18 October 2015

Anak Bungsu

“Tak perlu menjadi orang kaya untuk hidup manja, tetapi cukuplah menjadi anak bungsu”
~Prie GS~

Ada aksioma dalam masyarakat bahwa anak sulung katanya lebih mandiri, sementara anak bungsu biasanya lebih manja. Kemandirian idealnya berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman, tak peduli dia sulung atau bungsu. Sementara manja, bisa muncul sewaktu-waktu pada diri seseorang. Menurut pengamatan pribadi, anak sulung memang dituntut lebih keras dibanding yang lain. Sementara pada anak bungsu, sikap orangtua sudah lebih lunak.

Dua adik saya semuanya laki-laki. Dan saya bersyukur untuk ini. Punya adik laki-laki itu menyenangkan. Ada yang bisa antar jemput. Ada yang bisa disuruh-suruh. Dan ada yang bisa dimarah-marahi kalau lagi jengkel. Tapi karena mereka pula maka orangtua senang membelikan saya barang-barang yang bergaya khas laki-laki, supaya nantinya bisa diwariskan ke kedua bocah itu. Tak jarang keduanya protes karena selalu kebagian barang-barang bekas. Hahaha!

Baru-baru ini ketemu foto lama di laptop sepupu. Di foto itu adik saya yang bungsu masih kecil, kelas 2 SD kalau tidak salah. Si bungsu ini adalah setengah adik dan setengah anak bagi saya. Karena saya ikut mengurusnya waktu dia masih TK. Waktu itu Ibu masih tugas di luar kota dan tidak bisa bolak-balik membawanya naik motor. Jadi dia dititipkan sama nenek. Kami pun senasib, sama-sama anak titipan. 

Setiap pagi, saya bertugas memandikan bocah ini, sementara nenek menyiapkan sarapan dan bekal. Setelah itu saya mengantarnya ke sekolah karena SMA saya searah dengan sekolahnya. Adik saya sekolah di TK Bhayangkara yang di hari-hari tertentu memakai seragam layaknya polisi cilik. Karena tubuhnya kecil, baju yang ukuran S pun kedodoran di badannya. Topi polisi terlalu lebar di kepalanya hingga melorot sampai menutup mata. Belum lagi tas bekal yang dia bawa seperti memikul karung beras. Ditambah bedak yang didempul sekenanya ke seluruh wajah.

Setiap pagi kami berangkat sama-sama. Sekitar jam 11 atau 12 nenek akan datang menjemputnya di sekolah. Siangnya, dia dibebaskan bermain atau tidur. Biasanya kalau ada sisa uang jajan, kami akan membeli kupon berhadiah seharga 500 rupiah. Dia pernah beruntung beli kupon yang berhadiah satu box gelas Mama & Papa. Sorenya, kami duduk di depan TV nonton kartun Hunter X Hunter. Atau nongkrong di teras sambil makan Choki-choki. Dulu dia suka sekali nonton Dora The Explorer. Dan ikut menyanyi depan TV. Tapi kalau diungkit sekarang, bocah itu tidak mau mengaku. Hahaha. Di malam minggu, ayah akan datang menjemputnya dan dikembalikan lagi malam senin. Begitulah rutinitas harian kami.

Dia masih SD sewaktu saya masuk kuliah. Pulang kampung mungkin hanya dua atau tiga kali setahun. Perubahannya benar-benar terasa setiap kali pulang. Tinggi badannya dulu tidak sampai sepinggang, masih sering saya banting kiri-kanan. Tiba-tiba saja dia sudah menjulang melampaui tinggi saya. Hello, sejak kapan nih bocah jadi tinggi begini ? Suaranya yang cempreng kayak bebek sekarang sudah serak dan berat. Kulitnya tambah legam karena sering berenang di laut. Dulu saya sering mencandainya kalau dia itu dipungut di selokan depan rumah, makanya warna kulitnya lain dari yang lain. Candaan itu biasanya berhasil membuatnya dongkol. Sekarang dia berdalih kalau kulit yang keren itu yah macam warna kulitnya, eksotis katanya. Huekk…

Berbeda dengan adik pertama yang teman-temannya selalu nongkrong di rumah, si bungsu ini jarang dikunjungi teman. Kadang dia main ke temannya. Dan sekali main ke rumah teman,dia bisa lupa waktu, nanti pulang ketika jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah, jadi kami menjulukinya room boy. Saya sering menegurnya untuk sesekali keluar mengukur jalan. Tapi sepertinya kesenangannya memang ada di dalam rumah. 

Dia yang paling dekat dengan ibu dibanding yang lain. Tidak sungkan bersikap manja sama ibu. Juga tidak bisa lama-lama jauh dari ibu. Pernah di Makassar saya membawanya jalan-jalan ke kos di dalam kampus. Baru sehari dia sudah minta pulang, katanya kangen ibu. Padahal ibu ada di Minasaupa. Hadeh. Dan waktu berangkat haji baru-baru ini, tiap tiga hari sekali dia menelpon ke sana. Sementara ke saya dia selalu tanya kapan mereka pulang. Hadeh, orang baru lima hari pergi sudah ditanya kapan pulang.

Dia jago ngeles. Alasannya seringkali konyol dan tidak terpikirkan. Kalau diumpamakan, bocah ini seperti kucing. Tahu cara menikmati hidup dan menjalaninya dengan santai. Seperti tidak punya beban. Saya curiga, jangan-jangan golongan darahnya B. Sekarang dia sudah besar, sudah kelas dua SMA, tapi bagi saya dia masih seperti bocah TK dengan baju kedodoran dan bedak yang berdempul tidak rata. Ada ekspresinya yang tidak hilang sejak kanak-kanak.
 
;