“Mana yang lebih penting, bebas bersuara tetapi kelaparan, ataukah mulut dibungkam tetapi perut selalu kenyang ?”
~Agustinus Wibowo, Garis Batas~
Di antara ketiga buku Agustinus, Garis Batas adalah buku pertama yang
saya beli. Tetapi buku kedua yang saya baca. Macam mana bisa begitu ?
Panjang ceritanya. Saya belum pernah baca tulisan Agustinus Wibowo
sebelumnya. Tapi buku Titik Nol pernah samar-samar terdengar karena
banyak yang bilang bagus. Waktu ke Gramed juga sempat lihat buku itu
nongol di posisi best seller. Tapi tidak tertarik beli. Maklum, masih
kena demam Haruki Murakami. Iseng-iseng baca sekilas, saya langsung buka
halaman terakhir, di situ ada informasi tentang buku Agustinus
sebelumnya yang berjudul Garis Batas. Di sinopsisnya disebutkan kalau
Garis Batas merangkum petualangan penulis di Asia Tengah yang misterius;
Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkemnistan. Eh,
tadi apa katanya, Kazakhstan ? Ini dia. Perempuan itu berasal dari
Negara ini, bisik saya dalam hati.
Mari kita undur waktu ke bulan Februari 2014. Ceritanya waktu itu
shalat subuh baru saja usai. Puluhan orang berdesak-desakan keluar di
pintu Masjidil Haram. Kami memilih menunggu beberapa bentar sampai
kerumunan di pintu berkurang. Saya bersandar di salah satu tiang sambil
memperhatikan sekitar. Tiba-tiba pandangan saya terpaku pada sosok
berjubah hitam dan berkerudung biru muda. Yang membuat saya terpana
adalah parasnya, masya Allah. Kalau hanya sekadar cantik, sudah sering
saya lihat yang lalu-lalang mulai dari penduduk asli atau jamaah dari
berbagai negara. Tapi yang satu ini, Masya Allah. Saking noraknya,
sambil terus berucap Masya Allah, mata saya terus mengikuti perempuan
yang sedang berjalan keluar masjid bersama rombongannya. Di punggungnya
menggantung ransel yang dipakai seragam oleh setiap anggota rombongan
bertuliskan : Kazakhstan.
Jadi pertama, saya tertarik beli buku karena teringat perempuan itu.
Kedua, seperti kata penulis, negeri-negeri “Stan” itu misterius. Kabar
beritanya sangat jarang sampai ke Indonesia. Lihat saja buku-buku travel
yang banyak dijual di gramed, jarang atau mungkin tidak ada yang
mengupas tentang Tajikistan, Kirgiztan dan Negara Asia Tengah lainnya.
Kebanyakan berputar di Eropa, Jepang, Korea, Yunani dan Asia Tenggara.
Sayangnya, setelah buku dibeli, sepupu datang berkunjung dan membawa
pulang buku itu. Karena sudah penasaran stadium lanjut, dua hari
kemudian saya kembali ke gramed dan memboyong buku pertama dan ketiga.
Demikian ceritanya. Terima kasih sejauh ini tetap bertahan membaca.
Hihihi…
Setelah beberapa tahun tinggal di Afganistan, Agustinus melanjutkan
perjalanannya menyeberangi Amu Darya, masuk ke negeri stan bersaudara.
Sungai Amu Darya adalah garis batas. Menyeberangi garis batas berarti
menyeberangi garis batas kultur dan ideologi. Negara-negara berakhiran
“stan” yang dijelajahi penulis dulunya adalah bagian dari raksasa Uni
Soviet yang luasnya mencapai lima belas persen luas daratan bumi. Lalu,
raksasa itu ambruk. Kolaps. Seketika terpecah menjadi berbagai negara
baru dengan nama aneh-aneh, dalam bentuk dan ukuran yang beragam.
Tajikistan, belasan tahun lalu tak banyak orang tahu
tentang Negara ini. Tidak nampak di peta dunia. Berbeda dengan
Afganistan yang memiliki aturan ketat dalam berpakaian, di Tajikistan
yang berlaku adalah modernitas ala Eropa : jas, dasi, kemeja, sepatu dan
tas kerja. Lelaki Tajik memakai kemeja dan celana panjang, mengenakan
jubah tebal yang menjuntai mirip jas kebesaran raja. Sementara kaum
perempuan membiarkan rambut mereka tergerai. Jarang sekali terlihat
perempuan mengenakan jilbab, apalagi burqa. Dibanding Stan-stan lainnya,
Tajikistan adalah negara terkecil sekaligus termiskin. Tapi walau tidak
kaya, mereka juga tidak mengemis atau menggelandang. Dan walaupun
miskin, angka melek huruf di Tajikistan hampir seratus persen. Sebab di
zaman Uni Soviet dulu, pemerintah selalu mendorong pendidikan sampai ke
pedalaman. Suasanan bulan ramadhan di Tajikistan nyaris tidak terasa.
Mayoritas memang muslim, tapi restoran dan warung ramai seperti biasa
sebab kebanyakan tidak berpuasa. Para lelaki Tajik malah asyik menenggak
vodka di siang hari.
Kirgiztan, Negara pertama yang memproklamirkan
kemerdekaannya dari Moskow. Negara pertama di Asia Tengah yang punya
mata uang sendiri. Dan juga, Negara pecahan Soviet pertama yang menjadi
anggota WTO, dengan bantuan IMF dan Bank Dunia tentunya. Sayang, jika
dulu harus menurut perintah Moskow, kini harus manut pada aturan
globalisasi, kapitalisme dan lembaga internasional. Mata uang Kirgiz,
Som, langsung ambruk begitu diperkenalkan. Sekarang Kirgiztan kecil
megap-megap ketika banyak penduduknya kehilangan pekerjaan. Kota-kota
Kirgiztan pun jadi berbahaya ketika hari mulai gelap, karena pemabuk
bisa-bisa melompat dari balik pohon dan menodongkan pisau.
Kazakhstan, raksasa besar dengan luas wilayah
menempati urutan kesembilan dunia, seluas Eropa Barat, masih lebih luas
daripada keempat saudara Stan digabungkan sekaligus, hampir satu
setengah kali luas daratan Indonesia. Tapi penduduknya tak sampai 16
juta jiwa. Dulu yang tinggal di padang luas Kazakhstan adalah bangsa
pengembara, kehidupan berkutat pada rumput, ternak, sungai dan musim.
Lima belas tahun setelah Kazakhstan berdiri, padang rumput itu berubah
menjadi negara kaya. Penduduknya bukan lagi gembala kelaparan, tetapi
gadis cantik berbalut syal dari bulu yang mahal, berhak sepatu tinggi,
menenteng tas bermerk Paris atau Italia. Kaum pria menebarkan bau parfum
impor dan berpakaian perlente. Nuansa mewah memancar di sudut toko di pusat kota Almaty dengan
dengan label harga yang selangit. Harga bakmi instan saja bisa mencapai
lima dolar. Tapi semahal-mahalnya Almaty, sebanding dengan gaji yang
mereka dapat. Gaji bulanan guru bahasa inggris untuk militer Kazakhstan
bisa lebih dari sepuluh ribu dolar, atau seratus juta rupiah. Dengan
produksi minyak yang sampai ratusan ribu barel per hari, pendapatan
Kazakhstan melonjak dari 100 dolar menjadi 6.000 dolar hanya dalam
hitungan belasan tahun. Dua ladang minyak Kazakhstan termasuk yang
terbesar di muka bumi. Sama-sama merdeka berbarengan, Kazakhstan terus
memodernisasi diri, sementara Tajikistan harus tabah di barisan negara
termiskin di dunia.
Uzbekistan, terkenal sebagai salah satu pecahan
Soviet yang paling anti Rusia. Patung-patung pahlawan komunis
ditumbangkan. Bahasa Rusia diganti bahasa Uzbek. Begitu merdeka, etnis
Rusia tergusur kedudukannya. Yang dulu penguasa sekarang warga kelas
dua. Keturunan Rusia sulit mendapat pekerjaan, banyak yang terpaksa jadi
pemulung dan pegemis. Yang menarik, ternyata universitas di Uzbekistan
punya jurusan Bahasa Indonesia. Kalau di Indonesia, ada tidak ya kampus
yang punya jurusan bahasa Uzbek ? Di Negara yang mayoritas muslim ini,
Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Pada masa Uni Soviet,
Islam dianggap ancaman. Setelah Uzbekistan merdeka, keadaan tidak banyak
berubah. Masjid terus dikontrol pemerintah, adzan tidak boleh
dikumandangkan, isi khotbah harus sejalan dengan kebijakan pusat dan
orang-orang yang dicurigai ditangkap. Secara umum, yang berkembang di
Asia Tengah adalah ajaran sufi, bercampur dengan budaya dan tradisi.
Sehingga tak jarang orang merancukan mana yang budaya dan mana yang
benar-benar ajaran islam.
Turkmenistan, ketika Negara-negara Asia Tengah
lainnya gencar mengganti nama jalan, kota, sekolah, lapangan dan gedung
yang berbau Uni Soviet atau Rusia, Turkmenistan lebih ekstrim lagi. Nama
bulan-bulan di penanggalan pun ikut diganti. April menjadi Gubansoltan
Eje, September menjadi Ruhnama dan ada pula bulan yang namanya sangat
berbau propaganda, seperti bulan Netralitas, Bendera, dan Kemerdekaan.
Perubahan nama juga merembet ke nama hari. ada hari isirahat (Minggu),
hari bahagia (Rabu), dan hari roh (Sabtu). Melihat foto kota Ashgabat
yang modern dan artifisial, rasanya seperti melihat dunia yang sama
sekali asing. Pusat kota Ashbagat adalah daerah yag teramat sensitif.
Ada mata-mata yang terus mengintai. Di setiap sudut jalan tentara
mondar-mandir dengan langkah tegap. Setiap gerak-gerik terpantau, tidak
boleh ambil gambar sembarangan, salah sedikit bisa berujung penjara.
Foto-foto yang ditampilkan dalam buku kedua ini jauh lebih banyak
dibanding buku pertama. Yang menjadi masalah teknis dari trilogi buku
ini adalah kualitas perekat yang kurang baik. Baru dibuka beberapa kali,
lembarannya mulai lepas satu per satu. Bagi saya yang belum pernah
menyentuh wilayah Asia Tengah, negeri-negeri Stan itu tetap misterius.
Sebab antara membaca dan menyaksikan secara langsung itu jelas berbeda.
Ah, semoga suatu saat nanti saya punya kesempatan berkunjung ke sana.