Waktu Samurai X pertama tayang di stasiun TV nasional, nyaris tak pernah absen kuikuti serialnya tiap minggu. Di salah satu episodenya, entah yang keberapa, ada instrumen yang jadi latar ketika Misao dan Kenshin berjalan di atas jembatan. Ceritanya mereka baru saja mengembalikan sekantong uang yang dicuri Misao. Keduanya tengah dalam perjalanan kemudian bertemu untuk pertama kali. Kenshin menuju Kyoto untuk menghentikan Shishio sementara Misao sedang mencari Aoshi. Setelah mengembalikan uang, mereka berjalan melewati jembatan kayu di atas sungai. Instrumen itu muncul sejak keduanya masuk jembatan, diiringi riak air yang mengalir di bawahnya. Bunyi yang hanya beberapa detik itu ternyata terekam jelas di kepala. Aku baru menyadarinya kemudian hari.
***
Suatu malam terjadi pemadaman listrik di seluruh kota Benteng. Padahal posisiku sudah siaga satu depan TV, menunggu Extravaganza yang jadwal tayangnya tiap malam minggu. Kau tahulah, tidak ada yang lebih membosankan dibanding listrik mati di malam minggu ketika perpustakaan umum tutup, dan teknologi media belum seperti sekarang. Tak ada tontonan, tak ada obrolan dan tak ada bacaan. Jadi kuputuskan jalan-jalan sebentar ke tepi pantai. Melihat kapal mungkin, atau membeli sesuatu untuk dimakan. Kuraih jaket yang tergantung di dinding dan memeriksa sejumlah uang di sakunya, kuambil walkman di laci, kupasang earphone di telinga, kukenakan sandal, kuputar kenop pintu dan melangkah keluar.
Angin timur berhembus kencang. Jenis angin yang membuat kulit kering dan pecah-pecah. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku dan menggenggamnya erat-erat untuk menahan hawa dingin. Kota dikepung gelap. Rumah-rumah diterangi satu atau dua batang lilin yang meliuk kesana kemari. Kadang lilin itu harus menyerah kalah karena angin bisa tiba-tiba menyambar lalu kembali tenang dalam sekejap. Jalanan juga lengang, sesekali ada kendaraan yang lewat. Sinar lampunya timbul tenggelam di sisi kiri dan kanan jalan. Di malam minggu semacam itu, beberapa orang memilih mendarat di pinggir lapangan, ngobrol panjang lebar sambil mengunyah bakso. Sebagian lagi memilih tepi pantai, ditemani gelas-gelas sara’ba dan sepiring pisang goreng. Seingatku, dulu salah satu tetanggaku kerap memboncengku ke pinggir pantai sekadar makan gorengan dan minum sara’ba. Tapi kebiasaan itu terhenti sejak dia menikah dan pindah ke rumah baru.
Jika tidak sedang buru-buru, biasanya kuambil jalan memutar, menjauh dari tempat tujuan. Salah satu kesenanganku adalah suka lama-lama di jalan. Tapi hanya di malam hari. Suka melihat kerlip lampu yang menerangi kota. Suka menatap cahaya dari tempat yang gelap. Pandangan yang awalnya lurus ke depan kualihkan ke langit, ada yang tidak biasa di atas sana. Malam itu bulan mati, tapi langit penuh bintang. Bukan penuh, sesak malah, seperti pasir yang dihamburkan. Ribuan bintang membentuk aliran seperti sungai yang memanjang ke selatan. Sampai takjub dibuatnya. Saking takjubnya aku nyaris teriak, tapi suaraku malah tercekat. Gabungan antara ingin mengekspresikan rasa kagum dan desakan untuk menahannya. Andai sendirian, sepertinya tak masalah mengucapkan “wow” yang panjang, atau merentangkan tangan dan telentang menghadap langit. Tapi itu jalan raya. Dan malam hari. Walau cukup sunyi, tak boleh macam-macam kalau tak ingin jadi bahan tertawaan. Gagasan bahwa ketika listrik mati seorang gadis tidur-tiduran di tengah jalan sepertinya bukan gagasan yang bagus. Jadi atas nama sikap, kutahan keinginan konyol itu. Kuteruskan langkah seperti biasa tapi lebih lambat dari sebelumnya. Setengah berharap waktu terhenti detik itu juga, pagi jangan datang dulu dan jalanan yang kulalui tidak punya ujung. Bukankah menyenangkan bisa terus berjalan di bawah langit seperti itu ? Bila tiba di tujuan, rasanya seperti ada sesuatu yang akan berakhir. Bagaimana pun, jika terus melangkah, lambat laun kita akan tiba di suatu tempat. Seperti langkah kakiku yang terhenti di depan penjual martabak manis. Selain gorengan, pantai juga ramai oleh gerobak martabak. Jadi kupesan satu lalu berbalik pulang, lagi-lagi mengambil jalan memutar.
***
Di malam yang lain, lama setelahnya, aku sedang membeli pesanan teman di salah satu kedai makan di jalan Hertasning. Sekotak TV yang sedang menyiarkan berita di balik punggungku mengirim sinyal ke telinga, membuatku tidak tahan untuk tidak berbalik. Yang menarik bukan beritanya, aku bahkan tidak tahu itu berita apa, tapi di ujungnya diselipkan sepotong instrumen yang sama persis dengan yang di Samurai X. Dan baru-baru ini, ada acara talkshow yang menampilkan salah satu publik figur yang menceritakan kehidupannya sejak kecil. Jelasnya bagaimana aku tidak tahu, tapi yang penting adalah instrumennya. Gara-gara itu, aku yang tengah membaca di beranda melesat masuk ke ruang tengah untuk memastikan. Benar saja, itu nada yang sama dengan yang di Samurai X.
Latar bunyi dan sungai bintang. Secara teknis, tidak ada kaitan antara keduanya. Tapi jika tiba-tiba mendengarnya entah di mana, yang langsung teringat adalah pemandangan langit waktu itu. Hingga kini, belum pernah lagi kulihat sungai bintang sebanyak malam itu.
Coba dengarkan bunyi yang kumaksud, kalau kau kurang kerjaan tentunya. Hehe. Abaikan!