2 Januari, di kota kecil....
Bulan separuh. Malam ini bulan separuh. Dan bulan tersenyum simpul karena berhasil membelokkan langkahku menuju Ruang Jingga itu. Yah, Ruang Jingga, begitulah kita menyebutnya. Karena sebelum senja menyapa, sebelum langit berdarah ditikam malam, dalam putaran menit, ruang itu diliputi warna jingga. Warna yang memetakan siluet di lantai. Siluet bingkai jendela, siluet orang-orang yang bermesraan dengan buku, siluet sayap-sayap yang kau bentuk dengan kedua tanganmu dan siluet penjaga kunci yang tertidur pulas bersama letih. Sekilas tak ada yang istimewa dari ruang ini. Hanya deret buku yang tak terawat, lusuh ditinggal waktu. Tapi, bukankah di tempat ini kita mempertanyakan dan memahami banyak hal ? Di sini kita menggali ruang-ruang tersembunyi dalam pikiran masing-masing.
Seharusnya di ruang ini ada dua atau mungkin tiga manusia yang sama-sama membaca Harlem Beat dan menertawakan kekonyolan Naruse. Seharusnya. Setidaknya begitulah adegan kepingan waktu yang kuingat. Tapi hanya ada sesosok tubuh yang memandang pantulan bayang lewat buramnya kaca malam. Sisanya, deret buku terpekur hening. Sehening malam. Sehening rembulan yang sendirian mengisi kekosongan langit. Kau selalu protes mengapa ruang penuh buku bersusun itu tak memiliki kursi. Sekarang kursi berjejer rapi, bahkan hampir tak muat lagi kududuki. Aku memaki diriku saat kusentuh deret buku dan tersadar sedang menjejak kaki di sana. Sadar sepenuhnya tak ada siapapun. Malam mendekap, mendekati garis eliminasi waktu yang memulangkan kita. Malam, yang menjadi alasan bagi kita menangisi hari yang lama. Malam, yang menidurkan sayap-sayap yang lelah mengembarai langit.
Selamat tidur. Semoga angin memelukmu dalam sejuk dan harum di awal pagi.
Bulan separuh. Malam ini bulan separuh. Dan bulan tersenyum simpul karena berhasil membelokkan langkahku menuju Ruang Jingga itu. Yah, Ruang Jingga, begitulah kita menyebutnya. Karena sebelum senja menyapa, sebelum langit berdarah ditikam malam, dalam putaran menit, ruang itu diliputi warna jingga. Warna yang memetakan siluet di lantai. Siluet bingkai jendela, siluet orang-orang yang bermesraan dengan buku, siluet sayap-sayap yang kau bentuk dengan kedua tanganmu dan siluet penjaga kunci yang tertidur pulas bersama letih. Sekilas tak ada yang istimewa dari ruang ini. Hanya deret buku yang tak terawat, lusuh ditinggal waktu. Tapi, bukankah di tempat ini kita mempertanyakan dan memahami banyak hal ? Di sini kita menggali ruang-ruang tersembunyi dalam pikiran masing-masing.
Seharusnya di ruang ini ada dua atau mungkin tiga manusia yang sama-sama membaca Harlem Beat dan menertawakan kekonyolan Naruse. Seharusnya. Setidaknya begitulah adegan kepingan waktu yang kuingat. Tapi hanya ada sesosok tubuh yang memandang pantulan bayang lewat buramnya kaca malam. Sisanya, deret buku terpekur hening. Sehening malam. Sehening rembulan yang sendirian mengisi kekosongan langit. Kau selalu protes mengapa ruang penuh buku bersusun itu tak memiliki kursi. Sekarang kursi berjejer rapi, bahkan hampir tak muat lagi kududuki. Aku memaki diriku saat kusentuh deret buku dan tersadar sedang menjejak kaki di sana. Sadar sepenuhnya tak ada siapapun. Malam mendekap, mendekati garis eliminasi waktu yang memulangkan kita. Malam, yang menjadi alasan bagi kita menangisi hari yang lama. Malam, yang menidurkan sayap-sayap yang lelah mengembarai langit.
Selamat tidur. Semoga angin memelukmu dalam sejuk dan harum di awal pagi.