah orang Rusia.




Keesokan harinya kami mengunjungi Gems Gallery, toko perhiasan yang membuat mata saya bling-bling dengan berbagai jenis permatanya. Setelah itu kami mengunjungi peternakan lebah dan lanjut ke Nongnooch Village menonton tarian tradisional dan aksi kawanan gajah di Thai Cultural Show House. Dari Nongnooch kami mengunjungi Laser Buddha Mountain dan Silver Lake Grape Farm.















Menjelang maghrib kami kembali ke Bangkok dan menginap semalam di sana. Malam itu untuk pertama kalinya selama di Thailand saya mendengar suara adzan dari corong masjid. Sebelum tidur saya nitip dibelikan satu lembar Jersey pada teman yang akan pergi belanja, mengingat ada penggila Barcelona yang terparkir di Makassar. Esok paginya kami kembali ke Makassar setelah terlebih dahulu transit di bandara Kuala Lumpur.
 
;