Kemarin, langit sore berwarna kelabu, tidak jingga seperti selalu.
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya masih tertinggal di sebuah ruang
pertemuan berdinding putih pucat. Sehari sebelumnya saya berkeliaran di
Grahamedia mencari buku yang dipesan adik. Tanpa sengaja mata saya
tertumbuk pada salah satu buku yang duduk berdampingan dengan novel Dewi
Lestari. Sebuah buku renungan. Tak perlu berpikir lama untuk membawa
buku itu ke meja kasir. 24 jam berikutnya, siapa sangka, penulisnya
sudah duduk di depan saya. Selama pertemuan berlangsung saya lebih
banyak diam. Sesekali menjawab jika ditanya. Dan lebih sering garuk
kepala yang tidak gatal.
Sepulangnya saya mengambil rute yang berbeda dari biasa. Berjalan pelan.
Terlalu pelan malah, sambil menendang kerikil yang berserakan. Rasanya
ingin lebih lama berada di jalan. Dari jauh segerombolan anak berkerumun
di dekat perempatan. Salah satu di antaranya, anak laki-laki dengan
tinggi tak sampai sepinggang dan usia berkisar 5 atau 6 tahun tiba-tiba
berlari mengampiri. Dia mengelus-elus ujung jilbab yang sudah kusut saya
pakai. Mungkin dia ingin bertanya atau mengatakan sesuatu, ternyata
tidak. Setelah itu dia malah berbalik menuju kawanannya sambil
tersipu-sipu. Saya kembali garuk kepala yang tidak gatal.