17 November 2013

Jaring-jaring Kekerabatan


Kamar, kampus dan rumah sakit. Belakangan, aktivitas saya berotasi di tiga tempat itu. Kakek sedang dirawat di rumah sakit. Dua hari sekali saya dan sepupu datang menjenguk beliau. Sebenarnya saya tidak begitu dekat dengan kakek yang merupakan kakak tertua nenek dari pihak ibu. Beliau sudah hidup puluhan tahun di kota lain, terpisah dari kota kami. Terakhir kali saya ke berkunjung ke rumahnya adalah ketika sedang PBL 1 tahun 2009.

Selama membesuk kakek, saya jadi tahu banyak tentang jaring-jaring kekerabatan yang menghubungkan satu dengan lainnya. Dan betapa rumitnya jaring-jaring itu. Saat ini saja, saya punya tante yang umurnya lebih muda lima tahun. Oleh para sepupu, ia kerap dipanggil tante kecil. Lucunya bila jaring itu diperluas, panggilannya dari “tante” bisa berubah jadi “nenek”, karena sepupu yang sudah menikah masing-masing juga sudah punya anak. Berarti hubungan antara anak-anak itu dan tante kecil melebar satu tingkat menjadi cucu dan nenek. Si “nenek” sendiri belum menikah, malah masih berstatus mahasiswa baru, tapi cucunya sudah ada sebelas. Ah, betapa…(-_-‘)

Sepulang menjenguk kakek, sepupu saya menyempatkan diri menginap di kos. Dia salah satu sepupu yang lumayan akrab dengan saya, walau kami punya penyakit kronis yang sama: penyendiri. Karenanya, ketika sedang bersama, ada banyak cerita yang bisa dipertukarkan. Ceritanya panjang lebar dan berpindah-pindah. Mulai dari silsilah keluarga, keseharian di rumah sampai urusan kuliah.

Dia bercerita tentang dua orang dosen yang mengajarinya selama dua tahun. Salah satu hal yang sering diceritakan para dosen kepada mahasiswa di sela-sela kuliah adalah pengalaman mereka selama belajar di luar negeri, atau kisah perjalanannya ke berbagai negara, atau sampai masuk ke tingkat rumah tangganya. Tapi tidak demikian halnya dengan dosen tersebut. Selama mengajar, beliau sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah menceritakan dirinya, dimana ia kuliah, di mana ia meraih deretan gelarnya. Tidak pernah. Sehingga para mahasiswa mengira dosen tersebut mungkin hanya lulusan biasa. Nanti di kemudian hari barulah mereka tahu dari cerita dosen lain bahwa dosen tersebut mengambil gelar master, doktor dan profesornya di Inggris serta pernah menjabat ketua ikatan blablabla. Dosen lain punya cerita yang berbeda pula. Pakaiannya biasa, kapasitas ponselnya hanya untuk komunikasi dan senter, laptopnya bukan merek dengan gambar buah yang habis digigit, ranselnya robek dan kemana-mana suka memakai topi butut. Tapi bila ditelusuri riwayat pendidikannya, beliau adalah ahli IT lulusan Jepang dan dapat penghargaan di sana. Namun demikian penampilannya bersahaja. Sementara itu ada juga sebagian dosen yang getol menceritakan riwayat pendidikannya, negara mana saja yang pernah ia kunjungi, perjalanan karirnya, ketua ini-itu, tapi metodenya mentransfer ilmu di kelas membosankan bukan main.

Ceritanya ditutup dengan kisah ketika dia menjalani ujian tesis. Sehari sebelumnya ada anak profesor yang juga ikut ujian. Namun tak satu pun pertanyaan penguji mampu dia jawab. Bila ditanya, ia malah melempar pandangan ke arah pembimbing satu, meminta bantuan. Jadi selama ujian berlangsung, si pembimbing satulah yang terus menerus menjawab pertanyaan. Lucunya, nilai akhir yang diberikan oleh para penguji adalah di atas 90. Kejadian ini membuat mahasiswa lain kecewa. Di hari berikutnya, ketika sepupu saya ujian, perdebatan sengit berlangsung antara dirinya dan penguji yang notabene ayah dari mahasiswa yang ujian sebelumnya. Penonton yang terdiri dari mahasiswa memenuhi ruang ujian. Selama ujian itu, ia mampu menjawab semua pertanyaan dengan dalil-dalil dari referensi yang ia baca. Namun ketika nilai akhir keluar, dia hanya pasrah dengan nilai 87. Omong kosong dengan nilai, kata sepupu saya. Selama kau anak dosen, terlebih bila orangtuamu guru besar yang dikenal, tak peduli bagaimana isi otakmu, nilaimu tetap bisa lebih dri 90. Itulah hebatnya adat-istiadat dalam urusan rekan sejawat. 

Kembali ke kakek, Selama menjenguk beliau, saya tersadar satu hal. Kakek salah satu orang beruntung yang menjalani masa tua. Maksudku, di masa ketidakmampuannya kini, ia beruntung dikelilingi anak-anak, menantu, keponakan dan para cucu yang siap membantunya. Mereka bergantian memapah kakek keluar masuk toilet untuk wudhu dan buang air. mereka bergantian menuntunnya shalat dan bergantian membantunya makan. Tiba-tiba saya bergidik membayangkan seorang penyendiri berada di posisi kakek. Si penyendiri itu tertatih berjalan ke toilet tanpa ada yang membantu. Susah payah menyuapkan sendok ke mulutnya sendiri. Berbaring menahan sakit tanpa ada yang menemani. Kamarnya sunyi tanpa satupun keluarga yang menjaga. Lambat laun kengerian itu berubah menjadi ketakutan. Ketakutan yang menuntun saya pada sebuah doa. “Ya Allah, jauhkanlah kami dari penderitaan masa tua”
 
;