30 October 2015

Tujuh Bulan

Lagi-lagi dibuat takjub dengan kecepatan waktu berlari. Ternyata sudah lebih setahun sejak wisuda 2014 lalu. Waktu itu belum terpikir bumi mana yang akan jadi persinggahan berikutnya. Yang terpikirkan adalah bahwa di manapun penempatannya mesti ada tempat pengajian di sana. Supaya ada yang senantiasa menasihati dan mengingatkan ketika lalai. Ibarat Hp yang baterainya rutin diisi supaya tidak mati, saya khawatir jadi 'eror' jika tidak ada wadah semacam itu.

Sementara itu Ibu punya kekhawatiran yang berbeda. Jarak. Ibu tidak mau anak perempuan satu-satunya ini (halah) jauh dari rumah. Beliau menyarankan urus penempatan di Makassar saja. Sepupu-sepupu juga bilang begitu. Tapi entah kenapa saya tidak begitu antusias dengan saran tadi. Tujuh tahun di Makassar sedikit banyak membuat saya jenuh. Saya bisa cepat bosan dengan sesuatu. Mirip waktu masih sekolah dulu, yang ingin cepat-cepat keluar dari kampung dan merantau ke Makassar. Tapi yang begini biasanya paradoks. Kau ingin secepatnya pergi dari situ, di saat yang sama kau ingin selamanya tinggal di situ. Pernah mengalami hal seperti ini ?

Kenapa harus cari tempat yang jauh, sementara segala sesuatu yang kau butuhkan ada di kota ini, kata sepupu saya. Benar. Tapi untuk sementara saya mau keluar dulu dari sini. Sepertinya saya butuh sesuatu yang lain. Ada sesuatu yang tidak bisa kau lakukan kecuali jika kau pergi ke sana, kata Murakami. Lagipula, di manapun penempatannya nanti, saya tidak akan selamanya tinggal di sana. Jadi kriterianya : ada tempat tarbiyah, ada kerabat dan tidak terlalu  jauh dari rumah. Jalan tengahnya muncul dalam bentuk telepon dari paman di Tenggara sana. Dan, di sinilah saya berada sekarang. 

Sudah tujuh bulan tinggal di sini. Sebenarnya dulu pernah ke sini dalam rangka liburan. Tapi sudah lama sekali, masih kelas dua SD.  Itu pun hanya beberapa hari. Jadi tak banyak yang bisa saya ingat kecuali beberapa lembar foto yang diambil di depan benteng keraton. Dulu bentuknya masih kabupaten. Kondisinya tidak jauh beda dengan Selayar. Setelah belasan tahun, kota ini berkembang pesat. Jauh lebih ramai dan padat dibanding ketika pertama kali datang.

Sekarang masih dalam proses beradaptasi. Mulai dari mengenal jalan, mengenal beberapa tempat penting, mengenal karakter orang-orangnya, adat istiadat dan membiasakan diri dengan logatnya. Untuk bahasa, saya belum tahu sedikit pun karena bahasa daerah di sini bermacam-macam. Meski satu daratan, bahasa daerahnya belum tentu sama. Tapi ada kesan khusus dengan logat dan pemilihan kata yang berbeda dengan kebiasaan di Makassar (orang sini menyebutnya Selatan).

Misalnya antara “kenapa” dan “bagaimana”. Sebelumnya, saya jarang menggunakan kata “bagaimana”. Terdengar asing malah. Jika ada yang menelpon, atau ada keperluan biasanya saya tanya “kenapa?”. Ada panggilan tak terjawab, saya sms begini, “Sorry tadi tidak kedengaran. Kenapa?” Ternyata di sini itu dianggap kurang sopan. Jadi saya pun ikut-ikutan memakai kata “Bagaimana”

Ada telepon, “Halo, iye kak. Saya di rumah. Bagaimana ?” 

Ada panggilan tak terjawab, saya sms begini, “Maaf telponnya tidak kedengaran tadi. Bagaimana bu?” 

Ada pembeli datang, “Bagaimana pak/bu?” 

Ada mahasiswa datang, “Oh Risna ya, bagaimana dek?” 

Begitu pun kata-kata lainnya. Dan intonasi suaranya. 

Kalau sebelumnya, saya cukup bilang, “Ndak tahu” atau “issengi”, sekarang berubah jadi, “saya kurang tahu”

Kalau terkejut atau heran, “Begitukah ?” dengan penekanan di kata “gitu” 

Kemudian menempatkan kata “Padahal” di akhir kalimat. Misal, “Oh belum diperiksa, padahal”

Menambahkan kata “dan” yang bermakna ajakan atau permintaan. Contohnya, “Tunggu dulu, dan” atau “Jalan-jalan ke sini, dan” 

Menambahkan seruan “ee” sepanjang dua harakat. Misalnya, “Kau tunggu di sini dulu ee, nanti ustadzah antar pulang” 

Kadang juga kata “Kamu” ditambahkan dengan “Orang”. Misalnya, “Kamu orang sudah makan?” 

Atau “Kamu orang jangan baku tengkar”

Seumur-umur, nanti di sini baru saya dengar kata “Kamu orang” dan “baku tengkar”. Biasanya paling begini “Wee, jangko bertengkar!” 

Kadang juga ditambahkan kata “Mereka” meski yang dimaksud hanya satu orang. Contoh:

“Siapa yang piket di TK hari ini?” 

“Itu, mereka Yati” 

Terus kalau perempuan kadang dipanggil dengan menambahkan “Wa” di depan namanya sementara laki-laki ditambahkan “La”. Ini kebiasaan dengar percakapan anak-anak SD di belakang rumah.

“Ustadzah, La Hanan panjat pagar di luar” 

Atau

“Ustadzah, jilbabnya Wa Ayi robek” 

Kemudian memanggil orang dengan menyertakan nama anaknya. Ini mirip dengan nama kuniyah seperti Abu Fikriyah atau Ummu Fikriyah yang menandakan bahwa orang itu ayah atau ibunya Fikriyah. Menurut pengamatan pribadi, mungkin lebih sopan dan akrab memanggil seperti itu dibanding menyebut “pak” atau “bu” saja.  Misal, “Mamanya Wulan, kita’ ada di rumah ?” atau “Bapaknya Rahmat, saya ada perlu sebentar.” 

Sebenarnya masih banyak lagi, tapi untuk sementara cukup sekian dulu. Yang nulis sudah ngantuk. Nanti kita sambung lagi ee…^^
 
;