Banyak yang lupa bagaimana rasanya berumur 19 ketika beranjak 20,
atau 25 ketika beranjak 26. Tahun 2015 menjadi tahun tercepat yang
pernah saya alami. Seperti ada sesuatu yang melintas dengan kecepatan
tinggi. Atau seperti semburan air yang deras. Kau mengulurkan tanganmu,
berharap bisa menangkap banyak hal di dalamnya. Tapi hanya sedikit yang
masuk dalam genggaman.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang resolusi awal tahun.
Sejujurnya saya jarang memikirkan hal-hal semacam itu. Seperti saya
ingin begini tahun ini. Atau saya ingin begini sebelum umur segini. Atau
dalam sekian tahun saya sudah akan begini. Tidak, saya jarang seperti
itu. Tapi bukan berarti tidak ada rencana atau tujuan sama sekali. Hanya
saja, untuk beberapa hal saya lebih suka let it flow. Hidup ini tak tertebak. Terkadang hal-hal di luar rencana memberi kejutan yang lebih menyenangkan.
Salah satu hal yang saya pikirkan adalah, apa yang akan saya lakukan
terhadap blog ini. Pernah kepikiran untuk menutup blog. Ada banyak
alasan sih, sebenarnya. Pertama, setelah diperhatikan secara seksama dan
dalam tempo seimut-imutnya, bisa disimpulkan kalau blog ini, seperti
latarnya, begitu suram. Atau hanya saya yang berpikir begitu ? Kedua,
tulisan di dalamnya kebanyakan curcol tidak penting (sebenarnya lebih
tepat disebut tidak berguna, tapi saya tidak tega menggunakan kata ini.
Hehehe). Kalimat-kalimatnya pekat, saya sendiri sesak membacanya.
Ketiga, saya tidak ingin ada “kerumitan” yang lain lagi. Kadang saya
pikir, jangan-jangan penyebabnya tak lain adalah blog ini. Pernah
disinggung sebelumnya bahwa menulis adalah cara untuk menolong diri saya
sendiri. Semacam upaya penyembuhan. Tapi menulis itu paradoks.
Melegakan di satu sisi, dan menyakitkan di saat yang sama. Memang bukan
hal buruk memiliki wadah menuangkan pikiran yang terbatas dilakukan di
media lain. Tetapi lama-kelamaan ada hal lain yang mengikut. Hal-hal di
luar dugaan, dan itu memperumit keadaan.
Pertama kali punya blog, umurnya lebih pendek dari umur jagung.
Walaupun saya suka namanya. Sementara blog yang kedua ini bisa bertahan
empat tahun lamanya dengan sedikitnya dua peraturan : Kolom komentar
ditutup dan identitas anonim. Tidak menyebutkan nama, walaupun nampaknya
beberapa orang sudah tahu. Toh blog ini tidak dirahasiakan. Pun
orang-orang yang saya ceritakan lebih banyak menggunakan julukan.
Awalnya, saya hanya berbagi blog dengan dua orang teman. Kedua teman
saya ini lebih parah. Blognya tidak dibuka untuk umum. Untuk masuk pun
mesti minta izin dulu. Tapi lama-lama keduanya tidak aktif lagi karena
kesibukan masing-masing. Tinggallah blog saya yang lanjut ngalor-ngidul.
Belakangan, blog ini lebih banyak berisi tentang buku-buku yang saya
baca. Dan itu lebih menyenangkan dibanding membahas yang lain. Membaca
buku kemudian menuliskan kesanmu sebenarnya mirip dengan membahas diri
sendiri secara tidak langsung. Seperti seni, membaca buku lebih
menyangkut bagaimana melihat dirimu dibanding apa yang tertulis di atas
kertas. Books are for people who wish to be somewhere else.
Buku juga menjadi alternatif untuk berkunjung ke berbagai tempat,
berbagai karakter dan budaya ketika di saat yang sama saya tidak
beranjak kemana-mana. Kemampuan saya terbatas. Tapi buku punya kemampuan
semacam itu.
Saya paling suka baca buku cerita, entah itu fiksi atau kisah nyata.
Karena cerita membuat saya bebas mengambil hikmah apa saja. Kesan
nasihatnya lebih dalam dan kuat dibanding jika harus dijejali teori
bahwa saya harusnya begini atau idealnya harus begitu. Selain itu,
kebiasaan ini juga bawaan dari SMP yang gemar baca komik. Duh, ngomongin
komik jadi kangen koleksi komik jadul yang sudah hilang. Jadi ceritanya
pernah ada koleksi komik yang lumayanlah, sekitar dua kardus berisi
serial Rose of Versailles, Aurora, Harlem Beat, Sailor Moon, Lady Oscar,
Detective Conan, Q.E.D, Pengantin Demos, komik-komiknya Yu Asagiri,
Kyoko Hikawa dan beberapa lagi yang saya lupa. Terakhir kali komik-komik
ini terlihat tahun 2009. Dan karena memang tidak dijaga dengan baik,
sewaktu pulang kampung kardus-kardusnya sudah raib entah kemana.
Setelah komik, lanjut ke novel-novel lama yang ada di perpus sekolah, kemudian beralih ke novel remaja ketika Teenlit
booming kala itu. Saya bukan kutu buku, tapi saya suka membaca genre
apa saja; suspense, thriller/kriminal, drama, romance, sains fiksi,
fantasi, dystopian, metropop, komedi, chicklit atau sastra (saya tidak
terlalu paham pembagian genre). Pilihannya tergantung mood dan situasi.
Sebenarnya kadang kepikiran juga, apa saya tidak buang-buang waktu
membaca novel-novel ini ? Pernah saya tanya ke teman, dia bilang,
pekerjaanmu bukan baca novel to’ saja, kan ? Jadi tidak masalah,
katanya. Saya membaca untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas, kata
saya. Ya bagus itu, katanya lebih lanjut, saya sendiri baca novel untuk
mengusir sepi.
Ada blog teman yang sering dia sebut si Ijo. Teman saya ini sangat
suka warna hijau. Tema blognya hijau. Tulisannya pun hijau-hijau.
Hehehe. Maksudnya, Kalau kau membaca tulisannya, kau seperti memasuki
padang rumput yang sejuk. Pemilihan diksinya filosofis dan dalam. Tapi
menenangkan.
Ada juga blog milik teman yang lain. Yang satu ini tipe orang yang to the point,
idealis dan perfeksionis. Kritikannya tajam dan pedas. Kalau orang
pertama kali terlibat kegiatan bersamanya, dan belum mengenal
karakternya, mungkin akan terkaget-kaget dengan sikapnya yang sangat to the point
dalam menyampaikan pendapat. Yang saya suka darinya adalah, bahwa dia
jujur menilai diri sendiri di hadapan orang lain. Dia tidak menutupi
kekurangannya. Dia ingin orang melihatnya apa adanya. Dalam arti
mengetahui letak kekurangannya. Hal yang jarang dijumpai. Saya sendiri
tidak yakin ketika ada yang mengatakan “terimalah dirimu apa adanya”
atau “jadilah dirimu apa adanya”. Kupikir jarang ada orang yang
benar-benar ingin menerima dirinya apa adanya. Terutama jika bagian dari
“apa adanya” itu adalah sesuatu yang buruk. Tak ada orang yang senang
dalam keburukan. Maka yang sering kita lakukan adalah berusaha untuk
memperbaiki sisi yang buruk itu, minimal menutupinya dari mata orang
lain. Alih-alih berharap mereka memakluminya.
Saya mengenal teman saya ini sebagai orang yang pekerja keras,
perfeksionis, penuh semangat dan percaya diri. Kritikannya terhadap
orang lain memang pedas, tapi kritikannya terhadap diri sendiri jauh
lebih pedas. Dia menyebut dirinya sebagai orang yang brengsek. Yah, itu
istilah yang dia pakai. Padahal setahu saya, dia orang yang selalu
berusaha tetap berada dalam koridor, berusaha keras untuk tidak
melenceng keluar dari lingkaran. Tapi dia menganggap ada bagian dari
dirinya yang brengsek. Terutama caranya menilai orang lain. Bahwa ia
bisa menjadi sangat picik karena menjudge orang lain bahkan sebelum
orang itu memperkenalkan diri. Saya tersenyum membacanya. Kalau begitu
aturannya, maka ada banyak orang brengsek di dunia ini.
Sejauh ini belum ada keputusan final (halah) mengenai masa depan blog
ini. Bagaimana pun “rumah” ini sudah dibangun selama empat tahun.
Sesuatu tidak otomatis berubah hanya karena dihilangkan atau dihentikan
begitu saja.